sejarah tasbih

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

*SEJARAH TASBIH DAN HUKUMNYA*

Oleh
Ustadz Nurul Mukhlisin Asyrafuddin

Dzikrullah, merupakan amalan yang sangat dianjurkan oleh Allah Jalla Jalaluhu dan RasulNya, dan diperintahkan untuk melakukannya sebanyak-banyaknya, sebagaimana firmanNya, artinya: Hai orang-orang yang beriman, berdzikirlah (dengan menyebut nama) Allah, dzikir yang sebanyak-banyaknya. [Al Ahzab : 41]

Aisyah Radhiyallahu ‘anha berkata:

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَذْكُرُ اللَّهَ عَلَى كُلِّ أَحْيَانِهِ

“Rasulullah selalu berdzikir kepada Allah dalam setiap kesempatannya”. [HR Bukhari dan Muslim].

Dzikir dibagi menjadi dua. Pertama, dzikir mutlaq. Yaitu dzikir yang tidak terkait dengan waktu, jumlah, tempat dan keadaan. Semua perbuatan dan perkataan yang bisa mengingatkan seseorang kepada Allah Jalla Jalaluhu, termasuk dalam dzikir jenis ini, seperti: membaca Al Qur’an, menuntut ilmu, dan lainnya. Seseorang bisa melakukan dzikir kapan saja, berapapun jumlahnya selama tidak bertentangan dengan hal-hal yang sudah ditetapkan dalam agama. Kedua, dzikir muqayyad. Yaitu dzikir yang terikat dengan tempat, seperti: dzikir di Arafah, di Multazam, ketika masuk dan keluar masjid, kamar mandi dan lainnya. Atau terikat dengan jumlah, waktu dan cara. Oleh karenanya, dalam pelaksanaannya juga terikat dengan tata cara yang pernah dilakukan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Di antara contoh dzikir yang terikat dengan jumlah, waktu dan cara, misalnya sebagaimana disabdakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

مَنْ سَبَّحَ اللَّهَ فِي دُبُرِ كُلِّ صَلَاةٍ ثَلَاثًا وَثَلَاثِينَ وَحَمِدَ اللَّهَ ثَلَاثًا وَثَلَاثِينَ وَكَبَّرَ اللَّهَ ثَلَاثًا وَثَلَاثِينَ فَتْلِكَ تِسْعَةٌ وَتِسْعُونَ وَقَالَ تَمَامَ الْمِائَةِ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ غُفِرَتْ خَطَايَاهُ وَإِنْ كَانَتْ مِثْلَ زَبَدِ الْبَحْرِ

“Barangsiapa yang mengucapkan “subhaanallah” setiap selesai shalat 33 kali, “alhamdulillah” 33 kali dan “Allahu Akbar” 33 kali; yang demikian berjumlah 99 dan menggenapkannya menjadi seratus dengan “La ilaha illallahu wahdahu la syarikalah, la hul mulku walahul hamdu wa huwa ‘la kulli syai-in qadir” (لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ), akan diampuni kesalahannya, sekalipun seperti buih lautan” [HR Muslim dari Abu Hurairah].

*BAGAIMANA CARA RASULULLAH SHALALLLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM MENGHITUNG DZIKIR (SUBHAANALLAH, ALHAMDULILLAH DAN ALLAHU AKBAR) TERSEBUT?*

Syaikh Bakr bin Abdullah Abu Dzaid, salah satu anggota Majelis Kibaar Ulama di Saudi Arabia, ketika membahas masalah ini menyebutkan: Sudah tsabit (jelas dan ada) petunjuk Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, baik dalam bentuk perkataan, perbuatan dan keputusan (taqrir), bahwa beliau menghitung dzikir dengan jari tangannya, tidak pernah dengan yang lainnya. Demikian itulah yang diamalkan oleh para sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka dalam kebaikan hingga hari ini. Dan termasuk perbuatan yang secara turun-temurun dipraktikkan di kalangan umat, sebagai wujud iqtida’ (percontohan) mereka kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Inilah cara yang sesuai dengan ruh Islam, yaitu menghendaki kemudahan dan bisa diamalkan oleh semua orang, kapan saja dan di mana pun tempatnya.[1]

Syaikh Athiyah Muhammad Salim, salah seorang mudarris (guru) di Masjid Nabawi, ketika membahas cara RasulullahShallallahu ‘alaihi wa sallam menghitung tasbih tersebut, mencontohkannya dengan menggunakan tangan kanan dan menyatakan: Setiap jari tangan kita memiliki tiga ruas. Apabila setiap ruas mendapatkan satu tasbih, tahmid dan takbir, kemudian dikalikan lima, maka akan berjumlah lima belas dan diulangi lagi sekali, sehingga menjadi tiga puluh, kemudian ditambah dengan satu jari hingga berjumlah tigapuluh tiga kali. Dan ini, selaras dengan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dzar, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

يُصْبِحُ عَلَى كُلِّ سُلَامَى مِنْ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ فَكُلُّ تَسْبِيحَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَحْمِيدَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَهْلِيلَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَكْبِيرَةٍ صَدَقَةٌ وَأَمْرٌ بِالْمَعْرُوفِ صَدَقَةٌ وَنَهْيٌ عَنْ الْمُنْكَرِ صَدَقَةٌ وَيُجْزِئُ مِنْ ذَلِكَ رَكْعَتَانِ يَرْكَعُهُمَا مِنْ الضُّحَى.

“Setiap pergelangan salah seorang dari kamu adalah shadaqah, setiap tasbih shadaqah, setiap tahmid shadaqah, tahlil shadaqah, takbir shadaqah, mengajak kepada kebaikan shadaqah dan mencegah dari kemungkaran shadaqah dan semua itu cukup dengan dua raka’at dhuha”. [HR Bukhari dan Muslim].

Beliau (Syaikh Athiyah) tidak menyebutkan dalilnya harus dengan ruas jari [2]. Yang pasti, menurut beliau, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menghitung dzikirnya dengan jari tangannya, sebagaimana disebutkan oleh Abdullah bin Umar, beliau berkata:

رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعْقِدُ التَّسْبِيحَ قَالَ ابْنُ قُدَامَةَ بِيَمِينِهِ.

“Saya melihat Rasulullah menghitung tasbih (dzikirnya); Ibnu Qudamah mengatakan dengan tangan kanannya”. [3]

Saat sekarang ini, kita sering melihat -khususnya selesai shalat-, orang menghitung dzikirnya dengan menggunakan alat tasbih, yaitu semacam biji-bijian terbuat dari kayu, tulang atau lainnya yang dirangkai dengan benang atau tali, yang jumlahnya biasanya seratus biji. Orang Arab menyebutnya subhah, misbahah, tasaabih, nizaam, atau alat. Sementara orang-orang sufi menyebutnya al mudzakkirah billah (pengingat kepada Allah), raabitatul qulub (pengikat hati), hablul washl atau sauth asy syaithan (cambuk syaitan). Karena dzikir merupakan bagian dari ibadah atau dianggap sebagai ibadah, maka kita harus mengetahui hukumnya, agar benar dalam mengamalkannya. Bagaimana hukum menggunakan alat-alat tersebut?

Sebenarnya, sudah banyak ulama yang menulis dan membahas hukum penggunaan alat tasbih untuk menghitung dzikir [4]. Menurut Syaikh Bakr Abu Dzaid, dari ulama yang terdahulu ataupun yang sekarang (kontemporer), yang pendapatnya bisa dijadikan sebagai hujjah, menunjukkan kesimpulan, bahwa tidak ada satupun hadits yang shahih yang membolehkan menggunakan selain jari tangan untuk menghitung dzikir.

Terhitung ada tiga hadits yang sering dijadikan dalil bolehnya menggunakan alat tasbih untuk menghitung dzikir, diantaranya sebagai berikut:

Pertama: Hadits Shafiyah binti Hayyi (isteri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam) yang berbunyi:

عَنْ كِنَانَةَ مَوْلَى صَفِيَّةَ قَال سَمِعْتُ صَفِيَّةَ تَقُولُ دَخَلَ عَلَيَّ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَبَيْنَ يَدَيَّ أَرْبَعَةُ آلَافِ نَوَاةٍ أُسَبِّحُ بِهَا فَقَالَ لَقَدْ سَبَّحْتِ بِهَذِهِ أَلَا أُعَلِّمُكِ بِأَكْثَرَ مِمَّا سَبَّحْتِ بِهِ فَقُلْتُ بَلَى عَلِّمْنِي فَقَالَ قُولِي سُبْحَانَ اللَّهِ عَدَدَ خَلْقِهِ قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ غَرِيبٌ لَا نَعْرِفُهُ مِنْ حَدِيثِ صَفِيَّةَ إِلَّا مِنْ هَذَا الْوَجْهِ مِنْ حَدِيثِ هَاشِمِ بْنِ سَعِيدٍ الْكُوفِيِّ وَلَيْسَ إِسْنَادُهُ بِمَعْرُوفٍ وَفِي الْبَاب عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ

“Dari Kinanah budak Shafiyah berkata, saya mendengar Shafiyah berkata: Rasulullah pernah menemuiku dan di tanganku ada empat ribu nawat (bijian korma) yang aku pakai untuk menghitung dzikirku. Aku berkata,”Aku telah bertasbih dengan ini.” Rasulullah bersabda,”Maukah aku ajari engkau (dengan) yang lebih baik dari pada yang engkau pakai bertasbih?” Saya menjawab,”Ajarilah aku,” maka Rasulullah bersabda,”Ucapkanlah :
سُبْحَانَ اللَّهِ عَدَدَ خَلْقِهِ. (Maha Suci Allah sejumlah apa yang diciptakan oleh Allah dari sesuatu).” [5]

Kedua : Hadits yang diriwayatkan oleh Sa’ad bin Abi Waqqash:

أَنَّهُ دَخَلَ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى امْرَأَةٍ وَبَيْنَ يَدَيْهَا نَوًى أَوْ قَالَ حَصًى تُسَبِّحُ بِهِ فَقَالَ أَلَا أُخْبِرُكِ بِمَا هُوَ أَيْسَرُ عَلَيْكِ مِنْ هَذَا أَوْ أَفْضَلُ سُبْحَانَ اللَّهِ عَدَدَ مَا خَلَقَ فِي السَّمَاءِ وَسُبْحَانَ اللَّهِ عَدَدَ مَا خَلَقَ فِي الْأَرْضِ وَسُبْحَانَ اللَّهِ عَدَدَ مَا بَيْنَ ذَلِكَ وَسُبْحَانَ اللَّهِ عَدَدَ مَا هُوَ خَالِقٌ وَاللَّهُ أَكْبَرُ مِثْلَ ذَلِكَ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ مِثْلَ ذَلِكَ وَلَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ مِثْلَ ذَلِكَ قَالَ أَبُو عِيسَى وَهَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ غَرِيبٌ مِنْ حَدِيثِ سَعْدٍ.

“Dia (Sa’ad bin Abi Waqqash) bersama Rasulullah menemui seorang wanita dan di tangan wanita tersebut ada bijian atau kerikil yang digunakan untuk menghitung tasbih (dzikir). Rasulullah bersabda,”Maukah kuberitahu engkau dengan yang lebih mudah dan lebih afdhal bagimu dari pada ini? (Ucapkanlah): Maha Suci Allah sejumlah ciptaanNya di langit, Maha Suci Allah sejumlah ciptaanNya di bumi, Maha Suci Allah sejumlah ciptaanNya diantara keduanya, Maha Suci Allah sejumlah ciptaanNya sejumlah yang Dia menciptanya, dan ucapan: اللَّهُ أَكْبَرُ seperti itu, َالْحَمْدُ لِلَّهِ seperti itu, dan لَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ seperti itu.” [6]

Ketiga : Hadits Abu Hurairah, ia berkata:

كَانَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُسَبِّحُ بِالْحَصَى

“Rasulullah bertasbih dengan menggunakan kerikil.” [7]

Jawaban dan bantahan terhadap ketiga riwayat di atas:
Hadits Abu Hurairah sudah disepakati kepalsuannya, sehingga tidak bisa dijadikan hujjah. Hadits Shafiyah dan riwayat Sa’id bin Abi Waqqash, seandainya dianggap shahih sanadnya dan bisa diterima, tetapi apakah kedua hadits tersebut menunjukkan bolehnya memakai tasbih untuk menghitung dzikir?.

Pada hadits Shafiyah, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mempertanyakan perbuatan Shafiyah yang mengumpulkan biji-bijian di tangannya. Hal ini menunjukkan pengingkaran dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena ia melakukan perbuatan yang tidak biasa dilakukan oleh orang lain. Itulah sebabnya, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkannya sesuatu yang lebih baik, yaitu lafadz tasbih yang benar. Karena, jika tindakan Shafiyah yang mengumpulkan bijian itu benar, mestinya tidak akan diingkari, bahkan ia akan dimotivasi untuk melanjutkannya atau paling tidak dibiarkan tetap melakukannya. Dengan demikian, sesungguhnya hadits tersebut sama sekali tidak menunjukkan dalil bolehnya menggunakan tasbih atau kerikil untuk menghitung dzikir.

Adapun hadits Sa’ad bin Abi Waqqash yang menyebutkan beliau melihat wanita yang memegang bijian untuk bertasbih, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menawarkan sesuatu yang lebih mudah, yang akan dijarkan kepadanya dan lebih afdhal. Lafadz “afdhal” atau “aisar” (lebih mudah), bukan berarti yang lainnya itu baik atau mudah juga. Ushlub (metode) seperti ini sering dipakai dalam bahasa Arab, sebagaimana firman Allah :

أَصْحَابُ الْجَنَّةِ يَوْمَئِذٍ خَيْرٌ مُّسْتَقَرًّا وَأَحْسَنُ مَقِيلاً

“Penghuni-penghuni surga pada hari itu lebih baik tempat tinggalnya dan lebih indah tempat istirahatnya”. [Al Furqon : 24].

Syaikh Abdurraman As Sa’di menyatakan,”Sesungguhnya, penggunaan isim tafdhil (menunjukkan yang lebih baik) pada sesuatu yang tidak terdapat pada yang kedua. Karena tidak ada kebaikan pada ahli neraka dan tempat tinggalnya, dibandingkan dengan neraka.” [8]

Contoh lainnya, juga sebagaimana dalam firman Allah Jalla Jalaluhu.

ءَآاللهُ خَيْرٌ أَمَّا يُشْرِكُونَ

“Apakah Allah yang lebih baik, ataukah apa yang mereka persekutukan dengan Dia?” [An Naml : 59].

Apakah bisa disamakan kebaikan yang ada pada Allah, dengan yang ada pada sekutu-sekutuNya? Ini suatu kemustahilan.

[1]. Syaikh Bakr bin Abdullah Abu Dzaid, Tashih Ad Du’a, Riyad, Daar Al Ashimah, 1419, hlm. 136.
[2]. Penulis menghadiri kajiannya dan melihat langsung beliau mempraktikkan hal tersebut. Hal ini, kata beliau, hanya sebuah ijtihad saja, tidak harus begitu. Yang penting menghitungnya dengan jari tangan kanan sebagaimana dalam hadits Rasulullah di atas.
[3]. HR Abu Dawud, Bab tasbih bil hasha, no. 1502.
[4]. Syaikh Bakar Abu Dzaid menyebutkan beberapa kitab yang membahas masalah ini. Diantaranya, kitab: Al Minhah fi As Subhah; kitab Al Haawi, II/ 139-144 karangan As Suyuthi; Nuzhatul Fikar fi Subhati Adz Dzikr oleh Al Kanawi; Kamus Taajul Arus pada kalimat “sabaha”; Majmu’ Fatawa, Syaikhul Islam, juz 22/506; Madaarij As Salikiin, Ibnu Qayyim Al Jauziyah, III/ 120; As Silsilah Adh Dhaifah, Syaikh Al Albani, no. 83; Nailul Authar, II/166, Majalah Al Azhar, Edisi 21 Tahun 1949M hlm. 62-63; Majalah Al Wa’i Al Islamy, Edisi 308; Fatawa Lajnah Daimah, no. 2229, 6460, 4300, dan masih banyak lagi kitab dan media lainnya yang membahas masalah tersebut.
[5]. HR Tirmidzi, beliau berkata,”Hadist ini gharib. Saya tidak mengetahuinya, kecuali lewat jalan ini, yaitu Hasyim bin Sa’id Al Kufi.” Ibnu Hajar dalam kitab At Taqrib menyebutnya dhaif (lemah), begitu juga gurunya, Kinanah Maula Shafiyah didhaifkan oleh Al Adzdi.
[6]. HR Abu Dawud, 4/ 366; At Tirmidzi, no. 3568 dan berkata,”Hadits hasan gharib.” Nasai’i dalam Amal Al Yaum wa Lailah; Ath Thabrani dalam Ad Du’a, 3/ 1584; Al Baihaqi dalam Asy Syu’ab, 1/347 Al Baghawi, dalam Syarhu As Sunnah, 1279 dan lainnya. Semua sanadnya bersumber pada Sa’id bin Abi Hilal. Ibnu Hajar menganggapnya “shaduuq”.
[7]. HR Abu Al Qashim Al Jurjaani dalam Tarikh Jurjaan, no. 68. Dalam sanadnya terdapat Abdullah bin Muhammad bin Rabi’ah Al Qudami yang sering membuat hadits munkar dan maudhu. Dan didhaifkan oleh Syaikh Albani dalam Silsilah, no.1002.
[8]. Tafsir Karimurrahman, II/ 190

*_[Bersambung]_*

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro