21st Blooming

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


21st Blooming

-Daisy-

Giras masih mengingat soal itu!

Dan kenapa baru sekarang Giras mengingatkan "hutang" nya?

Bayangan seorang Giras remaja yang tengah makan telur gulung, seketika memenuhi pikirannya.

Daisy menggeleng tidak percaya. Lalu pelan-pelan, tawa mulai merayapi.

Mengapa chat itu semakin dibaca malah terasa semakin lucu?

Gita menyadari Daisy tengah tertawa sendiri, tapi karena asumsinya, Daisy tengah menertawai sesuatu yang dilihat lewat ponsel-yang agaknya adalah hal yang biasa bagi semua orang, Gita tidak bertanya. Gita masih serius memerhatikan karyawan di balik counter yang tengah meracik pesanan Boba dari pelanggan sebelumnya.

Daisy menyimpan kembali ponsel ke dalam tas.

Giras tidak butuh balasan. Yang tadi itu hanya ucapan selamat dirangkaikan pengakuan hutang.

Mengapa beberapa tusuk telur gulung bisa dianggap hutang baginya?

Lagipula, waktu itu, Daisy memang membeli banyak untuk Gita, yang malah dihabiskan oleh Giras. Tapi hal itu sama sekali bukan masalah.

"Gue hutang tujuh tusuk. Kapan-kapan gue traktir. Duit jajan gue udah abis."

Dari begitu minim interaksi antara mereka dulu, mengapa Giras bisa mengingat "hutangnya" itu?

"Git." Panggil Daisy.

"Mmh. Kenapa?"

Daisy melihat jam tangan. "Udah jam sebelas lewat. Kita ke sana jam berapa?"

"Nanti sekitar jam setengah dua belas. Tenang aja. Kan deket?"

Daisy tidak mau sampai menghalangi Giras bekerja. Mereka janjian tepat pukul dua belas siang. Dia tidak mau Giras sampai menunggu lama.

"Katanya sibuk kan? Jam dua belas, seharusnya kita udah selesai mesen makanan." Daisy mulai khawatir ketika Boba pesanan mereka belum juga selesai dibuatkan.

"Soal tempat makan, itu fleksibel. Kita bisa nyuruh Mas Giras datang ke sini, kalau kita kelamaan di sini. Sekalian mesenin Boba." Gita tertawa. "Kenapa ya, gue ngerasa lucu aja ngeliat cowok minum Boba?"

"Lucu kenapa?"

"Nggak tau. Bukan niatnya seksis nih ya, tapi emang menurut gue, lucu aja."

Daisy hanya nyengir mendengar alasan Gita. Tidak ada tulisan kalau minuman manis sarat susu itu lebih cocok diminum oleh perempuan. Tapi ada benarnya juga sih, walau agak maksa.

"Kak Giras mau nggak kalau di sini? Tadi lo bilang, traktir deket kantornya aja."

Gita masih fokus memerhatikan proses akhir penyajian Boba. Gula tabur di atas foam dibakar dengan torchhingga jadi caramel.

"Kantornya kan deket dari sini." Gita membuka tas untuk mengambil dompet.

"Ntar parkirnya susah lho?"

Gita menatap Daisy, takjub. "Lo sampe segitu kepikiran soal parkir? Nggak apa-apa. Atau coba lo tanyain. Bilang aja minta disusulin ke sini."

Daisy mengulum bibir.

Seharusnya tadi mereka sudah memutuskan mau makan di mana.

Dia akhirnya mengambil ponsel dan mulai mengetik.

Daisy : Aku sama Gita masih di mal. Kak Giras bisa ke sini aja?

Giras : Makan siang di situ?

Daisy : Kalau nggak merepotkan

Giras : Boleh

Giras. : Kalau ditraktir, ngikut aja

Hanya balasan singkat itu saja, bisa membuat kedua ujung bibir Daisy tertarik membentuk senyum.

Gita melirik sekilas ke ponsel Daisy.

"Nah, bisa kan?"

"Lo ngintip hape gue?" Daisy segera memasukkan ponsel ke dalam tas. Dia tidak mau Gita sampai membaca chat soal telur gulung.

"Nggaklah. Ngapain? Gue nebak-nebak aja." Gita tersenyum.

Daisy mengalihkan pandangan ke arah tangga. Tempat makan berada di lantai bawah. Mereka harus cepat mengamankan tempat sebelum tempatnya semakin ramai dan berakhir tidak kebagian meja.

"Git, kalo minumnya masih lama, mendingan gue duluan turun ke bawah nyari tempat. Takutnya nggak kebagian tempat. Ini aja udah mulai rame sama yang mau makan siang."

"Tungguin dulu. Masa lo pergi sendiri?"

"Nggak pa-pa. Lo langsung nyusul aja. Nanti gue kabari." Daisy begitu tergesa langkahnya.

"Minuman lo udah jadi." Gita menunjuk Boba yang diletakkan karyawan di meja counter.

"Lo pegangin. Ntar tumpah gue bawa kemana-mana." Daisy melambaikan tangan sebelum berjalan cepat menuju tangga.

Sampai di bawah, pengunjung mal semakin banyak. Dia makin khawatir tidak kebagian tempat.

Daisy melongok ke salah satu resto AYCE. Harga makanan di situ tergolong paling mahal dibandingkan tempat lain. Tapi masih banyak meja kosong. Dia langsung menuju ke counter untuk melakukan reservasi.

Setelah selesai, Daisy mengirimkan chat kepada Gita yang ternyata sudah berdiri di tangga eskalator.

"Gimana? Udah dapet tempat?" tanya Gita yang asyik menyeruput minuman. "Nih punya lo."

"Udah. Di sana." Daisy menunjuk restoran tadi.

"Mahal lho di situ. Traktir A&W aja udah cukup."

"Nggak apa-apa. Gue lagi pengen makan bakar-bakaran. Lagian, gue belum pernah traktir lo di tempat mewah." Daisy menarik tangan Gita. "Ada diskon, kok."

"Ntar ambil paket aja. Gue khawatir Mas Giras bertingkah, milih yang paling mahal." Gita masih takjub akan resto pilihan Daisy.

"Kemarin lo traktir di Sushi Hiro, abis berapa? Masih jauh mahalan di sana daripada di sini." Daisy beralasan. Sejak Gita ke Jakarta, sudah berkali-kali sahabatnya itu mentraktir makan. Mana tempatnya yang mahal-mahal lagi.

"Nggak usah disebut-sebut soal itu. Lo kenapa jadi sungkan mulu sih sama gue?" Keluh Gita.

Daisy tersenyum. "Meskipun sama sahabat sendiri, gue nggak mau seenaknya."

"Kan yang mau traktir, gue?" Gita akhirnya mau juga duduk di salah satu kursi. Sementara Daisy mengirimkan chat kepada Giras untuk memberitahu tempat mereka makan siang.

"Udah setengah dua belas." Sejak tadi, Daisy terus melihat jam tangan, khawatir terlambat memesan.

"Jadi?"

"Langsung pesan aja ya?" Daisy menepuk bahu Gita sebelum berlalu memberitahu pelayan untuk menyiapkan meja mereka.

***

-Giras-

Setelah memarkirkan motor, Giras memeriksa ponsel. Sejak mulai berangkat sampai tiba di mal, tidak ada chat baru dari Daisy. Saat melihat jam tangan pun, dia datang saat jam telah melewati pukul dua belas. Hanya lewat sepuluh menit, seharusnya bukan masalah.

Giras berpikir, ada enaknya naik motor kemana-mana. Apalagi ke mal. Tidak serepot membawa mobil. Lagipula jarak antara kantornya dan mal, cukup dekat.

Alasannya sih, karena dia memang belum punya mobil. Waktu indent mobil yang dia inginkan masih sebulan lagi. Makanya, sampai sekarang dia masih mengandalkan motor saat hendak kemana-mana.

Sekitar lima belas menit kemudian, Giras sudah tiba di restoran. Makanan sudah tersaji ketika dia tiba di meja.

"Udah tinggal makan aja nih?" kata Giras takjub. Mangkuk sudah terisi nasi dan satu lagi mangkuk kosong untuk suki serta piring sudah tertata di depannya. Lengkap dengan hasil panggangan daging.

"Biar nggak kelamaan. Mas Giras mesti buru-buru balik kantor kan?"

Giras meneguk ocha sebelum mengambil sumpit. "Nggak juga. Bisa diatur kalau itu."

"Tadi minta janjian jam dua belas teng." Ucap Gita.

"Kan Mas nggak pernah bilang mesti balik cepet." Jawab Giras, menyuapkan beef slice yang masih hangat ke mulutnya. "Ini banyak lho, Day."

"Ini porsi normal kok." Balas Daisy. Giras pasti sama sungkan dengan Gita.

"Tapi tenang aja, pasti habis. Dan harus habis, biar nggak mubazir." Lanjut Giras terus menyuapkan makanan sambil sesekali mengobrol. Hanya obrolan ringan tentang pekerjaannya hari itu.

Daisy menikmati makanan, senang karena bisa merayakan hari lahirnya bersama mereka.

Saat tagihan datang, Daisy membaca angka yang tertera. Lebih dari lima ratus ribu.

Uangnya cukup, dia juga sudah menyiapkan uang tunai. Dia sudah siap membayar ketika Giras mengeluarkan kartu kredit. "Pake ini aja, Mbak."

"EH, KENAPA?" Volume suara Daisy tiba-tiba mengeras. Cepat-cepat ditutup mulutnya.

"Saya nggak terima traktiran mahal."

Alasan macam apa itu?

"Itu pengganti kado, Mas?" tanya Gita sambil tersenyum kepada Daisy. "Udah santai aja. Mas Giras lagi banyak duit."

Giras menanggapinya santai. "Beda. Udah dikonfirmasi tadi, kalau kadonya nyusul."

Konfirmasi di mana?

"Minta yang mahal-mahal, Day." Gita mulai mengompori.

"Nggak usah ngasih kado." Daisy mengambil ponsel untuk mengecek. Barangkali Giras sempat mengirimkan chat.

Tapi nihil.

Apa maksudnya, ngasih kado...

Telor gulung?

"Mumpung lagi di mal, sekalian dicariin kado." Sebelum Daisy mencegah, Giras sudah melesat lebih dulu meninggalkan restoran.

Apa dia nggak balik ke kantor lagi? Ini sudah jam satu lewat.

Gita menyusul langkah Giras. Sengaja menggandeng Daisy sebelum Daisy menyadarinya. Mereka berjalan menyusuri deretan butik di lantai atas. Sambil berjalan, Daisy mulai menebak-nebak ke mana langkah mereka akan terhenti.

Dior?

"Git, ini...maksudnya...,"

Daisy menelan ludah, karena nyaris tidak bisa bicara. Dia saja tidak pernah memberanikan diri masuk ke dalam sana karena harga barang-barang di sana terlampau mahal.

Ralat, bukan mahal. Tapi tidak terjangkau oleh dompetnya.

"Mau ngasih cincin, ntar jadi salah paham." Gumam Giras saat Daisy berdiri di sampingnya. Itu, setelah Gita mendorongnya supaya mendekat ke etalase tempat Giras kini sedang berdiri.

Mereka di sini jelas tidak sedang mencari telor gulung.

"Biasanya cewek suka tas atau sepatu."

Daisy mengamati deretan sepatu yang tersusun rapi di etalase. Dia tidak begitu tertarik mengenakan tas. Makanya sejak tadi perhatiannya lebih sering tertuju pada sepatu dan barang lain, seperti dompet.

"Aku lebih suka buku."

Giras menolehnya.

"Mm, telor gulung juga boleh."

***

-Giras-

Giras mengetuk-ngetukkan jari di atas meja. Sebuah paper bag berisi sepatu Dior juga tergeletak di sana.

Dia sudah terlanjur membeli sepatu itu, tapi Daisy tidak mau mengambilnya.

Keluar dari butik, mereka berpisah jalan karena Daisy mengatakan akan langsung pulang.

Tapi, dia tidak terlihat tersinggung.

Apa tindakannya salah ya? Giras bertanya pada diri sendiri.

Bertanya kepada Daisy mengenai kado yang dia inginkan, jelas salah. Makanya, dia mengambil rute dengan langsung membelikan kado yang dipikirnya akan disukai Daisy.

Seharusnya, dia memahami karakter Daisy sejak dulu.

Selalu sungkan. Itu karena dia merasa takut berbuat salah. Takut sikapnya akan menyinggung perasaan orang lain.

Kenapa sekarang, jadinya Giras yang merasa bersalah?

Dia yang mengambil alih membayar tagihan makanan.

Dia juga yang berinisiatif meminta Daisy memilih kadonya sendiri.

Kalau dia benar-benar memahami karakter Daisy, dia tahu bahwa hal-hal yang dilakukannya hari itu...kurang tepat.

Daisy mungkin tidak tersinggung. Tapi dia pasti akan selalu kepikiran.

Bagaimana kalau pertemanan mereka berakhir mengenaskan?

Daisy yang selama ini selalu menjaga jarak, malah akan semakin menjauh.

Giras benci menjadi canggung kepada orang lain. Apalagi orang lain itu adalah seseorang yang sudah dijanjikan untuk dia lindungi.

"Meeting, Bos." Kepala Yus sudah ketiga kalinya muncul dari balik pintu, mengingatkan ada meeting bersama tim, sore itu.

Giras hanya mengacungkan jempol, kemudian memindahkan paper bag ke atas rak rendah berisi tumpukan kertas dan majalah.

Dia akan meminta tolong kepada Gita untuk membawa Daisy ke apartemen.

Mereka harus bicara.

***

Dua hari kemudian, keinginannya untuk bertemu Daisy akhirnya terwujud. Gita beralasan kalau mereka akan mengadakan acara makan bersama, merayakan pencapaian Giras di kantor. Bukan hal mudah meminta bantuan Gita. Adiknya itu malah curiga jika dia memiliki maksud terselubung. Tapi karena Giras memberikan alasan masuk akal kalau dia hanya ingin meluruskan maksudnya supaya Daisy tidak salah paham, makanya Gita mau. Daisy yang memang merasa tidak perlu menolak, akhirnya setuju untuk ikut.

Giras menemukan kesempatan untuk bicara, saat Daisy hendak mencuci piring. Dan Gita seperti biasa, paham harus menyingkir ke mana.

"Siapa tau butuh sabun lagi." Giras meletakkan kemasan botol sabun cuci piring yang baru di dekat bak cuci piring.

"Ini masih banyak." Tunjuk Daisy ke botol kemasan sabun yang masih terisi setengah.

"Oh. Jadi ini ditaruh sini aja." Giras mengangkat tumpukan piring kotor ke dekat bak cuci piring.

"Kenapa nggak beli yang refill aja?" tanya Daisy yang tengah menuangkan sabun ke mangkuk kaca dan merendam spons hingga memunculkan busa.

"Sama aja kan isinya dengan yang di botol?" Giras mengangkat bahu.

"Sama. Tapi lebih murah. Bisa beda harga empat sampai lima ribu."

"Oh." Giras mengangguk-angguk. Dia menggaruk keningnya yang tidak gatal. "Mm, soal yang kemarin itu...,"

Daisy menolehnya. Tapi tidak bicara.

"Saya harap kamu nggak tersinggung."

"Tersinggung?" Daisy mengerutkan kening. "Apa Kak Giras merasa pernah membuat aku tersinggung?"

Nah kan? Daisy sebenarnya tidak tersinggung.

"Kalau maksud Kak Giras tentang yang di mal itu...seharusnya aku yang berterimakasih. Masa sih aku tersinggung karena kebaikan hati Kak Giras?"

"Kalau gitu, kamu nggak enakan, aku bayarin makan sama kado itu." Giras merasa lega karena perkiraannya benar. Daisy tidak mungkin tersinggung.

Daisy tersenyum tipis. "Maaf ya, udah bikin Kak Giras kepikiran. Aku kan udah bilang, aku nggak minta kado."

"Tapi kalau dikasih, masa kamu nolak?" Giras berdecak pelan. "Lagian, dulu kamu sering ulangtahun, tapi saya nggak pernah ngasih kado apa-apa. Jadi anggap saja kado yang mau saya beri ke kamu itu sebagai gantinya."

"Nggak usah, Kak. Beneran."

"Gita ngasih kado?"

"Iya."

"Kamu terima?"

Daisy menghela napas. "Dipaksa terima."

"Tapi akhirnya diterima." Kata Giras tandas.

"Ya, gimana nggak diterima? Kak Giras tau, aku paling nggak bisa nolak. Gita sampai mohon-mohon. Aku beneran nggak enak dikasih kado."

Jadi berarti dia masih punya kesempatan memberikan kado yang sempat tertunda itu?

"Aku nggak mau bahas lagi soal kado ya, Kak?" Daisy seakan memberi peringatan. "Kemarin kan aku nggak minta, tapi Kak Giras tetap beli."

Giras belum kehabisan akal.

"Jadi gimana caranya supaya kamu mau terima?"

"Kak, kan aku sudah bilang...,"

"Bisa nggak, diterima aja? Biar hidup saya juga tenang." Giras mulai frustrasi dengan sikap Daisy. Dia tidak tahu, hanya untuk urusan kado, mereka sampai harus debat kusir seperti ini.

"Baik kalau gitu."

"Ya udah. Nanti kalau pulang, kamu terima kadonya, sekalian saya antar pulang."

Daisy mengangguk. "Oke."

Mereka terdiam beberapa saat.

Daisy menyabuni gelas dan piring dalam diam, sementara Giras memerhatikannya dalam hening.

"Ngomong-ngomong soal aplikasi dating itu...kamu udah dapat match?"

***

Penasaran ya, Mas Giras? :D

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro