Fifteenth Planting

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Fifteenth Planting

Sebelum jarum jam menunjukkan pukul satu siang, Giras telah kembali ke apartemen, menenteng sekantung hasil drive thru fastfood berupa paket yang terdiri dari nasi, ayam goreng, dan pelengkap lain, termasuk puding. Pakaiannya juga sudah dititipkan di tempat laundry yang sepertinya akan menjadi langganan tetap karena posisinya berada dekat dengan apartemen.

"Makan yang aman aja ya?" kata Giras sambil meletakkan bawaannya di atas meja. Biar cewek-cewek ini yang menyiapkan untuk mereka.

"Yaah, kirain Nasi Padang." Keluh Gita.

Giras mengangkat alis. Sejak tadi, Gita tidak pernah menyebutkan ingin makan sesuatu secara spesifik. Dikiranya, di aini cenayang yang bisa membaca pikiran orang lain?

"Di dekat sini nggak ada restoran Padang." Balas Giras.

"Ini juga enak kok." Daisy kembali membawa piring-piring sebagai wadah nasi dan ayam goreng.

"Lihat Daisy, nggak pemilih makanan kayak kamu." Giras menuding ke arah Daisy lalu ke Gita.

"Bukannya pemilih, tapi lagi pengen Nasi Padang aja." Gita mengambil satu kotak French fries. Tidak ketinggalan sepotong ayam. "Bukannya nggak bersyukur juga ya." Sebelum perdebatan berlanjut, Gita sudah meredamnya dengan mengatakan kalau ayamnya enak.

"Nah, gitu dong. Nanti kapan-kapan kita makan di restoran Nasi Padang." Kata Giras.

"Boleh-boleh." Gita sudah terlena menyantap sepotong ayam goreng. Giras sengaja membeli sebasket ayam untuk mereka bertiga, untuk dimakan sepuasnya.

Setelah masing-masing menarik kursi dan duduk, makan siang pun dimulai. Obrolan mengalir lancar, topik berpindah, dan kini mereka tengah membahas tentang pekerjaan Daisy. Kesibukannya sekarang, lebih tepatnya.

"Jadi, ada kemungkinan bakal terbit lagi novel baru?" tanya Gita yang sejak tadi nampak serius mendengarkan penjelasan Daisy mengenai proses penerbitan.

"Iya, semoga aja bisa diproses tahun ini."

"Kata lo kemarin, proses terbit bisa makan waktu mulai hitungan bulan sampai tahunan ya?" Sahut Gita lagi.

"Tergantung jumlah antrian di penerbit, sama besar kecilnya penerbit. Kalau penerbit besar, bisa sampai dua tahunan."

Jawaban Daisy tersebut membuat Giras terkejut.

"Serius? Itu nggak kelamaan nunggu? Gimana kalau isi ceritanya udah nggak relevan lagi sama trend yang ada? Tadi kamu bilang, kalau setiap tahun ada saja tema yang sedang booming. Gimana kalau saat terbit beberapa tahun kemudian, isi ceritanya malah jadi terkesan kuno?"

Giras tidak yakin akan istilah seperti itu. Dia hanya berusaha mencari kata yang tepat sebagai pengandaian.

Tapi ternyata tidak sulit bagi Daisy untuk memahami maksudnya.

"Biasanya ada penyesuaian, atau malah dibiarin aja seperti itu. Maksudnya, saat menyeleksi naskah, editor tentunya udah bisa mempertimbangkan naskah, mencari timing penerbitan yang tepat. Biasanya kan ada semacam rapat dulu sebelum naskah naik cetak." Daisy berhenti sejenak untuk meneguk air putih. "Kalau penulis besar sih, udah pasti nggak akan masalah kalau terbitnya lama. Pembaca setia pasti bakal menunggu."

"Kamu sendiri, udah punya pembaca setia?"

Giras melirik Gita yang tengah melirik kepadanya. Mungkin merasa pertanyaan itu terlalu sensitif untuk ditanyakan. Giras mana tahu seberapa popular Daisy di kalangan pembaca.

"Kalau aku, yaaa gitu deh." Daisy tersenyum malu. "Not a famous writer. Jadi yang baca juga pasti dikit. Teman aku di penerbit yang sama, lebih terkenal ketimbang aku."

"Bukannya soal pembaca setia nggak harus selalu bergantung pada popularitas? Kamu mungkin nggak begitu terkenal, tapi bisa saja pembaca setia kamu banyak." Giras meluruskan.

"Bisa juga sih, Kak." Daisy langsung menjawab. "Setiap launching buku baru, yang ikut PO juga lumayan banyak. Hasil penjualan di toko buku juga lumayan bagus."

"PO itu Pre-Order ya?" tanya Gita, sekadar memastikan.

"Iya, Git. Sebelum buku terbit resmi di toko buku, penerbit akan membuka PO, untuk memberi kesempatan bagi peserta PO untuk membaca bukunya lebih cepat sebelum jadwal terbit. Misalnya, bukunya terbit tanggal 1 Agustus, maka PO-nya bisa sebulanan lebih cepat, sekitar dua atau tiga minggu sebelum tanggal itu, peserta PO udah bisa dapetin bukunya."

"Kalau gitu, judul yang baru ini, aku ikutan PO." Gita berujar serius.

Daisy tertawa. "Masih lama kalau mau ikutan PO. Naskahnya aja masih masa editing."

"Nggak apa-apa kok. Yang penting aku ikutan."

Daisy menggeleng-geleng, masih sambil tertawa. "Masih lamaa banget. Beneran."

"Ya nggak apa-apa." Gita lalu menyenggol Giras. "Mas ikutan PO juga kan?"

"Oh, boleh."

"Eits, jangan. Mending kalian nggak usah ikut PO."

"Lho? Kenapa?"

"Aku malu kalau sampai kalian baca."

Giras heran mendengar jawaban Daisy. "Ngapain tulisan kamu di-publish kalau kamu ngelarang kami baca?"

Giras bukan bermaksud mengolok Daisy. Dia benar ingin tahu sebenarnya apa alasan Daisy menulis kemudian mem-publish tulisannya. Karena alasan yang dikatakan Daisy malah jadi terdengar ganjil.

"Nggak ngelarang, tapi...malu. Gimana kalau kalian ngerasa tulisanku aneh?"

Giras semakin tidak mengerti. Bagaimana mungkin Daisy bisa berpikir sejauh itu? Lalu, bagaimana sebenarnya kriteria sebuah tulisan yang dikatakan aneh?

"It doesn't make sense." Kata Giras tiba-tiba.

"Maksudnya?" Daisy bertanya ragu-ragu. Dia menatap Giras dengan sorot mata lemah.

"Kalau kamu merasa memiliki bakat, sebaiknya kamu nggak perlu meragukan kemampuan kamu. Ucapan tadi itu adalah ucapan seseorang yang nggak memiliki kepercayaan diri terhadap apa yang telah dia lakukan. Biarkan orang lain menilai, ketimbang berprasangka buruk dulu." Giras mengangkat bahu. "Mungkin kedengarannya sedikit keras, tapi aku berusaha seperti itu setiap melakukan sesuatu."

Gita menolehnya kini, benar-benar mendengarkan dengan seksama. Tapi tidak ada tanda-tanda jika Gita akan mengajukan protes.

"Ya, aku setuju. Nggak usah khawatir, Day. Gue yakin sama kemampuan lo. Tulisan lo pasti bagus dan sangat layak untuk dibaca. Toh, gue sama Mas Giras juga udah dewasa. Nggak mungkin nge-judge tulisan lo." Gita lalu mengambil lagi sepotong ayam. "Emang ada adegan dewasanya ya?"

"Iih, nggak. Nggak." Jawab Daisy cepat-cepat. "Cuma..., ya namanya juga novel romance kan? Isinya ya gitu-gitu. Banyak ngebahas soal cinta."

Gita tertawa. "Ciee, cieee. Berarti bisa jadi ada pengaruh kehidupan nyata ya?"

"Nggaklah. Enak aja." Daisy terlihat benar-benar malu. Gita menyikutnya pelan, dan Daisy membalasnya.

"Bagus kalau based on real life. Biar emosinya lebih kerasa." Kata Giras saat Gita dan Daisy masih sibuk menyikut satu sama lain.

"Apa Mas Giras punya ide cerita yang bisa dijadiin novel?" tanya Gita.

"Kenapa bukan kisah asmaranya Daisy saja? Kenapa malah jadi Mas sih?" protes Giras. Enak aja si Gita.

Gita melirik Giras dan Daisy secara bergantian. "Atau digabungin aja. Kalau gue sih, nggak ada yang menarik buat dibahas. Kalau kisah Mas Giras kan lumayan seru. Apalagi sama yang baru. Banyakan drama nggak sih?"

Giras hanya berdehem, sebagai isyarat supaya Gita berhenti membahas tentang dirinya. Dia enggan membahas sesuatu yang berkaitan dengan privasinya.

"Iya, iya. Nggak enak buat dibahas? Sepet ya?" Masih sempatnya Gita tertawa. Sial.

***

Satu per satu ayam goreng ludes, hanya menyisakan tulang. Obrolan mereka terasa menyenangkan dan pastinya lumayan seru. Daisy jadi paham bahwa seharusnya dia tidak perlu merasa ragu apalagi mengecilkan bakatnya. Karena baik Gita maupun Giras, telah memberi dukungan yang benar-benar dia butuhkan. Tanpa sadar, dia tersenyum sendiri.

"Day, nggak usah diberesin. Biar Mas Giras aja ntar yang cuci." Tegur Gita ketika Daisy sedang meletakkan tumpukan piring di dekat bak cuci piring.

"Iya, nggak usah. Kalian siap-siap aja, aku antar pulang." Giras muncul sambil menenteng kunci mobil. "Sekalian mau balikin mobil Om Ferry sama ngambil motor."

"Aku udah telepon Papa tadi. Ntar Mas ditransferin uang buat beli mobil." Kata Gita.

"Maksudnya? Kamu ngasih tau Papa?"

"Iyalah, Mas. Daripada minjem mobil Om Ferry mulu. Repot juga kan?"

Giras menghela napas. "Git, kamu tuh ya...," Giras kehilangan kata-kata, mungkin saking kesalnya. "Mas kan udah bilang kalau kamu nggak usah kasih tau Papa."

"Biarin. Kemarin-kemarin juga Papa bilang mau bantu Mas kalau lagi kesulitan. Udah. Besok langsung ke showroom aja, pilih-pilih mobil yang Mas suka. Atau mau Gita temenin?"

Giras kelihatan gemas, ingin marah tapi ditahannya. Daisy tidak bisa menahan senyum.

"Udah, nggak usah marah. Anggap aja hadiah ulangtahun dari Papa." Kata Gita sambil menggandeng Daisy keluar dari dapur. "Buruan. Katanya mau nganter pulang?" Kata Gita kepada Giras.

"Emangnya Mas Giras ulangtahun?" tanya Daisy.

"Nggak. Ultahnya masih lama. Desember."

Astaga, itu kan masih sekitar tiga bulan lagi.

Daisy tertawa mendengar jawaban Gita. Berarti yang tadi itu ngasal aja?

"Dia emang gitu, Day. Nggak mau dibeliin apa-apa. Mentang-mentang udah punya penghasilan sendiri."

"Kan bagus? Itu namanya prinsip. Nggak mau nyusahin orangtua." Daisy merasa sikap Giras fine-fine saja.

"Bedaa. Maksudnya, dia udah nggak mau nerima apapun, termasuk hadiah."

"Hadiahnya mobil, gimana Kak Giras mau terima?" Daisy mengikuti langkah Gita keluar dari apartemen menuju lift.

"Padahal kan dia emang lagi butuh. Nggak mungkin kan kemana-mana dia naik motor doang? Apalagi kerjaannya kadang mesti keluar kota. Kan lebih aman kalau naik mobil ketimbang naik motor?"

"Iya juga sih." Angguk Daisy. "Kalian sering kelihatannya nggak akur, tapi sepertinya kalian dekat banget."

"Banget. Makanya gue agak kesal juga sih, sewaktu Mas Giras bilang mau pindah ke Jakarta."

"Yeee, lo-nya juga sering ngebolang kemana-mana. Tetap aja kalian jarang ketemu."

Gita tertawa. "I Love Surabaya so much. Jadi nggak bisa mikir tempat terbaik untuk hidup selain di Surabaya. Jakarta mungkin lebih fun, tapi gue nggak pernah berharap tinggal di sini."

"Tapi, jalan hidup nggak ada yang tau, Git. Siapa tau aja suatu hari lo tinggal di sini. Misalnya ngikut suami ke sini. Atau lo dapet kerjaan bagus."

"Gue nggak bisa jauh dari orangtua. Sementara papa sama mama udah kerasan tinggal di Surabaya. Ya karena gue emang secinta itu sama kota tempat lahir gue."

Daisy mengangguk serius. "Tapi logat lo lebih cocok di Jakarta, tau nggak? Lo bisa ngomong seperti anak muda Jakarta pada umumnya."

"Soal itu sih rada aneh juga. Kalau ngobrol sama lo, gue bisa lancar ngomong logat Jakarta. Tapi kalau di Surabaya, gue juga bisa ngomong medok dengan natural."

"Mas Giras gitu juga?" tanya Daisy.

"Iya. Sama."

"Wah, keren dong. Kapan-kapan lo ajarin gue Bahasa Jawa."

Gita tersenyum. "Kenapa? Mau nyari cowok Jawa?"

"Nggak juga. Pengen belajar aja." Daisy agak gelagapan menjawabnya. "Nenek moyang gue juga orang Jawa, tau."

"Iya, iya, paham." Gita tertawa geli sendiri.

"Kenapa sih, ketawa sendiri? Ntar dikirain gila lho?" Daisy melangkah lebih dulu keluar dari lift. Tiba-tiba dia teringat sesuatu. "Aduh! Jam tangan gue ketinggalan di apartemen."

"Lo sih, kerajinan nyuci piring mulu, sampai lupa kan?"

Gita lalu merogoh ponsel di saku jins, kemudian menghubungi Giras.

"Nggak dijawab. Jangan-jangan ponselnya nggak dibawa."

Setelah menunggu sekitar beberapa menit, Giras keluar dari lift.

"Mas, aku telepon dari tadi, nggak diangkat."

"Hapenya aku simpen di kamar." Jawab Giras singkat. "Kenapa?"

"Jam tangan Daisy ketinggalan."

"Ya udah. Aku ambilin sekarang."

"Eh, nggak usah. Kapan-kapan aja, Kak. Aku masih punya jam tangan lain." Daisy jadi merasa merepotkan jika Giras harus bolak-balik hanya untuk mengambilkan jam tangannya.

"Nanti gue ambilin kalau besok ke sini." Gita menengahi, lalu meledek Daisy. "Tapi kalau mau datang khusus buat ngambil, gue bisa anter kok. Mas Giras juga nggak keberatan ada yang ngebantuin beres-beres."

***

Sebenarnya ini kependekan, tapi aku khawatir kelamaan nunda ngepost, kalian pada kabur :D

Semoga bisa rajin update ya! 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro