First Attempt

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


First attempt

Daisy memandang nanar pada laptop yang terbuka di hadapannya. Padahal tinggal beberapa bab lagi, tetapi mengapa semangat menulisnya semakin kendor? Dia berusaha untuk menyelesaikan deadline yang tinggal beberapa hari lagi.

Kemarin, Dinda sesama penulis yang bernaung di penerbit yang sama dengannya, mengajaknya bertemu untuk membahas naskah mereka masing-masing. Progress naskah Dinda sedikit lebih baik dari Daisy. Dia bahkan sudah menyelesaikan naskah terbarunya dalam waktu hanya tiga bulan saja, plus sekarang dia sedang membuat outline untuk judul novel yang akan segera digarapnya. Dalam hati, Daisy merasa iri dengan produktivitas Dinda, di tengah kesibukannya bahkan masih sempat meraup cuan di platform kepenulisan. Daisy sempat mengintip akun platform menulis milik Dinda dan terkejut serta terpana menemukan ternyata jumlah pengikutnya lumayan banyak. Sistem koin pada bab-bab terkunci menunjukkan bahwa pembaca baru bisa membaca naskah pada bagian yang terkunci dengan membeli sejumlah koin. Dan vice versa! Hanya tinggal mengunggah naskah kemudian duduk manis menunggu dentingan koin yang nantinya akan dirupiahkan, masuk ke rekeningnya.

"Kamu memangnya masih ada waktu istirahat? Nulis berjam-jam sehari, mana kamu juga kerja kantoran kan?" tanya Daisy penasaran.

"Itulah pentingnya manajemen waktu, Day. Meskipun sibuk di dunia nyata, tinggal pinter-pinternya kita aja memanfaatkan waktu yang ada," ucap Dinda dengan bersemangat. Dinda mengatakan hasil sebulan dari menulis di platform ia gunakan membeli tas Coach plus dua pasang sepatu yang harganya jutaan sepasang. Sisanya disimpan, entah mau dibelikan apa lagi. Kehidupan penulis jalur platform memang sedang makmur-makmurnya.

Entah sejak kapan trend ini bermula, Daisy tidak tahu. Karena selama ini, dia termasuk penulis yang setia hanya menulis untuk penerbit. Dia juga tidak mengenal penerbitan jalur mandiri karena selama ini dia bermain aman dengan istiqomah di jalur mayor. Hasil royalti sebagai penulis best seller di penerbit mayor memang lumayan besar. Tapi, kalau penulisnya sekelas Dee atau Tere Liye yang basis pembacanya besar. Okelah dia termasuk jajaran best seller, tapi angka penjualannya masih kalah dengan penulis lain. Apalagi sekarang, makin banyak penulis platform yang menulis buku di penerbit mayor. Angka penjualan mereka juga terbilang fantastis. Sampai puluhan ribu eksemplar dalam waktu singkat. Sementara angka penjualan novelnya per satu judul, paling mentok di angka sepuluh ribu. Itu pun butuh setahun untuk memproses satu judul hingga naik cetak. Penyebabnya karena Daisy memang kurang produktif. Kecepatan menulisnya masih sepenuhnya tergantung kepada mood dan deadline. Berbekal prinsip, biar lambat asal selamat.

"Gini aja. Kamu coba aja dulu buat akun. Habis itu, coba unggah cerita. Satu aja dulu, nggak perlu banyak-banyak. Setelah itu, kamu bisa lanjut nulis sambil promo." Tanpa pelit, Dinda memberi keterangan. "Atau kalau kamu tertarik, kamu bisa menulis di Lisnulis. Tapi syaratnya harus lewat kurasi editor dulu sebelum jadi cerita premium. Cerita premium itu, ya cerita yang berbayar dan dibuka pake koin-koin gitu. Eh nggak ding. Yang Lisnulis itu bukanya pake kerang. Tapi sama aja sih, ujung-ujungnya kan jadi duit juga."

"Aku nggak ada stok cerita, Din." Daisy menjawab singkat. Ya mau gimana lagi? Modal seorang penulis kan hanya cerita?

"Naskah lama?"

Daisy mengingat-ingat. "Ada sih. Tapi cerita remaja. Based on true story gitu. Jangan deh. Ntar malah jadi aib." Daisy lalu tertawa. Tulisannya di masa lalu juga sangat jauh dari kata sempurna. Mungkin jika dia menyodorkan naskah lama itu kepada editornya sekarang, Mbak Reski, naskah itu akan langsung dikembalikan tanpa review. Dia sudah paham standar tinggi sang editor yang termasuk editor senior di Dream Books.

"Ya nggak pa-pa. Cerita kalau udah diketik menjadi tulisan, semestinya menjadi hasil karya yang bisa dinikmati orang lain. Jangan disimpan sendiri."

"Tapi kalo kualitasnya di bawah rata-rata, yang ada malah bikin malu." Daisy memiliki alasan sendiri mengapa sampai saat ini dia tidak pernah mempublikasikan tulisan yang sedang mereka bahas. Masa SMP hingga awal SMA adalah masa-masa tersuram di dalam hidupnya. Isi novel itu lebih banyak bercerita tentang tindakan bullying yang diterimanya saat masih bersekolah. Meski kehidupannya mulai berubah semenjak kedatangan teman baru yang hingga kini lenyap entah ke mana.

"Kan bisa dirombak, Day."

"Nggak ah," tolak Daisy. Dia merasa tidak punya cukup waktu untuk merombak cerita lain sementara di depan mata sudah ada deadline yang menanti.

"Ya udah. Kabarin aja kalau kamu tertarik menulis di Lisnulis. Nanti aja kita bahas lagi, soalnya aku masih punya beberapa platform yang menunggu untuk dijajal."

Daisy tersenyum. Mungkin karena kebiasaan shopping, Dinda merasa perlu lebih giat mencari penghasilan tambahan. Dengar-dengar, dia juga sedang membangun rumah dan menyicil mobil. Makanya Dinda bekerja seperti tidak kenal lelah. Katanya, inspirasi bisa datang dengan cepat ketika tagihan berdatangan.

Benar juga sih?

"Oke, nanti ya."

"Tapi janji ya bakal ikutan? Nyesal lho kalo nggak. Ini kesempatan emas. Apalagi nama kamu udah cukup dikenal. Bisa jadi jaminan mutu. Yakin deh, pembaca kamu akan ngikut ke platform."

"Iya, diusahain deh pokoknya. Yang penting, aku selesain dulu naskah yang udah deadline."

Dinda mengerutkan kening. "Untung aja sih, aku nggak kebagian editor semacam Mbak Reski yang super perfeksionis. Tapi memang sih, penulis yang dipegang Mbak Reski tuh andalan penerbit Dream Books. Kamu beruntung bisa dapat bimbingan dari editor senior. Pengalaman nggak akan bisa berbohong."

Kata-kata Dinda memang benar. Daisy sudah merasakan manfaat dari bimbingan Mbak Reski. Meski jadinya naskahnya bisa lama terbit. Tapi ketika telah terbit, hasilnya sangat memuaskan. Jangan harap ada kesalahan mayor seperti plot hole, inkonsistensi hingga skala minor seperti typo. Semua dibabat habis oleh Mbak Reski selama proses penerbitan. Daisy jadi terlatih untuk tidak asal mengandalkan semangat yang menggebu-gebu, tetapi lebih pintar memanfaatkan hal teknis sehingga tulisannya bisa jadi tulisan berkualitas.

Daisy teringat kata-kata Mbak Reski.

"Kadang orang menganggap naskah fiksi itu naskah sampah. Apalagi kalau berlabel populer entah itu Metropop atau lini lainnya. Sekarang sudah menjadi tugas editor untuk membantu mengarahkan penulis untuk menghasilkan karya yang berkelas. Tidak peduli itu hanya fiksi populer yang katanya hanya memenuhi rak-rak toko buku tapi nggak berfaedah sama sekali. Buktikan kalau omongan itu salah."

Pembuktian bukan hal mudah. Butuh effort yang besar untuk membuktikan kepada orang lain tentang kemampuan diri sendiri. Masalah yang timbul adalah seseorang merasa belum memiliki kemampuan untuk membuktikan kepada orang lain. Selama bertahun-tahun, Daisy hidup di dalam rasa pesimis yang dalam.

"Penampilan fisik seseorang memang penting banget ya?" cetus Daisy.

"Iya." Dinda sibuk mengunyah kentang goreng. "Penampilan menunjukkan seberapa profesional seseorang."

Masalah yang bertahun-tahun melanda Daisy, terpecahkan dengan kehadiran teman baru bernama Gita yang kemudian menjadi teman sebangku di SMA. Daisy teringat Gita yang kini entah berada di mana. Daisy lost contact ketika ponselnya rusak dan data-data di dalamnya termasuk nomor-nomor telepon ikut lenyap. Pada masa itu, Daisy belum mengenal media sosial sehingga sulit menjangkau keberadaan Gita.

"Waktu SMA penampilan kamu bagaimana?" tanya Dinda.

"Biasa aja. Ya namanya anak kuper, gimana?"

"Hmm, pasti sering jadi bahan ledekan, iya kan?" tanya Dinda lagi. "Kadang anak-anak bisa jadi kejam lho? Maksudku gini, kalau masih ngandelin harta orang tua, seharusnya nggak usah belagu ya nggak? Sok jadi penguasa. Biar apa? Biar kelihatan keren. Hih. "

"Iya, bener banget." Daisy mengiyakan. "Mereka bisa jadi orang paling jahat, tapi masih menganggap tindakannya itu hanya sebatas bercanda saja." Mau tidak mau, lamunan Daisy semakin mengembara ke masa lalu.

Entah mengapa akhir-akhir ini, dia merindukan masa lalunya.

Bersama Gita.

Dan juga Giras.

****

Gimana kesan kalian setelah membaca bagian pertama? Apakah sudah ada bayangan ceritanya akan jadi seperti apa? Penasaran sama karakter utama cowoknya?

Untuk memberi sedikit pegangan mengenai karakter tokoh utama LSD, aku gambarin dikit di sini.

Main characters 

Daisy Atmariani 

Sifat : Frigid, tertutup, agak judes, pecinta kedamaian. 

Pekerjaan : Penulis

Luhung Giras Wiyarta  

Sifat : Player, baik hati, usil.

Pekerjaan : Application Developer

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro