Fourth Attempt

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

VOTE DAN COMMENT, nggak make target, tapi dimohon ikut meramaikan. Biar aku semangat ngelanjutinnya. Udah mayan segini ya? :D

Happy Reading!


Fourth Attempt


Jika seseorang yang pernah kamu temui di masa lalu bersikap sedikit cuek, barangkali sikap itu hanya efek dari kecanggungan. Jangan khawatir. Bersikap biasa saja akan jauh lebih baik. Setiap komunikasi selalu butuh adaptasi

Just take your time. Okay?

Fokus. Fokus.

Daisy tengah menghibur diri. Pikirnya, sayang saja makanan seenak ini sampai diabaikan karena sibuk memikirkan perasaannya sendiri. Perasaan ganjil yang tidak seharusnya ada.

Makanya dia berusaha tidak memikirkan sikap Giras selama acara berlangsung. Lebih baik fokus makan sampai kenyang. Mereka bisa mengobrol kapan-kapan.

Sebenarnya, Giras tidak cuek-cuek amat. Barangkali sikapnya yang terlihat cuek hanya karena dia harus membagi waktu bersama orang lain yang juga berada di sana. Lagipula, Giras tidak mungkin bersikap sok akrab, mengingat sejak dulu, hubungan mereka direkatkan oleh Gita.

Kan jadinya aneh kalau tiba-tiba saja mereka jadi akrab.

Dengan kata lain, mereka hanya dekat di saat ada Gita. Ketika sahabatnya itu tidak berada bersama mereka, bisa dipastikan Daisy akan memilih banyak diam karena tidak tahu apa yang bisa diobrolkan biar terkesan nyambung. Terlepas dari perasaan terpendam yang dia miliki, Daisy memang bukan tipe perempuan yang mampu memulai percakapan dengan mudah. Saat bersama Giras, dia hanya tersenyum menanggapi lelucon yang dibuat laki-laki itu sambil berusaha bersikap sewajar mungkin dan bicara seminimal mungkin. Toh, mereka sama-sama menganggap satu sama lain hanya teman.

Hanya teman.

Kenapa harus berpikir macam-macam?

Tapi, teori selalu mudah untuk dipikirkan, sementara prakteknya sulit bukan main.

Andai dia bisa menghadapi Giras dengan lebih berani lagi, tentu situasi yang ada akan terasa lebih baik bagi Daisy. Debaran jantungnya bisa lebih stabil, bukannya bertalu bak genderang mau perang.

Ah, seperti lagu saja.

Heran, padahal mereka baru saja bertemu setelah enam tahun. Namun rasa-rasanya, Daisy sudah ingin berteriak di depan Giras.

Hei! Ngapain datang lagi kalau cuma bikin orang lain jadi pusing!

Au ah! Gelap!

Belum tentu juga Giras masih jomlo. Kan gawat kalau dia naksir pacar atau tunangan orang?

Daisy membuang napas panjang lagi.

Kalau kekhawatirannya sampai terjadi, maka dia akan mencari cara untuk melarikan pikirannya. Dia bisa menghubungi Ardi, mantan pacarnya yang kini jadi teman baik, karena mereka sama-sama menyadari hubungan mereka akan lebih baik sebagai teman saja. Daisy tidak menemukan apa yang orang katakan sebagai chemistry dari hubungan selama 6 bulan tersebut. Dan memang benar kalau perasaan tidak bisa dipaksa. Ardi menyukainya, dan mungkin masih melihat peluang dari hubungan mereka.

Oke, sebenarnya Ardi terang-terangan masih menaruh perasaan. Daisy saja yang tidak mau memberikan kesempatan.

Jadi seperti itulah. Ardi adalah pacar ketiga yang Daisy putuskan. Dua hubungan sebelumnya juga berakhir baik-baik saja. Daisy boleh mengatakan kalau hubungan pacaran selama tiga tahun terakhir ini dengan tiga cowok berbeda, bukan hubungan yang dia inginkan. Dia hanya butuh pelarian. Dia butuh status. Jadi ketika mama bertanya soal hubungan percintaan, dia bisa menjawab tanpa berpikir terlalu panjang. Dia tidak mau membuat mama khawatir, kalau-kalau Daisy tidak berjuang mencari pacar, karena tidak ada tanda-tanda jika dia ingin melangkah serius ke jenjang pernikahan ketika umurnya telah menginjak angka 27 tahun.

27 tahun sih belum tua-tua amat. Masa menopause juga masih lama. Kandungannya tidak akan expire sampai dia menemukan jodoh yang tepat. Paling tidak, Daisy masih punya tiga tahun lagi untuk menikmati kesendirian.

Mungkin kisah hidupnya ini bisa dibuatkan tulisan berjudul Jomlo, siapa takut?

Oke, mungkin judulnya bisa dibuat keren dikit. Sekarang, para penulis lebih suka menggunakan judul berbahasa Inggris. Entah untuk alasan apa. Biar terdengar keren, lebih menjual, atau karena judul dalam Bahasa Indonesia tidak cukup bervariasi.

"Daisy, tolong saus botolan." Suara mama, menyentakkan Daisy dari lamunan. Daisy menoleh kiri kanan sebelum menemukan botol saus tomat. Wajah mama dihiasi pertanyaan. Mama pasti memerhatikan kesibukannya sejak tadi. Orangtua yang baik akan selalu memahami anaknya dalam situasi apapun, hanya dengan melihat gerak-geriknya.

"Kamu kenapa, Day?" tanya mama. Aroma sup kimlo panas menguar. Mama menuangkan saus tomat di wadah kecil kemudian mengambil mencampurkan kecap dan sambal botolan. Di piring lain, sepotong paha ayam goreng ditusuk dengan garpu untuk membantu menyuwir daging ayam yang tampak juicy.

"Nggak kok, Ma."

Mama sudah menduga jawaban Daisy, karena mama menggeleng tidak percaya.

"Sejak tadi, kamu ngelamun. Kenapa nggak ngajak Giras ngobrol?" tanya mama lagi.

"Mas Giras sibuk sama yang lain." Daisy menuding Giras yang duduk bersebelahan dengan nenek Ami. Daisy tidak mungkin cemburu karena Nenek Ami bisa mengobrol senyaman itu sementara dia malah tidak berani.

Daisy jadi kesal pada dirinya sendiri.

"Oh, gitu. Berarti Nenek lebih supel daripada kamu." Mama meledek sambil tersenyum lebar. Puas banget sepertinya.

"Mama, ih. Masa aku dibandingkan sama Nenek? Ya wajarlah mereka ngobrol akrab begitu. Itu tandanya Mas Giras menghargai Nenek."

Mama mengusap lengan Daisy. "Kamu sabar ya? Dia jadi lebih merhatiin Nenek kamu."

"Mama!" geram Daisy pelan. Kok malah mama yang jadi bersikap lebih menyebalkan sih?

Mama malah tertawa.

"Kamu jadi serba salah gitu di depan Giras."

Astaga mama. Kok bisa tahu?

Apa jangan-jangan, Giras juga bisa membaca gerak-geriknya?

"Mama ngomong apa sih?" Daisy melirik mama yang di sela-sela ledekan, masih tetap menyantap sup dengan nikmat. Daisy mengambil potongan besar suwiran ayam dari piring di depan mama, menggunakan garpu kemudian mencocolkan ke sambal racikan mama.

"Eh, malah ngambil punya Mama," protes mama.

"Jangan pelit sama anak sendiri, Maa."

Daisy sedikit lebih rileks karena obrolan singkat bersama mama.

Dia tidak tahu bahwa kehadiran mama bisa sedikit membantu memperbaiki suasana hati.

Suasana makan siang bersama berjalan cukup hangat dan meriah. Ada delapan orang yang duduk mengelilingi meja panjang berisi aneka jenis makanan dan minuman dengan kualitas rasa yang tidak perlu diragukan lagi. Semua hasil olahan tangan Tante Elis dibantu mama dan Daisy sendiri. Lily kebagian bersih-bersih serta membantu menyiapkan meja makan.

Hanya sebuah acara makan siang biasa, tetapi persiapan makanan ternyata lumayan banyak. Kata Tante Elis, mereka tidak perlu khawatir makanan yang mereka masak akan berlebihan. Katanya juga, sengaja memasak agak banyak. Mereka bisa berbagi ke panti Kasih Terang, panti jompo yang dikelola sebuah yayasan keluarga konglomerat. Berada tidak jauh dari kompleks perumahan. Daisy pernah ke sana beberapa kali, sekadar menemani nenek Ami untuk melihat-lihat, sampai keseringan karena Nenek Ami begitu antusias bertemu teman-teman seusianya.

Omong-omong soal panti jompo itu, Nenek Ami sempat meminta untuk tinggal di sana. Tapi, papa sebagai anak bungsunya menolak keinginan itu. Papa merasa masih sangat mampu merawat Nenek di rumah. Apalagi Daisy dan Lily tidak keberatan merawat nenek. Mama pun mengakui masih mampu meluangkan waktu menemani sang mertua, ketika tidak sedang sibuk mengerjakan pekerjaan rumah.

"Nenek ikut ke sana ya kalau mau bawain makanan?" Nenek Ami mendengar ide tersebut.

"Iya, Nek. Boleh banget," jawab Lily.

"Nenek senang ya ketemu temen gaulnya?" Giras ikut nimbrung, selepas makan siang.

"Iya. Nenek senang bisa ketemu teman-teman seumuran. Rame."

Suasana rumah memang acapkali sepi ketika sebagian anggota keluarga sedang tidak berada di rumah. Jadwal kuliah Lily tidak setiap hari, tapi kalau sedang sibuk, dia bisa seharian di luar rumah.

Daisy lebih sering berada di rumah untuk menyelesaikan tulisan. Kalau sedang butuh refreshing mencari ide-ide untuk naskahnya, Daisy baru menyempatkan diri keluar rumah. Pilihannya hanya dua, kafe dan toko bakery milik Tante Elis. Di sana, dia bisa menemukan inspirasi, tergantung jika mood-nya sedang baik. Kadang, Daisy mendapati dirinya telah menandaskan makanan dan minuman tetapi hasil yang didapatkan tidak sesuai harapan. Mau bagaimana lagi? Pekerjaan menulis bukan pekerjaan seperti pegawai kantoran yang sudah diatur sedemikian rupa. Untuk penulis senior, mungkin sudah mampu me-manage mood dengan baik. Nah kalau seperti dirinya, jelas sudah bisa ditebak. Angin-anginan.

***

"Dek."

Giras mendapat kesempatan mengobrol bersama Daisy ketika cewek berambut pendek sebahu itu sudah selesai bersih-bersih meja makan. Meja makan panjang bertaplak motif kotak hitam dan putih yang sengaja disimpan di halaman samping yang teduh, mengesankan suasana santai dan menyenangkan.

"Ngapain panggil Dek?" Daisy urung meninggalkan halaman, menyusul orang-orang masuk ke dalam rumahnya. Suara tawa terdengar dari arah ruang tamu.

"Dulu kan kamu dipanggil Dek?"

"Itu kan dulu?"

Dulu, Giras memberikan nama panggilan Dede dan kerap menyingkat menjadi Dek. Semua bermula dari seorang tetangga jauh yang masih satu kompleks bernama Mas Bambang yang naksir Daisy. Mas Bambang berprofesi sebagai guru SD. Umurnya terpaut delapan tahun,berdasarkan hasil wawancara. Lucu, karena si Mas naksir Daisy justru sejak sebelum Daisy bertransformasi menjadi lebih modis. Definisi cinta tidak mengenal fisik, itu ternyata real. Menurut si Mas, sebenarnya Daisy itu cantik dan manis, tapi karena pemalu dan kurang percaya diri, jadi katanya, kecantikan tersebut jadi tersembunyi. Dan hanya orang-orang tertentu yang bisa melihatnya.

Dan Giras sudah nyaris guling-guling tertawa karena gombalan kuno seperti itu.

"Masih ingat Mas-Mas yang naksir kamu dulu itu? Sampe sering dibawain martabak?"

Daisy mengatupkan mulut rapat-rapat, tapi matanya sudah melotot maksimal. Lalu tanpa aba-aba, Daisy mengambil lap kering yang tadi dipakai mengelap meja, kemudian melemparnya. Tapi tentu saja meleset.

"Awas ya kalau diledek lagi." Daisy menunduk untuk memungut kain lap yang sudah jatuh di atas rumput.

"Jadi Mas Bambang di mana sekarang?"

"Kak Giras arrgh!"

Sapaannya kini berubah menjadi Kak. Apa biar matching ya?

"Aku nggak dipanggil Mas lagi?"

"Hih, ngapain?"

"Yaah, kan biar mesra gitu?"

Daisy melotot ke arahnya. "Masih mau jailin? Kalau iya, aku pulang nih!"

Wajah gadis itu sudah memerah entah karena marah atas keusilannya atau karena kesal.

"Apa nggak pernah ada lagi orang yang ngeledekin kamu?" tanya Giras, serius ingin tahu. Setelah sekian lama tidak bertemu, tentu saja banyak hal yang dia lewatkan dari Daisy.

"Kenapa Kak Giras harus nanyain soal itu?"

"Nah, kan. Berarti nggak ada." Giras menebaknya sendiri. Ekspresi Daisy yang masih kesal jelas berarti jawaban iya. "Udah punya mantan pacar berapa, Dek?"

Daisy terlihat menahan geramannya. "Tiga."

"Wow." Giras langsung berdecak kagum. "Berarti sekarang lagi jomlo?"

"Apaan sih, nanya-nanya? Kepo banget." Daisy mengerutkan kening.

"Kenapa jadi gengsi gitu buat jawab?"

"Karena aku nggak suka ditanyain soal itu!" Daisy sudah sedemikian dongkol hingga memilih memutuskan obrolan mereka.

Cukup cepat langkah gadis itu menuntaskan pekerjaannya sebelum masuk ke dalam rumah.

***

Mereka hanya beda usia setahun, tapi sikap Giras sangat menyebalkan. Memanggilnya Dek?

Daisy tidak suka dengan panggilan itu, karena mengingatkannya pada Mas Bambang. Norak banget kelakuannya, sampai-sampai Daisy jadi muak dan alergi. Daisy berusaha melupakan hal itu, tapi sekarang malah Giras mengingatkan.

"Daisy kenapa buru-buru mau pamit?" tanya Tante Elis. Bersama Mama, Tante Elis sedang berada di dapur, meletakkan potongan-potongan lapis legit di atas piring.

"Hm, ini Tan. Mau ngecek hape dulu. Siapa tau ada telepon atau WA yang penting."

"Kan bisa ngeceknya nanti-nanti, Day?" ujar Mama, menolehnya dengan tatapan penuh tanya. Mama selalu bisa menebak suasana hati Daisy hanya dari raut wajahnya.

"Nanti balik ke sini lagi kok, Ma." Daisy beralasan seperti itu supaya dia bisa cepat-cepat pamit. Bisa tambah pusing kalau berada di sana, apalagi melihat keberadaan Giras.

"Ya udah kalau gitu." Mama kembali mengobrol bersama Tante Elis. Mereka bisa jadi teman bergosip yang seru, walau obrolannya hanya seputar bahan-bahan kue. Baking powder dan sejenisnya.

Daisy ingin segera lepas dari pantauan mata Giras yang lama-lama bikin makin uring-uringan.

***

Maaf banget baru sempat ngepost lagi. Fifth Attempt baru akan ditulis. Aku usahain jeda post antara part satu dengan yang lain, nggak gitu lama. 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro