Ninth Attempt

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Ninth Attempt

Fandi : Paling lambat jam 8 ya. Kita mau meeting dulu.

Giras : Jam 8 malam?

Fandi : Gpp. Sponsornya kan nenek buyut lo

Giras tergelak kemudian mengetikkan kata Ok Siap Bos sebelum Fandi melayangkan protes. Padahal Fandi juga tahu, dia tidak mungkin muncul di kantor di malam hari. Udah gila kali! Belum mulai kerja sudah harus lembur!

Dengan lincah, jemari Giras menggulirkan foto-foto yang dikirimkan Fandi kepadanya. Sewaktu meninjau kantor baru, Fandi memotret setiap sudut gedung kantor sebagai bahan dokumentasi. Sekalian pamer hasil foto kamera baru seharga 100 juta lebih. Hasil gambarnya bening, tajam, dan estetik. Kualitas kamera mahal memang tidak bisa bohong.

Mampu membeli sebuah kantor yang lumayan luas untuk perusahaan start-up pemula seperti Databest adalah anugerah. Berukuran 25 meter persegi, di tempat yang cukup strategis pula. Penataan ruangan memberikan kesan nyaman. Dengan harapan, atmosfer kerja yang baik, akan berdampak positif meningkatkan produktivitas kerja.

Fandi, CEO Databest memang tidak ragu menggelontorkan dana ratusan juta rupiah untuk gedung kantor yang baru. Harapannya, investasi sebesar ini bisa balik modal dengan cepat. Untuk itu, Fandi mempercayakan kepada Giras dan team, untuk melakukan inovasi demi inovasi, menciptakan aplikasi-aplikasi baru yang mampu mendatangkan banyak pengguna.

Databest merupakan start-up pengembang aplikasi berbasis mobile, Android, dan iOS. Tiga tahun merintis dari nol, perusahaan rintisan tersebut mampu meraup keuntungan milyaran, berkat aplikasi game. Tahun ini, mereka telah berencana membuat aplikasi lain selain game. Salah satu pilihannya adalah aplikasi online shop. Di tengah meningkatnya kebutuhan masyarakat terhadap belanja online, memicu banyaknya permintaan pembuatan aplikasi. Sebuah peluang bisnis yang menjanjikan.

Sebagai pengembang aplikasi, Giras bertugas membuat dan menguji aplikasi yang didesain khusus untuk perangkat electronic computing. App developer memiliki peluang kerja yang sangat luas. Hampir semua perusahaan seperti bank, lembaga pemerintahan hingga organisasi membutuhkan jasa application developer. Giras memilih bekerja di Databest karena Fandi adalah teman yang memiliki visi yang sama, yaitu untuk membangun perusahaan start-up. Giras bisa saja bekerja di perusahaan keluarga, tetapi Giras memilih memulai dari level bawah. Dengan bekerja di start-up, dia bisa lebih leluasa mengembangkan ide-ide di kepalanya, tanpa dibatasi pekerjaan di balik meja direksi. Databest memberi kebebasan baginya merancang aplikasi yang tentu saja disesuaikan dengan permintaan konsumen.

Papa pernah "agak" menentang keputusan Giras bekerja di luar perusahaan, karena beliau sendiri sudah memiliki proyeksi mengenai masa depan Giras. Tapi, bukan berarti papa menentang keputusan Giras untuk memiliki karir sesuai keinginan sendiri. Mereka hanya sedikit berdebat, sampai akhirnya papa pun "pasrah" dan mencoba memberi dukungan. Yang penting Giras bisa bertanggung jawab terhadap pekerjaan dan kalau bisa menjadi app developer sukses. Sebagai kompensasi, Giras berjanji akan membantu bagian IT di kantor papa, tanpa dibayar. Negosiasi itu juga yang membuat papa luluh. Papa hanya berharap siapa tahu, Giras berubah pikiran suatu saat nanti dan akhirnya mau fokus bekerja di perusahaan.

Giras merapikan kemeja putih yang dikenakan.

Salah satu keuntungan bekerja di Databest selain jadwal kerja yang fleksibel (ya, walaupun kalau dipikir-pikir, jam kerjanya ketika sedang ada proyek juga bisa lebih lama daripada jumlah jam karyawan kantoran, tapi tidak rutin mesti nongol dan pulang pake teng jam), adalah aturan berpakaian yang juga fleksibel. Hanya mengenakan kaos oblong dan jeans pun bisa. Tapi, Giras juga mesti sadar diri. Jabatannya sebagai TL, juga mesti memasang wibawa. Tidak perlu pakai dasi. Pakai kemeja dan celana panjang yang diseterika rapi, plus sepatu pun, sudah cukup.

Setelah menyemprotkan Tom Ford, Giras turun ke lantai bawah untuk sarapan. Tante Elis sudah repot menyiapkan English Breakfast berisi omelet, sosis, kentang, yang semuanya dimasak dengan butter. Selalu ada sepiring kue sebagai pendamping. Kali ini, piring khusus kue sudah terisi Lapis Surabaya, kue berlapis warna putih dan coklat. Segelas jus dan air putih diletakkan di depan piring berisi sarapan. Giras segera duduk, meneguk sedikit air putih, setelah menyapa Om Irwan yang sudah duduk lebih dulu. Tante Elis masih sibuk beres-beres. Katanya, makan duluan saja.

"Sudah mulai kerja ya, Ras?" tanya Om Irwan yang tengah memotong omelet dengan garpu.

"Baru opening dulu, Om. Mungkin dua hari lagi baru mulai kerja. Dua harian ini, diisi dengan acara liputan media. Promosi dulu, Om."

"Oh, gitu. Om nggak begitu ngerti sama lingkup kerjaan kamu. Tapi, yang bikin-bikin aplikasi di hape, gitu kan?"

Giras mengangguk. Pekerjaan sebagai direksi lebih mudah dijelaskan ketimbang dunia kerjanya yang terisi bahasa pemograman. Om Irwan bisa makin bingung kalau Giras menjelaskan mengenai software, prototype, bug apalagi coding.

"Aplikasi mobile, Om. Jadi nanti klien ngasih gambaran mau aplikasi seperti apa. Kita buat desainnya. Sisanya pemeliharaan dan update. Bisa dipasang di Android, iOS, tablet."

Om Irwan mengangguk, entah paham atau malah jadi bingung.

Tante Elis kemudian duduk di kursi samping Om Irwan. "Beda Android sama iOS apa ya?"

"Beda program, Tante."

"Kamu kan pernah bilang, kalau hape itu ada hape jenis Android ada iOS. Itu gimana bedainnya?"

"Kalau iPhone pake iOS, Tan. Kalau Samsung, Vivo, dan merek lain selain iPhone, pakai Android. Jadi Android dan iOS itu adalah system operasi. Sama aja kalau kita pake laptop. Macbook pake SO iOS, Acer atau Asus pakai SO Windows."

Tante Elis menghela napas pendek seperti menahannya di tenggorokan kemudian membuangnya.

"Baru dengar penjelasan gitu aja, Tante udah pusing."

"Sama, Om juga."

Mereka lalu tertawa bersama-sama, sementara Giras hanya senyum-senyum saja. Reaksi mereka sama dengan papa dan mama. Papa bahkan sudah minta ampun, kalau Giras mulai bercerita teknis pekerjaannya. Kata Papa, mendingan ngomongin soal saham daripada coding. Mama apalagi. Fokus mama saat ini hanya menikmati hidup sambil mengerjakan hobi seperti berkebun dan menanam tanaman hias. Mama bersemangat ketika Giras bertanya mengenai Alocasia atau Anthurium. Lebih girang lagi, kalau Giras membelikan satu pot berisi tanaman yang diidamkan mama tapi belum kesampaian untuk dibeli.

"Ya udah. Yang penting kamu bisa sehat-sehat dan menikmati pekerjaan kamu."

"Makasih, Om." Giras merasakan energi positif setiapkali seseorang mengucapkan kalimat itu. Dia bersyukur diberi kesehatan dan pekerjaan yang dia sukai.

"Kalau kerja jangan terlalu capek, Ras. Jangan keseringan begadang ya?" Tante Elis mengingatkan. Giras yakin, beliau mengetahui kebiasaannya itu dari cerita mama, sebelum dia ke Jakarta. Makanya sejak Giras tinggal di sana, Tante Elis tidak henti mengingatkan soal yang sama.

"Udah kebiasaan sejak lama, Tan. Mau dibawa tidur sambil ngitung kambing juga nggak bisa."

Tante Elis tertawa mendengar jawaban Giras.

"Kamu jaga makanan aja kalau gitu. Tante selalu setok kue, buah, sama susu di kulkas. Sereal juga ada. Kamu tinggal pilih mau yang mana."

"Suka repot gitu, Tante. Padahal aku numpang gratis di sini. Nanti aku bayar listrik aja, Tan."

"Hush! Ini kan rumah kamu sendiri, Ras." Tante Elis cemberut. "Jangan cepat-cepat pindah dulu ke apartemen. Jarak ke kantor kamu juga nggak gitu jauh kan? Nggak nyampe sejam?"

"Nanti kalau ada proyek, bakal sibuk banget, Tan. Keburu Subuh baru sampe rumah. Makanya, aku mau nyari apartemen yang dekat dengan kantor. Tapi janji setiap Minggu, pasti aku ke sini."

Raut muka Om Irwan dan Tante Elis, berubah sendu.

"Padahal Tante ngira, kamu mau tinggal seterusnya di sini."

Giras mengusap tengkuknya. Tuh jadi salah ngomong? Dia memang belum deal dengan apartemen yang diincarnya. Jangankan deal, lihat-lihat saja belum. Dia hanya ingin menjaga perasaan Om Irwan dan Tante Elis. Tapi sekarang tidak ada bedanya. Sepagi ini, dia malah membuat mereka muram.

"Nanti aku cari apartemen 2 BR biar Tante sama Om bisa tinggal juga di sana."

Om Irwan merasa itu ide di luar rencana.

"Itu namanya nyusahin kamu, Ras. Kamu beli apartemen kan untuk dinikmati bersama keluarga kamu."

"Lah? Tante sama Om kan keluargaku juga?"

"Istri sama anak. Siapa tau kamu dapet jodohnya di sini." Tante Elis berhenti untuk meneguk teh chamomile. "Atau kamu ada bojo di Surabaya?"

Giras ragu menjawab. Akan jadi sesuatu yang mengherankan kalau dia mengaku belum punya pacar, atau tidak sedang punya pacar.

Kemungkinan mama tidak pernah membahasnya dengan Tante Elis.

"Mama nggak bilang soal itu ke Tante?"

"Mama kamu hanya bilang, nggak tau kamu maunya yang mana. Kamu memang suka gonta-ganti pacar?"

"Pasti mama bilang aku suka gitu. Ya kan, Tan?"

"Hanya tersirat. Tapi wajar aja. Orang ganteng dan punya kerjaan bagus, pasti banyak yang ngincer to?" Mendadak logat Surabaya Tante Elis keluar.

"Nggak juga, Tan. Makasih dibilang ganteng." Giras tertawa kecil. Ada kebanggaan mendengar pujian itu dari orang lain. Tapi bukan dari laki-laki. Dia masih normal.

Sepanjang sarapan, obrolan terus berlanjut. Rasanya menyenangkan menikmati sarapan sambil mengobrol sebelum menyibukkan diri sepanjang hari. Giras mengatakan akan pulang sore.

Sambil menyalakan mesin mobil, pandangan Giras terarah ke rumah sebelah. Dia menghabiskan waktu bermenit-menit, menunggu siapa tahu bayangan Daisy terlihat di sana.

Apa yang dikerjakan seorang penulis di pagi hari? Melanjutkan dunia khayal dalam tulisan atau malah melanjutkan dunia khayal dalam tidur?

***

Hari itu, Daisy tidak punya agenda ke kantor penerbit, karena hari yang diinginkan Mbak Reski adalah hari Selasa. Bukan hari Senin. Dia tidak akan mendahului jadwal di mana dia harus sudah menyetorkan naskah. Daisy akan menggunakan sehari itu untuk membenahi naskah. Titik krusial di ending sudah berhasil diselesaikan, meski hasil akhirnya hanya Tuhan yang tahu. Targetnya kan mengirimkan revisian, bukan revisi akhir. Editornya yang sangat perfeksionis tidak pernah melakukan sekali atau dua kali revisi. Sudah tiga judul, dan rata-rata melalui empat sampai lima kali revisi. Dia sudah terbiasa dengan pola seperti itu, makanya dia tidak menaruh ekspektasi kali ini. Daisy malah bersyukur bisa bekerjasama bertahun-tahun dengan penerbit sebesar DreamBooks, sementara ada begitu banyak penulis di luar sana yang memiliki impian bisa menerbitkan buku di penerbitan mayor. Urusan banting tulang menghadapi revisian berkali-kali adalah takdir yang tidak bisa terelakkan. Ya, disyukuri aja. Mau mengeluh juga tidak menghasilkan duit.

Di rumah sebelah, mobil Om Irwan terparkir di halaman. Daisy menyibak tirai jendela pelan-pelan sekali, mengamati mobil Yaris hitam yang masih kelihatan cukup baru. Cepat-cepat ditutupnya lagi ketika sosok Giras masuk ke dalam mobil.

Daisy menghela napas.

Sampai kapan harus main kucing-kucingan seperti ini?

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro