Thirteenth

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Thirteenth Planting


Perasaan Daisy langsung berubah drastis dari yang tadinya santai, kini menjadi super excited.

Dia sudah menunggu lama untuk kesempatan ini. Bertemu Gita, her bestfriend forever.

Daisy tidak pernah memiliki kesempatan untuk bertanya soal Gita kepada Giras karena pertanyaan itu tidak pernah dia tanyakan. Dia yakin jika suatu hari akan bertemu Gita lagi, tapi Daisy tidak pernah menyangka akan secepat ini.

Dua hari dari sekarang. And she can't wait any longer.

"Kalau aku bilang aku mau, artinya hubunganku sama Mas Giras akan membaik dengan sendirinya. Tapi aku kan masih kesal sama dia?"

Oh, Daisy. Nggak bisa dilupain aja perkara yang satu itu?

Apa jadinya kalau Gita datang dan mengetahui kalau mereka sedang tidak berbaikan satu sama lain.

Apalagi hanya karena perkara kecil?

Giras mungkin tidak tahu jika Daisy bisa se-sensitif itu terhadap suatu hal.

Tapi, sumpah. Daisy berjanji akan mengguyur Giras dengan air seember kalau dia masih menyinggung soal mas-mas yang pernah naksir Daisy.

"Nggak perlu dijawab. Kamu siap-siap saja."

Teriakan Giras masih terdengar jelas kendati hujan perlahan berubah menjadi deras. Sekitar bermenit-menit, Giras masih berdiri di depan jendela, mengamati hujan yang turun.

A reminder.

Hujan mengingatkan Daisy akan sesuatu.

Waktu itu, dia juga dalam posisi seperti ini. Melamun sambil menikmati hujan. Tapi bukan di jendela kamar, melainkan di halte bus. Gita sedang ada kegiatan di sekolah, jadi Daisy memilih pulang lebih dulu. Dia duduk menunggu bus, ketika sebuah motor bebek hitam yang dia kenali siapa pemiliknya, berhenti tepat di depannya.

"Pulang bareng yuk?" ajak Giras. Daisy tidak tahu Giras datang dari arah mana, tapi mungkin dia pun baru balik dari sekolah. Atau kalau tidak, dari rumah teman.

Daisy masih belum beranjak, membayangkan mereka berbasah-basahan naik motor sampai di rumah. Mama pasti tidak akan senang melihatnya. Dia bisa gampang terserang flu jika berlama-lama diguyur hujan.

"Masih hujan."

Giras menepis hujan yang jatuh di atas jaket parasut hitamnya. "Nggak begitu deras kok hujannya."

Tapi Daisy tetap bergeming. Sampai Giras pun mengalah, turun dari motor. Membuka helm, lalu duduk di sampingnya. Daisy tersenyum tipis dan canggung, kemudian mengeluarkan pemutar musik lengkap dengan headset.

"Dengerin apa?" tanya Giras sambil memegangi rambutnya yang sudah lepek karena air hujan.

"Coldplay. Scientist."

Giras hanya mengangguk-angguk mendengar jawaban Daisy. "Boleh juga."

Daisy tersenyum lagi, seolah tanpa sadar membalas senyuman Giras mendengar jawabannya. Dia baru memerhatikan tahi lalat kecil di rahang cowok itu. Tanda yang membuatnya terlihat lebih manis.

Mereka terus mengobrol ditimpali suara hujan yang ternyata semakin lama semakin deras, sampai mereka harus mengeraskan suara satu sama lain supaya tetap bisa terdengar oleh lawan bicara. Sebuah momen yang langka. Selama ini Daisy sangat jarang berinteraksi dengan Giras. Jangankan mengobrol, duduk berdua seperti ini pun jarang. Asumsinya, Giras tidak betah berlama-lama dengannya yang super pendiam. Giras hanya akan bergabung ketika Gita juga ada bersama Daisy. Jika tidak, maka Giras akan lebih memilih tidak menghabiskan waktu bersama Daisy. Jelas sekali jika cowok itu tidak pernah tertarik kepadanya sejak dulu.

Maka Daisy pun berusaha untuk bersikap biasa saja, kendati dia mulai merasa memiliki perasaan yang lain kepada Giras. Perasaan yang tidak pernah dia coba untuk utarakan.

Dia tahu seharusnya tidak perlu berharap. Karena Giras ternyata sudah punya gebetan di sekolah lain. Gita mengonfirmasi hal itu sebagai sebuah kabar besar, meski Gita tidak begitu menyukai cewek yang dekat dengan Giras waktu itu karena alasan personal. Hubungan Giras dan cewek itu lumayan langgeng. Mereka bisa bertahan setahun lebih, dan putus menjelang ujian nasional. Daisy tidak tahu alasan mereka putus. Giras tidak pernah membahasnya. Gita pun tidak mau tahu.

"Gue lebih suka nggak punya pacar, Day. Pacaran itu nggak asyik. Membosankan. Kebayang nggak, kemana-mana lo mesti laporan. Ngapain aja, sama siapa aja. Dan ditanyain mulu, udah makan apa belum. Pengennya sok romantis, malah jadi lebay."

"Tergantung pacarnya juga dong gimana. Gue yakin masih banyak sosok cowok idaman buat dijadiin pacar."

"Lo sendiri kenapa nggak pacaran?" tanya Gita, serius ingin tahu.

"Nggak ada yang mau?" Daisy tidak yakin dengan jawabannya. Bertahun-tahun jadi bahan bullying, dia tidak pernah memikirkan kemungkinan memiliki pacar. Karena menurutnya, dia tidak akan bisa membayangkan memiliki hubungan yang lebih dari sekadar teman, sementara untuk menemukan seseorang yang bisa dikatakan teman saja, sulit. Para pembully mengatakan dia autis dan bego. Dia nggak pantas punya pacar. Yeah, meskipun Giras dan Gita sudah membuat kapok para pembully dengan memberi mereka pelajaran dan bahkan memaksa mereka menandatangani perjanjian untuk tidak lagi melakukan tindakan bullying, ejekan itu tidak serta merta bisa Daisy lupakan. Terlanjur patah arang. Hopeless. Patah hati.

"Nggak mungkinlah nggak ada yang mau." Gita merangkulnya dengan erat. "Ayo, gue bantu deh sampai jadian. Lo tinggal bilang aja, sukanya sama siapa."

Ya, nggak mungkin juga Daisy bilang kalau dia naksir Giras. Selain hal itu mustahil, Daisy khawatir Gita bisa syok. Maka Daisy pun memilih menyimpan perasaannya selama bertahun-tahun. Berharap perasaan suka itu akan hilang dengan sendirinya seiring berjalannya waktu.

***

"Strawberry cheese cake-nya satu. Sama chocolate cake."

Daisy mengamati aktivitas rombongan siswi SMA berseragam batik yang mampir di toko sepulang sekolah. Mereka begitu ramai dan antusias memilih kue yang diinginkan.

"Semuanya dibungkus ya, Mbak?" kata salah satu dari mereka yang sejak tadi terlihat paling ingin memborong semua kue di etalase. Dia juga yang terlihat paling berwibawa di antara mereka berempat. Mengingatkan Daisy pada sosok Gita sewaktu sekolah dulu.

Ngomong-ngomong, Daisy setuju untuk ikut menjemput Gita di bandara. Giras mengatakan akan menjemputnya dua jam sebelum pesawat Gita mendarat. Mereka belum berkomunikasi lancar, persetujuannya malah hanya dari teks Whatsapp yang dikirimkan kepada Giras.

Hal terpenting, dia dan Gita akan bertemu lagi.

"Maaf, Mbak. Duit aku kurang," keluh salah satu gadis yang sejak tadi jadi yang paling pendiam.

"Elah, nih gue tambahin."

"Ntar gue balikin."

"Nggak usah. Santai aja."

Mereka kembali bercengkrama, menunggu sampai pesanan mereka selesai disiapkan. Tidak lama, rombongan pelajar SMA tadi pun keluar dari toko.

Hari kedua bekerja di toko, Daisy merasa cukup menikmati pekerjaannya. Dua hari itu pula, dia merasa memiliki waktu yang lebih produktif dari biasanya. Mulai bekerja di toko pada pukul delapan sampai siang atau sore, lalu di malam hari, dia akan mengerjakan naskah sekitar sejam dua jam sebelum tidur. Hal itu membantunya mengurangi pikiran yang tidak penting. Biasanya setelah mengirimkan naskah ke Mbak Reski, dia akan cemas berhari-hari menunggu revisian kembali dengan segudang catatan yang harus segera dibereskan.

Mungkin yang menyebabkan perasaannya senang karena Gita akan datang. Daisy merasa memiliki alasan kuat untuk tetap semangat. Betapa kehadiran seorang sahabat sangat berarti bagi kehidupannya.

Lalu hari yang dinanti-nanti itu pun tiba.

Setelah terjebak macet yang untungnya tidak sampai membuat mereka terlambat tiba di bandara, Daisy akhirnya bisa bertemu Gita.

"Hei, rambut lo dipotong?" Itu komentar pertama Gita sebelum Daisy meraih tubuhnya dan memeluk Gita erat-erat. Mereka sampai berputar-putar saking senangnya.

"Biar fresh aja. Bosen sama rambut panjang." Jawab Daisy, lalu mengomentari Gita yang juga memotong rambut, tapi tidak begitu berbeda. Wajah Gita lebih tembam, kulitnya juga jadi lebih gelap. "Surabaya panas banget, mana gue juga sering keliling liburan." Gita beralasan.

Tapi hal itu bukan masalah bagi Daisy. Karena Gita sudah kembali di dalam hidupnya. Dia sudah punya banyak agenda yang ingin dilakukan bersama Gita.

"Balik kapan, Git?" tanya Giras setelah koper dimasukkan ke bagasi.

"Baru dateng udah ditanyain kapan balik," balas Gita agak ketus. "Sekitar semingguan. Soalnya abis ini mau jalan lagi ke Pulau Komodo."

"Enak banget!" ujar Daisy. "Di sana kan cantik banget pemandangannya."

"Ikut aja. Ntar gue minta ijin sama Tante Rose."

Daisy menggeleng pelan. Tahu kalau hal itu tidak mungkin. Dia tidak akan pernah pergi liburan karena dia sangat betah berdiam diri di seputaran Jakarta.

"Pasti lo nggak mau kan?" tebak Gita.

Daisy tertawa kecil. "Jadi anak rumahan kan harusnya nggak boleh kemana-mana?"

Giras membuka pintu di samping kemudi. "Jalan ke sekitar Jakarta aja. Kepulauan Seribu, misalnya."

"Wah ide bagus tuh." Gita terdengar antusias. "Dulu waktu SMA, gue udah sempet ke pulau Pramuka. Dan keren banget. Jadi, kapan?"

Daisy memandangi dua bersaudara itu bergantian. Mereka serius mau liburan bersama?

"Kapan saja gue lagi nggak ngantor, dan kapan aja Daisy punya waktu."

Giras menyalakan mesin. "Dia selalu punya waktu. Ketimbang bengong di rumah."

Gita yang duduk menemani Giras di depan karena Giras tidak mau terlihat seperti supir, menoleh ke belakang. "Jadi beneran? Udah berhasil jadi penulis sukses?"

Daisy menggeleng. "Penulis biasa aja. Belum sukses. Duitnya belum bisa buat beli rumah."

Gita tergelak. "Ngapain mau beli rumah? Yang mau beli kan suami lo?"

Daisy tersenyum. "Ya, kalau ketemu jodohnya. Kalau nggak?"

Gita mengerutkan kening. "Hm. Masih tetap pesimis aja kayak dulu. Mungkin udah saatnya gue turun gunung nyariin pasangan." Gita melirik Giras yang sedang berusaha mengeluarkan mobil dari parkiran. "Mas, punya teman yang bisa dicomblangin sama Daisy?"

Giras terdiam sebelum menggeleng. "Sepertinya nggak ada. Tapi kalau klien, mungkin saja ada."

"Ingat-ingat aja dulu. Masa kantor start-up gitu nggak punya karyawan laki-laki yang lagi jomlo. Atau yang baru putus deh. Asal jangan pacar atau suami orang."

"Kamu, dateng-dateng langsung main mak comblang." Giras akhirnya berhasil melajukan mobil di jalan besar. "Jangan jadiin Daisy bahan eksperimen."

"Sendirinya suka jadiin anak orang bahan eksperimen." Gita lalu menuding ke arah Giras. "Nih, sejak di Surabaya, pacarnya banyak. Tapi katanya nggak ada yang serius."

Giras tergelak. "Heh, jangan buka kartu dong."

"Makanya nggak usah main-main lagi."

Giras lalu mengingatkan bahwa Gita juga turut andil dalam keputusannya. "Yang kemarin nggak pernah suka sama setiap cewek yang Mas bawa ke rumah, siapa?"

Gita nyengir. "Abis, yang dibawa ke rumah, aneh-aneh gitu. Anak SMA yang dandanannya dewasa banget, ada lagi yang dateng cantik, tapi pakaiannya seksi banget. Sekali waktu, ternyata model majalah dewasa. Cari yang normal dikit, emang nggak bisa?" Nada suara Gita terdengar jengkel.

"Nanti kalau udah nikah juga bakal kusuruh pakai hijab." Giras menjawab santai.

Daisy menutup mulut menahan tawa keluar. Dia selalu menjadi saksi sejak dulu saat dua bersaudara ini sedang beradu argumentasi.

"Oke. Mungkin si Helen boleh juga. Tapi Mas bilang, agak posesif ya?"

"Hmm." Giras mengangguk malas. "Udahan bahas Mas. Mending sekarang, kalian siap-siap. Aku mau lihatin sesuatu." Suaranya terdengar dalam nada serius.

Gita menoleh kepada Daisy, penuh tanda tanya.

Sesuatu?

***

"Gimana?"

Pertanyaan singkat itu tidak langsung terjawab. Gita masih berjalan mengitari ruangan yang berada tepat di tengah apartemen. Keadaan ruangan bercat putih dan lengang itu sudah lebih dari cukup untuk menjadi tempat berkumpul dan bersantai. Hanya sekali lihat, Daisy yakin sofa putih yang muat tiga orang yang diletakkan di depan TV akan terasa cukup nyaman untuk diduduki. Meskipun harus ekstra hati-hati, karena warna putih sangat rawan kotor.

Sesuatu yang dimaksud Giras adalah sebuah apartemen berukuran luas yang berada tidak jauh dari kantornya. Letak apartemen itu cukup strategis karena berada dekat dengan beberapa fasilitas umum seperti rumah sakit, stasiun, dan pusat perbelanjaan. Strategis, setidaknya berdasarkan pengakuan Giras sendiri. Kalau sudah demikian, berarti apartemen itu memiliki nilai investasi tinggi.

"Udah beli ternyata?" Gita melihat-lihat meja pantri.

"Belum akad. Tapi Mas mau minta pendapat."

"Bagus." Gita menjawab sambil terus memindai setiap bagian pantri. "Bagus, nggak kelihatan laki banget. Luas juga ya? Mesti nguras semua tabungan pasti nih."

"Lumayan. Tapi duit yang tersisa nggak cukup buat beli mobil. Terpaksa untuk sementara pake motor."

"Minta tambahan sama Papa-lah. Atau kalo nggak enakan minta, ya pinjam aja." Gita mencoba menyalakan kompor yang tentu saja masih belum berfungsi karena belum dialiri gas.

Sejak tadi, Daisy hanya diam. Dia tidak tahu harus memberi komentar seperti apa. Apartemen itu sangat cukup untuk ditinggali sendiri. Untuk pasangan yang baru memiliki satu anak, juga terasa ideal. Tanpa perlu menambahkan terlalu banyak perabotan, apartemen itu sudah bisa langsung dihuni.

"Aku sudah janji nggak akan ngerepotin Papa."

Sama, Daisy juga tidak suka merepotkan orangtua. Dia akan memilih menabung lebih lama untuk membeli rumah ketimbang meminta kucuran dana, sekalipun dalam bentuk utang kepada orangtuanya. Apalagi Giras sebagai laki-laki, keinginan semacam itu pasti lebih kuat.

"Yah terserah Mas aja kalo gitu."

Mereka bertiga tidak terlalu berlama-lama di sana. Gita baru sampai dan pastinya cukup kelelahan selama perjalanan, jadi dia butuh istirahat. Kata Giras, apartemen itu sudah bisa ditempati dalam tiga sampai empat hari, tergantung seberapa cepat urusan persuratannya selesai.

"Ntar aku bantuin bersih-bersih."

"Nah gitu dong." Giras kelihatan bersemangat. "Daisy juga kan?"

Daisy hanya mengiyakan dengan suara pelan. Lumayanlah, bisa ikut merasakan berada di apartemen mewah walau hanya kebagian bersih-bersih.

***

Selama dua hari berada di Jakarta, setiap hari Gita nongkrong di kamar Daisy. Mereka mengobrolkan apa saja, seolah tiada habisnya. Gita terkejut sekaligus antusias mendengar jika Daisy kini berhasil mewujudkan keinginan menjadi penulis. Sebagai sosok yang paling dekat sebagai sahabat, Gita tahu persis cita-cita Daisy sewaktu SMA.

"Waktu itu kan lo nggak berani ngirim-ngirim ke penerbit. Trus gimana ceritanya bisa sampai diterbitin?" Gita mengambil bantal, menjadikannya sebagai tumpuan kedua sikunya, siap mendengarkan cerita Daisy secara lebih detail.

"Gue mulai ngirim naskah ke penerbit sewaktu masih kuliah. Waktu itu, butuh sampai lima kali aku ngirim baru keterima. Penerbitku belum begitu gede seperti sekarang, jadi peluang lolosnya lebih besar. Jadilah sampai sekarang, gue jadi penulis tetap di sana."

Gita mengangguk-angguk. "Seneng banget ya pastinya ngeliat buku karangan sendiri, terpajang di toko buku sebesar Gramedia."

"Gue sampai lompat-lompat kegirangan. Teriak-teriak histeris sampe mama nanyain kenapa."

Daisy tergelak mengingat masa-masa di mana dia masih bersikap norak mengetahui bahwa dia secara resmi telah menjadi seorang penulis. Officially an author.

"Gue ikut senang." Fokus Gita teralihkan pada foto yang dipajang Daisy di atas nakas. Itu foto yang diambil sebelum Gita dan Giras kembali ke Bandung. Mereka bertiga berfoto di bandara sesaat sebelum kedua bersaudara itu naik ke pesawat. Gita sudah menjelaskan soal nomor kontak yang hilang dan sebagainya. Daisy tidak mau memusingkan soal itu, melewatkan bertahun-tahun kesepian tanpa sosok sahabat. Setidaknya kehadiran Dinda yang cukup akrab dengannya, bisa menjadi teman berbagi susah dan senang.

"Lo juga akhirnya bisa mewujudkan keinginan jadi traveler."

Gita tersenyum. "Iya. Tapi, gue belum punya kerjaan tetap. Selama ini gue hanya mengandalkan dari foto-foto yang gue jual. Kalo pengen beli sesuatu, kadang masih minta sama orangtua. Namanya juga anak bontot kesayangan. Beda banget sama Mas Giras, yang sejak kuliah udah punya penghasilan sendiri."

"Oh, ya? Kok bisa?"

"Dia kan dulu suka wirausaha sama temen-temennya. Jualan baju, buka kafe sampai kemudian belajar-belajar buat aplikasi. Dan jadilah dia yang sekarang."

Daisy tersenyum. Dia tidak menyangka Giras ternyata sudah lama mampu memiliki penghasilan sendiri. Pantas saja, di usianya yang belum genap 30 tahun, laki-laki itu sudah mampu membeli apartemen mewah. Padahal kalau dilihat-lihat, Giras hanya seorang siswa SMA yang sehari-hari sering nongkrong bersama teman-temannya. Tipe supel yang mudah mendapatkan teman.

"Nah, sekarang gimana? Apa lo udah punya pacar?"

Daisy langsung menggeleng. "Lagi fokus kerja aja sekarang."

"Oh, gitu." Gita meletakkan kembali foto yang sempat dia pandangi berlama-lama. "Gue juga lagi males sama yang namanya pacaran. Nikah, apalagi. Mungkin karena gue memang belum pengen terikat sama sebuah hubungan. Pernah nggak sih, lo ngerasa punya komitmen itu berat banget? Nggak heran, banyak orang yang nggak mau nikah."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro