Fourteenth Year

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Tahun keempat belas

16 Mei 20xx

Hari ini cuacanya cerah. Baguslah, mungkin langit sedang bahagia saat ini.

Bunga violet tumbuh liar di halaman depan. Warna biru tuanya benar-benar memanjakan mata orang-orang yang melihatnya. Para tetangga sering berhenti sejenak untuk menikmati keindahan bunga itu. Anak laki-laki Nyonya Tanaka bahkan pernah meminta izin kepadaku untuk mengambil beberapa tangkai bunga itu. Katanya, itu adalah hadiah yang tepat untuk ibunya yang sudah bekerja keras melayani keluarganya. Ah, anak yang baik.

Sebenarnya, bukan hanya bunga itu saja yang tumbuh liar di depan rumahku. Lavender, poppy, peony, hingga chamomile tak mau kalah bersaing dengan bunga violet tadi. Jika diadu, mungkin rumahku adalah rumah dengan halaman depan paling indah di daerah sini.

Sayangnya, hidupku tidak seindah halaman depanku. Ingatanku ... belum kembali.

Ternyata memang benar anggapan yang kutulis di buku diari ini tahun lalu. Adikku sudah bekerja keras, namun ingatanku menolak untuk kembali. Ia hanya menyiksa dirinya saja dengan berusaha keras dalam mengembalikan ingatanku.

Ya, nihil. Ingatanku tidak ada yang kembali. Alih-alih mengingat, aku lebih cenderung mengarah kepada menerima informasi baru. Aku mengiyakan saja ketika diberi tahu bahwa namaku adalah Yuuta. Aku setuju-setuju saja ketika mendapat informasi bahwa umurku saat ini sudah memasuki usia dua puluh sembilan tahun. Aku bahkan tidak menolak ketika gadis SMU yang menungguiku di rumah sakit mengaku sebagai adikku.

Ingatanku benar-benar lenyap bagai bangkai kapal di Segitiga Bermuda.

Ya, seperti yang bisa dilihat, tidak ada banyak hal yang terjadi kepadaku. Sama seperti tahun kemarin, tahun ini terbilang membosankan bagiku. Tapi, setidaknya, ada beberapa hal yang akan selalu aku ingat sampai tua.

Yang pertama berhubungan dengan adikku. Ah, walau aku tidak tahu seberapa dekat kami sebelum kejadian itu, aku merasa yakin bahwa kami tidak bisa dipisahkan dengan mudah. Agak sedih sebenarnya ketika menyadari bahwa aku tidak akan bisa lagi mengingat kejadian-kejadian menyenangkan yang aku lalui dengannya dulu. Tapi, ya sudahlah. Waktu akan terus berjalan, begitu pula denganku.

Tahun lalu, ia lulus dari kehidupan SMU-nya. Aku ingat jelas betapa puas ia tersenyum ketika menaiki podium kelulusan. Ia menjalani masa-masa terbaik di hidupnya kala itu. Ia berfoto, menyanyi dalam rombongan paduan suara, dan melepas tawa bersama sahabat-sahabatnya.

Aku yang saat itu menjadi pendampingnya ikut senang. Walau sudah lupa, entah kenapa aku seakan bisa tahu bagaimana rasanya menjalani acara kelulusan di SMU. Masa-masa ini tidak akan terulang lagi dan acara ini pasti akan terus membekas di ingatannya sampai tua nanti.

Haaahhh....

Hal yang datang berikutnya tidak terlalu membahagiakan sayangnya. Ia, yang notabene sudah lulus SMU, harus pergi ke universitas untuk menempuh tingkatan pendidikan selanjutnya. Gadis itu memutuskan untuk mengambil tawaran dari universitas di ibukota. Mau tidak mau, aku menyetujuinya. Ini semua demi masa depannya.

Berat. Jujur, berat sekali melepasnya. Tidak memiliki sosok seorang Ayah dan Ibu saja sudah berat. Namun sekarang, adikku satu-satunya malah ikut meninggalkanku. Kakak juga sudah jarang mengunjungi kami karena ia sudah memiliki empat orang anak.

Tapi, aku tetap merelakan kepergiannya. Aku membantunya mengurus segala keperluannya, mengemasi kopernya, dan memastikan bahwa ia sudah cukup siap untuk bersekolah di luar kota. Ini belum seberapa jika dibandingkan dengan usahanya saat merawatku dulu.

Sebelum hari keberangkatannya, ia sempat mengajakku pergi jalan-jalan ke taman kota. Di sana, ia berpesan agar aku bisa menjaga diri baik-baik ketika tinggal sendirian. Haha, seharusnya aku yang berkata seperti itu. Tapi ya sudahlah, itu artinya ia peduli terhadapku. Ia seperti ibu kedua saja bagiku. Malam itu berakhir dengan makan malam di restoran keluarga.

Yang kedua, di bulan Desember, seorang perempuan yang sebaya denganku berkunjung ke rumahku. Aku ... tidak tahu sama sekali siapa dia. Rambutnya hitam panjang dan ia mengaku bahwa ia adalah kenalanku.

Tapi ... aku benar-benar tidak tahu dia siapa. Ia mulai merasa kesal karena melihat diriku seperti menghindarinya. Aku saat itu sebenarnya sedang mematuhi saran adikku. Jangan percaya kepada orang tidak dikenal. Dan sekarang, orang tidak dikenal itu malah mengaku-ngaku sebagai kenalanku.

Ia berkata bahwa maksud kedatangannya adalah untuk melepas rindu kepadaku. Bekerja di toko roti selama bertahun-tahun ternyata membosankan sehingga ia memutuskan untuk kembali ke kota ini dan menemuiku. Kira-kira begitu ucapannya.

Tapi, aku benar-benar tidak tahu! Alam bawah sadar sialan ini seakan tidak mau memperlihatkan ingatanku tentang gadis ini. Ah, padahal sepertinya ia memang tulus ingin bertemu denganku.

Pada akhirnya, ia pulang dengan mata yang berair setelah menyatakan bahwa namanya adalah Rui. Aku tidak terlalu mempermasalahkan hal itu. Aku selalu berpikir bahwa mungkin wanita itu tidak penting bagi hidupku.

Tidak sampai aku membaca ulang buku diariku hari ini. Ternyata, aku dulunya memiliki kenalan bernama Rui yang merupakan salah satu orang terpenting dalam hidupku. Ah, aku semakin menyesal saja rasanya jika mengingat bagaimana aku melayaninya hari itu.

Aku juga baru tahu bahwa aku adalah seorang pembuat puisi handal dengan ribuan penggemar. Aku bahkan baru mendapat fakta bahwa aku pernah bekerja di kantor sastra terbesar di Jepang.

Ya, begitulah. Jika saja bukan gara-gara kejadian terkutuk yang menyebabkan aku harus kehilangan ingatan, aku pasti sudah semakin sukses sekarang. Sayangnya, makin hari, popularitasku makin menurun karena aku telah kehilangan bakat untuk menulis sastra. Aku bahkan sudah dipecat dari kantor itu beberapa bulan yang lalu. Sebuah kemunduran yang besar, tapi ya ... aku harus bisa menerimanya.

Dan lagi, setelah membaca buku diari ini, aku kembali teringat dengan si Nyonya Musim Semi. Bagaimana kabarnya sekarang? Seperti apa wajahnya saat ini? Apa kehidupan yang sedang ia jalani? Ah, aku sepertinya tidak akan pernah tahu.

Seperti tahun-tahun kemarin, aku akan mengirimkan sepucuk surat lagi tahun ini. Aku akan menyapanya, mengajaknya berteman, dan mengakhiri surat dengan salam perpisahan khas Tuan Musim Semi.

Semoga saja ia membalas suratku!

Kini, yang aku perlukan tinggal menunggu.

Namun, hingga kini, belum ada balasan darinya.

Tbc.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro