10. I know

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

💫💫💫

Pagi-pagi sekali aku sudah melamun di rooftop sekolah, sengaja aku datang lebih pagi agar aku bisa berlama-lama di sini. Angin pagi terasa menyejukkan, tapi tidak sampai menyejukkan hati.

Aku menutup mata mengadah ke arah langit, menghilangkan sejenak pikiran-pikiran yang membuatku tidak nyaman sejak kemarin.

"Apa yang kamu pikirin?" Aku menoleh, begitu kaget saat seseorang sudah berada di sampingku dengan tenang.

"Raffa, sejak kapan kamu di sini?" tanyaku, entah kenapa Raffa tiba-tiba sudah duduk manis di sampingku. Bahkan langkah kakinya tidak terdengar sama sekali, membuatku kaget akan keberadaannya.

"Hal apa yang membuatmu merasa tidak nyaman?" tanyanya sekali lagi.

"Apa? Aku sedang tidak memikirkan apapun," jawabku berbohong.

"Kamu ingat---"

"Apa?" timpalku tak sabaran.

Kudengar dia menghela napas, sebelum akhirnya mengatakan, "Pasal 1 ayat 2, ingat?" Aku mengangguk pelan.

"Apa isinya?"

"Jujur jika ada hal yang membuat kita kesal, marah, dan lain-lain."

"Terus kenapa kamu harus bohong?" Aku bergeming mendengar semua pertanyaan Raffa yang peka dengan keadaanku.

"Kenapa, Ra?" tanya Raffa untuk kesekian kalinya.

Aku menggigit bibir bawah, menghela napas sebelum membalas pertanyaannya. "Semua ... semua ucapan Alfi itu apa maksudnya?" jawabku memberi kembali sebuah pertanyaan yang sejak kejadian itu membuat pikiranku terganggu.

"Yang mana?"

"Yang di lapang itu."

"Soal apa?"

Aku mendengus kesal, saat Raffa pura-pura tidak ingat dengan semua ucapan Alfi. "Soal aku yang dijadikan pelampiasan," balasku dengan tegas.

Kulihat Raffa menatapku lama, lalu kembali melihat ke arah depan.

"Jelasin Raffa!" seruku semakin kesal dengan diamnya.

"Raffa, aku tau kamu irit ngomong. Tapi saat hubungan kita ada masalah, kamu mau tetep diem aja?" ujarku semakin emosi melihat Raffa yang masih setia dengan diamnya.

"Kalau aku bilang semuanya gak bener, kamu percaya?" tanya Raffa yang sudah kembali menatapku.

Aku menggeleng lemah, "Karena aku tau, semuanya bener."

Raffa tersenyum tipis, "Kalau itu yang ada dipikiran kamu, terus kenapa kamu minta aku jelasin?"

Aku menatapnya tajam, tidak percaya dengan apa yang aku dengar barusan. "Maksud kamu? Kamu pasrah gitu, dan gak mau ngeyakinin aku?"

"Kalau udah gak ada rasa kepercayaan kamu buat aku, semua penjelasan aku bakal sia-sia, Ra."

Aku lihat Raffa berdiri berjalan meninggalkan tempatnya, aku pun ikut berdiri berbalik badan menatap punggung Raffa.

"Raffa," teriakanku membuat langkahnya terhenti.

"Aku tau sebelumnya kamu punya hubungan sama Salsa, kan?" tanyaku to the point.

"Dan aku juga tau, aku pelampiasan dari dia."

"Aku juga tau, kenapa kamu gak pernah memperjelas hubungan kita. Karena kamu gak pernah serius sama aku, kan?" Semua pertanyaanku yang sejak kemarin aku simpan, kini ku lontarkan begitu saja tanpa rasa ragu.

Kulihat Raffa berbalik menghadapku, "Aku serius sama kamu, Ra. Tapi---"

"Tapi kamu masih menjaga perasaan Salsa, gitu maksud kamu?" timpalku.

"Kenapa bahas Salsa?" jawabnya terdengar kesal.

"Karena ada Salsa di antara kita," balasku.

Kulihat Raffa hanya diam, tidak berniat membalas ucapanku lagi.

"Aku juga ngerti sekarang, kamu hanya bersikap gak dingin di saat kita cuma berdua. Selebihnya kamu tetep kamu yang dingin, gimana aku bisa memperlihatkan bahwa kamu milik aku sedangkan orang lain gak tau hubungan kita kayak apa?"

"Kamu tau, aku cemburu. Cemburu saat penggemar-penggemar kamu gencar deketin kamu secara terang-terangan, sedangkan aku? Aku bisa apa? Surat komitmen itu berlaku hanya di depan kita, sedangkan yang lain gak tau apa-apa tentang hubungan kita."

Kami saling diam, menatap satu sama lain. Lalu suara bel sekolah membuyarkan lamunan kita, menandakan jam pelajaran pertama akan dimulai. Raffa berjalan lebih dulu meninggalkan rooftop, tidak lama kemudian aku juga melangkah pergi menuju kelas.

💫💫💫

Setelah pulang sekolah, aku meminta Dea menemaniku untuk bercerita. Tapi bukannya bercerita, aku terus saja menangis di depan Dea. Bahkan mulutku kelu untuk menceritakan hal apa yang membuatku menangis, rasanya saat ini hanya menangislah yang akan membuatku tenang.

"Ra, udah dong. Lo kenapa sih?" Entah untuk keberapa kali Dea melontarkan pertanyaan itu padaku.

"Ada masalah sama Raffa?"

"Ini gak ada hubungannya sama Salsa, kan?"

"Guekan udah bilang, Salsa lagi deket sama Awan. Udah lama, mana mungkin Salsa masih gangguin Raffa."

"Lagian Raffa kok yang ngelepasin Salsa, gue yakin Raffa udah move on. Kan itu pilihannya, masa iya dia yang belum move on nya."

"Gue gak tau apa yang buat gue sedih," jawabku setelah lamanya Dea mencoba menenangkanku.

"Lah kok?"

"Emang mungkin sejak awal gue deket sama Raffa, gue udah insecure duluan. Bahwa gue takut, tiba-tiba Raffa kepincut sama penggemarnya."

"Dan lagi insecure gue bertambah saat sadar, kalau hubungan kita gak jelas," lanjutku.

"Udahlah, Ra. Mungkin bener kata Raffa, kalau semuanya itu gak bener."

"Tapi semua buktinya ada, Yon."

"Mungkin saat gue suka sama dia, hati dia lagi patah hati. Maka dari itu dia deketin gue, iyakan?"

"Lo yang nyosor duluan, Ra," balas Dea terkekeh meledek.

"Ih nyebelin, gue kan lagi sedih. Ngancurin suasana aja lo," ujarku terkekeh akan kebodohanku sendiri.

Dea kembali tertawa, "Udah-udah jangan nangis lagi, mending kayak gini cantikkan. Choco chips-mu jadi bersinar kalau lagi senyum," ujarnya membuatku tersenyum kesal.

"Anjir lu, ngeledek."

"Ra." Panggilan seseorang membuatku dan Dea menoleh seketika.

"Salsa?"

💫💫💫

A/n : Tuhkan Raffa sih 😑

Jangan lupa vote dan komen 😉

27 Juni 2020
-ar-

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro