The Eleventh Thread - "Loneliness is Something That Can't Be Heal"

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Loneliness is something that can't be heal, if you are alone. So I will be with you. 

***

Hari itu, aku demam. Arlan Pratama juga demam. Kami sakit bersama. 

Aku heran juga, mengapa hal itu bisa terjadi. Kami hanya tersiram hujan selama beberapa saat. Mama tidak mengatakan apa-apa saat mengetahui itu. Malahan, Mama yang mengabarkan bahwa Arlan Pratama juga sakit--orangtuanya yang memberi informasi. 

Mama juga tidak bertanya tentang apa yang kami lakukan sampai bisa jatuh sakit dalam waktu yang bersamaan. Kupikir, sedikit banyak Mama akan berpikir bahwa kami berdua mengobrol terlalu lama saat di balkon. Padahal, kami tidak berbicara di balkon sesering itu. 

Setelah kejadian itu pun, aku masih menganggap Arlan Pratama sebagai rival utamaku dalam meraih ranking. Tidak tahu, bagaimana dia menganggapku, aku juga tidak terlalu tertarik untuk mencari tahu. Kami sama-sama berpura-pura tidak ingat bahwa insiden hujan-hujanan itu pernah terjadi. Tidak ada dari kami yang membahasnya selama dua minggu itu, saat kami makan malam bersama. 

Namun, keanehan kembali timbul saat hari pertama kami memasuki kelas delapan. 

Hanya ada nama Arlan Pratama yang tercantum di papan tulis absensi seangkatan. Hanya dia seorang yang tidak datang hari ini. Padahal, di malam sebelumnya, kami masih makan malam bersama dan Mama mengajak kami memperbincangkan tentang hari pertama di kelas delapan.

Sebenarnya hal ini tidak akan disadari oleh seisi sekolah, jika seandainya tidak ada pemanggilan juara umum sehabis upacara. Nama Arlan Pratama dipanggil entah berapa kali, tetapi sang pemilik nama tidak kunjung menampakan batang hidungnya. 

"Arlan Pratama tidak hadir ya?" Kepala Sekolah bertanya dengan nada canggung, sambil melirik piala paling tinggi yang ada di jajaran piala-piala untuk angkatan kami. 

Keributan karena orang-orang mulai mencari-cari keberadaan lelaki itu dan juga menemukan celah untuk mengobrol, membuat Kepala Sekolah akhirnya mengalihkan pembicaraan, memanggil nama kakak kelas yang mendapatkan juara umum. Sedangkan barisan kami yang bersebelahan tepat dengan para adik kelas, hanya diam tanpa mengomentari apapun. 

"Arlan itu mikirin apaan sih? Malah enggak masuk di hari pertama. Kemarin pas pergantian semester, dia juga begitu, kan?" komentar seorang laki-laki di serong depanku, barisan kelasku.

Aku tidak ingat namanya, tetapi dia pernah menduduki ranking pertama, saat aku menduduki ranking kedua saat semester ganjil kemarin. 

"Kita lihat saja nanti, kali ini dia enggak masuk berapa bulan," timpal lawan bicaranya yang ada tepat di belakangnya. 

Kukedipkan mataku beberapa kali,  saat orang itu tanpa sengaja menolehkan kepala dan bersitatap denganku. Dia menatapku heran, seolah hendak menanyakan sesuatu, tetapi pada akhirnya dia tetap melanjutkan perbincangan dengan orang di belakangnya. Tentu saja setelah mereka mengalihkan topik pembicaraannya. 

Tiba-tiba, seseorang mencolek pundakku dari belakang, "Alenna, nanti kita cari tempat duduk yang--hei, mengapa kamu bad mood pagi-pagi begini?"

Aku tidak ingat kalau yang ada di belakangku tadi adalah Rania, tapi begitulah kenyataannya sekarang. Tidak penasaran dengan fakta yang satu itu, aku justru mempertanyakan hal lain yang membuatku lebih penasaran, "Siapa yang bad mood?"

"Yah, kamulah! Keningmu berkerut begitu!" Rania menggosok alis dan keningku dengan jempolnya tanpa izin. 

Aku sendiri juga tidak ingat kalau aku telah mengerutkan keningku sedaritadi. 

"Nanti kita cari tempat duduk yang berdekatan, ya. Kalau kamu mau duduk di depan, aku di belakangmu, deh," kata Rania sambil memamerkan jempolnya. 

"Biar pas bikin soal latihan kamu bisa contek ke Alenna, kan? Dasar pemalas!" celetuk Jingga dari belakang. 

Rania hanya memutar bola matanya jengkel, lalu kembali melanjutkan, "Mending kamu perbaiki rambutmu, karena feeling-ku bilang kalau sebentar lagi namamu bakal--"

"Alenna Rachella Putri, ranking pertama di kelas 7-2 dan ranking kedua paralel di angkatan--"

Rania memiringkan kepala dan bersuara pelan, "Tuh kan."

Aku hanya menatapnya sambil tersenyum heran, sebelum akhirnya memenuhi keinginan Kepala Sekolah yang memintaku untuk maju ke depan.

*

Kakiku membawaku ke ruang belajar, begitu aku masuk ke apartemen. Melangkah masuk ke dalam ruangan itu memanglah hal yang sudah menjadi rutinitas untukku, tetapi biasanya aku melakukannya setelah mandi sore.

Kuletakkan pialaku di atas meja belajarku, lalu menyibak tirai dan membuka pintu balkon.

Tidak ada Arlan Pratama.

Aku pun memberanikan diri untuk mengetuk pintu balkonnya. Namun beberapa saat setelah menunggu, dia tetap tidak menunjukkan tanda-tanda akan keluar dari sana.

Saat hendak mengetuk pintu untuk kedua kalinya, pandanganku beralih ke bawah sana, saat sebuah mobil hitam berhenti tepat di depan gedung apartemen.

Mobil yang familier....

Kulihat Arlan Pratama keluar dari mobil itu, lalu berbincang dengan orang yang duduk di kursi belakang. Mataku masih sangat jernih untuk mengenalinya dari lantai sepuluh, walau kenyataannya aku hanya bisa melihat rambutnya dari atas. Sebenarnya itu karena dia juga memakai seragam, tas hitam dan sepatu hitam.

Baiklah, mungkin semuanya memang terdengar klasik. Kenyataannya pun, aku hanya bisa melihat wujudnya dalam satu titik kecil, tapi aku tahu kalau itu memanglah Arlan Pratama.

Kepergian mobil hitam itu kembali membuatnya diam bergeming. Kali ini tidak selama sebelumnya, karena selang beberapa detik kemudian, dia berbalik dan memasuki gedung apartemen.

Apakah dia bolos...?

Kugelengkan kepalaku erat-erat, lalu kuputuskan untuk masuk kembali ke ruang belajar. Kukeluarkan buku-buku dari dalam tasku, lalu duduk dan membuka halaman pertama buku paket. Aku harus mengalihkan perhatianku. Harus.

TOK TOK TOK.

Kepalan tangan Arlan Pratama yang mengetuk pintu terlihat. Aku menghela napas berat, lalu menghampiri pintu dan membukanya.

"Apa?" tanyaku sambil mengintip dari  pintu.

Kening lelaki itu mengerut, "Eh? Kamu sedang sibuk?"

Benang merah itu muncul, tetapi aku memilih untuk mengabaikannya.

"Kenapa memangnya?"

"Padahal selama liburan, kamu terlihat lebih manusiawi. Ini baru hari pertama kita masuk sekolah dan kamu sudah memperlihatkan wajah terganggumu seolah aku menganggumu belajar," jawabnya.

Semua yang dikatakannya terdengar salah. Ini bukan hari pertamanya karena dia tidak menghadiri sekolah, aku tidak sedang kesal atau sedang belajar.

"Kamu bolos, ya?" tanyaku yang membuatnya mengedipkan matanya beberapa kali, bingung.

"Kamu mencariku di sekolah, tadi?" tanyanya, tanpa menghilangkan ekspresi bingungnya.

"Bukan aku, tapi Kepala Sekolah, para guru dan semua siswa-siswi."

"Kamu kan termasuk dari salah satu siswi," balasnya. "Kenapa kalian mencariku, memangnya?"

"Pembagian piala," balasku pada akhirnya.

Arlan Pratama hanya menganggukan kepalanya, termangut.

"Kenapa kamu tidak masuk sekolah?"

"Oh, itu. Ada urusan keluarga," balasnya pendek.

Aku hanya diam mendengar jawabannya.

"Ngomong-ngomong barusan kamu sedang apa? Belajar? Bukannya biasa hari pertama tidak diberi materi ya? Pelajaran apa? Bab tentang apa? Boleh aku pinjam catatanmu?" tanyanya bertubi-tubi.

Dia masih sangat berisik seperti biasanya. Kurasa keadaan saat itu dan saat ini memang berbeda.

"Hari ini kelasku belum ada pembahasan pelajaran," balasku.

"Oke, itu melegakan. Walau aku tidak tahu bagaimana dengan kelasku."

Kupikir aku bisa masuk ke dalam ruang belajar dan fokus kepada hal lain selain tentang kekhawatiranku terhadap lelaki di depanku ini. Namun saat dia melanjutkan kata-katanya, rasa simpati itu semakin menjalar luas.

"Aku ... sebenarnya tidak suka kalau harus ketinggalan dari orang lain," ucapnya.

"Kalau kamu tidak suka ketinggalan pelajaran, jangan tidak datang ke sekolah," balasku apa adanya. "Apa perlu aku perlihatkan catatanku padamu?"

Arlan Pratama menggeleng.

Tidak ada tatapan antusias, senyuman tipis atau pun hal-hal yang membuatku kesal. Mendadak, aku merasa simpati, iba, sekaligus mengerti ekspresi yang dibuatnya.

Aku menarik napas dalam-dalam.

"Arlan, sebenarnya kamu mau mengatakan apa?" tanyaku, langsung pada intinya.

Aku sendiri juga tidak percaya bahwa aku sukses memanggil namanya tanpa nama belakangnya.

"Padahal kupikir, kamu satu-satunya orang yang bisa mengerti maksudku. Kamu kan pintar," candanya singkat.

Senyuman itu menghilang tiba-tiba. Atau tidak, senyuman itu sebenarnya memang tidak ada.

"Tinggal di sini membuatku merasa tertinggal. Aku sering memikirkan hal bodoh selama berdiri di sini. Terima kasih karena kamu mengajakku makan bersama malam itu. Aku jadi berubah pikiran."

Aku termenung diam selama beberapa saat.

Tunggu ... Hal bodoh apa yang akan dilakukan oleh orang paling pintar di angkatanku, memangnya?

Malam saat aku mengajaknya makan malam, Arlan Pratama sedang....

Di detik itu, aku tersadar.

Jangan bilang....

"Saat itu, kamu ingin--" Aku menahan kata-kataku, tidak percaya. "Kenapa?"

"Entahlah. Itu hanya pemikiran bodoh sekali lewat. Sekarang, aku tidak pernah memikirkan itu lagi," katanya. "Sebenarnya, saat itu kamu sudah menduganya, kan? Kamu memanggilku dengan suara panik begitu."

Aku terbungkam lagi.

Untuk ke sekian kalinya, aku bisa membaca ekspresi lelaki itu. Sirat kesepian yang teramat dalam.

Ya Tuhan ..., apapun masalah yang sedang menimpanya, kuharap dia segera menemukan jalan keluarnya.

***TBC***

27 Februari 2019

Cindyana's Note

Kenapa lagi-lagi aku malah nge-angst di siniiiii?

Next chapter, aku ingin menulis tentang petunjuk dan clue baru untuk konflik Red String. Semoga segera terealisasikan.

Sepertinya aku memang berbakat membawa scene manis ke scene tangis hanya dalam beberapa kata. Aku gatau ini kelebihan atau kekurangan wkwkwkwkw.

Kalau aku tidak ngaret, chapter Red String mungkin ga akan nyentuh 30 Chapter. Jadiii, semoga aku bisa segera membawakan cerita ini dengan baiiiikk. Amiiin.

Cindyana / Prythalize

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro