The End of The Thread - "The Farewell"

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

YANG NGGAK KUAT TIDUR LARUT, TIDUR AJA.
LANJUT BACA BESOK PAGI!
LAST CHAPTER RED STRING ENGGAK AKAN KEMANA-MANA!

*

Cindyana's Note

Jadi ceritanya, aku lagi nulis sendirian tengah malam.
Terus adik bungsuku bilang, dia mau pakai komputer, soalnya mau print sesuatu (yang baru dia ingat). Niatku buru-buru ngesave dan kasih dia pakai komputernya.

Alhasil, karena terlalu buru-buru, nggak ngeh kalau yang ketekan adalah tombol publikasi, bukan simpan.

Baru ngeh 20 menit setelah up. Itu pun gegara aku mau ngecek wattpad dulu sebelum tidur (ritual) LALU MATA KEBUKA LEBAR, DAN RASA NGANTUK ITU MENGHILANG, TERBANG DAN PERGI!

Aku, paus, melakukan sebuah hal yang mengenaskan, padahal semestinya ending Red String harus kubuat semengesankan mungkin.

Sekali lagi, aku minta maaf karena tidak sengaja PHP-in kalian.

Selamat menikmati chapter terakhir Red String!

*

I don't want to say goodbye, this is just a farewell.

This is not the end, if we promised to meet again.

***Red String***

Rasanya memang baru kemarin aku melihat rok merahku bertransformasi menjadi biru, tetapi kini aku sudah menggunakan seragam putih abu-abu.

Waktu berjalan sangat cepat. Mama juga mengatakan hal yang sama, beliau tetap tidak percaya bahwa aku sudah SMA. Padahal, ini sudah beberapa bulan sejak aku memasuki tingkat atas.

Tanpa butuh waktu lama bagiku untuk memilih, kuputuskan untuk mengambil kelas IPA. Bukan tentang pandangan orang-orang, setelah melihat apa yang Papa lakukan, kurasa itu sangat berguna untuk semua orang. Aku ingin menjadi seorang dokter di masa depan, aku ingin melihat lebih banyak orang yang bahagia.

Kurasa Arlan Pratama juga punya pandangan yang sama. Kami berdua berakhir di kelas yang sama. Awalnya kami tidak saling menyapa begitu tahu bahwa kami akan berakhir dalam kelas yang sama, aku bisa memahami itu. Dia tidak kelihatan begitu kaget saat menemukanku di kelas yang sama, seolah memang telah bisa menerka bahwa aku akan ada di sana.

Aku punya cerita lucu ketika hari ulangtahunku tahun ini. Seperti biasanya, tahun ini aku merayakannya bersama Papa dan Mama. Arlan Pratama tidak datang karena merayakan ulangtahun Kak Aetherd (kami berulangtahun di hari yang sama). Arlan Pratama mungkin merasa mempunyai kewajiban untuk mengucapkannya padaku, jadi dia meneleponku waktu malam.

"Halo?" sapaku begitu mengangkat telepon.

"Halo, Alenna, selamat ulangtahun."

Waktu itu, aku tidak melihat langsung orangnya. Suara berat yang menyelamatiku seperti itu, jadi aku langsung berasumsi bahwa pemilik suara adalah Kak Aetherd. Aku sama sekali tidak curiga atau mempertanyakan mengapa Kak Aetherd yang memegang ponsel Arlan Pratama waktu itu.

"Iya, terima kasih. Selamat ulangtahun juga, Kak Aetherd."

Akan tetapi, alih-alih mendapatkan balasan terima kasih, telepon itu malah terputus. Walaupun kebingungan, kubiarkan saja waktu itu karena Papa sudah menekan bel sembari membawa kue-ku dengan hati-hati. Aku melupakan tentang telepon putus tadi dan memutuskan untuk membantu Papa.

Berakhir, rupanya, suara Arlan Pratama yang berubah. Dia menolak bicara selama beberapa hari--ini kata Aesl--hanya karena aku salah mengenali suara. Itu sangat tiba-tiba dan memangnya siapa yang bisa menebak hal itu?

Ya, kuakui aku salah karena tidak menyadari benang merahku muncul, tapi masalahnya aku sudah terlalu terbiasa berbicara dengan Arlan Pratama, sampai-sampai tidak menyadari bahwa benang merah itu muncul.

Dan memang, waktu SMP sudah ada beberapa teman laki-laki sekelasku yang berganti suara. Terkadang, aku ... lupa bahwa Arlan Pratama akan mengalami hal itu, cepat atau lambat. Konyol sekali.

Keluarga Arlan Pratama punya kebiasaan yang agak aneh. Hanya memahami mereka sebentar saja, aku sudah dapat mengerti.

Pertama, mereka tidak menyimpan namor telepon keluarga mereka dalam kontak ponsel. Arlan Pratama bilang, ada alasan mengapa mereka melakukan itu. Katanya, dulu ponsel Kak Aetherd pernah dicuri, lalu seseorang membuat ancaman soal penculikan dari ponselnya. Setelah mendengarkan cerita itu, aku jadi ngeri sendiri.

Kedua, semua saudara Arlan Pratama punya nama publik. Arlan Pratama adalah nama publik Aerland. Nama publik Kak Aetherd adalah Ether Adikaputra. Dan nama publik Aeslyne adalah Iselyn Adelise. Katanya tidak apa-apa Aesl masih memakai nama yang agak kebarat-baratan, karena anak itu belum bisa menggunakan lensa.

Ketiga, aku tidak tahu bagaimana ceritanya, tetapi Aesl tahu nomor teleponku dan dia sering mengirim pesan kepadaku. Awalnya kukira Arlan Pratama yang memberikannya kepadanya, tapi masalahnya anak itu memintaku untuk merahasiakan ini dari kakaknya, membuat persepsiku hilang begitu saja. Mendadak aku curiga bahwa Aesl menghafal nomor teleponku secara cepat dari ponsel Arlan Pratama.

Kupikir dia ingin mempertanyakan soal pelajarannya di sekolah, tapi bukankah itu sangat tidak masuk akal? Dia punya kakak laki-laki yang sangat pintar. Jadi, tidak mungkin dia akan menanyakan soal pelajaran kepadaku.

"Ayo, siapa yang bisa jawab pertanyaan ini?" Guru Fisika mengetuk spidol di papan tulis, lalu melirik ke Arlan Pratama dan ke arahku bergantian. "Ayo, siapa yang mau mencoba?"

Arlan Pratama menoleh ke arahku, lalu menunjuk papan tulis dengan dagunya, seolah memintaku yang mencobanya.

Kulirik tangan kanannya yang sibuk memutar pena. Ada benang merah yang melingkari kelingkingnya. Ya, benar, dia memang berbicara kepadaku.

Aku menunjuk papan tulis kepadanya, memberi kode agar dia saja yang mencobanya. Ini masih soal yang dasar, kalau aku maju sekarang, aku tidak bisa lagi mencoba menjawab soal dengan tingkat yang lebih sulit. Jadi, kamu saja yang maju, Lan.

Ayo Len maju, itu yang kutangkap dari gestur mulutnya.

Kamu aja, balas gestur mulutku balik.

Pak guru berdeham, "Kalau begitu, Bapak yang pilih, ya. Alenna, ayo coba jawab soal di papan."

Aku akhirnya berdiri dan menatap Arlan Pratama sekilas dengan tatapan menyalahkan. Sementara itu, anak itu malah tersenyum tipis seolah dia tidak melakukan kesalahan apapun.

Hari itu, aku bertanya kepada Arlan Pratama. Apakah dia tahu tentang cerita benang merah atau tidak. Jika aku jadi Arlan Pratama, kurasa aku juga akan kebingungan sepertinya saat itu.

"Dongeng benang merah?" tanyanya. Tanpa menungguku menjawab, dia mengangguk, "Aku tahu ceritanya, kok. Kenapa?"

Arlan Pratama tahu ceritanya, jadi kupikir semuanya akan lebih mudah untuk dijelaskan. Namun aku kembali teringat dengan pernyataannya, bahwa dia tidak mempercayai takdir. Arlan Pratama tipe yang realitis, sebenarnya aku pun begitu jika seandainya aku tidak bisa melihat benang merah itu. Namun kenyataannya aku melihatnya, dan sulit bagiku untuk menjelaskan hal seperti ini kepadanya.

"Menurutmu ..., bagaimana?" tanyaku setelah menjeda selama beberapa saat.

Keraguan kembali mengerubungiku. Aku belum pernah menceritakan tentang ini kepada siapapun, bahkan Papa atau Mama. Daripada takut mereka tidak mempercayaiku, aku lebih takut dengan hubungan mereka.

Saat ini hubungan mereka lebih membaik, barangkali tiba-tiba Papa punya nyali untuk mengajak Mama rujuk sungguhan--karena Papa selalu curhat denganku. Mama tidak menunjukkan ketertarikan seterang-terangan Papa, tapi aku yakin Mama juga masih berharap dengan Papa.

Dan melihat hubungan keduanya, aku punya keraguan dan kecurigaan yang semakin dalam terhadap benang merah. Apa aku hanya berilusi? Apakah benang merah punya arti yang lain daripada yang kutahu?

"Pendapatku tentang cerita itu?" tanya Arlan Pratama yang langsung kujawab dengan anggukan. "Hmm ... Benang merah takdir yang tak kasat mata ada di jari kelingking, menghubungkan seseorang dengan pasangan sejatinya. Akan tetap saling terhubung, jauh atau dekat. Atau bahkan terpisah ruang dan waktu. Bisa kusut, tapi tidak akan pernah putus. Iya kan?"

Aku hanya diam karena takjub. Arlan Pratama benar-benar tahu tentang cerita itu. Arlan Pratama memang pernah bilang bahwa dia tahu banyak cerita anak--baru-baru ini aku tahu bahwa dia sering mendongengkan cerita itu kepada Aesl dulu--sepertinya benang merah adalah salah satu cerita yang dimaksudnya.

"Itu adalah salah satu cerita yang tidak pernah aku tahu amanatnya," ucap Arlan Pratama. "Setiap dongeng yang kubaca pasti setidaknya punya pesan moral, tapi untuk cerita ini, aku tidak menemukannya."

Tentu saja, untuk seseorang yang tidak percaya dengan takdir tidak akan menemukannya. Memangnya, jawaban apa yang bisa kuharapkan?

"Berarti maksudmu, kamu tidak percaya?" tanyaku yang sebenarnya harus menyembunyikan perasaan kecewaku yang mulai naik.

"Bukannya aku tidak percaya. Ada beberapa hal yang ada dan tidak bisa kita lihat, tapi kita bisa merasakannya, kan? " tanyanya balik.

... apakah yang Arlan Pratama maksud dengan merasakan itu ... dia merasakan sesuatu--

"Contohnya angin!" ucap Arlan Pratama yang membuatku langsung menyalahkan diri sendiri dalam hati karena sudah membuat ekspektasi yang konyol. "Ada, tidak terlihat, bisa dirasakan dan bukan berarti tidak ada."

Padahal pertanyaanku saat ini hanya satu: Apakah dia percaya atau tidak.

"Mengapa tiba-tiba mempertanyakan dongeng benang merah?" tanyanya.

Aku meremas tanganku sendiri diam-diam, "Aku ... hanya ingin mendengar pendapatmu, karena kita sering berbeda pendapat. Aku senang mendengar pendapat orang lain."

"Aku juga senang mendengar pendapatmu, hehe." Arlan Pratama tertawa kecil. "Kalau menurutmu, bagaimana?"

Kulirik kelingkingku yang jelas terlihat benar-benar diikat oleh benang merah, "Aku percaya, tentu saja."

Apalagi aku benar-benar melihatnya saat ini, tambahku dalam hati.

"Hanya saja, itu membuatku berpikir. Jika memang ada dan kita tidak bisa melihatnya, untuk apa sebenarnya eksistensi benang merah?"

Aku tanpa sengaja malah menumpahkan pertanyaan yang selama ini mengusikku kepada Arlan Pratama. Di detik pertama aku menyesalinya, tetapi karena sudah terlanjur, kupikir tidak masalah jika aku menanyakan itu kepada seseorang yang cerdas sepertinya.

"Hmm ... Justru kita tidak bisa melihatnya karena itu. Coba bayangkan kalau kamu bisa melihat benang merah," ucap Arlan Pratama.

Tentu saja perkataannya membuatku tersentak.

Arlan Pratama melanjutkan, "Kalau kamu bisa melihat benang merahmu, apa kamu akan memilih percaya dengan yang kamu lihat? Atau apakah kamu bisa percaya dengan perasaanmu setelah itu?"

Pertanyaan Arlan Pratama justru membuatku terdiam selama beberapa saat. Mengapa malah aku yang ditanya balik seperti ini? Seharusnya aku yang bertanya apakah dia percaya bahwa aku bisa melihat benang merah atau tidak.

"A-aku tidak tahu."

Itu balasan yang benar-benar jujur, hanya saja Arlan Pratama tidak mengetahuinya.

Arlan Pratama melempar senyum. "Menurutku, semua orang tidak bisa melihat benang merah adalah hal yang baik. Jadi, semua orang punya kesempatan untuk percaya dengan perasaannya."

"Lalu bagaimana dengan mereka yang tidak berakhir dengan benang merah mereka?" tanyaku.

"Hm ... kurasa peluang salah memang lebih besar daripada menemukan satu yang benar, ya."

Otak matematika anak itu mulai berjalan lagi. Dia menjeda, sampai-sampai aku curiga bahwa dia sedang meghitung peluang bertemunya satu orang dengan seluruh manusia yang ada di Bumi ini.

Arlan Pratama kembali melanjutkan, "Karena tidak ada yang bisa melihat, kurasa akan ada banyak yang salah menerka benang merah mereka, tapi menurutku mungkin banyak yang tidak bersama benang merahnya dan tetap bisa bahagia. Jadi mengapa harus mencocok-cocokan perasaan terhadap hal yang tidak kita ketahui pasti? Benar atau tidak, yang penting semuanya bahagia, kan?"

Ada hal yang membuatku tersadar. Arlan Pratama tidak pernah melihat benang merah, tetapi dia lebih memahami hal itu. Dia punya pemikirannya sendiri dan walaupun sering kali kami berbeda pendapat, aku pasti selalu berakhir berpikir bahwa Arlan Pratama benar.

Segala hal yang ada di dunia ini bisa dilihat dari sudut pandang yang berbeda, hanya diri kita yang memilih ingin melihat dari persepsi yang mana.

Saat tengah merenung sendirian, tiba-tiba Kak Aetherd datang bersama kursi dorongnya, dibantu oleh pria yang memang selalu terlihat membantunya.

"Aerland, mau bertemu teman kakak?"

Arlan Pratama melirikku sejenak, "Uh, enggak deh. Lain kali saja. Masih ngobrol penting dengan Alenna."

Itu memang hal penting untukku, tapi tidak untuk Arlan Pratama. Dia tidak tahu, tentu saja.

Setelah berbincang sedikit dengan Arlan Pratama, rasanya seperti ada beban yang terangkat dari bahuku. Namun apa yang ingin kusampaikan sangat berkebalikan dengan apa yang baru saja kami bicarakan. Kalau tiba-tiba aku mengatakan bahwa sebenarnya aku bisa melihatnya ..., sejujurnya aku tetap tidak bisa membayangkan reaksi anak itu.

Tapi, Arlan Pratama percaya ... tapi ....

"Mengapa dongeng benang merah bisa mengganggumu?" tanya Arlan Pratama setelah Kak Aetherd kembali ke temannya.

"Aku hanya ingin mendengar pendapatmu," balasku, lagi-lagi dengan jawaban yang sama.

Arlan Pratama tiba-tiba mengangkat kelingkingnya, "Kalau aku bilang aku bisa melihat benang merah, apakah kamu percaya?"

"Enggaklah!" balasku tanpa berpikir panjang, padahal masih jantungan dengan pertanyaannya.

Karena kalau Arlan Pratama bisa melihatnya, berarti dia akan melihat benang merahnya terhubung dengan--tapi tidak mungkin. Arlan Pratama tidak melihatku dalam pandangan seperti itu. Tidak mungkin.

"Jawabnya cepat banget!" balasnya sambil tertawa. "Bercanda, tahu!"

Sudah kuduga. Sudah kuduga!

Kalau aku bilang aku bisa lihat, kamu percaya?

Apa aku juga harus menanyakan itu kepadanya? Apa aku harus mencobanya?

Terjebak dalam keheningan panjang selama beberapa saat, Arlan Pratama akhirnya berdiri, "Menurutku yang terpenting adalah percaya dengan perasaan kita sendiri."

Begitulah kira-kira hal yang kubicarakan dengan Arlan Pratama sebelum dia pulang kembali ke rumahnya. Arlan Pratama bilang, yang penting adalah percaya dengan perasaan kita sendiri. Keberadaan benang merah hanyalah sesuatu yang tidak sengaja kulihat, hal yang membuat keraguanku tumbuh.

Sekarang, aku tidak perlu menerka perasaanku sendiri, tidak perlu bertanya-tanya dengan apa yang dirasakan olehku terhadap Arlan Pratama, atau sebaliknya. Aku percaya dengan kata-kata Arlan Pratama, bahwa suatu hari yang akan mempertemukanku dengan jawaban itu adalah perasaanku, bukan karena sesuatu yang kulihat.

"Banyak lho teman-temanku di IPS yang suka Arlan. Bukannya lebih baik segera bikin pengumuman?" tanya Rania kepadaku saat jam makan siang.

Saat ini aku makan bertiga di kantin dengan Rania dan Jingga. Katanya Fhea melanjutkan sekolahnya di SMA lain, tapi mereka masih saling bertukar kontak.

"Pengumuman apa?" tanyaku sambil meraih minumanku.

"Kalau kalian sudah pacaran?"

Aku nyaris tersedak minumanku sendiri, tetapi untungnya aku bisa mengendalikan keterkejutanku. "Aku dan Arlan hanya teman!"

"Sudah berapa tahun kamu di friendzone?!" tanya Rania gemas.

"Lho? Alenna di friendzone?" tanya Jingga.

Baru saja hendak menjawab, tiba-tiba aku melihat Kak Clay yang ada di pojok kantin, melambai-lambaikan tangan ke arahku. Tentu saja aku melambaikan tanganku balik sambil tersenyum.

"Sampai sekarang, aku belum percaya kalau Alenna yang pendiam ternyata diam-diam berteman baik dengan Kak Clayrine!" Rania selalu mengatakan hal yang sama jika aku menyapa Kak Clay atau sebaliknya.

Pertama kalinya Rania tahu bahwa aku mengenal Kak Clay adalah saat pengenalan sekolah. Kak Clay langsung menyapaku dengan semangat. Ternyata di sekolah, Kak Clay adalah seseorang yang populer dan disukai banyak orang. Tentu saja, dia sangat cantik dan manis, selain itu juga sangat baik. Banyak orang yang menyukainya.

Meskipun banyak yang menyukainya, tapi sepertinya tidak ada yang tahu tentang kebiasaan Kak Clay insomnia malam-malam. Kak Clay biasanya aktif di chat waktu malam dan bertukar pesan dengan Kak Riryn yang juga tidur larut sewaktu-waktu.

Aku sudah pernah bilang bahwa Kak Clay berteman baik dengan Kak Riryn dan Kak Metta, kan? Sebenarnya beberapa hari yang lalu Kak Clay mengajakku mencoba toko kue yang baru dibuka dekat sekolah--karena itu, aku menolak ajakan Arlan Pratama untuk belajar bersama di perpustakaan sekolah--dan ternyata kami bertemu dengan Kak Riryn dan Kak Metta.

Akhirnya Five Rain Women reuni kembali, minus Tyara.

Awalnya aku merasa canggung berada di antara lingkaran kakak kelas yang sibuk membicarakan tentang hal yang mereka tahu. Namun menyadari kegelisahanku, Kak Metta langsung mengalihkan pembicaraan. Lalu tiba-tiba topik berakhir mereka mencurigaiku berpacaran dengan laki-laki berpayung merah, Arlan Pratama. Tentu saja aku membantah, tapi kelihatannya Kak Riryn tidak mempercayaiku.

Kak Riryn rupanya satu sekolah dengan Kak Metta, tetapi keduanya beda jurusan. Namun kelihatannya mereka berdua berteman baik.

Dari pertemuan itu, aku lebih mengenal Kak Metta dan Kak Riryn;

Kak Riryn, walaupun sering bercanda, tetapi dia sangat peduli dengan teman-temannya. Buktinya, dia menyimak saat Kak Clay curhat tentang J--sebuah inisial yang kumaksud sebagai hal yang hanya mereka mengerti tadi--sebenarnya mereka sering menceritakan soal J ini di chat tengah malam, saat hanya keduanya yang online. Kak Riryn sangat ceria dan bersemangat, membuat sekitarnya dipenuhi oleh aura positif. Dia sering berbicara sendiri dan katanya sedang berusaha menghentikan kebiasaannya itu.

Kak Metta sangat optimis dan penuh dengan pandangan positif. Mungkin karena kurang memperhatikan waktu di halte, Kak Metta ternyata sangat murah senyum atau mungkin karena waktu itu Kak Metta khawatir dengan katak di seberang jalan, entahlah. Kak Metta pernah bilang, hanya orang-orang terdekatnya yang memanggilnya Yoelene--nama tengahnya--Kak Riryn dan Kak Clay juga bahkan memanggilnya begitu.

"Lain kali, kita bertemunya berlima, ya!" ucap Riryn dengan antusias.

Semuanya sepakat, jadi waktu itu aku juga sepakat--lagipula aku senang bersama mereka. Rasanya berbeda saat bersama dengan teman sekolah dan teman yang ditemui secara tidak sengaja. Sembari saling mendekatkan diri, aku juga bisa sambil mempelajari dan mengenal mereka.

Dulunya, hal tentang takdir yang kebetulan hanyalah kata-kata yang kupercayai, bukan kualami. Sekarang, aku percaya bahwa takdir mempertemukan kami berlima secara sengaja. Karena jika tidak hujan lebat di hari itu, kurasa kami berlima tidak akan bertemu.

.

.

.

Hujan lebat tidak kunjung berhenti, padahal sudah waktunya untuk pulang. Untungnya aku memang selalu menyiapkan payung lipatku dalam tas. Saat tengah bersiap membuka payung, aku tidak sengaja melihat Kak Clay yang dipayungi dan masuk ke mobil. Kak Clay memang selalu datang dengan jemputan pribadinya. Sepertinya dia tidak menyadari keberadaanku di antara kerumunan.

"Pulang?"

Suara berat Arlan Pratama tiba-tiba terdengar di telinga kananku. Untungnya aku tidak refleks melemparkan payung lipatku ke arahnya, apalagi di kerumunan orang-orang yang menunggu hujan reda hari ini.

"Iya, pulang," balasku ketus, tidak kujelaskan mengapa alasannya, tapi seharusnya Arlan Pratama tahu bahwa mengejutkan orang tiba-tiba bukanlah perbuatan yang baik.

"Boleh ikut?" tanyanya sembari memamerkan senyuman mautnya.

Kurasa ada beberapa orang di kerumunan yang diam-diam menyimak pembicaraan kami, sebab aku tidak sengaja menangkap basah seseorang menatapku seolah menunggu jawaban. Padahal bukan dia yang bertanya.

"Bukannya kamu dijemput?" tanyaku.

Arlan Pratama berdeham dengan sengaja, "Sudah lihat pengumuman mid-semester hari ini?"

... Ah. Jadi itu maksudnya.

Kubalas dengan datar, "Sudah. Selamat atas ranking pertamamu lagi. Kalau begitu, aku pulang dulu, ya."

Ya, dan kembali terjadi kemenangannya. Entah kapan itu akan selesai.

"Ikut," mohonnya yang terdengar seperti rengekan bagiku.

Aku menghela napasku dan membuka payungku, "Ya sudah, ayo."

Aku dan Arlan Pratama masih berteman baik. Ya, walaupun banyak yang salah paham dengan hubungan kami akibat kelakuan anak itu.

Yang paling parah adalah sampai ketika walikelas berbasa-basi seperti ini saat aku dan Arlan Pratama sedang membantu membawakan buku, "Nah, gini dong, pacaran sehat. Saling dukung dan saling memberi jalan positif. Patut dicontoh sama remaja zaman now. Kalau hubungan yang kayak gini, Ibu pasti restuin! Awet terus ya kalian, nanti Ibu kasih suara ibu untuk best couple di prom night, waktu kalian kelas dua belas!"

Aku hanya bisa membulatkan mata dan mengerjapkan mata, sementara Arlan Pratama tertawa kecil. Iya, tanpa membantah atau menjelaskan kebenarannya. Benar-benar sengat membantu.

"Mau mampir?" tanya Arlan Pratama sembari mengambil alih payungku.

"Kemana?" tanyaku.

"Kemana saja," balasnya kembali tersenyum. "Mau kemana?"

Aku pura-pura berpikir, "Pulang?"

Kupikir Arlan Pratama akan merengek lagi atau setidaknya mengajukan opsi baru, tapi dia malah tertawa lepas. "Sudah kuduga!"

Apa semudah itu menebak isi pikiranku?

"Minggu depan Aesl ulang tahun. Datang, ya!"

Arlan Pratama mengingatkan lagi. Sebenarnya Aesl sudah mengatakannya via pesan, tapi karena Arlan Pratama tidak tahu, jadi akhirnya aku mengiyakan.

Dulu Aesl pernah memintaku datang ke rumah mereka, tapi baru sampai di depan gerbang, perutku mendadak mual karena berasa seperti melihat kerajaan. Akhirnya, aku hanya mampir sampai di gerbang, lalu segera pulang setelah mengabarkan kalau aku tidak enak badan.

Mereka terlalu berada! Aku tidak bisa masuk ke dalam sana.

Namun karena sudah terlanjur janji dengan Aesl untuk datang ke ulang tahunnya, mau tidak mau aku harus datang. Aku bahkan sampai bertanya kepada Mama pakaian yang harus kugunakan--perlu diketahui bahwa aku sangat jarang menanyakan perihal ini kepada Mama--karena itu Mama juga ikut terkejut.

"Aesl ... perlu hadiah apa?" tanyaku takut-takut.

Semoga dia barang yang diinginkannya tidak terlalu mahal, sehingga aku masih mampu membelinya.

"Dia tidak perlu apa-apa, dia hanya mau kamu datang ke pestanya."

Dia tidak perlu apa-apa, pasti Aesl sudah punya semua hal yang diinginkannya. Bodoh sekali aku bertanya.

"Apa akan ramai? Teman-teman Aesl dan semacamnya?" tanyaku.

"Untuk teman-temannya tidak masalah, karena Aesl juga merayakan di sekolah. Jadi yang datang di pesta nanti hanya keluarga dan semacamnya. Tenang, tidak akan terlalu ramai."

Aku tidak terlalu suka keramaian, tapi aku berharap di sana ramai agar tidak ada yang menyadari keberadaanku. Begitu tahu jawabannya, aku merasa ingin segera mengirim pesan ke Aesl dan meminta maaf kepadanya karena ragu akan datang atau tidak.

"Kenapa?" tanya Arlan Pratama.

"Uhm, bisa ajarkanku cara menggunakan sumpit? Atau etika makan yang penting?" tanyaku panik. "Atau--"

Arlan Pratama tiba-tiba bersemangat, "Etika makanmu baik-baik saja, sih, tapi ayo! Akan kuajari sampai jadi master!"

"Eh, tidak perlu sampai maste--"

Dia kembali tersenyum, "Aku senang kalau kamu bisa bergantung sedikit denganku, walau hal kecil seperti ini. Ternyata rasanya seperti ini!"

Mendengar jawaban itu, entah mengapa aku tidak bisa menahan senyumku, "Kekanakan sekali."

"Ah, kamu senyum!"

Arlan Pratama tertawa, sangat menyejukkan. Melihatnya tertawa seperti itu kembali membuatku teringat bahwa Arlan Pratama sudah bahagia, berbeda dengan ketika aku berbicara dengannya pertama kali. Kini, dia terbebas dari masalahnya, aku sangat menyukuri hal itu.

"Coba belajar dewasa sedikit dari Kak Aetherd," ucapku.

"Harus ya, bawa Kak Aetherd di pembicaraan ini?" Arlan Pratama tiba-tiba cemberut. "Dan kenapa kamu masih panggil aku Arlan Pratama?"

"Kalau sifatmu sudah lebih dewasa, baru aku akan memanggil nama aslimu."

"Kapan?" tanyanya cemberut.

Di bawah payung merah ketika hujan turun, bersama dengan Arlan Pratama yang berbahagia adalah sesuatu yang membahagiakan.

Saat ini aku belum paham betul dengan perasaanku, tentang benang merah yang menyambung di antara kami, tapi aku akan terus memastikan dan meyakinkan diriku.

Lalu, ketika aku sudah yakin dengan perasaanku, aku akan bilang bahwa benang merah yang kulihat di kelingkingku, tidak ada sangkut pautnya dengan perasaanku! Dan mungkin aku akan sangat bangga dengan hal itu.

Kehadiran Arlan Pratama di hidupku memberikanku banyak pelajaran. Aku ingin seperti defenisi warna merahnya, berani dan kuat. Aku ingin belajar memahami lebih banyak hal yang tidak pernah kucoba untuk pahami, belajar lebih banyak hal baru.

Mungkin yang bisa kulakukan selain memastikan perasaanku adalah, mulai menerka apa dugaan yang dibuat Arlan Pratama.

Namun sepertinya Arlan Pratama benar. Dia hebat dalam matematika dan peluang. Kalau dia salah, aku pasti akan menjadi pembuat soal paling hebat yang pernah ada.

Tapi, benar atau tidak, yang penting semuanya bahagia, kan?

***END***

22 November 2019

Cindyana's Note

AAAAAAAA 3800 kata! Kutulis dari selama 5 jam antara kebingungan dan belum ikhlas wkwkkww.

AKHIRNYA ENDING, TEMAN-TEMAN SEMUA!

Bagaimana? Apakah kalian suka dengan endingnya?

Memang, Tyara dan Alenna saling tidak tahu. Bahkan sampai nanti di hari 'perkenalan' Aeth-Tyara, Tyara tidak akan pernah tahu. Bekos Arlan gapernah ketemu Tyara. Arlan hanya tahu nama, tapi ga pernah liat wajah atau apa. Jadi, Tyara juga tidak tahu kalau Aerl adalah cowok berpayung merah itu.

Pokoknya tidak akan saling tahu sampai aku yang memutuskan //jahat banget

Tadinya ingin bocorin petunjuk Metta, tapi karena Metta masih LFS 5, nanti kalian sakit kepala. Jadi aku tahan dulu wkwkwkw.

BUT anyways, APAKAH KALIAN SUKA RED STRING? <3

Sebenarnya tadinya aku bingung mau menulis epilog semacam apa, apakah seperti Aeth yang flashback? Atau dari sisi Tyara? Tapi akhirnya kuputuskan akan menulis dari sisi Aerl, sama seperti abangnya, bukan POV Arlan, tapi 3. Jadi mungkin kalian akan mengerti sedikit bagaimana pemikiran anak ini.

BTW aku baru ngeh kalau Alenna adalah satu-satunya karakterku yang tidak pernah mereferensikan Arlan sebagai "lelaki itu" atau "pemuda itu". Malah, Alenna selalu menggunakan "anak itu" untuk mereferensikan Arlan. SAKING BOCAHNYA ANAK ITU BAGI ALENNA WKWKWKW.

Sebenarnya Arlan dewasa banget ga sih untuk umurnya? Tapi memang dia agak kekanakan di Alenna sih. Jadi ya ...

Aku happy banget akhirnya bisa menamatkan satu cerita di tahun 2019. Kupikir aku sudah makin tidak produktif, huhuhuh.

Aku sudah berusaha menuangkan semua gulali kapas dalam Red String, karena selanjutnya aku akan ngetik yang horor. Huuu~ Mamerah. LFS 3 dan ADK IV aku hold dulu ya sampai Mamerah selesai.

Ada pertanyaan untuk kenang-kenangan nih, boleh dong dijawab. Kalau bisa, tolong ceritakan dengan lengkap juga ya, aku mau baca satu-satu <3

---

1. Darimana menemukan cerita Red String?

1a. Pembaca LFS 1 - Air Train / Cerita lain

1b. Follow Paus

1c. Muncul di rekomendasi

1d. Direkomendasiin teman

1e. Dan lain-lain

.

2. Bagaimana ekspektasi awalmu waktu membaca Red String? (mis: bakal mainstream, konfliknya bakal tentang x, dll)

3. Mengapa tetap melanjutkan Red String?

4. Dimana dan apa yang sedang kamu lakukan waktu membaca bagian 'plot twist'?

5. Bagaimana menurutmu karakter Alenna dan Arlan di awal dan di akhir cerita?

6. Beri rate 1-10 untuk cerita Red String, serta alasannya.

7. Harapannya untuk Next LFS (3-5)

8. Apakah kamu menemukan plot hole? Kalau ada, bantu komen ya. Soalnya sama seperti biasa, aku tidak menemukannya.

9. AETHERD atau ARLAN?

10. Ingin membaca epilog yang seperti apa?

11. Siapa side chara yang harus dibuatkan ceritanya sendiri dan apa alasannya?
Berlaku untuk semua side character di ceritaku.
(Ini hanya pertanyaan, nggak boleh bikin cerita baru sebelum projek selesai wkwkwkw)

SEKARANG UDAH PERCAYA KAN, KALAU AKU BISA NULIS YANG MANIS-MANIS? MAKANYA JANGAN BILANG AKU GELAP HANYA KARENA BACA REVIVE. DON'T JUDGE WRITER BY ONE BOOK! //tebar gula

Bakal ada pertanyaan dan cuap-cuap lagi di epilog. Jangan hapus dari perpustakaan dulu, yaaa!

*

Statistik Red String ketika di chapter terakhir.
Mata: 266k
Bintang: 60.9k

Ini adalah jumlah yang sangat banyak, menurutku. Apalagi jika mengingat statistik Air Train ketika tamat kemarin.

Statistik Air Train ketika di chapter terakhir.
Mata: 44.5k
Bintang: 6k

Memiliki kalian semua yang senantiasa mengikuti dan menyukai ceritaku adalah sesuatu yang hebat dalam hidupku.

Dan betapa jahatnya aku karena tidak pernah berterimakasih dengan baik.

Thank you <3

All my stories are dedicated to you all <3

See you in Epilogue!





Cindyana H / Prythalize

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro