The Fifth Thread - "Rivalry is Something Good"

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Rivalry is Something Good, so you know how to work hard.

***

Untuk beberapa alasan, membuka pintu balkon menjadi hal yang mustahil untuk dilakukan. 

Saat ini, hujan yang amat deras tengah menguyur seisi kota. 

Kalau dilihat dari jendela, pemandangan di kota memang sedang tidak seperti biasanya; gelap gulita. Sepertinya petir besar tadi yang menyebabkan satu kota terkena mati listrik.

Kabar buruknya, aku hanya ditemani oleh sebuah senter. Sebenarnya aku bisa saja menggunakan lilin, tetapi tidak ada Mama di sini. 

Benar, aku sedang sendirian di apartemen ini. Menyalakan lilin adalah hal yang paling dilarang untuk dilakukan. 

Di kamar belajar, aku meluruskan kakiku di bawah kolong meja pendek yang selalu menemaniku saat aku mengerjakan tugas. Nama kamar ini tidak diberi nama kamar belajar tanpa alasan, karena aku memang selalu belajar atau mengerjakan tugas di sini, dalam keadaan pintu balkon yang terbuka. Biasanya, tetapi bukan sekarang.

Dulu, Mama pernah menawarkan padaku agar menjadikan kamar ini sebagai kamar tidurku karena aku sangat sering menggunakan kamar ini. Namun, aku menolak tawaran itu karena memiliki alasan tersendiri. Memang, aku menyukai ruangan ini, tapi rasanya tidak adil jika aku menjadikan satu-satunya ruangan yang memiliki balkon ini sebagai kamar pribadiku. 

Dan berakhir, ruangan ini menjadi ruang belajar, Mama yang memberinya nama. Kadang kala saat Mama sedang bekerja, Mama juga akan bekerja di ruangan itu dan setiap itu terjadi, aku lebih memilih belajar dalam kamar daripada mengganggu beliau. 

Kembali lagi kepada aku dan apartemen yang mati listrik. Tadi Mama menelepon dan mengatakan bahwa ia akan segera pulang. Jalanan sedang macet, karena katanya rambu lalu lintas juga berhenti beroperasi. Sebenarnya jarak kantor Mama dan apartemen ini juga tidak terlalu jauh, itu salah satu alasan Mama memilih tinggal di sini dari sekian banyak tempat yang ada. 

Seharusnya, Mama sudah pulang sore tadi. Namun kendala pekerjaan dadakan yang mengharuskan Mama untuk pergi, lagi. Terkadang, pekerjaannya bisa muncul terlalu mendadak, pernah saat kami tengah makan malam. Yang paling parah adalah saat ada kendala pada pukul lima pagi dan Mama dituntut untuk segera hadir. 

Sebenarnya, alasanku di ruang belajar saat ini adalah untuk merangkum pelajaran besok, tetapi dalam keadaan yang tidak memungkinkan seperti ini, sepertinya aku harus segera tidur agar bisa segera tidur dan bangun lebih pagi untuk--

PRANG! 

Tubuhku tersentak. Kakiku yang semula berada dalam posisi lurus, langsung kutekuk. 

Ada suara pecahan kaca dari luar pintu balkon, suara yang sangat keras dan jelas bukanlah suara guntur. Aku pun berdiri dan memeriksa keadaan dari balik kaca pintu. Keadaannya masih sangat gelap, membuatku akhirnya menyorotkan cahaya senter ke sana. 

... Suara tadi sudah hilang.

TOK, TOK, TOK! 

Aku melangkah mundur dengan perasaan gugup, lalu menyorot senterku ke arah sisi kanan pintu kaca yang kuyakini memang adalah sumber suara itu. 

Sebuah tangan. 

Setelah mengerjap beberapa kali, barulah aku bisa mencerna keadaan yang tadinya membuatku gelisah. Kurasa aku harus segera terbiasa dengan keberadaan tetangga baruku, atau tidak aku akan berasumsi hal yang buruk terus menerus. 

Aku menggeser pintu kaca, lalu menyorot senter itu ke arah si pengetuk karena dia tidak membawa penerang. Dan tebakanku benar, yang mengetuk kaca pintu adalah Arlan Pratama. Dia juga sudah menggunakan piyama, tentu saja. Rasanya baru kali ini aku menyadari bahwa jarak antara dua balkon di sini terlalu dekat.

"Malam," sapanya lebih dulu. 

Ada apa ini? Mengapa dia mengetuk pintu balkon ini dari balkonnya? 

"Malam," balasku. 

Aku menyempatkan diri untuk mengamati hujan deras yang masih turun, lalu memperhatikan benang merah yang tiba-tiba muncul dan kebetulan tampak karena disorot oleh senter. 

Alisku menekuk sedikit. Itu benar-benar ada, ya

"Maaf mengganggu, tapi apa aku boleh meminjam sentermu sebentar?" tanyanya. 

Belum sempat aku memikirkan jawaban, Arlan Pratama lebih dulu melanjutkan, "Aku tidak sengaja menyenggol pot bunga yang ada di sana."

Kali ini aku menyorot ke arah sudut balkon, dan yang benar saja, pot bunga kecil yang seharusnya berada di sana benar-benar lenyap. Barulah aku mengerti darimana suara pecahan tadi.

 Melihat pecahan pot di lantai yang sama dengan yang dipijak oleh Arlan Pratama, aku segera menyerahkan senterku. 

"Sebentar, ya ...." 

Aku mengangguk sebagai jawaban.

Dia pun menghilang bersama senter tadi, meninggalkanku di balkon dalam keadaan gelap gurita seorang diri. 

Kami belum pernah berbicara sebelumnya, hari ini adalah yang pertama kalinya. Seandainya barusan adalah kali pertama kali, aku tidak akan pernah melihatnya dalam pandangan yang berbeda. Tidak akan ada yang menyangka bahwa dia mengucapkan kata-kata lantang seperti sore tadi. Itu membuatku kembali teringat dengan hal yang terjadi tadi.

Kekacauan karena ucapan pedas dari Arlan Pratama nyaris mengundang keributan besar. Pria itu sampai hendak memaksa agar dapat dipertemukan dengan orangtua Arlan Pratama, sepertinya dia sangat tersinggung dengan ucapannya. Tentu saja, Arlan Pratama mengiyakan tanpa ragu, tentu saja dengan syarat apabila kami memang berbohong.

Beruntung, pertikaian itu segera mereda setelah kami turun ke lantai dasar untuk mengonfirmasi bahwa kami memang penghuni apartemen ini. Begitu mengetahui kenyataannya, pria dan wanita itu langsung meninggalkan kami dan naik elevator. Tentu saja kami tidak pernah punya kesempatan untuk melihat rekaman CCTV, apalagi sampai melihat pria itu bersujud di depanku.

"Kenapa diam saja, tadi?" Dia bertanya saat perjalanan kami ke lantai sepuluh.

Aku tidak bisa menjelaskan apakah itu nada menuntut, ingin tahu, atau bahkan kalimat untuk menyalahkanku, tetapi aku tidak membalasnya dengan jawaban yang terus mengiang di kepalaku.

Jawabannya hanya satu; aku tidak ingin mencari masalah.

Seharusnya aku bisa mengumbarkannya dengan lantang dan jelas, tetapi nyaliku ternyata masih ditelan oleh situasi tidak mengenakkan semacam tadi.

Pada akhirnya, aku hanya diam dan menggeleng. Membatu karena beberapa hal; situasi tadi, kecanggungan kami, dan bagaimana aku melihat benang merah ada di antara kami menghilang perlahan setelah tidak ada interaksi di antara kami.

Selanjutnya, kami keluar dari elevator setelah sampai di lantai sepuluh dan kembali ke apartemen masing-masing tanpa mengatakan apapun.

Itu benar-benar situasi yang ... aneh.

Beberapa saat kemudian, Arlan Pratama kembali membawa senter lain di tangannya. 

"Thanks," ucapnya sambil mengembalikan senterku. 

Aku hanya bisa menerimanya sambil mengangguk. Memangnya, aku harus menjawab apa? Sama-sama? Your Welcome? Berbicara dengan orang lain adalah hal yang sulit untuk dilakukan oleh seorang Alenna, tetapi setidaknya aku sudah mencoba ramah, seperti apa yang Mama inginkan. 

"Di sini sering mati listrik?" tanyanya sambil menyorot senternya ke sembarang arah, entah apa tujuannya melakukan itu. 

"Tidak," balasku. 

Dalam hati, aku mulai menimbang-nimbang apakah aku harus tetap berada di balkon dan melanjutkan perbincangan selagi mempunyai kesempatan atau kabur dari situasi ini dan masuk kembali ke apartemen. Aku juga tidak tahu harus memilih situasi berdiam di gelap gulita sendirian atau menunggu di luar bersama seseorang dalam keadaan dingin karena hujan.

Sengaja kusorot senterku ke tangannya hanya untuk memastikan bahwa benang yang mengambang di antara kami memang benar-benar tersambung. Entah sudah berapa kali aku mencoba memastikannya. Mendadak, perutku terasa mual. Makanan yang kutelan untuk makan malam seolah teraduk-aduk di dalam sana. 

"Kenapa?" tanya Arlan Pratama. 

Aku menggeleng cepat, "Itu ... tidak dibersihkan?" tanyaku sambil menyorotkan cahaya ke arah pecahan pot di sampingnya. 

Keningnya mengerut pelan saat ditolehkannya kepalanya ke lantai, "Oh, iya."

Mungkin ini saatnya aku masuk kembali ke apartemen. Aku tidak ingin karena terlalu lama di sini, aku malah tidak mendengar suara Mama mengetuk pintu. Bagaimana pun juga, tidak ada yang bisa mengakses pintu masuk, apabila dalam keadaan mati listrik seperti ini. Aku harus membukanya secara manual. 

"Ngomong-ngomong, aku minta maaf soal tadi sore," ucapnya. "Aku tahu, aku terlalu berlebihan." 

"Tidak. Terima kasih sudah repot-repot membelaku," jawabku seadanya. 

Dia melemparkan senyuman heran, lalu mengulurkan tangan, "Aku Arlan. Kamu?"

Aku memperhatikan tangan kanannya yang sudah bersiap-siap bersalaman dengan tidak nyaman. Benang merah itu ... aku bisa menyentuhnya tidak? 

Sebelumnya, aku belum pernah mencoba menyentuh benang merah itu, tapi jika dijabarkan secara langsung dari pengalaman singkatku, aku tidak merasakan ada apapun yang mengikat di jari kelingkingku saat ini. 

Aku menerima jabatan tangannya, "Aku Alenna." 

Kami menjauhkan tangan kami bersamaan. 

"Oh. Itu kamu?" tanyanya. 

Memangnya kamu kenal? Aku ingin bertanya demikian, tetapi aku memutuskan untuk menunggunya berbicara saja.

"Kamu ranking satu paralel?" Arlan Pratama bertanya lagi. 

Kuanggukan kepala, "Iya." 

"Selamat, ya."

Belum sempat mengucapkan terima kasih atau apapun itu, dia tersenyum dan melanjutkan, "Semoga bisa bertahan sampai pemilihan juara umum selanjutnya." 

... sudah kuduga, aku tidak menyukai Arlan Pratama. 

Pasti ada sesuatu yang salah dengan benang merah. 

***TBC***

27 Desember 2018, Kamis.

Cindyana's Note

Apakah sifat Arlan mengingatkan kalian dengan sesuatu? Kuharap tidak ada //berusaha menepis orang itu di kepalaku. 

Oke! Aku mau minta maaf soal keterlambatan updateku, aku beneran sibuk banget wkwkkw.

Akhirnya duo A ini mengobrol, saudara-saudara sekalian! Apakah Red String akan menjadi cerita dengan tema LoveHate Romance yang mainstream itu? Tunggu saja kelanjutannya! 

Ngomong-ngomong, iya, Alenna memang nyebut Arlan dengan nama lengkap. Sebenarnya agak sulit menjelaskan alasan mengapa, tapi untuk yang sudah pernah menghadapi situasi seperti Alenna atau mungkin yang pernah dipanggil nama lengkap alih-alih nama panggilan, mungkin bisa mengerti. Karena, ya, aku benar-benar kepayahan dalam menjelaskan alasannya kepada kalian. 

Sebenarnya aku sangat tidak sabar menunjukkan konflik utama Red String kepada kalian. Sangat. Tapi aku akan berusaha bersabar, demi Red String yang lebih baik //angkat kelingking//.

Dan kapan Alenna akan ketemu Tyara? Hmmm, kalau kalian menyimak alurnya baik-baik, Tyara baru ketemu Five Rain Women saat dia kelas 8. Tentu saja Alenna juga. Bedanya, alur Alenna memang agak pelan, karena aku sedang mencoba menerangkannya pelan-pelan juga. 

Lalu, apakah mereka memang harus bertemu? Is that necessary?

Hmm, pokoknya ikutin aja alur manisnya dengan tenang. Duduk yang manis //atur tempat duduk// nikmati saja kemana benang ini akan membawamu. ///cieeelah/// 

Oke, notenya lebih panjang daripada percakapan duo itu. Aku izin pamit dulu, mau nulis cerita lain ///lempar bunga/// 

BIG LOVE, 

Cindyana H / Prythalize

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro