The Seventeenth Thread - "Your Smile is Something Precious"

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Your smile is something precious, and I want to see it often.

***

Hari ini adalah hari pertama dimulainya festival sekolah.

Kadang aku merasa keberatan karena festival kali ini diadakan dua minggu sebelum ujian akhir semester ganjil, tetapi mengingat bahwa tujuan dari festival ini adalah untuk merayakan ulang tahun sekolah yang memang datang setiap tahun pada waktu yang sama, kurasa siapapun tidak bisa mengajukan protes.

Mungkin hanya aku yang merasa bahwa sejak SD sampai dengan saat ini, jadwal ujian semester ganjil semakin lama semakin menjauhi akhir Desember.

Kelas kami akhirnya memutuskan untuk membuat lomba sederhana, melempar kerikil kecil pada mulut botol. Masing-masingnya telah diisi kertas. Beberapa adalah kertas kosong dan ada pula yang diisi dengan hadiah kecil yang menarik.

Lomba semacam ini memang tidak dipungut biaya, hanya untuk meramaikan saja. Dan kelas kami bertekad untuk mendapat pemain terbanyak.

Promosi yang mereka lakukan cukup ekstrem, janji bahwa ada hadiah hebat di antara banyaknya botol yang ada. Aku tahu apa hadiah terbesarnya, voucher diskon di salah satu restoran keluarga.

Rania tampak senang karena kelas kami lumayan ramai. Dia pasti akan dipuji oleh wali kelas kami, saat beliau singgah, nanti.

"Katanya kelas sebelah seru juga, lho," ucap Jingga kepadaku dengan menggebu-gebu. "Mampir, yuk!"

"Kelas sebelah?" tanyaku.

"Iya, kelas 8-2 sama 8-3! Kita ke sana yuk! Diam-diam saja, nggak usah kasih tahu Rania, nanti dia ngamuk," ujar Fhea.

Aku juga tahu kalau Rania pasti akan mengamuk jika mengetahui ini. Saat2 ini tiga kelas di angkatan kami saling berlomba mendapat pengunjung terbanyak. Ada kakak kelas di depan pintu kami yang menghitung orang-orang yang mampir, begitu pun ke kelas lainnya.

Datang ke kelas mereka berarti kami menambah jumlah orang yang datang di sana.

"Kalian berdua saja. Aku di sini saja," ucapku sambil melirik ke arah teman sekelas kami yang saat ini sibuk mengeluarkan kertas dari mulut botol yang kecil.

"Ya sudah deh, kami duluan. Nanti kalau Rania nanya, bilang aja kami ke toilet."

Selanjutnya, mereka berdua pergi dari kelas untuk berkunjung ke kelas lain.

Aku kembali fokus pada orang-orang yang lalu lalang, hanya duduk di kursi panjang, menunggu ada yang memanggilku untuk bertukar tugas.

Lama hanya memperhatikan para pemain yang gagal melempar kerikil dalam botol, aku akhirnya membuka ponselku. Mataku langsung tertuju pada pesan dari Arlan Pratama yang rupanya belum kubaca.

Arlan
Kamu dimana?

Kubalas dengan cepat begitu menyadari bahwa pesan itu ternyata sudah dikirim sejak dua jam yang lalu.

Alenna
Di sekolah

Selanjutnya, aku hanya diam memperhatikan layar ponselku sampai pesanku terbaca olehnya.

Arlan
Oh, pantas aja

Alenna
Maksudnya?

Arlan
Tadi aku ketuk pintu balkon, kamu tidak keluar

Jantungku langsung berdebar kencang. Mataku mengerjap cepat, kubaca ulang pesan yang dikirimnya dengan hati-hati, kata perkata, memastikan bahwa aku memang tidak salah membacanya.

Arlan Pratama sudah kembali?

Memang seharusnya dia sudah kembali. Maksudku, hari ini sudah tepat dua minggu sejak dirinya menghilang. Aku tidak mengerti mengapa aku harus merasa seterkejut itu, karena kenyataannya memang itulah yang seharusnya terjadi.

Alenna
Oh, gitu

Mendadak tanganku terasa berkeringat dingin. Aku harus mengatakan apa lagi?

"Alenna, Alenna."

Rania mendadak menghampiriku, membuatku gelagapan. Segera kututup ponselku dan kusimpan ke dalam sakuku dengan buru-buru. Gadis itu menatapku dengan curiga, tetapi dia tidak mengatakan apapun tentang sikap yang kulakukan.

"Kamu mau nggak jadi mata-mata?" tanya Rania.

Alisku mengerut, "Mata-mata?"

"Iya. Kelas 8-2 kayaknya rame banget. Aku mau kamu ke sana dan ikut game-nya sekali buat ngecek mereka ngadain game apaan. Bisa kan?" tanya Rania.

Aku belum menjawab apapun, tetapi Rania kembali melanjutkan, "Sebenarnya tadi aku mau minta tolong sama Jingga atau Fhea, tapi mereka berdua raib. Jadi kamu aja, deh."

Saat hendak menjelaskan bahwa mereka berdua sedang menikmati lomba di kelas lain dan mungkin juga kelas sebelah, Rania langsung menarik tanganku dan memaksaku berdiri.

"Mau ya? Biasanya kalau ada yang baik hati sama aku, bakal dapat keberuntungan, lho," bujuk Rania sambil mendorongku ke pintu. "Nanti aku traktir permen, deh."

"Tapi nanti tambah pengunjung mereka," elakku.

"Kalau cuma Alenna, nggak apa-apa, kok," kata Rania sambil menepuk-nepuk bahuku. "Tolong, yaa."

Akhirnya kuhela napasku dengan terpaksa, "Iya, deh."

Kuturuti permintaan Rania dengan berjalan ke arah kelas 8-2 yang letaknya hanya bersebelahan dengan kelasku. Kudapati pula ternyata kelas mereka punya antrean yang cukup panjang, mendadak membuatku mengerti mengapa Rania bisa sepenasaran itu.

Aku ikut mengantre. Sembari menunggu, kukeluarkan lagi ponselku untuk memeriksa pesan dari Arlan Pratama. Kuhela napas kecewa saat mendapati pesanku masih belum dibacanya. Mendadak, aku kembali cemas dan rasanya ingin segera pulang dan memeriksa keadaannya.

Walaupun antrean itu tergolong panjang, tetapi aku akhirnya bisa sampai di depan sana dalam waktu yang singkat. Saat kuperhatikan, ada lima orang yang langsung maju dalam waktu bersamaan. Kuputuskan untuk mulai mengamati permainan apa yang akan kuhadapi nanti.

Mereka menggunakan tirai jendela sebagai penghalang. Banyak yang berdiri di balik tirai itu--aku bisa melihat sepatu-sepatu mereka. Ada lima kardus di atas meja dan kelimanya telah dilubangi. Lalu, tangan kanan mereka keluar dari lubang itu, pemain hanya boleh menjabat tangan satu orang di depannya.

Kutebak, permainan ini adalah permainan menebak orang.

"Jadi, siapa yang sedang bersalaman dengan kalian?"

Mereka menyebut satu persatu nama yang mereka yakini adalah orang yang sedang berjabat tangan dengan mereka. Aku mulai kebingungan lantaran tidak mengenal satu pun murid di kelas 8-2 terkecuali Arlan Pratama. Masalahnya, dia sedang tidak berada di sini, aku tidak akan bisa menyebut nama siapapun.

Selanjutnya satu persatu pemilik tangan keluar dari tirai untuk menampakkan diri, lalu kembali masuk ke dalam sana.

"Sayang sekali masih belum ada yang benar," kata si pemandu lomba yang sebenarnya memiliki wajah yang agak familier, sepertinya dia sering menjadi MC setiap acara penting sekolah, tetapi aku tidak mengenalnya.

"Seingatku sedaritadi belum ada yang menjawab dengan benar. Ya, siapa yang segila itu bisa mengenal tangan orang, memangnya?" Orang di belakangku mulai mengobrol.

"Tadi kalau aksesori tangannya nggak dilepas, mungkin aku masih bisa mengenali," jawab si lawan bicara.

Aku dan empat orang lainnya dipersilakan untuk maju. Mendadak perutku terasa mual karena menjadi pusat perhatian. Tidak tahu bagaimana ceritanya, tetapi sepertinya murid kelas 8-2 mengenalku dan tampaknya keberadaanku di kelas ini sangat tidak diekspektasikan.

Rasanya, aku ingin segera mundur dan menyatakan ketidaksediaanku dalam mengikuti permainan ini. Namun karena tidak ada sanksi berlaku untuk yang salah dalam menjawab, akhirnya aku membatalkan niatku yang satu itu.

Sebelum menjabat tangan dengan pemilik tangan misterius itu, kuperhatikan terlebih dahulu bentuk tangan orang yang akan berjabat tangan denganku. Tidak ada satu pun aksesori yang menempel, seperti yang telah direncanakan dalam permainan ini.

Agak ragu, kudekatkan tanganku dengan tangan itu. Kujabat tangannya selama beberapa saat sebelum akhirnya melepaskannya tanpa berpikir panjang.

Rasanya agak percuma berlama-lama berjabat tangan dengan orang yang sudah pasti tidak kukenal. Jadi, kulepaskan tangan itu begitu kami bersalaman kurang dari tiga detik.

"Jadi, siapa yang bersalaman dengan kalian?"

Yang lain sudah menyebutkan nama dan menyisakan aku sendiri karena aku memang mendapat urutan paling terakhir untuk menjawab. Saat orang itu menodong mikrofon kepadaku, aku menjawab tanpa basa-basi.

"Aku tidak tahu."

Dan jawabanku membuat keempat peserta tergelak. Orang-orang yang sedang mengantre juga ikut tertawa. Aku juga mendengar ada yang tertawa dari balik tirai.

"Alenna, tidak bisa gitu dong. Harus punya jawaban. Siapa tahu benar, kan?" tanya si MC, kembali menodong mikrofon.

Alisku mengerut saat mendengarnya menyebut namaku. Ternyata dia mengenalku, entah bagaimana bisa.

Kujawab saja satu-satunya nama yang kutahu, "Arlan? Mungkin?"

Ada beberapa orang yang tergelak, ada yang berkomentar bahwa jawabanku sudah pasti salah. Aku tidak peduli, yang kuinginkan saat ini hanyalah segera mengakhiri permainan ini dan kembali ke kelasku.

Si Cewek MC itu mengintip ke tirai sebentar, lalu kembali melihat ke arah kami berlima.

"Wah, ini pertama kalinya ada yang menjawab dengan benar!"

Aku sudah bersiap-siap meninggalkan tempat itu karena sudah sangat yakin bahwa orang yang menjawab dengan benar itu bukanlah aku. Namun akhirnya semua orang yang ada di kelas itu terdiam saat orang-orang di balik tirai mulai menampakkan diri.

Ada Arlan Pratama di sana.

Dan aku menjawab dengan benar, secara tidak sengaja.

Mataku mengerjap, menatap Arlan Pratama dan MC bergantian. Arlan Pratama mengangguk ke arahku, aku menggeleng sekali, sangat kebingungan.

"Katanya nggak tahu, kok malah bener?"

"Kenapa bisa?" gumamku pelan.

"Bisa saja, kan? Tidak ada yang mustahil di sini," jawab Arlan Pratama sambil tersenyum. "Sana, ke panitia. Ambil hadiahmu."

Dengan pikiran kacau, aku mendekat ke panitia, menerima bingkisan dari mereka. Tentu saja aku sangat bingung.

Maksudku, aku memang bisa saja menerka dengan benar, andai kami berkomunikasi. Masalahnya, kami tidak melakukan itu. Dan aku juga tidak melihat benang merah. Ini sangat mustahil. Aku tidak merasakan firasat apapun sejak awal.

Mendadak aku merasa sangat konyol. Tentu saja. Tanpa bisa melihat benang apapun, aku tahu bahwa takdir sebenarnya mulai mempermainkan kami. Kami pasti telah dijebak entah bagaimana caranya.

"Syok banget, elah."

Tentu saja aku terbata, "Tidak ada yang tahu kamu udah datang."

Arlan Pratama hanya mengangguk termangut, "Iya, aku masuk dari pintu lain."

"Pintu lain?" tanyaku. Karena seingatku hanya ada pintu di semua kelas.

"Jendela," jawabnya enteng.

Aku hanya diam, memperhatikan sekitarku kalau kali ini kami tidak lagi menjadi pusat perhatian. Masih ada yang melihat ke arah kami, tetapi tidak lagi sebanyak tadi.

"Kenapa kamu di sini?" tanyaku gelagapan.

"Aturannya, yang sudah berhasil tertebak sudah boleh keluar," jawab Arlan Pratama.

"Bukan, bukan. Tadi bukannya mamu masih di rumahmu?" tanyaku.

"Memang. Aku baru saja sampai dan baru saja ikutan satu ronde, eh langsung tertebak," balasnya. "Kamu pula yang menebak."

"Kebetulan," ucapku dengan suara kecil.

Lagi-lagi aku merinding karena segala ketidaksengajaan yang terjadi di sini. Ah, aku ingin menghilang saja.

"Lama nggak lihat kamu, kok jadi makin pendiam, sih?" tanya Arlan Pratama lagi, kali ini melemparkan tatapan penasaran.

"Untuk peserta yang tidak terlibat lagi, mohon mengobrolnya di luar saja, ya."

Cewek MC itu berkata demikian, membuat pusat perhatian kembali menjadi mengerubungi. Mendengar itu, aku langsung buru-buru keluar dari sana.

Tak kusangka, Arlan Pratama malah mengekoriku seperti seekor anak ayam mengikuti induknya.

"Kenapa kamu malah ikut?" tanyaku frustrasi.

Bingkisan yang kupegang sudah kucengkram erat-erat. Aku benar-benar butuh waktu untuk berpikir sendirian saat ini. Keberadaan Arlan Pratama di dekatku tidak akan bisa membuatku berkonsentrasi. Aku tidak mengerti mengapa kebetulan kali ini sangat tidak wajar.

"Aku kan sudah out karena kamu berhasil menebakku," jawab Arlan Pratama sambil menaikkan sebelah alisnya bingung. "Memangnya aku nggak boleh ikut? Kenapa kamu jadi aneh begini, sih?"

"Kamu yang bikin aku jadi aneh!" balasku menaikkan nada satu oktaf.

"Kok aku?" tanyanya dengan kening mengerut, tidak terima.

"Kamu hilang dan muncul tiba-tiba!"

"Kan katamu udah biasa?"

"Ya, tidak setiba-tiba ini juga," jawabku, kali ini dengan nada lemas, lelah berdebat dengannya.

"Tapi, intinya kamu senang, kan?" tanyanya lagi.

"Iya, tapi--"

Aku langsung menghentikan kata-kataku, saat menyadari bahwa lagi-lagi perhatian terpusat ke arah kami.

"N-nanti baru dilanjut. Aku mau balik ke kelas dulu," bisikku sambil menjauhinya perlahan.

"Nanti kapan? Pas pulang?"

Aku memelototinya seperkian detik, sebelum mengambil napas untuk menenangkan diri, karena banyak yang terlihat kaget saat mendengarnya mengatakan seperti itu.

"Iya. Bye."

Kutinggalkan Arlan Pratama secepat yang kubisa. Pikiranku kembali kacau, tetapi kubuang jauh-jauh semua pemikiran itu. Kulirik kelingkingku dan memperhatikan benang merah yang pelan-pelan memudar dan menghilang karena kami tidak lagi berinteraksi.

Ponsel di sakuku bergetar ketika aku sudah memasuki kelasku. Rania juga menghampiriku saat melihatku datang membawa bingkisan.

"Gimana?"

"Permainan menebak orang dari tangan?" Aku sendiri juga menjawab dengan tidak yakin.

Rania tampak berapi-api, "Gimana ceritanya game nggak jelas gitu bisa menarik banyak orang?"

Aku mengendikkan bahu sebagai jawaban.

"Dan kamu berhasil jawab ya? Mungkin orang-orang itu cuma mengincar hadiahnya karena permainannya terlalu mudah," sahut Rania menyimpulkan.

Aku tidak bilang kalau aku adalah pemenang pertama, tentu saja. Rania akan penasaran dan mencari tahu tentang kebenaran dibaliknya.

Kududuki kembali kursi yang sempat kutinggalkan tadi dan mengecek ponselku.

Arlan
Padahal aku pengin ngomong
Tapi yaudahlah

Alenna
Kalau soal tugas di kelasmu, tanya saja sama teman sekelas
Catatan di kelas kita kan belum tentu sama

Arlan
Bukan mau ngomongin itu

Alenna
Jadi?

Arlan
Penasaran ya? :)

Alenna
Enggak

Setelah dua minggu Arlan Pratama menghilang, selama itu pula aku merasa cemas dan khawatir terhadapnya. Namun sikapnya ketika kembali malah semakin menjadi-jadi.

Aku kesal, tapi aku merasa bahwa semua perubahan pastilah didasarkan oleh sebuah alasan.

Dan kurasa Arlan Pratama tidak akan mengungkapkan alasannya kepadaku.

*

Kami sama-sama sedang pulang, karena rumah kami satu arah.

Tidak ada obrolan yang terjadi, karena kami lebih sering menghabiskan waktu untuk melihat ke ponsel masing-masing. Sebenarnya aku tidak melakukan apapun kecuali bolak-balik menekan layar utama, memeriksa kontak telepon dan melakukan aktivitas lain untuk menghilangkan jenuh.

Padahal, banyak kata yang ingin kusampaikan kepadanya. Aku ingin bertanya apa kabarnya, bagaimana keadaannya, dan apa yang dia lakukan selama dua minggu itu. Namun aku tahu bahwa ada batasan yang tidak boleh dibicarakan dan dilanggar olehku, maka aku hanya diam selama perjalanan sepuluh menit itu.

Saat hampir sampai di gedung apartemen kami, tiba-tiba Arlan Pratama mempercepat langkahnya dan berjalan beriringan denganku. Padahal selama ini aku selalu berjalan di depan dan dia selalu berjalan di belakangku.

"Kamu tambah tinggi lagi, ya?" tanyanya dengan raut wajah cemberut. "Padahal kita makan makanan yang sama."

"Eh? Benarkah?" tanyaku bingung.

Arlan Pratama berusaha membandingkan tinggi badan kami dengan tangannya. "Iya, kemarin aku lebih tinggi, kok. Sekarang udah sama."

Aku mencoba merasakan perbedaan pemandangan yang kulihat saat aku berdiri tegak. Tentu saja aku tidak merasakan apapun.

"Tapi wajar sih, kan cewek mengalami penambahan hormon yang drastis di masa pubertasnya," ucapnya tanpa merasa bersalah.

Sedangkan aku berpura-pura tidak mendengarkan, sebab pembicaraan kami rasanya bukan hal yang normal untuk dibicarakan oleh teman lawan jenis. Membicarakan dengan Mama saja, aku malu. Apalagi dengan Arlan Pratama.

"Eh, nanti kalau aku tidak mengerti pelajaran, tolong ajari aku, ya."

Kutatap dia dengan tatapan memusuhi, "Usaha dulu sendiri. Belajar dari buku paket atau dari internet dulu, misalnya."

"Lebih gampang kalau dijelasin langsung. Aku sering banget kehilangan mood buat baca buku," balasnya.

"Kalau belajarnya dari buku, lebih gampang buat dimengerti. Penjelasannya lengkap," ucapku.

Arlan Pratama tersenyum jengkel, "Pelit."

"Coba baca di buku dulu, nanti kalau tidak ngerti, kita bisa diskusi," ucapku sambil menekan tombol di elevator.

Ternyata saat aku berbicara dengan Arlan Pratama, rasanya perjalanan kami terasa lebih cepat.

Kebetulan hanya kami berdua yang mengantre untuk menaiki elevator, mengingat hari ini kami memang pulang lebih awal daripada biasanya.

"Kalau aku ngerti, kita nggak diskusi dong?"

Aku menatapnya jengkel, "Jangan nyebelin."

Pintu lift terbuka dan Arlan Pratama masuk ke dalam sambil terkekeh karena melihatku kesal terhadapnya. Sepertinya dia punya keinginan untuk membuat semua orang di dunia ini kesal padanya.

"Kalau kamu begitu di depan orang-orang, bisa-bisa tidak ada yang menyukaimu," ucapku sambil menekan angka sepuluh.

Hampir lima detik, Arlan Pratama tidak menjawab perkataanku. Selama itu pula aku berpikir apakah aku baru saja salah dalam menuturkan kata. Aku pun menunduk memperhatikan sepatuku sebentar, memikirkan apa yang harus kukatakan selanjutnya karena tampaknya dia sudah tersinggung.

Saat mengangkat kepalaku, kulihat Arlan Pratama tengah mengucek-ngucek matanya.

Itu membuatku tersentak. Apakah kali ini aku membuatnya menangis?!

"A-aku tidak bermak--"

"Darimana datangnya debu dalam lift?" gumam Arlan Pratama. "Sebentar, Len, ada debu yang masuk."

Jantungku seperti kembali ke posisi semula ketika menyadari pergerakan Arlan Pratama. Dia memang sedang kelilipan, bukan menangis dan berbohong kalau dia kelilipan. Aku sudah belajar dari kebohongannya di masa lalu dan akan terus kujadikan pelajaran untuk memahami anak ini.

"Kelilipan?" tanyaku.

Arlan Pratama hanya mengangguk kali ini.

Bertepatan dengan lift yang membawa kami ke lantai enam, aku mulai berpikir kritis.

Biasanya kalau aku kelilipan, yang akan kulakukan adalah mencari Mama untuk memintanya membantuku meniup debu itu agar pergi. Tapi, tentu saja aku tidak bisa melakukan itu kepada Arlan Pratama, kan?

"Sabar. Sebentar lagi sampai lantai 10. Nanti aku bantuin tetes obat mata aja, ya," hiburku kepadanya.

Lagi-lagi Arlan Pratama hanya membalas dengan anggukan. Aku agak senang saat dia menjadi sosok pendiam dan penurut di depanku.

Namun, saat kami sampai ke lantai sepuluh dan sebelum aku sempat menuntun Arlan Pratama untuk keluar dari lift, aku melihat sesuatu yang sepertinya tidak seharusnya kulihat.

Aku melihat Ayah Arlan Pratama dan seorang wanita yang tidak pernah kulihat. Pakaian yang digunakannya berkelas dan elegan, membuat nyaliku untuk melangkah keluar, mendadak lenyap.

"Alenna?" panggil Arlan Pratama yang masih saja menutup matanya karena kesakitan. "Pintunya udah dibuka belum, sih? Lift-nya udah berhenti gerak, kan?"

Aku mengalihkan pandanganku ke arah Arlan Pratama, lalu kembali ke dua orang itu.

Ayahnya sedang menekan password pada pintu nomor 1010 dan memperlihatkan angka yang ditekannya kepada wanita itu.

Sepertinya mereka tidak menyadari keberadaan kami. Hal itulah yang membuatku kembali menekan angka 1 dan menekan tombol tutup pintu dengan cepat.

"Lho? Kok turun lagi?" tanya Arlan Pratama keheranan.

Aku diam-diam menatapnya simpati, "Aku baru ingat obat tetes matanya sudah habis. Kita singgah ke apotek di depan dulu, ya?"

Dan anggukan ketiga yang dilakukan oleh Arlan Pratama saat itu, membuatku makin yakin bahwa aku harus lebih menaruh perhatian lebih terhadapnya.

***TBC***

20 April 2019

Cindyana's Note

Ini 2800 kata. Dan wow, aku pasti gila banget karena bikin chapter sepanjang ini.

#ProtectArlan hahahaha. He is such a lovely boy, and I love him so much!

Alenna ini udah kayak emaknya Arlan yak, wkwkwkwwkw.

See you on next chapter!

Cindyana H / Prythalize

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro