The Thirty First Thread - "Truth is Something To Deal With"

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Truth is something to deal with, even if you can't handle the reality. 

***

"Ini kamu langsung datang ke sini karena kurang puas dengan jawaban Papa atau karena Papa balasnya lama?" tanya Papa kepadaku dengan mata menyipit.

"Karena mau ketemu Papa juga, kok," balasku, berusaha meyakinkan. 

Lima belas menit yang lalu, aku sampai di rumah sakit. Mengerti bahwa Arlan Pratama akan sibuk menjenguk keluarganya, aku izin untuk langsung mencari Papa. 

Arlan Pratama kelihatannya tidak terlalu keberatan dengan keputusanku, karena dia memintaku untuk pergi ke kamar yang ada di ujung lorong, jika aku sudah selesai. Ya, lorong yang sama dengan tempat aku menemukannya duduk sendirian, dulu. 

Dan sekarang, gantian Papa yang mengintrogasiku.

"Kalau memang kamu ingin tahu lebih detail, mengapa tidak tanya Arlan saja?" tanya Papa. 

Aku menggeleng enggan, "Tidak mungkin aku menanyakan itu padanya." 

Papa menatapku selama beberapa saat, sebelum akhirnya mengangguk mengerti, "Tapi ya, Papa setuju sih, kamu jangan bertanya padanya. Keluarganya yang sakit itu, pasiennya Papa. Keadaan mereka memang sesulit itu."

Baru saja ingin bertanya, tiba-tiba seorang suster menginterupsi kami. "Dokter, ada keluarga pasien yang mencari dokter." 

"Baiklah, aku akan segera kembali," sahut Papa, lalu kembali menoleh ke arahku, "Lihat kan? Papa tidak berpura-pura sibuk."

"Aku tahu," balasku. 

"Mungkin mamamu yang tidak tahu," bisik Papa sembari berdiri dari duduknya. "Papa selesai jam 8, jam berapa kamu pulang?" 

"Nanti aku pulang sama Arlan," ucapku mengingat kata-kata Arlan sebelum kami berpisah tadi. 

"Sudah kabari mamamu?" tanya Papa. 

"Sudah, kok." 

Papa mengelus tengkuknya resah, "Mamamu tenang-tenang saja ya, kamu dibawa anak cowok orang." 

"Dokter." Teguran suster tadi kembali terdengar. 

"Iya, aku datang." Kali ini Papa benar-benar melangkah menjauh. "Ya sudah ya, Lenna, Papa kerja dulu. Kamu jangan sering-sering berdua sama Arlan, kalian masih kecil." 

Aku ingin membantah perkataan Papa, tetapi itu hanya akan membuat pasien Papa menunggu lebih lama, jadi aku hanya mengiyakan saja. 

Setelah yakin bahwa Papa memang sudah tidak terlihat lagi, aku pun memutuskan untuk bangkit dari tempatku duduk. Lorong yang dimaksud Arlan Pratama sudah ada di depan mata. Kebetulan ruangan Papa memang tidak terlalu jauh dengan lorong itu, atau tepatnya masih dalam lorong yang sama, tetapi jaraknya dari ujung ke ujung. 

Kulangkahkan kaki sambil sesekali tersenyum kepada pasien yang menatapku heran--mungkin karena aku memakai seragam sekolah SMP dan berjalan sendirian di rumah sakit. Mungkin aku harus mencari tempat duduk yang dekat dengan tempat itu dan belajar sembari menunggu Arlan Pratama selesai membesuk. 

Kuperhatikan jam pada ponselku yang sudah menunjukan pukul empat sore, lalu bertepatan dengan itu, aku menemukan posisi duduk paling strategis: dekat dengan tempat kerja Papa dan ujung lorong, atau tepatnya di pertengahan.

Aku duduk, kemudian membuka tas dan mengeluarkan beberapa lembar soal. Sepertinya aku harus menatap lama-lama ke soal-soal yang salah kujawab. 

Namun baru hendak memulai ritual itu, tiba-tiba kudengar suara langkah kaki mendekat. Kuangkat kepalaku dari posisi menunduk dan bersitatap dengan seorang wanita. 

Ibunya Arlan Pratama!

Segera saja aku berdiri dengan panik, lalu membungkuk sopan, "Selamat sore, Tante." 

"Sore," jawabnya sambil tersenyum.

Ini aneh. Sebelumnya, aku tidak segugup ini saat bertemu dengan ibu Arlan Pratama. Kali ini situasinya berbeda, aku juga tidak mengerti. Mungkin karena kali ini kami bertemu di rumah sakit, mungkin. 

Wanita itu melangkah mendekat, membuat telingaku semakin tajam menangkap suara lantai marmer yang berlaga dengan sepatu hak tingginya. Aku masih berdiri, menunggu apa yang akan dilakukannya. Apakah kami hanya akan bertegur sapa atau apakah kami akan berbicara. 

"Tante boleh duduk di sini?" tanyanya yang membuatku akhirnya menemukan jawabannya. 

Kami akan mengobrol lagi. 

"Duduk saja, Tante," sahutku sambil menyimpan kertas-kertas lembaran soal dengan cepat ke dalam tasku. Nanti malam aku akan menatap lembaran soal-soal itu sepuasnya, karena aku tidak yakin bisa berkonsentrasi dalam keadaan seperti ini. 

"Kamu lagi belajar?" tanyanya. 

"E-enggak, kok, tadi hanya ... membaca sedikit," jawabku gugup. 

Wanita itu melempar senyum tipis, "Alenna sedang apa di sini?"

Sepertinya ini adalah karma karena aku menanyakan hal ini padanya kemarin sore. Bukan, ini pasti memang karma karena aku bertanya demikian. 

"S-saya tadi ketemu Papa sebentar," jawabku. 

"Papamu sakit?" Senyuman wanita itu memudar, membuatku langsung panik. 

"Tidak, kok. Papa saya dokter." 

Terlihat sekali wajahnya lega, "Oh, begitu." 

Baiklah, sudah sampai di jawaban dimana aku biasanya mengirim stiker. Aku harus mengatakan apa? Aku muak dengan diriku sendiri yang tidak segera berkembang dalam mencari topik pembicaraan. 

"Kamu datang sendirian?"

"Tadi datang sama Arlan, tapi kami pisah karena saya mau bertemu dengan Papa dan karena Arlan mau menjenguk--" Kata-kataku terhenti selama sedetik. "--Keluarganya." 

Mengapa aku berbicara tanpa berpikir panjang? Keluarga Arlan Pratama tentu saja juga keluarga ibunya.

Aku benar-benar merasa serba salah dengan kata-kataku. Entah mengapa aku berharap hari ini segera berakhir dan esok segera datang. 

"Ruangannya di sana," sahut ibunya sembari menunjuk ujung lorong. "Kalau kamu mau, ayo kita sama-sama ke sana." 

Jantungku berdebar dua kali lebih cepat dibanding biasanya. Rasanya seperti berloncat-loncatan dalam rongga tubuhku dan menghentak ingin keluar dari tempatnya. Oh, para sel darah yang sedang berkeliling, semoga kalian tidak kelelahan.

"Uh, hmm, boleh?" tanyaku. 

"Arlan bilang tidak boleh?" tanyanya balik. 

"Tidak, sih ... tapi kan--"

"Tidak apa-apa, kalau ada yang marah, nanti Tante marahi balik," candanya. 

Aku berdiri sesuai instruksi ibu Arlan Pratama, bahkan langkah kakinya juga, aku berusaha melangkah dengan gerakan senada. Aku benar-benar tidak mengerti dengan situasi ini. Sosok 'Ibu' yang Arlan Pratama ceritakan dengan yang kuhadapi saat ini, kelihatannya amatlah berbeda jauh. Apakah Arlan Pratama sedang membicarakan ibunya yang lain--tapi itu tidak mungkin, kan? 

"Arlan tidak nyusahin kamu, kan?" tanya ibunya sambil menoleh ke arahku. 

"Ng--Enggak, Tante," balasku kaku. 

Wanita itu malah tertawa, seolah aku memberikan jawaban yang lucu. "Serius?"

Kali ini kuputuskan untuk hanya mengangguk saja. 

"Katanya, Arlan sering makan malam di tempatmu, ya?" tanyanya lagi.

Katanya? Apakah Arlan Pratama sering bercerita?

Aku menjawab agak kikuk, "Ya, Mama yang mengajaknya."

Ibunya tersenyum lagi, tetapi kali ini tanpa menoleh ke arahku.

Kami sudah hampir sampai di pintu yang ada di ujung lorong, sampai akhirnya tiba-tiba ia berhenti melangkahkan kakinya di kursi terdekat. Atau bisa kusebut, kursi yang diduduki Arlan Pratama, saat aku melihatnya malam itu.

"Ayo, kita duduk dulu," ajaknya sembari mempersilakanku duduk kembali.

Aku mulai merasakan sesuatu yang janggal. Ini aneh. Jika ingin duduk lagi, mengapa tadi malah menawarkan untuk ke sana? Kucoba untuk mencerna sikapnya yang tidak bisa kutebak.

Ya, kurasa wanita ini memang ibu kandung Arlan Pratama. Keduanya sama-sama tidak bisa ditebak.

"Tante ingin tahu lebih banyak tentang Arlan," sahutnya, tepat setelah aku duduk.

Aku mengerutkan kening, agak bingung, "Saya tidak terlalu tahu, kami hanya teman satu sekolah dan tetangga biasa."

Lagipula, untuk apa dia menanyakan ini padaku?

"Katanya, Arlan lebih terbuka denganmu. Apa itu benar?"

Pertanyaan kali ini terdengar semakin janggal, sehingga kuputuskan untuk bertanya, "Kata siapa?"

"Itu--supir yang selalu menjemput Arlan," balasnya. 

Aku tidak sengaja menelan ludah sendiri ketika mendengarnya. Seharusnya aku sudah mengetahui bahwa Arlan Pratama bukan orang biasa sejak aku menyadari bahwa dia pindah di apartemen itu. Maksudku, dengan nomor cantik itu. Dan seharusnya aku tidak diam saja saat mendengar sebutan Tuan Muda tadi. 

"T-tidak juga."

"Apa kamu yang mengajarinya naik bus?"

"Hah?"

Ibunya terdiam sejenak, "Hm, jadi itu informasi yang salah. Jadi, apa Tante boleh mendengar langsung dari kamu?"

Aku mengerjapkan mata, "Ng, saya tidak terlalu mengerti, maksud Tante, mendengar apa?"

"Kalau kamu bingung, bagaimana kalau menjawab beberapa pertanyaan saja?" tawarnya, masih dengan senyuman yang sama.

Aku ingin memiliki bakat yang sama seperti Arlan Pratama. Bisa berbicara dengan orang tua dan menyenangkan hati mereka.

"Saya usahakan bisa menjawabnya," jawabku pelan.

Aku percaya kalau karma itu nyata. Ini pasti karma untukku karena Papa bertanya-tanya soal planet kepada Arlan Pratama.

"Apa Arlan pernah bilang soal matanya?" tanya wanita itu.

"Pernah, dia pakai lensa--"

Kata-kataku terhenti saat kusadari raut wajah ibunya berubah. Dia menatapku kaget, tidak percaya. Dari ekspresinya, aku menangkap ada banyak hal yang ingin diucapkannya, tapi ditahannya karena sesuatu.

Ah ... Pasti ini yang dimaksud oleh Arlan Pratama.

"Arlan cerita tentang masalah matanya?" tanyanya lagi, untuk memastikan.

"I-iya, tapi Tante, menurut pendapat pribadi saya, saya rasa itu bukan sesuatu yang memalukan untuk ditunjukan," ujarku agak gugup.

Hampir semenit kami berdua berdiam diri, sampai akhirnya ibunya kembali bersuara.

"Boleh Tante tanya lagi?" tanyanya.

Jika Arlan Pratama yang bertanya, aku pasti akan membalas dengan ketus, "Itu, sudah tanya." Masalahnya, ini bukanlah waktunya untuk bercanda. Ibunya yang bertanya langsung.

"Boleh, Tante," balasku.

"Sekitar dua tahun yang lalu, apakah Arlan pernah terlibat pertengkaran dengan penghuni lain di apartemen?" 

Aku mencoba berpikir ulang. Dua tahun yang lalu, kami masih SMP 1. Jika diingat-ingat lagi, Arlan Pratama pindah saat pertengahan semester genap. Ah, ya, tidak salah lagi, dia memang pernah terlibat pertengkaran dengan penghuni lain di apartemen. Itu ... terjadi ketika pertama kalinya kami berbicara. 

"I-iya, pernah, tapi Arlan tidak sa--"

"Baiklah, hanya itu yang ingin Tante ketahui. Terima kasih." 

Selanjutnya hening lagi. Aku meremas tangan-tanganku cemas. Apakah setelah ini Arlan Pratama akan dimarahi oleh ibunya? Rasanya aku membocorkan terlalu banyak hal yang buruk, walau kenyataannya tidak. 

Aku langsung merasa bersalah tatkala mengingat upaya-upaya yang dilakukan Arlan Pratama untuk membelaku, misalnya ketika dia berbicara dengan Papa dan terus berusaha merendahkan dirinya (bagian itu agak menyebalkan, tetapi aku menganggapnya melakukan pembelaan). 

Dan aku? Mengatakan hal yang tidak membantunya, mengucapkan hal-hal yang dapat memojokannya. 

Beberapa saat kemudian, pintu terbuka dan keluarlah seorang wanita yang menggendong seorang anak perempuan yang sedang tertidur. Perkiraan usia perempuan yang ada dalam gendongannya adalah sekitar tujuh sampai sembilan tahun. 

Dan ... wanita yang menggendongnya adalah ...

"Ah, Alenna, kamu pasti sudah bertemu dengannya kan?" tanya ibunya sembari mengambil alih perempuan muda yang ada di gendongan wanita itu.

Wanita itu ... wanita yang kutemui saat kepindahan Arlan Pratama. 

"Seharusnya dia menjadi wali pendamping Arlan selama tinggal di sana, tapi karena kepala Arlan keras seperti batu, akhirnya dia dan rekannya dipulangkan," jelas ibunya. 

Sekarang, semuanya menjadi masuk di akal. Wanita yang selama ini kukira adalah ibunya, bukanlah ibunya, dan wanita yang selama ini kupikir adalah pengganti, ternyata adalah ibunya. Ketika Arlan Pratama mengatakan bahwa dia bukan ibunya, dia tidak berbohong sama sekali.

Aku pun paham mengapa benang merah kedua orangtua walinya tidak tersambung, karena mereka bukanlah pasangan sejak awal. Itu sedikit melegakan. 

Semua kesalahpahaman ini sangatlah membingungkan. 

Belum sempat mengatakan apapun untuk menunjukan reaksi kagetku, tiba-tiba anak perempuan yang ada dalam gendongan ibunya bergerak tidak nyaman. 

Aku terlalu kaget untuk berpikir lebih cepat dari biasanya. Aku benar-benar tidak menyadarinya. Ngomong-ngomong, siapa anak perempuan ini?

"Ah, ini ..." Seolah dapat membaca pikiranku, ibu Arlan Pratama langsung menepuk pundak anak perempuan itu. "Hei, bangun. Ada tamu di sini." 

Kerutan di kening anak perempuan itu tercetak jelas, tampak terusik karena dibangunkan dalam tidur lelapnya. Beberapa saat kemudian, anak itu pun mengucek matanya untuk memperjelas visinya sembari mengumpulkan kesadarannya, sementara aku masih bertanya-tanya dalam hati. 

"Ini adiknya," jelasnya yang membuat mataku membulat.

Eh, Arlan punya adik?

"Perkenalkan dirimu dengan benar, ayo," pinta ibu Arlan Pratama kepada anak itu dengan bisikan pelan.  

Anak itu menunduk enggan menatapku, tetapi berkat bujuk rayu yang dilakukan oleh ibunya, akhirnya dia mengangkat kapalanya. Jantungku menghentak sangat kuat saat kudapati tatapannya yang menatapku lekat-lekat.

Dia ...

"Namaku Ice. Cara tulis namaku, A-E-S-L," jelas anak itu. 

Warna kedua bola matanya adalah biru. 

"Kakak ... temannya Kak Aerl?"

Dan lagi, belum sempat aku mencerna apapun yang sebenarnya sedang terjadi, Arlan Pratama keluar dari pintu yang ada tepat di samping kursi. 

Kami berdua saling bertatapan dan diam dalam keheningan, membiarkan Aesl bertanya dalam kecanggungan kami. Suasana di sana berubah menjadi sangat murung. 

"Kak Aerland, Kak Aetherd masih belum bangun, ya?" 

***TBC***

30 Agustus 2019, Jumat.

Cindyana's Note

Etto ... Hai? 

BOMB!

Hehe. 

Iya, jadi yang barusan itu puncak konflik dari cerita Red String, sekaligus plot twist, kalau kalian kaget. Hehe. Kalau enggak, yaudah, bukan wkwkw. 

Jadi //tarik napas-lepas// iya, Aerland Eugilans a.k.a Aerl a.k.a Arlan Pratama memang sudah direncanakan untuk ikut dalam project LFS sejak awal. Enggak tiba-tiba, lho. 

Dan dengan ini, aku sangat berharap besar kepada kalian untuk tidak membocorkan identitas asli Arlan di seri pertama, Air Train atau di seri lain. Karena, cukup sudah kalian membocorkan Aetherd di setiap moment Tyara-Alenna. Sudah cukup, Ferguso. 

Mata Aerl? Tentu saja biru, tapi akan kujelaskan di next chapter saja. Kontak lensa, pidato inggris, semuanya clue yang bertabur ala meses. Entah kalian yang pura-pura tidak sadar, atau kalian beneran gasadar. Gatau.

Salah satu alasan mengapa aku minta kalian untuk baca ulang cerita Air Train adalah ... ini. Karena di epilog, Aeth bercerita tentang Aerl yang seumuran Tyara (= Alenna). Dia selalu keras kepala, teguh, dan diistimewakan. 

Moment itu terjadi pada tahun baru (prolog Air Train) ketika Tyara kelas 7 semester 2. Alasan mengapa Arlan tidak masuk sampai berbulan-bulan. Kusarankan untuk membaca ulang Air Train dan TOLONG jangan seret Arlan di bagian Aerland, karena itu termasuk spoiler. 

Dan aku SANGAT KUAT karena bisa menjaga identitas AERLAND dengan sangat baik. Selama hampir tiga tahun, sejak Air Train tamat (31 Desember 2016). 

Menceritakan silsilah keluarga Eugilans dengan jelas tanpa menggunakannya semaksimal mungkin adalah sifat yang mubazir, tau. Jadi, iya, Aerland memang sudah sangat direncanakan untuk muncul kembali di LFS 2. 

Nah, sekarang, untuk yang sudah baca sampai di sini, ini rahasia di antara aku, kamu, Alenna, dan Aerland. 

Aku suka nama Arlan dan Aerland. Kudu piyeeee. Hiks. 

Intinya sih, kalau kalian tahu rahasia Arlan dari awal, kalian akan tahu masalah besar Arlan, merasa bersalah atas kecelakaan kakak kandungnya karena menyelamatkannya. 

Kalau kalian bingung dan belum baca Air Train, akan kujelaskan lagi dari sisi Alenna di next chapter. 

Sekarang, aku merasa SANGAT lega karena akhirnya rahasia ini berakhir. Ayo menunggu resolusi, karena Red String akan segera tamat. YEAY. 

Dengan mengetahui akhir cerita Air Train, kalian juga mengetahui akhir cerita Red String. (clue untuk sad ending)

Sangat sadar bahwa chapter menegangkan ini masih tidak sempurna, tapi apa daya mata saya sudah 5 watt dan saya sangat ngantuk, jadi mungkin akan aku revisi kapan-kapan saja. 

BUBAY! 

Oke, LFS 3 sudah mulai mengintip-ngintip wkwkwkwkkwkwkw.



Cindyana / Prythalize. 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro