1. Rumah Tua

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Pengumuman liburan musim dingin sudah di umumkan sejak Senin lalu, hal itu membuat siswa-siswi lainnya banyak memasang wajah ceria. Obrolan mereka juga tidak jauh dari topik liburan musim dingin. Ada yang berniat menghabiskan waktu bersama temannya, ada pula yang ingin menghabiskan waktu bersama keluarganya.

Terutama aku, adikku Hiro dan William sepupuku. William mengusulkan agar kami pergi ke rumah tua yang berada di bawah bukit belakang sekolah. Kemarin Petra, anak kelas sebelah mengatakan jika ia melihat cahaya hijau yang sangat terang dari dalam sana, dan berita itu langsung menyebar dengan cepat ke semua kelas beberapa jam kemudian.

Ada yang bilang rumah itu berhantu dan cahaya itu berasal dari hantu penunggu, tapi, William mengatakan bisa jadi cahaya itu berasal dari makhluk luar angkasa yang kebetulan mendarat di dekat situ, dia ingin mencari dan masuk ke dalam kapal angkasa itu. Memang terdengar gila, tapi itulah dia.

"Alesya, nanti malam aku akan kerumahmu. Aku sudah izin dengan Ibu ingin menginap di rumahmu untuk beberapa hari." William berucap sambil mengunyah permen karet."Kita akan pergi ke sana saat semua orang sudah tidur, apa Hiro akan ikut?"

Aku mengangguk."Tentu saja, kau tau sendiri, kan? Dia selalu mengikutiku saat berada di luar sekolah?" Aku tertawa kecil mengingat Hiro yang tidak pernah mau menjauh dariku ketika kami berada di rumah. Dia selalu mengikutiku kecuali saat aku ke kamar mandi, karena dia pernah di marahi oleh Mama waktu itu.

Umur kami tidak berbeda jauh. Hanya selisih dua tahun. Cukup menyenangkan memiliki adik yang jarak umurnya tidak jauh sepertiku. Mungkin, bagi sebagian remaja seumurku, memiliki adik sangatlah tidak menyenangkan, tidak bebas, dan alasan lainnya.

Tapi, bagiku Hiro tidak. Dia anak yang sangat penurut dan belum pernah melanggar apa yang aku bilang 'tidak'. Baiklah, kembali ke topik sebelumnya.

"Nanti kita akan berangkat jam sepuluh malam. Bibi biasanya tidur di jam itu, kan?" tanya William berjalan mundur, kedua tangannya ia masukkan ke dalam mantel tebal yang membalut seragam sekolahnya.

"Yap, Mama selalu tidur di bawah atau tepat jam sepuluh malam."

Hembusan angin musim dingin membuatku menggigil, walaupun mantel yang ku gunakan tebal, juga topi kupluk dan sarung tangan, tetap saja udara dingin masih bisa terasa di kulitku. Penyiar berita mengatakan jika besok suhu udaranya bisa lebih dingin dari hari ini. Padahal, suhu hari ini saja sudah berada di angka lima derajat celcius.

Beruntung para guru membagikan mantel tebal ini pada kami, sehingga kami tidak perlu menabung atau mengeluarkan uang tabungan untuk membeli mantel ini yang harganya akan berubah menjadi mahal di musim dingin.

"Kak Alesya!"

"Iya? Ada apa Hiro?" aku bertanya setelah berbalik, Hiro ada di sana, dengan tangan yang sedang membawa kotak bekal.

Hiro memanyunkan bibirnya sambil menyodorkan bekal tersebut."Kau melupakan bekalmu lagi."

Aku mengacak lembut kepalanya yang tidak memakai topi kupluk sepertiku, membuat rambut tebalnya menjadi acak-acakan dan ia berdecak sebal. Aku tertawa, gemas dengan tingkahnya yang seperti itu. Aku ingat, dulu aku pernah membuatnya menangis karena aku terus memainkan pipi tembamnya.

"Iya maaf-maaf. Terimakasih sudah mengantarkannya padaku adik kecil," godaku mencubit pelan pipinya, namun segera ia tepis dan memberiku tatapan tajam.

"Aku bukan anak kecil lagi Kakak. Berhenti memanggilku begitu." Baiklah, dia ngambek. Terlihat dari tingkahnya, yang langsung berbalik sambil menghentakkan kakinya. Aku tertawa kecil kemudian melambaikan tangan ke arahnya.

"Terimakasih lagi Hiro!"

Dia mengabaikanku, langkahnya ia percepat setelah aku mengucapkan itu. Tapi, dia akan tetap menjadi adik kecilku, walaupun nanti usianya sudah menginjak dua puluh tahun atau lebih, karena, hanya padanya aku bisa leluasa bercerita, dialah pendengar setiaku selama ini.

Aku telah berjanji pada Mama, apapun yang terjadi, aku akan melindunginya. Aku tidak akan meninggalkannya walaupun kami sedang dalam keadaan terdesak sekalipun.
***
"Gunting, senter, mantel bulu, sarung tangan-" aku mengingat lagi apa yang kami perlukan untuk kegiatan kami malam ini.

"Jangan ada yang ketinggalan." Hiro bersandar di dinding dekat pintu sambil menatapku yang tengah berjalan ke sana kemari, mencari benda yang sekiranya penting untuk persiapan dua jam lagi.

Aku tersenyum tipis sambil memilih mantel mana yang akan aku gunakan untuk nanti malam."Kau sendiri? Apakah keperluanmu sudah siap? Adik kecil?" aku tak bosan menggodanya dengan panggilan itu, ah, dulu padahal dia sangat nyaman di panggil begitu.

Ia mendengus pelan, kemudian berjalan cepat ke arahku."Aku bukan anak kecil lagi, Kak!" Hiro berseru sambil mendorongku hingga kami terjatuh di atas kasur, dia menggelitik pinggangku, membuatku tertawa.

Aku berguling sambil menahan kedua tangannya."Iya-iya, maafkan aku." Aku merogoh saku celana panjangku, mengambil empat bungkus coklat yang sempat ku beli saat menemani William ke mini market.

"Terimakasih! Kau yang terbaik!" Hiro langsung mengambil dua bungkus coklat sebelum aku tawarkan. Ia kemudian tertawa melihat ekspresi ku.

"Alesya! Hiro! Ayo makan malam!"

Tidak ingin membuat Mama berteriak untuk yang kedua kalinya, kami segera berlari lebih dulu ke bawah, kemudian mengambil tempat di depan Mama dan Papa.

"Mama, nanti malam William jadi menginap di sini?" tanyaku membuka topik percakapan.

Mama mengangguk, Mama menjawab sambil memindahkan nasi ke piring Papa dan Hiro bergantian."Katanya dia akan ke sini setelah makan malam." Mama menghentikan aktivitasnya, menatap kami berdua dengan tatapan serius."Kalian merencanakan sesuatu lagi?"

Hiro terdiam, sementara aku segera menggeleng."Tidak Ma, kami hanya ingin menonton film bersama," ujarku sembari melahap makan malamku.

"Kak Alesya benar Ma, kami ingin menonton ini bersama." Hiro menunjukkan poster sebuah film yang memang baru rilis dua hari yang lalu dan memang akan kami tonton bersama.

Mama akhirnya mengangguk."Sudahlah Ma, mereka kan masih muda, biarkan saja mereka melakukan petualangan, eksperimen, atau apapun itu." Papa yang sedari tadi diam ikut bicara, aku menatap Papa dengan senyum di bibirku.

"Papa, tapi jika di biarkan, mereka bisa membahayakan diri mereka sendiri Pa," sanggah Mama masih keukeh dengan ucapannya Minggu lalu. Itu saat William tidak sengaja hampir terjatuh dari pohon.

"Biarkan saja. Biarkan mereka merasakan semuanya. Papa juga begitu waktu masih muda," kata Papa.

"Benar kata Papa, Ma," kata Hiro setelah mendapat dukungan dari Papa."Kami masih perlu banyak menjelajah lagi."

Mama menatap kami bergantian."Baiklah, tapi, tetap saling menjaga, ya. Jangan tinggalkan siapapun saat kalian sedang dalam bahaya," ucap Mama mengingatkan kami untuk yang kesekian kalinya.

Aku dan Hiro mengangguk sambil memberi hormat."Siap Mama."
***
Tepat pukul tujuh malam, William datang kerumah membawa tas punggung yang kuyakini isinya tak jauh berbeda dengan barang-barang yang tengah kusimpan di bawah kasurku.

Aku langsung memintanya untuk meletakkan tasnya di kamar Hiro. Udara awal musim dingin terasa menusuk kulit walaupun aku sudah memakai sweater rajut dan juga jaket.

Sesuai ucapan Hiro saat makan malam, kami berkumpul di ruang tamu, menonton film di sana, setidaknya agar Mama tidak curiga dengan kami.

Dua piring berisi kue kering di depan kami hampir habis, waktu menunjukkan tepat pukul setengah sepuluh malam. Mama dan Papa sudah pulang dari kantor pos pukul delapan malam, Papa bilang jalanan macet karena ada perbaikan jalan, mereka mengatakan akan segera tidur cepat karena kelelahan.

"Aman?" Aku bertanya pada Hiro tanpa suara. Ia membalas dengan anggukan.

Kami segera menuju lantai dua, tempat dimana kamarku dan Hiro berada. Aku segera mengambil peralatan yang telah aku siapkan dan memasukkannya ke dalam tas ranselku, kemudian segera menemui mereka.

Waktu kini menunjukkan pukul sembilan malam. William mengubah rencana, ia mengajak kami berangkat lebih cepat. Kami segera pergi setelah mematikan lampu kamar dan menutup pintu.

Berbekal lampu senter dan lampu jalanan, kami bertiga berjalan cepat menuju sekolah kami. Salju sudah mulai turun sedikit demi sedikit.

"Itu tempatnya!" Hiro berseru pelan ketika melihat sebuah rumah tua yang berada tepat di bawah kaki bukit, dari rumah itu terlihat sesuatu yang ... bercahaya?

"Cahayanya muncul lagi," kata William berjalan maju, merekam cahaya itu dari ponselnya.

Aku dan Hiro berjalan di belakang William, berusaha untuk tidak menimbulkan suara sedikitpun. Cahaya itu perlahan meredup, kemudian angin kencang menerpa wajah kami bertiga setelah cahaya hijau itu hilang.

William berbalik, menatap ke arah kami berdua. Sorot matanya seakan bertanya apakah kami akan ikut masuk ke dalam atau tidak

Aku dan Hiro tentu saja mengangguk. Mana mungkin kami tidak ikut masuk?

William lebih dulu berjalan di depan kami, sementara aku di tengah dan Hiro tepat di belakangku.

Ekspresi William sangat bersemangat malam ini. Ia sama sekali tidak merasa takut ataupun waspada seperti apa yang aku dan Hiro rasakan. Aku sempat melompat ketika mendengar suara benda jatuh di ruangan itu, begitu pula dengan Hiro ketika seekor tikus tak sengaja melintasi kakinya.

Benar kata Bibi Ruth, William sangat cocok menjadi seorang pemimpin.

"Ah, sepertinya rumah ini hanya rumah kosong biasa," gerutu William setelah ia puas menyorot setiap sudut ruangan menggunakan ponselnya.

Hiro berdecak pelan sembari bersandar di dinding."Apa ku bilang? Kak Wil terlalu percaya dengan orang lain," ucapnya sembari menguap.

Prang!

Suara sesuatu yang pecah sontak membuat kami refleks saling mendekat. William langsung menyorot secara acak tiap ruangan menggunakan senternya.

"Darimana asal suara itu?" Tanya Hiro dengan suara bergetar.

"Mana kutau, pokoknya, ayo kita cek dulu." William lagi-lagi melangkah lebih dulu. Senter yang di pegangnya menyorot ke setiap ruangan dengan pelan.

Sembari menunggu William memeriksa, aku memperhatikan ruangan sekitar. Tidak banyak benda yang ada di sini. Aku hanya menemukan sebuah televisi usang, lemari tua dengan beberapa buku yang telah rusak dimakan rayap, sebuah meja kotak dengan sofa tua di tengah ruangan, dan gorden yang telah usang masih terpasang di jendela.

"Kak." Hiro menepuk pelan bahuku dengan suara yang bergetar, aku langsung menoleh dan mendapati ia sedang menatap ke ruangan yang ada di depan kami."Cahaya itu muncul lagi," bisiknya pelan.

Hiro benar. Tapi, cahaya itu meredup. Aku melangkah mendekati ruangan itu, begitu pula Hiro yang sedari tadi mencengkram ujung mantelku. Suara pintu kayu tua berbunyi ketika kami mendorongnya, aku menelan ludah ketika menemukan sebuah buku bersampul kuno tergeletak di atas meja dekat kasur tua. Di sudut kamar dekat jendela, terdapat sebuah kaca besar yang berdebu.

"Buku apa ini?" gumamku menyingkirkan debu yang menutupi bagian sampulnya. Keningku berkerut bingung ketika mendapati sebuah tulisan yang tidak bisa aku mengerti sama sekali."Apa ini milik seseorang yang pernah tinggal di si-"

Brak!

Sebuah jendela tiba-tiba tertutup sendiri karena tiupan angin kencang. Aku dan Hiro berteriak dan langsung berlari meninggalkan ruangan itu.

"Hei, kalian kenapa!?" William langsung bertanya ketika kami bertiga sudah keluar dari rumah itu.

Aku masih mengontrol napasku, wajah Hiro pucat dan William masih setia menunggu penjelasan dari kami.

"Akan kujelaskan tapi, kita harus pulang dulu," ucapku ketika menyadari angin bertiup semakin kencang, tanda badai bisa datang kapan saja.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro