35. We both sinners, Baby

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

'Just gonna stand there and hear me cry?
Well, that's alright because I love the way you lie.'

-Rihanna ft Eminem-

***

But easy too fuck her.

Kalimat terakhir yang dilontarkan Heath bak puluhan pedang berselimut bara api yang menikam tepat di jantung Poppy. Sembilu yang ditimbulkan begitu luar biasa hingga pijakan kakinya nyaris tak mampu menerima realita. Segala yang ada di hadapan gadis pucat itu lambat-lambat berputar seakan-akan ingin menggulung semua harapan dalam dada.

Termasuk cinta yang bersemi tanpa disadari.

Binasa sudah perasaan yang ingin sekali Poppy ungkapkan pada lelaki yang pernah membisikkan cumbu rayu padanya. Pupus pula semua kenangan yang terlanjur terpatri indah dalam ingatan berganti kenyataan pahit bahwa segalanya hanya fatamorgana.

Jika Heath memang menginginkan Poppy tenggelam layaknya mendiang Grace, maka dia berhasil melakukannya dengan begitu baik. Raganya memang ada di sini-berselubung piyama merah muda tanpa alas kaki-namun jiwa Poppy dibuat larut oleh ilusi yang diciptakan lelaki bertato tersebut. Dia terpikat oleh tipu daya Heath sampai mempersembahkan sesuatu yang tidak pernah sekali pun diberikan kepada lelaki lain.

Sesak.

Tidak ada ruang bagi Poppy meraup udara pun tak sanggup mencari celah dari pikirannya yang hampa, kenapa Heath begitu lihai bersandiwara bak pria tengah dimabuk asmara.

Pilu.

Entah kosakata manalagi yang harus Poppy ikrarkan tuk mewakili betapa pedih luka yang ditorehkan Heath. Dia juga tak yakin apakah luka ini akan pulih sekali pun ada pelipur lara yang bersedia memberikan segenap cinta yang jauh lebih besar dari pria di sana.

Atau justru ... hatinya telah tertawan dalam jeruji berisi ribuan delusi roman picisan buatan Heath.

"Only with you, I feel alive, Baby."

"Only with you ... I feel loved. No one else."

"Jo, it's hard to kill your sister, but too easy to fuck her."

"Too easy too fuck her."

Lantas, kenapa segalanya terasa begitu nyata? Sentuhannya yang membangkitkan gairah. Bisikan-bisikan kasih sayang yang melambungkan angan. Hingga tatapan posesif yang hanya ditujukan pada Poppy semata.

Atau hanya aku yang dibuat buta olehnya?

Bahu Poppy yan tampak ringkih gemetaran berbarengan sebutir kristal bening jatuh dari pelupuk mata. Heath. Bibir pucat gadis itu terbuka, tapi tidak ada satu kata yang melucur dari sana. Lidahnya terlalu kelu untuk berkata-kata meski dalam hati berteriak memohon belas kasih pada semesta agar menjadikan hari sial ini sekadar bunga tidur belaka.

Sorot tajam berselimut dendam yang dilayangkan Heath jatuh tepat mengunci iris cokelat Poppy. Tidak ada lagi raut maupun cara pandang berkabut hasrat ketika akhirnya gadis itu berucap,

"Y-yo-you lied?"

Suara Poppy terdengar serak juga terbata-bata, berusaha merangkai kalimat juga keberanian tuk mengais secuil harapan kalau masih ada gelora asmara yang pernah mereka kobarkan.

"After all this time, y-you lied?" Lanjut Poppy diiringi derai air mata membanjiri pipi.

Sejenak Heath menarik napas panjang lalu mengangguk pelan tanpa ada keraguan sedikit pun. "Yes, I lied."

Kontan gadis itu menggigit bibir bawah kuat-kuat tanpa peduli akan berdarah sekali pun, tangannya meremas pinggiran pakaian sampai kusut meresapi ucapan Heath makin menusuk hati.

"Did we mean anything to you?" tanya Poppy enggan percaya jikalau lelaki di depanya ini berdusta. Seraya menyeret kaki menghampiri sang pujaan, kepalan tangan kanannya memukul-mukul dada tanpa mengalihkan perhatian. "Did ... I-i mean anything to you, Heath?"

Tolong katakan kalau aku sangat berarti untukmu, Heath! Please! Satu kejujuran saja!

"Poppy ..." Joey menahan lengan adiknya, tapi ditepis begitu saja seakan-akan kehadirannya saat ini tidak lagi berguna.

"Heath ..." Poppy memelas.

"I loved you," ujar Heath. "I wish, I really loved you, Poppy. But everytime I look at you, I always see my sister in you. How could I fall in love with you then?"

Bak dihantam batu besar, mimpi-mimpi yang ingin diwujudkan bersama Heath tumbang tanpa sisa. Kalimat yang disangkanya sebagai khayalan nyatanya runtuh dihancurkan oleh logika.

Lantas dengan siapa Popy kemarin hingga kini menambatkan hati?

Tercengang atas rahasia besar yang selama ini tidak diketahui, Joey yang berdiri di tengah-tengah sejoli tersebut langsung menerjang Heath. Lelaki itu jatuh tersungkur menghantam kursi ruang tunggu sebelum mengecup permukaan lantai yang dingin, manakala Joey enggan memberi kesempatan barang sedetik bagi Heath membalas perbuatannya.

Joey terlanjur menelan pil pahit, terus melayangkan tinjuan mengenai rahang Heath tanpa peduli lelaki itu akan mengalami patah tulang hidung atau cedera lain. Boleh jadi kedua tangannya diberi anugerah menyelamatkan jiwa manusia, tapi saat ini Joey ingin mengganti posisi dewa kematian agar bisa mencabut paksa nyawa Heath.

Tidak ada lagi rasa kepedulian yang tersisa dalam dada terhadap pria yang sudah dianggapnya saudara. Justru Joey ingin sekali membunuh Heath tanpa gentar akan hukuman di depan mata.

Ini bukan lagi tentang mendiang Grace, melainkan kenyataan bahwa Heath telah meniduri Poppy entah sejak kapan di saat semua orang mengenal pria gondrong itu sebagai penyuka sesama jenis.

Entah janji manis macam mana hingga Poppy dibuat luluh olehnya!

"You fucked my sister? How fucking you dare Asshole!" hardik Joey murka menahan isak tangis akibat dikhianati oleh dua orang yang disayangi. Bagaimana bisa? Batinnya menjerit. Bagaimana bisa Joey berlagak seperti orang dungu sampai tak mengendus ada sesuatu yang tak beres antara Heath dan Poppy?

"Baumu seperti baru saja dari peternakan kuda, Nona."

Kilasan di mana Poppy dan Heath pulang bersamaan kala itu menjadi salah satu jawaban atas pertanyaan yang menyerbu Joey. Dia mencengkam kerah baju Heath sambil berujar,

"Apa kau pergi ke tempat Rob? Mengajak adikku berkencan?"

Sudut bibir Heath yang agak robek akibat pukulan Joey terangkat dibarengi kekehan pelan, mengabaikan nyeri berdenyut-denyut di muka. Lagi-lagi dia menggeleng, "Tidak pernah ada kata kencan dalam kamus kehidupanku, Jo." Matanya menatap nyalang, menekankan kalimat, "Remember? I. Fuck. Her."

"Bajingan!" Bogem mentah kembali melayang. "You fucking bastard, Heath! You're fucking gay! You told us, didn't you?"

Kali ini Joey tak mampu menangkis balasan telak ketika Heath membenturkan kepalanya. Lelaki itu berteriak kesakitan dibarengi hantaman keras di tulang hidung. Terengah-engah, Heath bangkit sambil meludah mengenai kemeja Joey dan berkata,

"I'm not, Dude. Tapi, aku memang sengaja tidak pernah menyangkal sampai kau memercayaiku mengawasinya. You made that shit too easy," aku Heath percaya diri.

"Fuck!" Pekik Joey menyerang Heath makin beringas. Air matanya berlinang dibanjiri kecewa bahwa selama ini sahabatnya telah merencanakan semua begitu rapi.

Pukulan demi pukulan mereka layangkan, mengabaikan nyeri demi mempertahankan harga diri. Umpatan juga sumpah serapah saling menggema manakala dua pria yang dulunya sering berbagi suka dan duka kini menjadi musuh yang saling mengacungkan senjata. Tiada kata maaf pun tidak ada yang mau bertekuk lutut demi memenangkan ego walau nyawa yang jadi taruhannya.

Bagaimana tidak, pertemuan kedua mereka di tahun pertama kuliah, Joey disambut Heath penuh suka cita seakan-akan peristiwa tewasnya Grace hanyalah cerita lama. Padahal kala itu Joey masih dirundung rasa bersalah sebab beberapa selepas kejadiaan nahas yang menimpa Grace, dia dipaksa pindah ke Exeter sebab Poppy tengah dirawat akibat menderita cedera serius.

"Mom, aku harus menemani Heath!" tolak Joey saat Darcy membongkar semua baju-baju anak lelakinya dari lemari. Bocah yang masih berusia dua belas tahun tersebut, mengeluarkan kembali pakainnya dari koper. "He needs me. Need us! Grace belum ditemukan, apa Mom akan-"

"Dan kau tega dengan adikmu?" sela Darcy memicingkan mata tak suka. "Poppy juga kritis karena ombak sialan itu, Joey!"

"Mom ..." Joey memelas supaya dibiarkan menemani tetangga juga sahabantnya.

"Itu urusan mereka. Mom dan Dad sudah berbela sungkawa dan memberi uang, Jo, kau tak perlu khawatir," sambung Darcy. "Kematian akan selalu menghampiri manusia bagaimana pun caranya."

"Kalau saja Poppy tidak memaksakan pergi liburan, Grace tidak akan seperti ini, Mom!"

"Kalau kau merasa bertanggung jawab, tidak semestinya kau membiarkan mereka berdua berenang sendiri di pantai, Joey King Pearson!" bentak Darcy menarik resleting koper lalu beranjak dan meninggalkan Joey yang kini sesenggukan seorang diri di kamar.

Tubuh Joey limbung menubruk pot bunga di sisi kanan lorong bersamaan beberapa pria bertubuh tinggi termasuk petugas medis melerai mereka. Sementara seorang wanita langsung menghampiri Poppy yang masih terpaku sambil bercucuran air mata.

"Teganya kau membohongi kami, Heath!" rutuk Joey hendak membalas Heath namun kedua lengannya ditahan oleh dua pria. "Fuck! Lepaskan aku persetan!"

Napas Heath terengah-engah sembari meringis merasakan pedih di beberapa titik mukanya. Dia menyorot pria botak lalu berkata, "Silakan lihat CCTV, siapa yang patut disalahkan."

Setelahnya Heath berlalu, mengabaikan panggilan rekan-rekannya yang lain bahwa dia juga butuh diobati dan dimintai kronologi. Telinga Heath pura-pura kehilangan rungu. Lagipula, sebagai dokter pun, Heath merasa bisa mengobati diri sendiri dan tidak butuh orang lain lagi. Cukup sudah topeng yang selama ini dikenakannya selama bertahun-tahun menjalin pertemanan kembali bersama Joey. Dia muak setiap kali berlagak seperti manusia baik padahal sejatinya hati Heath telah mati semenjak kematian Grace dan Phoebe.

Grace, aku harap dendamku ini bisa melegakan rasa kehilanganku padamu...

"Heath!"

Boleh jadi sisi angkuh Heath masih mendominasi usai pertengkarannya bersama Joey, namun siapa sangka panggilan yang berasal dari suara Poppy menghipnotis sebagian sel sarafnya untuk memutar kepala. Bagai dipaksa menoleh, dia berpaling ke belakang begitu mendengar panggilan Poppy.

Sayangnya, Heath tak sempat menghindar manakala Poppy memutar badan dan melayangkan tendangan kuat tepat mengenai rahangnya. Tak salah bila Poppy mempelajari bela diri pencak silat sedari remaja. Setidaknya di saat-saat seperti ini, dia bisa merontokkan akal bulus pria kurang ajar yang berani-beraninya mempermainkan hati wanita.

Tubuh besar Heath ambruk dibarengi jeritan wanita yang tadinya mendampingi Poppy. Lelaki itu merintih kesakitan ketika Poppy mencecar,

"Fuck you!" Poppy menunjuk Heath tepat di batang hidungnya mengabaikan sembilu yang masih bertengger di benak. "Fuck you for me making believe that I was what you fucking wanted, Heath!" Dia memekik, mengeluarkan segala sumpah serapah betapa bajingan pria yang sudah dipercaya.

"Poppy!" Wanita yang rambutnya oranye di belakang Poppy menarik gadis itu agar menjauh di saat kondisi masih panas. "Kita harus kembali oke. Kau perlu istirahat!"

"Don't you fucking dare to touch me, Bitch!" Poppy menepis tangan wanita itu lalu memukul-mukul dadanya dengan kepala tangan. "Fuck you! Fuck you for making me feel like a such a fucking stupid for loving you! You used me, Heath fucking Alonzo!"

Sesaat Heath tertegun tapi detik berikutnya bibirnya mengembang tipis. "Alonzo?" Sebelah alis tebal lelaki itu naik seraya geleng-geleng kepala diiringi gelak tawa seolah-olah yang didengarnya adalah lelucon yang patut ditertawakan. "There's not Alonzo, Baby."

"What?" Poppy mengerut makin tak mengerti.

"Ask your brother." Heath menuding Joey dengan dagu sembari bangkit dari posisinya. Dia mengumpat pelan saat mengelus rahangnya yang teramat sakit akibat tendangan Poppy. "I never asked you to fuck with me, Little trouble," imbuhnya sebelum meninggalkan sang kekasih-mantan lebih tepatnya.

Murka atas pernyataan Heath, secara spontan tangan Poppy menyambar dan melayangkan vas bunga mengenai kepala belakang lelaki pengkhianat tersebut dan berseru, "If you don't like me, take a fucking map, get your fucking car, and drive to hell, Asshole!" Lantas dia mengacungkan dua jari tengah.

"We are in hell, Baby, remember that," balas Heath melambaikan tangan tanpa menoleh sekali lagi.

Because I'm not Alonzo. Remember? I'm not a good man and not good to be your man.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro