[Bangku Kosong] - 2

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Silau betul. Begitulah isi pikiran Abay ketika sepasang matanya kembali memfokus. Cahaya lampu di atas kepala membuatnya pening. Barangkali ia terbangun dengan bertemu malaikat.

Tunggu. Malaikat mana yang aromanya persis alkohol dan antibiotik?

Rupanya ia berada di ruang UKS. Dokter berjas putih kedodoran duduk di samping ranjang.

"Kau tadi pingsan di koridor gedung A," jawab sang dokter.

Abay berusaha duduk. Kepalanya masih berputar-putar berkat kejadian tadi. Anehnya, luka di punggung seakan-akan mulai pulih.

Derap langkah kaki mendekat dari kejauhan. Sepasang pelajar berdiri di balik tirai yang ditarik paksa.

"Bay, ngapain teriak-teriak di koridor sih?" tanya Adnan.

"Sa-Sa-Saras bener, Nan. Bangku itu ada penunggunya."

"Abisnya bedegong (ngeyel) sih," sambung Saras.

"Abisnya jailin gue mulu pake cerita horor. Gimana gak percaya?" bentak Abay. "Terus siapa yang bawa gue ke sini?"

"Kita berdua. Sephia minta tolong sama kita buat anterin lu ke UKS."

"Bisakah kalian jaga UKS sebentar? Jika ada murid yang sakit atau datang minta obat, bilang saja aku sedang di kantin," ucap sang dokter selagi melepas jas putihnya.

Kejadian di lorong sekolah masih terbayang di benak Abay.

"Bay, jangan ngelamun," ucap Saras.

Jam istirahat pun berakhir. Sephia memasuki ruang UKS.

"Lho, bukannya sekarang udah masuk?" tanya sang dokter.

Sephia rogoh saku roknya. Ia tunjukkan lencana di tangan, persis lencana polisi.

"Sephia Kirana Tanzil dari tim khusus Asosiasi Divisi Priangan. Bisakah Dokter tinggalkan kami sebentar? Saya ingin bicara dengan korban."

"Baiklah. Aku tak akan ganggu kalian."

Abay terheran-heran selagi Sephia duduk di sampingnya.

"Ngapain ke sini? Lagi mabal (bolos)?"

"Apa kau pengguna tenaga dalam?"

Abay garuk kepala. "Hah? Tenaga dalem?"

"Jika benar kau tidak bisa menggunakannya, aku ingin mengingatkanmu soal manifestasi."

Abay terdiam sesaat. "Apa? Money-investasi? Jadi, lu ngajakin gue beli saham?"

Sephia mengurut dada. "Manifestasi. Singkatnya, itu teknik mengubah wujud tenaga dalam. Jangan lakukan itu lagi karena itu berbahaya."

Segaris senyuman pun melengkung di wajah Abay. Musibah bisa menjadi berkah dengan keberadaan Sephia di sana. Itu pun selama gadis judes itu tidak bicara.

Sephia menanyai Abay beragam pertanyaan mengenai bangku tempat duduknya di kelas A 23. Pemuda itu pun bertanya soal keanehan di kelas.

"Aku masih punya waktu 10 menit sebelum kembali ke kelas. Bicaralah," ucap Sephia.

"Belakangan ini gue sering denger suara minta tolong semenjak gue duduk di bangku itu."

"Seperti apa persisnya?"

"Ka-kayaknya itu suara hantu cewek deh. Punten pisan. Gue parno kalo denger suara itu mulu!"

"Hantu? Asosiasi sudah memasang pagar gaib untuk kepentingan penyelidikan. Tak ada hantu yang bisa lalu lalang di sekitar kelas itu."

Abay raih lengan baju Sephia.

"Lu tega liat gue stres kek gini?!" rengek Abay. Ketika kedua mata mereka saling bertemu, Abay lepaskan genggaman tangannya.

"Maaf. Sebaiknya kau laporkan saja masalah ini ke markas."

"Cih. Ribet banget," cibir Abay.

Keesokan paginya di sekolah. Abay masuk ke kelas B 11. Seperti namanya, sebuah kelas pertama di lantai pertama gedung B.

Hari itu Abay masuk ke kelas sendiri. Ia berpisah dari Adnan yang pergi ke ruang OSIS sesampainya di gerbang sekolah. Saat itu Saras duduk sendiri. Tidak biasanya gadis berkucir ekor kuda itu datang lebih awal.

"Ras, lu tahu sesuatu soal bangku kosong gak?"

"Ha? Tumben lo tertarik."

Abay pun bercerita tentang kejadian aneh yang menimpanya. Rangkaian mimpi itu bersambung bak episode sinetron. Saras tertegun.

"Kayaknya dia ngasih kode gitu. Kenapa gak minta tolong Sephia aja?"

"Dia bilang mending lapor aja ke markas. Lu tahu markas Asosiasi gak?"

Sepulang sekolah. Mereka berdua pergi ke markas Asosiasi Pemberantasan Fenomena Luar Biasa. Itu institusi resmi pemerintah yang bertugas untuk mengatasi kasus-kasus rumit dan tak terpecahkan.

Singkat kata: kasus berbau supranatural dan mistis.

Markas sektor Asosiasi—begitu nama populernya di masyarakat—hanya ada di pusat kota. Lokasinya tidak jauh dari Polwiltabes setempat.

Dahi Abay mengernyit. Itu tidak seperti kantor Polwiltabes Kopo di sampingnya. Itu lebih persis seperti sebuah kantor perusahaan swasta dengan fasad modern berhias kaca.

"Gak salah tempat nih?"

"Toh kata Maps kantornya di sini kok," jawab Saras yang menaruh helmnya.

"Kok pada gak make seragam sih?"

"Gak tahu. Soalnya Paman gak pernah pake seragam juga."

Matanya mendelik sesaat. "Kenapa gak minta tolong Paman lu aja sih?"

"Kerjanya di Pakanbaru, Bay."

Sepasang resepsionis berpakaian rapi duduk di balik meja. Salah satu di antara mereka mengangkat telepon yang baru berdering.

"Selamat siang. Ada yang bisa kami bantu?" tanya si resepsionis pria dengan senyuman bersahabat.

"Gila! Ada resepsionisnya juga? Mana pakaiannya rapi kayak resepsionis hotel pula!"

Saras menarik Abay menjauhi meja resepsionis.

"Bay, bisa gak sih lu diem?" bisik Saras.

Abay manggut-manggut. Mereka kembali dekati meja resepsionis.

"Jadi, kalian berdua ingin bertemu dengan siapa?"

"Kami ingin melaporkan kasus di kawasan SMA 29."

"Maaf. Kalian harus membawa wali atau pendamping orang dewasa agar bisa melaporkan kasus."

Uap di dalam teko berdecit meninggi lalu melontarkan rambut Abay di depan ruang resepsionis.

"Gila. Gedung aja bagus. Dalemannya busuk!"

Mulut Abay berkomat-kamit tanpa suara dalam intonasi rapat. Saras meminta maaf. Ia seret Abay meninggalkan lobi. Saras tarik Abay meninggalkan gedung.

"Bay. Udah deh," bujuk Saras.

"Liat aja ntar. Gue bakal acak-acak nih institusi ngéhé! (nyebelin) Kena ciduk KPR baru nyaho lho!"

Seorang wanita berjalan dari dalam ruangan di samping meja resepsionis. Ketukan hak stiletto-nya bergema di sepanjang lobi yang lengang. Ia berhenti. Tidak hanya berkat sepasang pelajar SMA berdiri menghalangi jalan. Hawa dingin tidak wajar mencubit kulit seputih tahunya.

"Kalian ingin cari masalah di sekitar sini, hah?"

Abay berbalik. Kepalanya menukik ke samping lalu berteriak, "Setan!"

"Apa kau bilang?"

Jarinya sekuat capitan kepiting. Itulah sensasi di telinga ketika wanita itu menjewer kuping Abay.

"Ampun, Nyonya! Ampun!"

"Anak muda zaman sekarang benar-benar tak tahu sopan santun!"

Orang-orang di sekitar mereka tertegun dan berkedip. Wanita itu menurunkan tangannya.

"Kemarilah. Kita selesaikan ini dengan cara damai."

Wanita itu mentraktir makan siang di sebuah restoran dekat gedung Asosiasi.

"Ini taktik nasi bungkus, 'kan?" tanya Abay.

"Tidak. Kau menggangguku sewaktu aku hendak istirahat makan siang. Omong-omong siapa kalian?"

"Aku Saras. Anak merepotkan ini Abay. Kami berdua hendak melapor ke markas, tapi laporan kami ditolak. Setelah itu, ia terus marah-marah."

"Wajar bila resepsionis menolak. Kami berulang kali mendapat laporan palsu dari anak muda seusia kalian."

"Omong-omong, Nyonya siapa? Ini bukan suap biar kita tutup mulut di depan media, 'kan?" tanya Abay.

"Dasar naif. Kau pikir aku akan melakukan hal sekotor itu?"

Sudah cukup telinganya panas berkat jeweran wanita berambut bob itu! Jangan sampai Abay terima lagi untuk kedua kalinya.

"Kalian tidak usah tahu namaku. Anggap saja aku 'polisi kelaparan yang kebetulan lewat'. Lagipula, apa yang ingin kalian laporkan?"

"Kami ingin melapor kasus di SMA 29," jawab Abay.

"Laporan seperti itu tetap tidak akan kami terima," tukas wanita itu. "Cobalah selidiki hal yang ingin kau laporkan lalu kembalilah bersama orang dewasa. Kau juga bisa langsung melapor padaku. Itu pun jika kalian beruntung."

Ia bayar semua makan siang di atas meja.

"Nyonya. Terima kasih," ucap Abay.

"Anggap saja ini bonus untuk kalian."

Wanita itu condongkan wajahnya ke arah kedua pelajar di meja kantin.

"Satu hal lagi yang ingin kuperingatkan. Jangan sekali-kali menggunakan Hembusan Badai Kutub Selatan jika tak bisa mengontrolnya."

Hembusan Badai Kutub Selatan. Apa itu nama makanan atau kata terlarang?

Abay menggaruk kepala. Ia tidak tinggalkan mejanya meskipun piring sudah bersih. Lantunan musik berirama lembut temani Abay dan Saras di kursi restoran. Jemari Abay pun ketikkan sesuatu pada layar ponselnya.

Cara melapor ke kantor Asosiasi.

"Bay, udah ketemu caranya?" tanya Saras.

Pemuda berseragam SMA itu tunjukkan ponselnya pada Saras.

"Ah ribet. Ras, minta tolong paman lu gih."

"Ngeyel ya. Kenapa gak minta sama Om aja?"

Tatkala seseorang membicarakan ayah di telinganya, Abay membalas dengan senyuman kecut. Peluang keberhasilan seorang Bayu Samudera meminta tolong pada ayahnya: 1:60.000.000—dengan kata lain mustahil.

Malam itu kawasan Marga Asih sejuk. Abay turun dari kamarnya di lantai dua untuk ambil minum. Ia menjauh pada titik buta berkat pria yang duduk di sofa hijau limau sana.

Mampus. Pasti badai akan menghantamnya di rumah, lagi.

Pria itu mendelik tajam ke arah dapur. Suhu di sekitar ruang keluarga seakan beranjak naik tatkala harus berada di dekat Ayah. Bukan karena panas dari sebatang kretek di bibirnya yang sedikit menghitam, melainkan isyarat tangan agar Abay mendekat.

"Ayah dapat telepon dari Saras. Ada masalah apa sampai harus melapor Asosiasi segala?"

Abay palingkan wajah.

"Apa ada kaitannya dengan harimau jadi-jadian itu?"

"Bukan urusanmu," pungkas Abay.

Kini pemuda berambut jabrik itu kembali ke kamarnya.

NB:

KPR: Komisi Pemberantasan Rasuah. Singkatnya ini KPK versi alternate universe.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro