Bagian 15

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Sori, ya, Lila ...."

"Lily."

"Ya, Lily. Sori, gue nggak ada waktu buat ikutan klub seperti itu." Anastasia menggeser kursinya ke belakang. "Gue duluan, ya."

Begitu tubuh langsing Anastasia menjauh, aku hanya bisa menutup mata, menghela napas pasrah. Baiklah, ini percobaan pertama. Akan kudatangi gadis itu lain kali. Sebenarnya bisa saja aku menahan langkah Anastasia, tetapi karena bel akan berbunyi sebentar lagi, maka kuputuskan untuk enggak mengejarnya.

Aku kembali menghampiri Fadil dan Rani. Enggak mau memamerkan wajah lesu, aku langsung tersenyum optimis. Meskipun kini keduanya memamerkan tatapan iba. Ya, aku yakin, mereka tahu bahwa Anastasia baru saja menolak.

"Nggak apa-apa, Li. Kita coba besok," kata Rani sambil menepuk pundakku. Berusaha untuk menghibur.

Fadil tersenyum menampilkan ekspresi yang berbeda. Jauh lebih optimis dan penuh semangat. "Kita berjuang bareng, Li. Lo nggak sendiri."

"Trims. Gue jadi makin semangat. Nanti gue coba lagi ngajak Kak Prima ngomong."

"Gue suka semangat lo yang membara kayak gini, Li. Tapi, nggak usah dipaksain kalau memang Prima nggak mau. Dia mungkin udah sibuk banget kali, makanya nggak mau balik lagi." Fadil menuturkan sambil menyendok sisa bakso yang entah sejak kapan mereka pesan. "Dia juga kerja paruh waktu, kan? Jadi, mungkin buat dia nggak ada waktu untuk ikutan Klub Sastra lagi."

Rani mengangguk, mengaminkan ucapan rekannya. Sementara aku mulai merasa pesimis, khusunya dalam hal membawa Prima kembali ke Klub Sastra. Terkesan sangat memaksa cowok itu, tetapi aku sudah kepalang berjanji.

Apa kata Anggi jika tahu kalau aku gagal? Apa dia tidak akan mau lagi melanjutkan rencana kami?

"Gue usahakan Kak Prima mau gabung lagi!" Aku sedikit berseru.

"Lo kalau sama Prima manggilnya 'Kak'. Giliran sama kita bertiga malah biasa aja, tuh," sewot Fadil.

"Ya, ya, anggap aja ini gue lagi akting sok manis biar Prima masuk Klub Sastra lagi." Susah payah aku menekankan kata 'Prima' tanpa embel-embel 'Kak'.

Kalimatku justru menghadirkan gelak tawa Rani dan Fadil. Aku enggak menyangka, dalam waktu dekat ternyata berhasil akrab dengan mereka berdua. Mungkin hanya Anggi yang masih bersikap agak ketus, tetapi aku enggak masalah. Selama kami sering bertemu, aku harap akan ada hal yang lebih baik di antara kami.

"Eh, kita kayaknya perlu kumpul untuk bahas program dan pembuatan brosur," ujar Rani di sela tawa Fadil.

"Ah, iya! Kita bisa bahas minggu ini. Mau?"

Aku mengangguk setuju karena memang hari mingguku di rumah agak membosankan. Namun, masalahnya bagaimana aku harus izin ke Papa dan Mama?  Tentu enggak mungkin jujur. Sebab, semalam saja, Mama terlihat sangat marah karena aku menyebut Klub Sastra.

Ah, aku jadi ingat sejak mendebat Mama, paginya kami enggak bertegur sapa saat sarapan. Rasanya enggak enak sekali, diam-diaman dengan orang tua sendiri.

"Hari minggu, di rumah gue? Mau?" tawar Rani.

"Oke! Nanti gue ajak Anggi. Gimana, Lily?" Fadil mengerling ke arahku, meminta pendapat. Aku hanya membalas dengan anggukan. Biarlah sisanya nanti kupikirkan belakangan.

—oOo—

"Lily!"

Aku mendapati Fadil melambai dari arah kelasnya. Berlari di selasar menghampiriku yang baru saja turun dari lantai dua. Rasa-rasanya baru kemarin mereka menolak ajakanku untuk mempertahankan Klub Sastra, tetapi sekarang ternyata aku dan cowok ini sudah akrab.

Napas Fadil memburu karena berlari. Ia memandangku sejenak sambil menormalkan napas dan detak jantungnya.

"Gue mau ngasih tahu lo tentang seseorang." Dia memilih melangkah membuat kami sekarang berjalan bersisian. "Namanya Tomo, anak Bahasa. Dia adik kelas gue pas SMP."

"Sebentar, kenapa lo tiba-tiba pengin ngajak dia gabung?"

Fadil menggaruk kepala bagian belakangnya. "Dia suka bikin puisi buat gebetannya. Bukan sembarang puisi receh, kok. Gue jamin!"

"Boleh-boleh aja, tapi lo yang ngomong ke dia, ya. Asal dia jangan setengah-setengah belajarnya, harus konsisten."

Cowok berambut lepek dengan model belah dua ini, langsung mengangkat kedua jempolnya. Sekilas penampilannya yang culun membuat ia tampak lucu. Aku hanya membalas dengan mengacungkan jempol. Enggak lupa menyengir lebar-lebar.

"Gue cabut dulu, deh. Sampai ketemu besok!"

Namun, Fadil berhenti mendadak sebelum jauh melangkah. Berputar menatapku yang memandang keheranan.

"Soal Prima ... lo jangan terlalu maksain dia, ya. Kalau memang dia nggak mau, ya nggak apa-apa."

Aku baru akan membuka mulut dan menanyakan tentang Prima, lebih banyak lagi. Akan tetapi, Fadil sudah lebih dahulu berlari terbirit-birit menyusul gerombolan siswa yang keluar dari lobi utama.

Sepeninggal Fadil, aku mengedarkan pandang ke arah lapangan futsal. Masih banyak siswa yang asyik berpanas-panasan mengoper bola di tengah lapangan. Dari sekian banyak cowok yang ada di sana, dapat kulihat sosok Prima yang terbahak menyaksikan pertandingan dari atas tribun.

Biasanya juga selalu memamerkan tatapan datar, lalu menjawab dengan nada ketus. Baru kali itu aku melihatnya tertawa. Aku juga makin penasaran, sebenarnya apa alasan utama Prima keluar dari Klub Sastra ... selain sibuk tentunya.

Memang dia sesibuk apa sampai enggak mau lagi bergabung atau bahkan peduli pada ekskul yang sempat ia buat harum namanya.

"Lily, belum pulang?" tegur seseorang.

Begitu berbalik, aku menemukan Bu Fatima memandang heran. Kerudung cokelat cerah yang dikenakannya tampak membuat wajah wanita itu lebih anggun dan cantik. Aku menerka-nerka, mungkin usia Bu Fatima belum di atas tiga puluhan.

"Ini mau pulang, Bu. Biar saya bantu bawa bukunya." Aku mengambil alih buku-buku catatan siswa yang ada di tangan beliau.

Kami berjalan bersisian menuju ruang guru. Sebenarnya kalau dijemput Mama, aku sudah harus pulang begitu bel berbunyi. Namun, sejak Mama mulai kembali bekerja di toko bunga, aku sering pulang dengan angkutan umum. Sehingga sering pula berlama-lama du sekolah.

Bukan tanpa alasan, tentu saja karena Klub Sastra. Maksudku membantu Anggi, Fadil, dan Rani membenahi ulang klub yang membuatku tertarik.

"Lily, bagaimana progres Klub Sastra?" tanya Bu Fatima ketika kami tiba di ruang guru.

"Sedang kami usahakan, Bu. Dalam waktu dekat, brosurnya akan segera disebar."

Seulas senyum menghiasi birai Bu Fatima. "Ya, sudah. Kamu yang semangat, ya. Terima kasih sudah membantu Ibu. Sekarang lebih baik kamu pulang, biar orang tuamu nggak khawatir. Hati-hati dan jangan main-main dulu, langsung pulang."

Aku hanya memberi hormat, lalu keluar dari ruang guru. Hari ini pun aku harus naik angkutan umum. Walaupun memang jarak sekolah dan rumah enggak terlalu jauh. Bahkan aku pernah berniat ingin naik ojek. Sayangnya, ketika mengutarakan keinginan itu kepada Mama, beliau malah menolak karena khawatir.

Alhasil, aku selalu rela berdesak-desakan dengan penumpang lain. Seperti siang yang terik ini. Membuat tubuhku lebih lengket karena panas. Syukurlah jalan raya enggak terlalu macet, sampai akhirnya aku bisa turun di tempat biasan.

Sialnya, aku harus jalan dari gapura perumahan hingga kediaman kami. Dari kejauhan, aku melihat Kak Delima turun dari motor matic yang dikendarai oleh seorang lelaki jangkung berjaket kulit. Begitu aku mendekat, lelaki itu segera pergi dari depan rumah kami.

"Kak, lo dari mana?" tanyaku tatkala melihat Kak Delima sedang membuka sepatunya.

"Kuliah, lah. Emang lo pikir gue dari mana?"

"Jadi, lo beneran ngerokok di rumah?"

Buru-buru Kak Delima merampas tas kecil di atas meja. Aku sempat melihat isinya, dua bungkus rokok. Tanpa mengindahkanku lagi, Kak Delima berlalu memasuki rumah.

"Kak, lo nggak takut Papa tau tentang ini?" Aku berusaha untuk enggak melepaskannya siang itu.

"Plis, jangan berisik bisa?"

"Gue ngomong begini demi kebaikan lo. Lebih baik lo berhenti, sebelum ketergantungan."

Kak Delima hanya menatap malas sambil mencebikkan bibir. "Nggak usah ikut campur! Jadi orang ngeselin banget, sih."

"Ada apa, Lily, Delima?" Mama datang dari arah dapur, memandang heran ke arah kami.

Dapat kusaksikan wajah Kak Delima yang berubah panik. Bahkan meremas tas kecil yang ada di tangan kanannya. Namun, sebelum Mama bertanya lebih jauh, aku memilih mengalah dan menghentikan perdebatan kecil tadi.

"Nggak apa-apa, Ma. Aku masuk dulu." Lantas berlalu menuju lantai atas. Kali ini, aku menyelamatkan Kak Delima.


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro