Bagian 4

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


"Lo nggak bercanda, kan?" Aku menodong Asti dengan raut serius. Takut-takut kalau memang Asti cuma asal berucap.

"Ya ampun, Lily! Ikut gue, biar lo percaya."

Tanpa memberiku kesempatan untuk mengeluarkan suara lagi, Asti menarik paksa tanganku. Kaki kami berjalan cepat melintasi selasar Laboratorium MIPA sampai akhirnya tiba di depan ruang guru. Tepat di depan papan pengumuman panjang. Kertas-keras lusuh dan baru terperangkap di dalam sana, hanya dapat diamati dari kaca jernih nan tebal yang menjadi dindingnya.

Perkataan Asti diperkuat dengan pengumuman yang tertera di sana. Menurut keterangan yang ada di kertas menyebalkan itu, bulan ini Klub Sastra akan dibubarkan, tetapi tanggalnya belum diumumkan karena pihak sekolah masih merundingkan.

Seketika kedua tanganku mengepal sempurna di sisi tubuh. Seakan-akan tidak ada siapa pun yang mendukung apa yang aku sukai. Di rumah, semua anggota keluarga melarang dan meremehkan hobiku. Sekarang di sekolah pun—di saat aku menemukan satu hal yang menarik agar betah di sekolah—Klub Sastra akan disingkirkan

"Bisa protes nggak, sih?"

"Mau protes sama siapa? Kepala sekolah? Sana, kalau lo berani."

Asti membuat nyaliku langsung menciut. Namun, percayalah aku tetap enggak terima dengan keputusan tersebut. Jika mengingat statusku sebagai siswa baru, aku yakin melakukan protes bukan hal yang tepat.

Jadi, begini rasanya ketika ingin marah, tetapi enggak tahu harus memarahi siapa?

"Udahah, lo gabung ekskul lain aja. Drama misalnya, mereka lagi butuh anggota baru juga, kok." Asti mempromosikan klub kebanggaannya. "Lagipula, Klub Sastra itu isinya geeks semua. Mereka kutu buku, introvert ngeselin, dan yeah ... nggak punya prestasi besar. Cuma bisa menghabiskan duit sekolah."

"Apa mereka seburuk itu di mata lo?"

Gadis berambut pendek model bob itu mengedikkan bahu. Ia melenggang serupa model yang berjalan di catwalk. Sementara aku hanya mengamati punggungnya dengan perasaan terbakar. Oke, aku seharusnya enggak terlalu berlebihan, tetapi entah kenapa rasanya aku enggak terima dengan perkataan Asti tadi.

Orang-orang yang rela menghabiskan waktu berjam-jam demi membaca sebuah buku, tentu saja keren di mataku. Mereka mungkin terlihat diam, tetapi siapa yang tahu di balik tempurung kepala, mereka seolah mengetahui rahasia dunia.

"Lo ingat ini, Lily. Bukan cuma gue yang bilang anak-anak Klub Sastra itu beban sekolah. Maksa mau bikin klub, tapi ternyata nggak ada hasil sama-sekali," lanjut Asti setelah kami terdiam cukup lama.

Asti sesekali melambai pada beberapa siswa yang melintas dan menyapa dirinya. Mungkin Asti adalah salah satu dari sekian banyak anak yang cukup terkenal di sekolah berkat bergabung di klub yang cukup eksis. Meskipun sebenarnya aku enggak tahu ekskul mana saja yang paling eksis di sini.

Tentu saja bukan Klub Sastra, mengingat citranya sangat jelek dan dinilai remeh oleh siswa-siswi SMA Cendekia Muda.

"Gue harus bicara sama Bu Fatima," ujarku menahan langkah Asti di depan pintu kelas yang terbuka lebar.

"Ya, ya, silakan aja. Bu Fatima bisa apa, Li? Palingan juga lo disuruh masuk ekskul lain. Udahlah, Klub Sastra itu nggak tertolong. Lo jangan masuk sana sebelum berubah jadi anak-anak introvert sok judes kayak Anggi."

"Anggi?"

"Yeah, salah satu anggota Klub Sastra yang judesnya bukan main."

"Emang mereka beneran nggak ada pencapaian sama sekali?"

Asti tampak berpikir sambil menyandarkan punggung ke kusen pintu. "Ada, sih. Itu pun cuma beberapa kali dan kayaknya cuma dia anggota yang ... ah, sial! Kenapa Pak Hutomo masuk, sih? PR Matematika gue belum kelar."

Aku hanya mendesah kasar ketika Asti lari terbirit-birit begitu sosok bertubuh tambun dan berkumis tipis dengan kepala nyaris plontos, kini bergerak menyusuri jalan setapak di pinggir lapangan basket. Pak Hutomo—guru Matematika—mulai mendekat ke lantai dua, di mana kelasku berada.

Sama seperti Asti, aku juga belum menyelesaikan soal Matematika yang diberikan Pak Hutomo di hari pertama menjadi siswa baru. Aku bisa saja meminta tolong kepada Asti untuk membagi jawaban, tetapi sialnya gadis itu juga sangat anti Matematika.

—oOo—

Lima menit terasa berjalan lambat karena pelajaran Matematika yang sama sekali tidak pernah mau bersahabat dengan otakku. Apalagi suara Pak Hutomo yang terlampau kecil. Pria itu sejak tadi menjelaskan Barisan Deret Geometri, tetapi mau bagaimana pun bentuknya, aku tetap menyipit berusaha memahami. Hasilnya, nihil.

Aku mengetuk lantai marmer dengan ujung kaki, menunggu detik demi detik hingga suara bel istirahat kedua berbunyi. Setengah dari penghuni kelas sudah seperti ikan yang menggelepar di daratan. Siapa yang membiarkan Matematika berada di jam lapar seperti sekarang ini?

Asti mencoret-coret selembar kertas buram yang biasa dibagikan oleh Pak Hutomo sebelum kelas dimulai. Fungsinya untuk menghitung jika tiba-tiba ada soal dadakan. Namun, fungsinya akan berubah jika berada di tangan anak-anak cowok. Pesawat terbang, bola-bola kertas, sampai bentuk abstrak yang membuat kertas buram itu lecek.

Bel berbunyi nyaring menyelamatkan perut kami. Pak Hutomo menyudahi pertemuan siang itu dan segera keluar dari kelas. Aku berdiri lebih dahulu dan mencuri start cowok-cowok yang biasanya keluar kelas lebih dahulu. Tujuanku enggak lain adalah ruang guru.

Tiba di sana, aku langsung menghampiri meja Bu Fatima. Wanita berjilbab itu tengah duduk menunduk sambil memainkan ponsel.

"Permisi, Bu."

"Eh, Lily. Sudah kepikiran mau gabung ekskul apa?"

"Klub Sastra."

Ekspresi Bu Fatima berubah lagi. Tadinya dia terlihat sangat bersemangat melihat kedatanganku.

"Memangnya kenapa, Bu? Kenapa Klub Sastra akan dibubarkan?"

"Nah, itu kamu tahu kalau Klub Sastra akan bubar. Jadi, sebaiknya pikirkan klub lain."

"Apa saya boleh tahu kenapa Klub Sastra akan dibubarkan?"

"Coba kamu tanya Pak Lukman, kebetulan beliau salah satu penanggung jawab ekstrakulikuler, lebih tepatnya Jurnalistik. Mungkin beliau tahu." Bu Fatima segera bangkit dan membereskan kertas yang berceceran di atas meja. "Ibu mau ke kelas dulu, ada jam ngajar."

"Lima menit lagi, Bu."

"Lily, tanyakan ke Pak Lukman. Kebetulan beliau sedang nggak ada jam, tuh."

Tanpa menghiraukan aku lagi, Bu Fatima melangkah tergesa, keluar dari ruang guru. Dari tempatku duduk, Pak Lukman tampak sedang berbincang dengan seorang guru yang tampak lebih muda. Hanya sesaat dan kini penanggung jawan Klub Jurnalistik itu sudah sendirian di kursinya.

Aku mengepalkan tangan kuat-kuat, mengumpulkan segenap keberanian untuk mengajak Pak Lukman berbicara. Tanpa ingin membuang waktu lagi, aku menghampiri pria itu. Raut wajahnya yang sudah mulai berkerut langsung memandang heran.

"Permisi, Pak. Saya Lily kelas sepuluh IPA dua. Ehm, saya mau bertanya tentang Klub Sastra."

"Oh, ya, Lily. Silakan."

Jauh diluar dugaanku, ekspresi Pak Lukman yang tadinya tampak terganggu serta raut sangarnya ternyata enggak berarti apa-apa.

"Apa benar Klub Sastra akan dibubarkan?"

"Bukankah sudah ada pengumumannya?"

"Iya, tapi saya ingin tau alasannya, Pak."

Pak Lukman meletakkan ponsel di dekat tumpukan buku tugas siswa-siswanya. Ia menatapku sejenak dengan tatapan yang sulit kuartikan, sekian detik kemudian senyum merekah dari birainya.

"Kamu anak baru, ya, Lily?"

"I-iya, Pak. Saya berencana gabung dengan Klub Sastra, tapi ...."

"Mereka kekurangan anggota, Lily. Itu salah satu alasan kami membubarkannya."

Menit berikutnya aku enggak bisa mengucapkan apa pun lagi karena bel berbunyi nyaring. Alhasil, aku memilih kembali ke kelas. Merasakan semangatku yang membara, kini nyaris padam. Saat tiba di kelas, Asti langsung menyapa, tetapi aku mengabaikannya.

Kuamati satu persatu orang-orang di kelas ini. Sampai atensi tersita oleh Dista—cewek berbehel yang sekarang lagi mengeluarkan buku-buku fantasi terjemahan karya Marie Lu. Aku enggak terlalu mendengar jelas pembicaraannya dengan anak-anak lain. Namun, aku tahu dia tengah mempongahi buku-buku yang dimilikinya.

"Dista ...," gumamku sesaat sambil meneggakkan punggung. "Asti! Gue punya ide biar Klub Sastra nggak bubar."

“Ide apa? Jangan aneh-aneh, deh, Lily!”

Senyumku terus merekah saat menatap Dista yang kini terbahak-bahak di depan siswa lain. Asti menyikut lenganku dan begitu aku meliriknya, ia tengah menatap dengan heran sekaligus enggak bisa menyembunyikan kengerian dari wajahnya.

“Kenapa lo senyum-senyum lihat Dista? Dia itu posers abis tau. Padahal kalau gue lihat baru-baru banget suka baca novel. Tapi, gayanya udah kayak yang paling tau. Emang dasar tukang pamer.”

Terserahlah, aku enggak peduli dengan apa pun yang Asti ucapkan tentang Dista. Namun, yang jelas aku tahu apa yang harus kulakukan.


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro