CHAPTER THIRTY FOUR

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


"Liburan itu artinya kita akan menikmati perjalanan kita. Jadi sebaiknya kita memilih kereta api," ucap Su Li sambil meratakan masker wajahnya. Sejak dua hari yang lalu, pasangan itu berdebat mengenai moda transportasi apa yang akan mereka gunakan ketika berangkat ke Yunnan.

"Kita akan kehabisan waktu di jalan, Nyonya." Sang Suami yang sedang membaca buku di atas kasur itu pun tidak mau mengalah. Menurutnya waktu sebanyak itu seharusnya bisa digunakan untuk kegiatan yang lain.

"Bagaimana jika waktu cutimu diperpanjang menjadi seminggu?"

Ziang Wu menutup buku yang ia pegang. "Empat hari itu batas toleransi dari timku. Aku tidak bisa meninggalkan pekerjaanku terlalu lama. Bukankah anda yang meminta kami untuk lekas menyelesaikan program terbaru itu, Nyonya CEO? Kecuali anda memundurkan waktu perilisan hingga tahun depan, saya rasa bisa mengajukan cuti hingga dua minggu."

Su Li yang sudah berhasil merapikan sheet masknya berjalan menuju kasur. Ia kemudian merebahkan diri dan menjadikan paha sang Suami menjadi bantal. "Bukankah kita sudah sepakat untuk tidak membahas pekerjaan di rumah?" tanyanya yang berhasil membuat Ziang Wu bungkam.

Sejak malam terakhir mereka tidur bersama, pasangan suami istri itu memutuskan untuk menempati satu kamar. Mereka sepakat untuk mengubah kontrak awal menjadi perjanjian pranikah dengan menambahkan beberapa poin tambahan termasuk untuk tidak membahas ataupun membawa pekerjaan ke rumah kecuali dalam keadaan terdesak.

"Oke, aku salah, tetapi apakah kamu yakin bisa menghabiskan waktu hingga 13 jam di kereta?" Ziang Wu merasakan pahanya bergerak ketika Su Li mengangguk.

"Bukankah sudah kukatakan kalau aku ingin menikmati perjalanan ini sebagai liburan?"

"Bagaimana dengan perusahaan?"

"Aku yakin, ayah akan dengan senang hati menggantikanku di perusahaan sementara putri kesayangannya ini liburan."

Ziang Wu terkekeh gemas. Apa yang dikatakan oleh Su Li tidaklah salah. Walau keduanya sering berdebat, tetapi semua orang tahu betapa Su Liang menyayangi Su Li. Sifat keras kepala mereka yang mirip itulah penyebab utama terjadinya gesekan.

"Baiklah, tetapi kita hanya akan memesan tiket kereta untuk satu kali jalan. Ketika pulang, kita harus menggunakan pesawat," ucap Ziang Wu masih menawarkan opsi yang bisa menguntungkan dua belah pihak. Su Li kemudian mengangguk setuju, tidak buruk juga pikirnya.

"Ceritakan tentang Yunnan," ucap Su Li. Ziang Wu terlihat berpikir sejenak sambil mengingat bagaimana keadaan kampung halamannya tersebut.

"Aku tidak yakin apakah tempat itu masih sama atau sudah berubah. Tetapi aku akan mencoba menceritakan apa saja yang aku ingat."

Su Li mengangguk sambil memperhatikan wajah Ziang Wu. 'Dasar, bagaimana bisa walaupun dilihat dari bawah kau masih tetap terlihat tampan?'

"Su Li, kau mendengarku?"

Ziang Wu hanya mendesah pasrah saat Su Li hanya terkekeh menanggapi ucapannya.

"Tadi ada sesuatu yang mengalihkan fokusku. Sekarang kau bisa mulai bercerita." Su Li menatap Ziang Wu lekat. Membuat pemuda itu tersenyum kecil. Manik Su Li yang membulat itu terlihat lucu karena sheet mask yang istrinya itu gunakan.

"Desa tempat aku dilahirkan bernama Niujie. Sebuah desa yang sekarang sudah menjadi desa wisata. Aku masih ingat, ayah suka mengajakku menjelajah karena desa kami dikelilingi oleh perbukitan karst. Pada musim semi, kau bisa melihat padang bunga canola yang seperti tidak memiliki ujung. Kaki-kaki bukit karst seakan tertutupi oleh permadani berwarna kuning. Disaat musim panas, padang canola itu menjadi surga bagi anak-anak yang mencari kumbang badak."

Ingatan Ziang Wu terlempar ke masa lampau. Terputar jelas bagaimana serunya ia berguling di padang rumput untuk mencari kumbang badak, kemudian membawa tubuh yang penuh debu itu ke sungai. Mandi sepuasnya dan jika beruntung bisa membawa satu dua ekor ikan hasil tangkapan. Su Li dapat melihat bahwa Ziang Wu terlihat antusias menceritakan masa kecilnya.

"Sayangnya, saat sekolah menengah pertama, Ayah mendapatkan pekerjaan di Beijing. Kami sekeluarga kemudian pindah dan menetap di Beijing. Terakhir kali aku mengunjungi Niujie adalah lima tahun lalu di acara pemakaman kakekku."

Su Li masih ingat saat pertama kali ia diperkenalkan dengan Ziang Wu, seorang anak lelaki yang terlihat nakal dengan kulit yang cokelat. Hanya saja, poin plus Ziang Wu adalah karena ia pintar mengerjakan matematika dan sangat ramah. Suatu hari, Su Li hampir menyerah mengerjakan tugasnya, tetapi tidak disangka bahwa Ziang Wu bisa menyelesaikan tugas itu. Karena tugas matematika itulah yang membuat mereka berdua menjadi dekat.

"Terima kasih karena sudah datang ke sisiku," ucap Su Li tulus.

Membuat Ziang Wu menunduk dan tersenyum manis. Ia pun bersyukur bisa dikenalkan dengan Su Li. Gadis kecil yang selalu mengangkat dagu itu masih tergambar jelas di ingatannya. Saat pertama kali mereka dikenalkan, Ziang Wu menganggap gadis kecil itu sangat sombong karena ia tidak tersenyum sama sekali.

Penolakan demi penolakan ia dapatkan, hingga suatu hari bisa menjadi dekat karena ia membantu gadis kecil itu mengerjakan tugas matematikanya. Bagaimana gadis itu kemudian tumbuh menjadi wanita yang luar biasa seperti ini membuatnya tidak percaya, bahwa pernah menjadi bagian dari kehidupannya yang mengagumkan.

"Aku juga sangat berterima kasih untuk kesempatan yang kau berikan untukku."

Jarak wajah keduanya semakin mendekat saat alarm yang disetel Su Li berbunyi. Keduanya kemudian menjauh.

"Aku harus melepaskan maskerku," ucap Su Li kemudian beranjak dari tempat tidur.

***

Matahari belum menampakkan dirinya. Kota masih terselimuti kabut tipis dengan langit yang masih gelap. Namun hal itu tidak menyurutkan semangat Su Li. Wanita itu terlihat antusias membantu Ziang Wu menyusun barang bawaan mereka.

"Ayah, biar aku saja," ucapnya ketika melihat Ziang Chen mengangkat koper miliknya. Walau sebelum beberapa langkah koper itu berhasil direbut kembali oleh Ziang Wu.

"Ini yang terakhir. Tunggu saja di mobil," ujar Ziang Wu yang membuat Su Li berlari kecil masuk ke dalam mobil bergabung dengan Ayah mertuanya.

Setelah memastikan rumah dalam keadaan aman dan barang bawaan mereka sudah semua dimasukkan ke dalam bagasi, Ziang Wu kemudian masuk ke dalam mobil. Mereka harus bergegas agar bisa sampai stasiun tepat waktu, karena kereta mereka berada di keberangkatan pertama.

"Baiklah, kita berangkat."

Walau matahari belum menampakkan diri, ternyata kota bangun lebih cepat. Jalanan Beijing memang tidak pernah sepi, kendaraan umum masih saja terlihat penuh diisi oleh warga kota yang berangkat bekerja atau sebaliknya.

Bunyi notifikasi ponsel Ziang Wu yang berada di atas dasbor memecah keheningan di dalam mobil. Su Li membantu Ziang Wu untuk melihat pesan yang ia terima, dahi wanita itu berkernyit dalam. Kemudian menoleh ke belakang melihat Ayah mertuanya yang sedang memandangi bangunan dari jendela mobil.

"Ada apa?" tanya Ziang Wu. Su Li kemudian menghadapkan layar ponsel ke arah suaminya tersebut ketika lampu merah menyala.

[Ayah 05.03: Aku pergi hanya empat hari. Jangan terlalu merindukanku, aku akan cepat kembali.]

"Ayah, apakah kau salah mengirimkan pesan kepadaku?"

"Apa maksudmu?"

Ziang Wu dapat melihat sang Ayah yang mengeluarkan ponsel dari saku jaketnya dari spion dalam. Pria paruh baya itu terkejut saat menyadari bahwa ia salah mengirim pesan.

"Apakah ini wanita yang aku lihat di pusat perbelanjaan SOHO?" tanya Su Li yang sudah memutar badannya untuk menghadap Ziang Chen.

"Apa yang kau bicarakan Su Li? Ayah tidak pernah mengunjungi pusat perbelanjaan dengan wanita."

Su Li kemudian menceritakan bagaimana ia melihat Ziang Chen waktu itu.

"Ketika aku ingin menyapa, Ayah sudah menghilang," ucap Su Li di akhir ceritanya. Diam-diam Su Li melihat reaksi dari Ziang Wu, tetapi suaminya itu tidak berkomentar apapun dan masih fokus dengan jalanan.

"Mungkin saat itu kau salah melihat," kilah Ziang Chen sambil menghindari manik kecokelatan yang menatapnya itu.

"Mungkin saja. Karena jarak kita saat itu lumayan jauh," ucap Su Li kemudian kembali menghadap depan.

"Sebenarnya aku tidak masalah jika Ayah mencoba mencari pasangan lagi," ucap Ziang Wu setelah sekian lama terdiam. Pemuda itu bersungguh-sungguh saat mengatakan hal tersebut. Karena Ziang Wu mengerti, sang Ayah perlu teman di masa tuanya. Dirinya pun sudah memiliki keluarga sendiri yang perlu diperhatikan.

Ziang Chen hanya diam tanpa niat membalas ucapan Ziang Wu. Pria paruh baya itu memilih untuk menutup matanya.

***

Sesampainya di stasiun, rombongan kecil itu bergegas mencari restoran untuk sarapan. Perjalanan mereka lancar tanpa drama terjebak macet membuat mereka dapat sampai di stasiun satu jam sebelum kereta berangkat. Sebagai penganut sarapan itu adalah hal wajib, Ziang Wu membawa sang Ayah dan juga istrinya mencari restoran. Setelah berkeliling, mereka bertiga memutuskan untuk sarapan di sebuah coffee shop atas permintaan Su Li.

Dua cangkir cokelat panas, satu cangkir teh herbal, dua sandwich ham, dan dua buah croissant memenuhi nampan yang dibawa Ziang Wu. Pemuda itu kemudian menuju di mana dua orang terkasihnya sudah menunggu dengan tenang. Tatapannya kemudian mengikuti ke arah yang sedang dipandangi oleh Ziang Chen dan Su Li.

Sebuah televisi berukuran 43 inch yang tergantung di salah satu dinding coffee shop tersebut sedang menayangkan sebuah berita penemuan mayat di salah satu apartemen kumuh di pinggiran kota Beijing.

Seorang pria ditemukan tewas di distrik Dongcheng. Jasad pria yang ditemukan dengan tubuh penuh luka itu tengah diselidiki polisi. Jenazah pria itu ditemukan di sebuah apartemen kumuh yang sudah ditinggalkan sekitar pukul lima pagi ini. Jasad itu ditemukan oleh seorang tunawisma yang sedang mencari tempat untuk beristirahat.

Ziang Wu kemudian duduk sambil ikut menonton berita tersebut. layar televisi yang tadi menyorot ke sebuah gedung apartemen kumuh berganti menjadi gambar seorang polisi yang sedang diwawancarai.

"Dari hasil identifikasi sementara, penyebab kematian korban adalah luka pukulan benda tumpul di kepala. Selain itu terdapat beberapa tusukan dan bekas perkelahian. Sepertinya korban sempat terlibat perkelahian sebelum akhirnya dibunuh."

Su Li bergidik ngeri. Kasus pembunuhan akhir-akhir ini seperti menjadi tren untuk menjadi topik berita. Wanita itu mengalihkan fokusnya dari televisi ke makanan yang sudah Ziang Wu susun untuknya.

"Ini bukanlah kasus perampokan, karena dompet dan juga ponsel milik korban masih ada. Dari kartu identitas yang kami dapatkan, korban bernama Shen Juan."

Ucapan polisi di layar kaca sukses membuat Su Li menjatuhkan croissant yang hampir masuk ke dalam mulutnya. Maniknya membulat sempurna saat layar televisi menampilkan dengan jelas kartu identitas beserta foto dari Shen Juan.

"Ada apa? Kau mengenalnya?" tanya Ziang Wu yang kaget dengan reaksi Su Li. walau sebenarnya ia lebih bingung karena ekspresi yang ditunjukkan Su Li bukanlah kesedihan, manik yang yang menatap layar kaca itu jelas-jelas menggambarkan kemarahan.

"Bukan apa-apa, aku kira Shen Juan yang aku kenal."

Sepersekian detik ekspresi Su Li kembali berubah menjadi biasa. Wanita itu melanjutkan kembali sarapannya yang sempat tertunda.

Dering panggilan pada ponselnya membuat Su Li merogoh tas punggung yang tadi ia letakkan di atas meja. Setelah melihat nama penelepon, Su Li beranjak keluar dari coffee shop tersebut.

"Semua bukti yang kita butuhkan sudah siap. Anda bisa mengajukan penyelidikan ulang kapan pun."

Senyum tipis Su Li terukir kala mendengar kabar dari Bai Wan tersebut. Meskipun tadi ia sempat merasa kesal karena ia telah kehilangan satu-satunya orang yang bisa ia jadikan saksi sekaligus tersangka.

"Terima kasih, setelah selesai cuti aku akan segera menemuimu," ucap Su Li kemudian menutup panggilan tersebut.

Mata ganti mata.

Sepertinya hukum karma telah bekerja untuk mereka. 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro