CHAPTER THIRTY NINE

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Kesiap memenuhi wajah letih Ziang Wu kala menghidupkan lampu ruang tamu, istrinya meringkuk di atas sofa. Ia merasa lega karena ternyata sang Istri benar-benar pulang ke rumah. Walaupun kelegaan itu sirna kala mendapati Su Li yang menangis. Wanita itu memejamkan matanya bukan karena tertidur. Semakin ia mendekat dapat terdengar isakan halus, bahkan air mata itu masih mengalir dengan deras. Melihat keadaan sang Istri, Ziang Wu bergegas melepaskan tasnya dan jongkok di depan Su Li.

"Su Li, ada apa?" tanya lembut sambil mengusap pelan pipi sang Istri. Su Li mengerjap pelan, melihat kehadiran Ziang Wu membuat tangisnya semakin kencang. Pemuda itu kemudian merengkuh sang Istri dalam pelukan. Hatinya ikut sesak melihat manik kecokelatan itu mengeluarkan sekresi air mata. Su Li pernah menangis beberapa kali dalam pelukannya. Namun, baru kali ini mendengar tangisan Su Li yang sangat menyayat hati.

Tidak ada sosok Su Li yang kuat, yang mampu menaklukan dunia dengan segala tindakan dan pemikiran cerdasnya, tidak ada sosok Su Li yang siap memarahi siapapun lewat tatapannya. Manik yang selalu menyorot tajam itu terlihat sayu dan sembab, penuh dengan air mata.

Ia tahu, wanitanya sedang merasa hancur dan putus asa. Walau ia tidak tahu apa penyebab sebenarnya. Hanya saja ia merasa tidak boleh melepaskan pelukannya. Ziang Wu membiarkan kemejanya basah dan tetap menepuk halus pundak sang Puan sambil berbisik lirih, "Tidak apa-apa. Menangislah. Ada aku disini."

Entah berapa lama waktu yang mereka habiskan, hingga akhirnya Su Li jatuh tertidur. Ziang Wu perlahan mengangkat tubuh sang Istri untuk memasuki kamar. Dengan hati-hati ia menurunkan Su Li dari gendongannya, melihat baju yang dikenakan sang istri belum berganti dari saat terakhir kali mereka bertemu, Ziang Wu pelan-pelan melepaskannya. Menggantinya dengan piyama tidur yang nyaman. Pandangannya berhenti pada pergelangan tangan kanan Su Li yang terlihat sedikit melepuh.

"Apa yang kau lakukan sampai bisa terluka?" tanyanya lirih.

Pemuda itu kemudian beranjak mengambil kotak P3K dan mengoleskan pelan-pelan obat luka bakar tersebut. Meniupnya perlahan bermaksud mengurangi perih agar tidak mengganggu tidur Su Li. Selesai dengan urusan luka bakar di pergelangan tangan Su Li, Ziang Wu menyingkirkan anak rambut yang menutupi wajah sang Istri.

Hatinya terasa sesak melihat betapa bengkak dan sembab kelopak mata Su Li. Ia tidak mencium alkohol sama sekali, jadi Su Li tidak dalam keadaan mabuk. "Apa yang membuatmu menangis sampai segitunya?" gumamnya sambil menatap lekat wajah tenang sang Istri. Ia kemudian mendekat, mengecup kedua kelopak mata Su Li perlahan sebelum mengecup kening sang Puan.

Su Li membuka matanya perlahan setelah mendengar gemericik air dari kamar mandi. Hatinya benar-benar diliputi kehangatan saat mengetahui betapa Ziang Wu memperhatikannya. Ia terbangun saat sang Suami mengoleskan obat pada luka bakar yang ia dapatkan tempo hari. Hanya saja matanya masih terlalu berat untuk terbuka. Ia tidak tahu berapa lama waktu yang ia habiskan untuk menangis. Sekali lagi ia bersyukur bisa bertemu dan memiliki seluruh cinta Ziang Wu.

Sekali lagi ia mempercayai cinta yang telah dihancurkan sang Ayah. Su Li menyadari cinta yang diberikan Ziang Wu dari segala perlakuannya. Bagaimana pemuda itu memeluk dirinya yang sedang tertekan, tidak menuntut dengan beragam pertanyaan dan membiarkannya menangis, semua itu dilakukannya tanpa sedikitpun keraguan. Membuat Su Li yakin, bahwa apa yang diberikan oleh Ziang Wu berbeda dari apa yang ia lihat dari hubungan Ayah dan Ibunya.

Aroma mint menguar kala Ziang Wu keluar dari kamar mandi. Tubuh tegap itu terbalut kaus polos hitam dengan celana pendek. Pemuda itu masih belum menyadari Su Li yang menatapnya tanpa berkedip. Rambutnya yang sedikit basah membuat Su Li bersyukur sekali lagi, hanya dia yang bisa menikmati penampilan Ziang Wu seperti saat ini.

"Kau keren," ucap Su Li dengan suara seraknya. Membuat Ziang Wu menyadari bahwa sang Istri terbangun.

"Ada yang kau butuhkan?" tanya Ziang Wu sambil mendekat dan duduk di bibir ranjang.

Su Li mengangguk. "Kepalaku sangat gatal," ucapnya. "Tetapi aku tidak mau mandi."

Ziang Wu terkekeh dan mengelus lembut pucuk kepala sang Istri. "Tunggu sebentar, akan aku siapkan."

Wanita itu hanya mengangguk sambil mengawasi punggung tegap itu kembali masuk ke dalam kamar mandi. Sepuluh menit menunggu dalam keheningan, senyum Su Li merekah saat melihat Ziang Wu keluar dari kamar mandi. Ia sedikit memekik saat sang Suami tiba-tiba menggendongnya ala bridal style. "Aku bisa jalan sendiri," ucapnya tetapi Ziang Wu tidak mengacuhkannya.

"Pegangan yang erat atau kau akan jatuh."

Su Li refleks mengalungkan kedua tangannya dan diam menurut. Dapat ia rasa Ziang Wu yang menurunkannya perlahan ke dalam bathtub kering.

"Aku akan membantumu keramas tanpa harus mandi lagi," ucap Ziang Wu sambil berjongkok di luar bathtub. Ia kemudian memposisikan Su Li untuk terlentang dengan kepala bersandar pada pinggiran bathtub yang ia ganjal dengan sebuah handuk. Rambut Su Li ia biarkan menjuntai.

Su Li menikmati semua perlakuan Ziang Wu, bagaimana air hangat yang mulai membasahi kepalanya terasa sangat nyaman. Suaminya pintar mengatur suhu yang pas. Selama Ziang Wu membasahi rambutnya, mereka tenggelam dalam pikiran masing-masing. Hanya gemericik air yang terdengar.

"Ziang Wu," panggil Su Li yang dibalas Ziang Wu dengan dehaman.

"Kau tidak ingin bertanya?"

Ziang Wu beranjak mengambil shampo dan juga kondisioner di kabinet. "Aku akan menunggumu untuk bercerita," ucap pemuda itu sambil menuangkan shampo pada telapak tangannya. Mengusap lembut dengan sesekali memijat kepala sang Istri.

"Apakah ada cara lain untuk mendapatkan pelajaran dalam hidup ini?" Su Li memejamkan matanya, menikmati setiap pijatan yang Ziang Wu berikan untuknya. Sedang pemuda itu hanya diam, karena ia tahu, yang Su Li butuhkan saat ini adalah seseorang yang mau mendengarkan ia berbicara.

"Kau tahu? Alangkah baiknya jika aku bisa lebih banyak belajar dari momen-momen indah, tetapi aku malah mendapatkan banyak pembelajaran saat aku kehilangan."

Air hangat yang kembali mengalir membuat Su Li membuka matanya. Maniknya bertumbuk dengan bola mata sehitam jelaga milik Ziang Wu. "Tutup matamu, nanti matamu bisa terkena busa shampo," ucap Ziang Wu. Dengan patuh, Su Li kembali menutup matanya.

"Karena begitulah hidup. Kita menginginkan kehidupan yang indah dan bahagia, tetapi dunia tidak akan memberikan apa yang kita inginkan dengan mudah. Banyak harga yang harus kita bayar. Hidup harus tetap berjalan meskipun itu sulit." Ziang Wu meratakan kondisioner sambil memperhatikan Su Li yang bergeming.

Su Li tersenyum tipis. "Kalau begitu, berapa banyak lagi aku harus merasa kehilangan? Jika bisa memilih, aku akan memilih untuk tidak mendapatkan pembelajaran hidup."

"Karena?"

Su Li membuka kedua matanya, memandang Ziang Wu lurus. "Karena aku tidak mau kehilangan apapun lagi."

Ziang Wu dapat melihat luka yang begitu besar, tatapan sendu seperti itu tidak pernah Su Li perlihatkan untuk siapapun termasuk padanya. Topeng itu akhirnya tanggal. Ziang Wu dapat melihat dengan jelas, sosok rapuh yang selama ini mati-matian Su Li tutup dengan topeng baik-baik saja.

"Kau ingin kabur bersamaku?"

Tawa Su Li pecah saat mendengar perkataan polos Ziang Wu. "Kenapa tiba-tiba kabur?" tanyanya saat tawanya reda.

"Jika kau merasa lelah dan ingin pergi dari semua ini, aku akan siap menemanimu. Aku serius." Su Li menganggukkan kepalanya, walau tawa itu belum surut sepenuhnya. Ia dapat menangkap kesungguhan dari sorot manik yang menatapnya dengan teduh itu. "Kalau kau bilang ingin kabur, aku akan menemanimu sambil menggenggam tanganmu kapanpun dan akan selalu berada di sisimu. Seperti ini ," lanjutnya sambil menggenggam erat tangan Su Li.

"Baiklah, aku akan memikirkan tawaranmu," ucap Su Li. Ucapan spontan Ziang Wu berhasil membuatnya tertawa untuk hari ini. Pemuda yang sedang membilas rambutnya saat ini memiliki banyak sisi yang lebih hangat dari yang ia tahu. Sekali lagi ia benar-benar bersyukur bisa menempatkan pemuda itu di sisinya.

***

Su Li duduk di salah satu kursi yang menghadap sebuah cermin besar. Membiarkan seorang wanita memotong rambutnya sedikit demi sedikit. Jika bukan karena paksaan sang Suami, ia tidak akan terdampar di sebuah ruangan yang dipenuhi oleh para wanita yang sibuk memoles diri. Sejak dulu ia sama sekali tidak pernah menghabiskan waktu berjam-jam hingga seharian penuh berdiam diri di tempat yang menjadi favorit kaum hawa tersebut.

Ia kecolongan saat Ziang Wu diam-diam mengajukan cuti untuknya selama dua hari kepada Nona Lin. Jadwal Su Li selama dua hari ini telah Nona Lin kosongkan sehingga ia tidak perlu ke kantor. Walau tidak banyak yang mereka bicarakan, tetapi obrolan singkatnya dengan Ziang Wu semalam berhasil membuat sang Suami memikirkan ide macam-macam untuk menghiburnya.

"Aku sangat iri dengan Nona."

Su Li menatap penata rambut itu dari kaca, sebagai tanda ia tidak paham dengan apa yang dimaksudkan oleh penata rambut tersebut.

"Jarang-jarang seorang suami mengantar istrinya untuk ke salon."

Busur senyum Su Li terangkat naik, mengingat kejadian beberapa menit yang lalu membuat wajah Su Li merona. Bagaimana tidak, ia berdebat dengan Ziang Wu yang seenaknya membawa dirinya kemari. Walau mereka tidak berdebat dengan suara lantang, tetapi gestur tubuh mereka pastilah sangat jelas.

"Siapa pun akan iri melihat pasangan yang harmonis seperti itu."

Su Li memutar bola matanya. Dari sekian banyak salon yang ada di kota Beijing, mengapa gadis itu berada di tempat yang sama dengannya. Serta bagaimana ia tidak menyadari keberadaan Wei Fang sebelumnya? Apakah adik tirinya itu ikut menjadi penonton aksinya tadi?

"Kakak ipar merupakan orang yang sangat perhatian, walaupun kakak perempuanku galak," lanjutnya. Ucapan Wei Fang menarik minat kedua penata rambut yang sedang menangani mereka. Jika tidak memperhitungkan reputasi sang Ayah, Su Li akan menjawab dengan pedas seperti biasanya. Hanya saja ia sadar, ia tidak bisa berkata seenaknya.

"Itulah yang membuatku ingin menikahinya," jawab Su Li. 'Bertahanlah Su Li, kau tidak mungkin akan mencoreng nama keluarga Su, bukan? Ini bukanlah hal sulit' ucapnya dalam hati.

Semua orang pasti mengenali dirinya dan Wei Fang, jadi demi menjaga reputasi keluarga, ia akan berpura-pura menjadi keluarga yang harmonis.

"Kak, kau tahu? Aku sedang membutuhkan teman bercerita saat ini. Aku sedang kesal dengan temanku."

Su Li melirik Wei Fang. Ia akui, mereka memang jarang bertemu atau berbicara. Bahkan bisa dikatakan saat ini adalah pertama kali keduanya berbicara dengan benar, tanpa saling mencaci. Namun ia dapat melihat dengan jelas bahwa gadis itu terlihat benar-benar kesal.

"Apa yang membuatmu bisa sekesal itu dengannya?"

Wei Fang menoleh menghadap Su Li, membuat penata rambut yang tadi sedang menggulung rambutnya berpindah posisi.

"Temanku itu sangat lamban dan bodoh. Padahal aku sudah membantunya, memberikan beberapa nasihat, tetapi ia mengabaikanku. Menganggap apa yang aku berikan itu tidak penting."

Su Li melirik Wei Fang yang sudah kembali menatap ke depan. "Kau kesal karena dia tidak mendengarkanmu?" Dapat Su Li lihat, gadis itu mengangguk. "Kalau begitu, tinggalkan saja. Kau tidak perlu menghabiskan energimu untuk seseorang yang tidak mau mendengarkanmu."

Wei Fang mengembuskan napas kasar. Andai Su Li tahu, ia tidak bisa membiarkan temannya itu kesulitan. Mungkin hubungan mereka tidak sedekat itu untuk membuat Su Li memahaminya, hanya saja gadis itu merasa bahwa Su Li tidak akan mungkin menghardiknya di depan orang banyak. "Seandainya ia tahu, aku begitu karena aku ingin hidupnya berubah."

"Di dunia ini, ada sesuatu yang akan berubah ketika kita berusaha keras, tetapi ada pula yang tidak akan pernah berubah meski sekeras apapun kau berusaha. Selain itu, untuk membuat orang lain berubah, itu sesuatu yang mendekati mustahil. Rasanya aku sudah pernah mengatakan hal ini padamu."

Wei Fang, ingat ini. Kau tidak akan pernah bisa menilai seseorang dari apa yang kau lihat, karena kau tidak mengalaminya. Memberikan nasihat dan atau pun penilaian itu hakmu, hanya saja kau tidak bisa mengatakan orang lain bodoh hanya karena tidak mengikuti saranmu. Seperti hakmu memberikan saran, itu juga adalah hak baginya untuk menolak maupun menerima saran yang kau berikan."

Wei Fang terdiam, di balik sikap Su Li yang dingin ternyata menyimpan sisi kehangatan seperti saat ini. Apakah wanita itu memang selalu terlihat keren seperti sekarang? Andai tidak pernah ada perseteruan antara keluarga mereka, apakah hubungan mereka akan berbeda? Atau jika sang Ayah berlaku adil dan memperlakukannya seperti ia memperlakukan Su Li apakah rasa iri hati yang memenuhi dirinya itu tidak akan ada?

"Apakah jika ibu tidak menikah dengan Tuan Su, hubungan kita akan berbeda?"

Sejujurnya Su Li terkejut dengan pertanyaan yang Wei Fang keluarkan, hanya saja ia tidak mungkin mengatakan yang sebenarnya saat ini. Ia hanya tersenyum tipis dan menatap Wei Fang lurus dari cermin yang berada di depannya.

"Siapa yang tahu?"

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro