CHAPTER TWENTY SIX

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

“Apa yang kau lihat?”

Ziang Wu terkejut kala mendengar suara Huo Yan tepat di belakangnya. Huo Yan ikut melihat ke arah pandang Ziang Wu. Namun pemuda itu tidak melihat apapun. Ziang Wu kemudian berbalik dan meninggalkan Huo Yan. Bisa berbahaya jika Huo Yan sampai menyadari apa yang sedang ia lakukan.

“Hei, Ziang Wu. Pesta masih berlangsung kau ingin pergi sekarang?” tanya Huo Yan kala melihat Ziang Wu menuju lift bukan kembali memasuki ballroom.

Ziang Wu hanya melambaikan tangannya tanpa berniat menggubris Huo Yan. Ia perlu memastikan siapa yang tadi ia lihat. Kebetulan ada CCTV yang mengarah lorong tersebut. Kotak besi yang membawa Ziang Wu berhenti di lantai tiga belas, dimana ruang kontrol keamanan berada.

Petugas keamanan yang sedang berjaga di ruang CCTV itu bangkit berdiri kala menyadari kedatangan Ziang Wu. “Ada keperluan apa Tuan Ziang kemari?”

“Maaf mengganggu pekerjaan anda, tetapi saya ingin mengecek CCTV di lorong lantai sembilan. Saya kehilangan sesuatu.” Ziang Wu  kemudian mendekati layar-layar monitor tersebut. maniknya kemudian terpaku kepada salah satu layar yang menampilkan lorong di lantai sembilan. “Bisa kau tunjukan rekaman ini dari satu jam yang lalu?”

“Baik, Tuan.” Petugas itu pun memutarkan rekaman CCTV sesuai permintaan Ziang Wu. Keduanya awas mengamati pergerakan apa saja yang terjadi di lorong tersebut. Sampai ketika seorang pria terlihat sedang menerima telepon.

“Berhenti,” ucap Ziang Wu yang membuat petugas keamanan itu menekan tombol pause. Ziang Wu memperhatikan dengan seksama. Ia mencoba mengenali pria gempal yang terpampang di layar. Karena tidak berhasil mengidentifikasi, ia akhirnya mengambil foto dengan ponselnya.

“Terima kasih, silahkan lanjutkan pekerjaanmu,” ucap Ziang Wu kemudian meninggalkan ruang keamanan tersebut.

Tujuan pemuda itu selanjutnya adalah ballroom sebelum orang lain sadar bahwa ia sempat menghilang. Ia tersenyum tipis kala melihat punggung Su Li yang terlihat menunggunya di depan pintu masuk. Saat wanita itu berbalik terlihat helaan napas lega.

“Dari mana saja? Ayah mencarimu sejak tadi. Aku tidak tahu apa yang membuatmu menghilang, tetapi kita harus terlihat selalu bersama malam ini. Setidaknya tahan sampai acara ini selesai.”

Senyum Ziang Wu luntur. Ia mengira Su Li menunggunya karena sadar dirinya menghilang dari keramaian tetapi ternyata keberadaannya tidak lebih dari pasangan yang lepas dari pengawasan wanita itu. Ziang Wu hanya mengangguk kemudian mengikuti langkah Su Li yang kembali menyeretnya untuk berbaur dengan keramaian.

“Tunggu sebentar.”

Su Li menghentikan langkahnya dan menatap Ziang Wu bingung. “Aku ada mengirimkan pesan untukmu. Lihatlah ketika kau sendirian,” ucap pemuda itu sebelum menggenggam jemari ramping milik Su Li. “Mari kita masuk,” lanjutnya. Ziang Wu sengaja tidak memberikan waktu kepada Su Li untuk bertanya. Wanita itu pasti sedang penasaran, terlihat bagaimana ia diam-diam melirik Ziang Wu. Namun, pemuda itu memilih untuk pura-pura tidak tahu.

Acara penobatan itu ditutup dengan penampilan salah satu kelompok opera terkenal di Beijing. Su Liang adalah penggemar berat dari opera Tiongkok. Hampir setiap pertunjukan yang memadukan kemampuan seni drama, menyanyi, tari dan juga bela diri itu dilaksanakan, Su Liang tidak pernah absen. “Ayah dulu selalu menonton opera seperti ini setiap kencan dengan Ibumu,” bisik Su Liang kepada Su Li.

“Apakah Ayah juga suka menonton ini bersama wanita itu?”

“Wu Xia tidak suka opera. Jadi Ayah tidak pernah mengajaknya menonton opera bersama.”

Su Li hanya tersenyum tipis. Bukankah itu artinya jika Wu Xia menyukainya maka sang Ayah akan mengajaknya juga? Untung saja malam ini dua wanita yang paling dibenci oleh Su Li itu tidak hadir. “Nyonya besar sedang berada di Paris bersama Nona Wei Fang karena mengikuti perhelatan fashion.” Su Li sangat bahagia saat mendengar berita yang disampaikan oleh Nona Lin tadi pagi.

***

[Ziang Wu 21.07: Sending image.]

[Ziang Wu 21.07: Kau mengenali pria ini?]

Su Li memeriksa pesan yang tadi dimaksud oleh Ziang Wu saat perjalanan kembali ke apartemennya. “Ini adalah Direktur Lin dari Divisi Keuangan,” ucap Su Li setelah memperhatikan dengan seksama foto yang Ziang Wu kirimkan. “Siapa yang dia ajak berbicara?”

“Dia memanggilnya dengan sebutan Bos. Mereka membicarakan tentang mengamankan sesuatu,” jawab Ziang Wu sambil berkonsentrasi dengan kemudinya. Untuk menghindari kecurigaan, Ziang Wu mengajukan diri untuk mengantar Su Li pulang. Su Li pun tidak menolak.

“Aku memang sedang menyelidiki Divisi Keuangan saat ini. Karena itu salah satu sarang para tikus di perusahaan. Hanya saja aku kekurangan bukti. Mereka sangat lihai menyembunyikannya.”

“Pelan-pelan saja. Karena  sepandainya tupai meloncat, ada saatnya ia terpeleset dan terjatuh. Jangan terlalu memaksakan diri.”

“Batas pengajuan investigasi ulang kasus Ibuku hampir sampai batasnya. Aku tidak bisa hanya bersantai saja. Aku pun tidak bisa mengabaikan keadaan perusahaan.”

Ziang Wu mengerti, Su Li memiliki batas waktu. Hanya saja ia terlampau khawatir dengan wanita itu. Keras kepala dan juga rasa penasarannya akan sesuatu pasti akan membuatnya tidak memperdulikan diri sendiri.  

Su Li mendesah frustasi. Kepalanya agak pening, mungkin efek dari segelas wine dan juga pikirannya yang letih. Wanita itu memejamkan matanya. “Bangunkan aku jika sudah sampai,” pintanya yang dibalas Ziang Wu dengan dehaman. Pemuda itu kemudian menepikan mobil kala Su Li sudah terlelap. Menaikan suhu di dalam mobil dan mengatur kursi sedemikian rupa agar Su Li dapat beristirahat dengan nyaman. Ziang Wu tersenyum tipis saat menatap wajah yang damai terlelap itu. Telunjuknya terangkat naik saat melihat dahi Su Li yang berkerut. “Bahkan di dalam mimpi kau berpikir keras,” gumamnya.

Sejenak ia memilih untuk menatap wajah yang begitu ia rindukan. Ziang Wu kira ia akan bisa mengabaikan keberadaan Su Li terus menerus, tetapi ia mengaku kalah. Perasaannya terus tumbuh dengan subur tanpa bisa ia cegah. Hanya saja ia berusaha bersikap dingin agar Su Li tidak menarik diri darinya.  

***

Su Li terbangun saat dering alarm dia atas nakas berbunyi. Wanita itu menggapai gawai tersebut, mematikan alarm dan kemudian menyibak selimut. Dengan langkah gontai membawa tungkainya menuju kamar mandi. Maniknya kemudian membulat sempurna, buru-buru ia kembali ke kamar. Napas lega terdengar saat ia mengenali kamar itu adalah kamarnya di apartemen. Ternyata Ziang Wu tidak membangunkannya. Pemuda itu pasti menggendong dan mengganti bajunya. Tunggu. Su Li akhirnya tersadar bahwa long dress yang tadi malam ia kenakan sudah berganti dengan piyama satin berwarna biru miliknya.

Sifat baik pemuda itu tidak pernah berubah. Pantas saja rekan setimnya itu bisa salah sangka. Mengingat kejadian beberapa waktu lalu berhasil memuat Su Li kembali merasakan sesak di dada. Ia bahkan sampai menggosok giginya dengan sekuat tenaga, menyalurkan rasa kesal yang memenuhi dadanya.

Selesai ia bersiap ternyata Nona Lin sudah datang dan telah menyiapkan semangkuk bubur untuk sarapannya. Sambil menyendokkan suapan demi suapan bubur yang dibawa oleh Nona Lin, Su Li mendengarkan jadwalnya pada hari ini.

“Majukan rapat direksi menjadi pukul sembilan pagi ini.”

Nona Lin sedikit terkejut dengan instruksi yang disampaikan oleh Su Li. Wanita itu memeriksa waktu di tablet yang sedang ia pegang, kurang dari enam puluh menit lagi sebelum rapat dimulai.

‘Jika mereka selalu tepat waktu saat bekerja, aku rasa mau dimajukan pun tidak akan ada masalah.”

Nona Lin kemudian mengangguk mengerti. Tidak diragukan lagi, Su Li memang selalu memiliki alasan yang logis di dalam setiap tindakan yang ia ambil.

“Terima kasih sarapannya. Lain kali beli lagi dari toko ini, aku menyukainya,” ucap Su Li setelah menyelesaikan sarapannya. “Ada apa?” tanyanya setelah menyadari tatapan bingung Nona Lin.

“Bukankah Nyonya yang menyuruh saya untuk memanaskannya?” tanya Nona Lin kemudian memperlihatkan sebuah pesan di ponselnya.

Su Li terpaku. Ternyata selama ini ia salah paham. Bubur kesukaannya itu bukanlah Ziang Wu beli dari restoran melainkan hasil masakan pemuda itu. ‘Lihatlah, betapa bodohnya dirimu, Su Li,’ rutuknya dalam hati.

***

Akibat dari jadwal pertemuan yang dimajukan, hampir setengah dari jajaran direksi tidak dapaat hadir tepat waktu. Begitu pula beragam alasan tiba-tiba Su Li terima, dari alasan masuk akal hingga yang ia rasa konyol. Namun, ia sangat berterima kasih, karena hal tersebut sudah membantunya untuk membersihkan jajaran direksi sedikit demi sedikit.

“Anda tidak bisa melakukan hal ini Nona Su.”

Ia tahu, tindakan yang ia ambil akan mendapatkan berbagai penolakan. Namun, ia tidak akan menyerah. Su Li pun sadar walaupun ia berada di puncak kekuasaan di Liang Tech, tetapi suara terbanyak akan tetap menang. Karena Liang Tech sangat menjunjung tinggi demokrasi.

“Kalau begitu apakah anda memiliki saran, Direktur Liam?” Su Li bertanya dengan tatapan datarnya. Membuat sang lawan bicara hanya bisa diam. “Jajaran direksi itu bagaikan tiang di perusahaan. Menurut anda sekalian, apa yang akan terjadi jika tiang-tiang itu membusuk? Sebagai pimpinan, bukankah hal yang wajar jika ingin mengganti tiang-tiang busuk itu dengan tiang baru yang lebih kokoh?”

Su Li menatap para jajaran direksi di hadapannya satu per satu. Semuanya tidak ada yang berani menatapnya. “Bukankah kita semua adalah pengusaha? Bagaimana kita bisa mendapatkan keuntungan apabila ada yang curang?”

Ia kemudian bersender di kursinya. “Atau karena kalian bagian dari tikus-tikus yang diam-diam mengambil keuntungan tersebut?” lanjutnya dengan dingin. Semua orang di ruangan rapat itu merasakan aura yang begitu kuat menekan mental mereka. Direktur Liam mengatupkan bibir. Tidak berani melawan ucapan Su Li.

“Serahkan laporan kinerja masing-masing divisi paling lambat besok siang sebelum makan siang. Selain kehadiran kalian pagi ini, laporan itu juga yang akan menjadi jaminan apakah kalian pantas dengan posisi apa yang kalian miliki saat ini.”

Su Li kemudian beranjak keluar dari ruangan rapat. Ia takut jika lebih lama akan membalik meja rapat. Langkahnya terhenti saat melihat Ziang Wu yang sedang bercengkrama dengan Shu Liam. Keduanya seperti terlibat obrolan yang begitu seru, bahkan Su Li dapat melihat bagaimana senyum lebar Ziang Wu. ‘Bahkan kau tidak pernah tersenyum selebar itu padaku,’ lirihnya dalam hati. Ia kemudian berbalik, memilih arah sebaliknya. Nona Lin hanya dapat diam dan pura-pura tidak mengerti.

***

Su Li diam-diam melirik sang Ayah yang sedang duduk tenang di sofa yang berada di tengah ruangannya. Kedatangan tiba-tiba Su Liang membuat ia tidak sempat memikirkan skenario apa yang harus ia dan Ziang Wu lakonkan. Apalagi sejak saat terakhir ia mendapati Ziang Wu dan Shu Liam ia hanya fokus dengan pekerjaannya. Mencoba mengubur kemungkinan-kemungkinan buruk tu dengan segudang laporan yang harus ia periksa.

“Apakah Ayah tidak bisa membiarkanku bekerja dengan tenang? Aku seperti sedang diawasi,” ucap Su Li akhirnya karena tidak sanggup dengan tatapan sang Ayah.

“Ada apa denganmu dan Ziang Wu?”

Suu Li yang sedang menandatangani laporan mendadak berhenti, tetapi ia berusaha untuk bersikap biasa saja. Lobus frontalnya sedang bekerja keras untuk menjawab pertanyaan itu. Walaupun sebenarnya ia tidak ingin berbohong. Namun jujur juga artinya ia menggali kuburannya sendiri. 

“Mengapa Ayah? Kami baik-baik saja.”

Senyum miring Su Liang terbit saat mendengar jawaban sang Putri. “Jika kalian baik-baik saja, mengapa kau tidak pulang ke rumah?”

Deg. Su Li dapat merasakan jantungnya yang menggila. Ia tidak tahu harus menjawab apa. Meminta bantuan Ziang Wu juga tidak mungkin.

“Jelaskan alasannya pada Ayah sekarang juga.”

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro