Lintas Impian - 21

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

“Permisi, Kak. Mau tanya, ruang 20A di mana, ya?” tanya Geisha kepada seorang perempuan berjilbab yang berdiri di dekat ruang dosen.

Perempuan itu menoleh dan tersenyum hangat sebelum menjawab pertanyaan itu. “Oh, 20A di sebelah sana. Ini Kakak lurus aja, terus mentok, belok kiri. Ruangan kedua itu 20A. Ada papan namanya, kok.”

“Oke, terima kasih banyak, ya, Kak.”

Setelah mengucapkan terima kasih, Geisha langsung berjalan mengikuti arah yang tadi disampaikan oleh perempuan itu. Jika ini adalah kampusnya, maka Geisha sudah hafal setiap kelas yang ada di sana. Sayangnya, sekarang Geisha tengah berada di kampus farmasi. Dan, tujuannya tak lain dan tak bukan adalah untuk mencari keberadaan Morena.

Beruntungnya, Morena pernah mengiriminya jadwal kuliah miliknya di semester baru ini agar sewaktu-waktu ketika Geisha hendak mencarinya, gadis itu bisa langsung mencarinya ke tempat.

“Belok kiri, ruangan kedua. Ini dia,” gumam Geisha ketika menemukan ruangan dengan papan nama bertuliskan nomor 20A itu. Sayangnya, kelas masih berlangsung, Geisha harus menunggu beberapa saat lagi untuk bisa menemui Morena.

Geisha mendaratkan tubuhnya di kursi panjang dekat ruangan itu, kemudian matanya menjelajahi seisi kampus.

Satu yang Geisha suka dari universitasnya adalah taman kecil dengan berbagai tumbuhan hijau yang selalu ada di setiap kampus yang membuatnya terlihat asri. Dari tempatnya duduk sekarang, Geisha dapat melihat taman di tengah-tengah kampus farmasi itu. Ada dua kursi panjang dan beberapa kursi berbentuk seperti batang pohon yang diawetkan di sana.

Geisha terlalu asyik menikmati pemandangan mahasiswa yang duduk di taman sembari membaca buku hingga gadis itu baru menyadari bahwa kelas Morena telah selesai. Geisha segera bangkit dan berdiri di dekat pintu ruang kelas itu.

Satu per satu mahasiswa di dalam sana ke luar, hingga Geisha menangkap sosok perempuan yang berjalan di barisan terakhir itu.

“Loh, Ge!” kejut Morena ketika mendapati Geisha ada di depan kelasnya. “Tumben ke sini? Ada apa?”

“Ada yang perlu aku bicarakan sama kamu.”

Nada bicara Geisha terkesan serius membuat Morena yakin ada hal penting yang mendorong sahabatnya itu bertandang ke kampusnya.

“Kita duduk di taman aja, yuk. Lebih adem,” ujar Morena. Keduanya lalu berjalan menuju taman dan duduk di dua buah kursi pohon yang saling berhadapan. Geisha menurunkan totebag dari bahu ke pangkuannya.

“Kamu hari ini enggak kuliah, Ge?” tanya Morena membuka perbincangan.

“Udah tadi,” jawab Geisha singkat.

Morena mengangguk-anggukkan kepalanya. “Jadi, kamu mau ngomongin apa, Ge?”

Geisha menarik napasnya, kemudian mengembuskannya secara perlahan sebelum membuka suara. “Kamu ngomong apa aja kemarin sama mama aku sebelum aku pulang?”

Pertanyaan Geisha membuat Morena mengernyitkan keningnya. “Ya, paling seputar martabak bawaan aku, Ge. Mama kamu tanya, aku beli di mana. Terus, dia cerita kenapa kamu suka sama martabak. Udah itu aja.”

“Yakin itu aja?”

“Iya, Ge. Paling, sisanya mama kamu tanya soal kuliah aku. Lancar enggak. Terus, nilai aku gimana. Itu aja. Ada apa sebenarnya?”

Geisha tersenyum hambar. Sudah dia duga bila ini semua berasal dari Morena. “Kamu tahu enggak? Dengan kamu bahas IP kamu sama mama aku, kemarin mama nuntut aku untuk bisa kayak kamu. Padahal, aku baru kuliah, loh, Mo.”

“Maksudnya gimana? Mama kamu nuntut kamu untuk kayak aku? Biar IP kamu juga tinggi?”

“Iya.”

“Wajar kali, Ge. Setiap orangtua pengen IP anaknya tinggi. Papaku juga gitu.”

Geisha tertawa kecil. “Kamu tahu bedanya orangtua yang ingin IP anaknya tinggi sama orangtua yang nuntut agar IP anaknya tinggi?” tanya Geisha yang membuat Morena terdiam.

Bukan karena tidak paham, tapi karena Morena sangat paham bedanya. Jika papanya hanya ingin Morena agar fokus kuliah, maka mamanya Geisha mungkin menuntut untuk diikuti.

“Ingin sama nuntut itu beda, Mo,” tambah Geisha lagi.

“Ge, mungkin mama kamu enggak bermaksud menuntut. Dia cuma—”

Geisha mencengkeram erat pegangannya pada tali totebag. “Dan, kamu tahu apa yang jauh lebih buat aku sakit hati? Selain nuntut, mama juga bandingin aku sama kamu, Mo.”

“Bandingin kayak gimana, Ge?”

“Mama aku bilang, kalau kamu yang kuliah dan organisasi aja bisa IP 4, kenapa aku enggak?”

“Kapasitas setiap orang kan beda-beda, Ge.”

“Emangnya kamu pikir, mama aku mau peduli pas aku jelasin soal itu?”

Morena menatap nanar Geisha. “Ge—”

“Dari SMP, Mo. Sejak aku kenal kamu, aku selalu dibandingin. Aku selalu dibandingin sama kamu yang pintar dan serba bisa dibanding aku. Dari SMP, mama aku selalu nuntut aku untuk jadi kayak kamu. Dan, kamu kira, aku enggak capek?”

“Dari SMP? Lalu, kenapa kamu enggak pernah cerita sama aku?”

“Emangnya kamu pikir setelah kamu tahu, kamu bisa mengubah apa? Enggak ada, kan? Jadi, untuk apa kamu tahu, Mo?” hardik Geisha.

“Aku pikir, setelah aku nurutin kemauan mama untuk kuliah, mama bakal lebih peduli sama aku. Mama bakal berhenti banding-bandingin aku sama kamu yang di mana kapasitas orang itu beda-beda. Tapi, nyatanya apa? Masih, Mo. Mama masih kayak dulu. Aku enggak tahu, setelah ini, apalagi yang bakal dibandingin sama mama. Kamu yang aktif organisasi dan aku enggak? Kamu yang sibuk di kampus dan aku yang rebahan setiap hari?”

“Ge, biarin aku ngomong dulu, ya,” sela Morena cepat. “Aku minta maaf kalau kehadiran aku kemarin malah buat kamu jadi dibanding-bandingin sama mama kamu. Aku minta maaf, tapi aku serius, aku enggak ada niat sama sekali untuk buat kamu dibandingin. Seandainya, aku tahu dari awal kalau kamu sering dibandingin, aku enggak bakal bicara banyak sama mama kamu terkait kuliah aku.”

Morena menarik napasnya panjang, sebelum kembali berbicara. “Dan, untuk masalah ini, aku bakal bantu ngomong sama mama kamu agar dia berhenti bandingin aku sama kamu.”

Geisha tersenyum kecut. “Enggak usah. Aku enggak minta kamu untuk nemuin mama. Yang ada, nanti malah memperkeruh suasana. Aku cuma minta satu hal. Untuk beberapa waktu kedepan, kamu enggak usah dulu datang ke rumah. Setidaknya, sampai aku menerima kenyataan bahwa ... selamanya aku akan hidup di dalam perbandingan.”

“Ge, aku ....”

Geisha menaikkan kembali tali totebag ke bahu dan bangkit untuk berdiri. “Aku permisi,” ujarnya lalu berjalan meninggalkan Morena. Persetan dengan suara gadis itu yang masih kuat meneriakinya.

Saat dirasa Morena tidak mengikutinya, Geisha kemudian berhenti melangkah. Dia menempelkan tubuhnya ke dinding kelas, memejamkan mata, kemudian menarik napas panjang.

Setelah bertahun-tahun bersahabat, baru kali ini Geisha mengeluarkan sebaris kalimat panjang berisikan kekecewaannya pada sang sahabat. Tepatnya, pada keadaan yang mengharuskannya ada di posisi ini.

***

1.010 words
©vallenciazhng_

25 Juli 2022
Re-publish : 2 Desember 2022

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro