Lintas Impian - 41

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Demi Tuhan, Geisha benar-benar malu karena Morena dan Naura yang terus-menerus meledekinya sedari tadi. Dan, ini semua karena Jo. Untuk apa coba lelaki itu mengirimkannya paket, kemudian datang ke rumahnya segala? Membuat malu saja. Ditambah lagi, Geisha yang tidak bisa menahan semburat senyumnya ketika memikirkan tentang Jo, membuat Naura dan Morena semakin gencar menjahilinya.

“Hayo, kenapa senyum-senyum sendiri? Pasti lagi mikirin mas-mas tadi, ya?” ledek Naura.

Mendengar itu, Geisha meletakkan kembali sendoknya di atas piring—tidak jadi menyuapkan nasi ke dalam mulut—karena merasa malu dan seketika menjadi tidak berselera makan. Padahal, nasi kuning yang sengaja dimasakkan Sintia untuk hari ulang tahunnya itu belum habis setengah porsinya.

“Udah, Nau. Jangan diledekin terus, enggak makan nanti Geisha-nya,” timpal Morena.

“Eh, iya, deh. Ampun, Ge, silakan dilanjut makannya,” ujar Naura menggerakkan tangan bak tengah mempersilakan seorang paduka Ratu untuk menikmati santapannya.

Sayangnya, mereka lupa bila ada tiga manusia lain selain mereka yang juga duduk bersama mereka di meja makan. Semua ledekan yang dilontarkan Naura serta perubahan raut wajah Geisha tidak luput dari pandangan ketiga orang itu.

“Mas-mas siapa, Naura?” tanya Haikal angkat suara. Sedari tadi, pria itu bingung dengan mas-mas yang disebut oleh Naura. 

Naura yang ditanya dengan bersemangat menjawab, “Itu loh, Om. Mas-mas yang tadi datang ucapin Geisha selamat ulang tahun. Dia juga tadi ngirimin paket untuk hadiah ulang tahun Geisha.”

“Oh, jadi yang tadi anterin paket itu teman kalian?” Kini, giliran Sintia yang bertanya.

“Bukan teman kami, Tan. Tapi, temannya Geisha,” balas Morena dengan menekankan pada kata teman Geisha, membuat sang empunya nama melirik Morena tajam.

“Pantas aja tadi dia manggil Tante dengan sebutan 'Tante'.  Enggak kayak kurir biasanya.”

“Gimana-gimana, Tan? Ganteng, nggak, menurut Tante?” tanya Naura.

“Ganteng anaknya, udah itu kelihatannya sopan.”

“Wah, kayaknya ini bau-bau direstui sama camer, nihh,” sambung Naura heboh.

“Jangan pakai camer dulu, Naura. Fokus kuliah dulu. Tapi, kalau memang mau dekat dengan lawan jenis, jangan sampai mengganggu pendidikan. Karena, mau bagaimanapun, pendidikan harus tetap nomor satu,” tutur Haikal.

Baik Naura maupun Morena menganggukkan kepala, tanda paham dan mencerna setiap kalimat Haikal. Sementara itu, Geisha hanya merenggut kesal di dalam hati. Ini semua ulah Naura dan juga Morena.

Lagi pula, siapa juga yang berniat dekat dengan lawan jenis dan meminta restu? Benar-benar menyebalkan. Rasanya, Geisha ingin membakar mereka hidup-hidup sekarang juga, jika saja tidk mengingat kata dosa.

Setelah selesai makan, Morena dan Naura membantu Geisha untuk mencuci piring. Mereka membagi tugas. Geisha yang menyabuni piring, sendok, dan gelas-gelas, Naura membilas dengan air bersih, serta Morena yang akan meletakkan piring yang sudah dibilas ke rak. Namun, sepanjang kegiatan itu, Geisha sama sekali tidak bersuara. Bahkan, tidak menyahut sedikit pun saat Morena dan Naura berbicara.

“Ge, kamu masih marah, ya, sama kita karena ngeledekin kamu terus?” tanya Naura selepas pekerjaan mereka selesai.

Geisha hanya mengedikkan bahu, tidak membalas pertanyaan itu.

“Ge, ada hukumnya, loh, enggak jawab pertanyaan teman. Nanti kamu dihukum pancung, mau?”

Geisha tidak peduli. Sebab, dia percaya itu semua hanya karangan Naura semata.

“Geee, jawab, dong,” rengek Naura setelahnya.

Sementara itu, Morena hanya melihat Geisha lama seraya bersidekap dada. “Paling nanti juga ngomong lagi. Mana tahan dia enggak ngomong lama-lama.”

Geisha lantas menghentakkan kakinya kesal. “Ih, Morena jahat! Bukannya bujukin, malah kayak gitu,” protesnya.

Seketika, tawa Morena meledak. “Tuh, apa aku bilang, Nau? Ngomong juga, kan, dia.”

Naura yang melihat itu ikut tertawa. “Kamu memang paling the best tahu, Mo!” ujarnya.

“Nyebelin kalian,” tandas Geisha.

Naura kemudian berjalan mendekati Geisha dan menepuk-nepuk pundaknya. “Yang sabar, ya, Bang Jarwo,” katanya meniru suara salah satu tokoh serial animasi. “Oh, iya, Mo, Ge, aku mau pulang dulu. Mama aku udah nyariin.”

“Cepet banget, Nau?” tanya Geisha.

“Ya, gimana, ya. Namanya juga anak kesayangan, jadi menghilangnya aku dari peradaban membuat rumah jadi sepi.

Geisha memutar bola matanya. “Peradaban, peradaban, emangnya apaan, Nau?”

Naura hanya menyengir kecil.

Seketika, Geisha teringat dengan kalimat yang diucapkan Naura saat gadis itu mencoba menjauhinya saat itu. “Oh, iya, soal kalimat kamu yang kemarin-kemarin, itu maksudnya apa?”

“Enggak usah dipikirin, Ge. Itu aku ngomongnya asal. Lagian, tujuan aku cuma mau ngerjain kamu. Kalimat itu cuma bumbu pemanis aja.”

“Kirain kamu nyindir aku, Nau. Mana aku udah mikir susah-susah,” keluh Geisha.

“Maaf, Ge. Udah bikin otak kamu yang mungil ini mikirin sesuatu yang susah,” ujar Naura mengelus puncak kepala Geisha.

“Ya udah, pulang sana. Ayangmu udah nungguin di depan, tuh.” Geisha melirik ke arah depan gerbang yang tampak lewat pintu yang terbuka.

“Oke, deh. Babai, Geisha. Babai, Morena.” Naura melambaikan tangannya. Gadis itu menarik napas, sebelum siap untuk berteriak. “Om, Tante, Naura pulang dulu—Loh, Om, Tan, kirain di belakang, jadinya teriak tadi,” ujarnya diakhiri kekehan kecil.

Beberapa kali datang ke rumah Geisha membuat Naura sudah dikenal oleh Haikal dan Sintia. Bagi mereka, Naura adalah jelmaan dari Geisha yang berstatus sebagai teman putri mereka. Sama-sama suka bertingkah absurd, hobi ceplas-ceplos, dan berteriak. Mungkin, pembedanya adalah tingkah Naura yang cenderung lebih polos dan manja.

Naura lantas menyalami tangan kedua orangtua Geisha secara bergantian. “Om, Tante, pulang dulu, ya. Makasih, loh, nasi kuningnya, Tan. Enak banget. Sering-sering dibuatin, ya, Tan!” pinta Naura.

Geisha bersidekap dada, kemudian menyeletuk. “Yee, itu, sih, keenakan kamunya.”

Naura tidak menjawab, hanya menjulurkan lidahnya untuk meledek.

“Iya, Naura. Kamu hati-hati, ya,” ujar Haikal dan Sintia bersamaan.

“Dadahh!”

Setelah Naura pulang, kemudian Morena juga berpamitan untuk undur diri. “Kalau gitu, Morena juga mau pamit pulang juga, ya, Om, Tan.”

Geisha mengerucutkan bibirnya kecewa. “Ini baru jam 6, Mo. Biasanya juga sampai jam 7 gitu.”

“Ini udah malam, Geisha. Morena itu anak gadis. Enggak boleh sering pulang malam,” sela Haikal memberi pengertian.

“Ya udah, deh. Aku anterin sampai depan, ya, Mo,” ujarnya.

Morena mengangguk kepada Geisha, lalu beralih menatap Haikal dan Sintia, serta menyalami tangan keduanya. “Om, Tante, Morena pamit dulu, ya. ”

“Hati-hati, Morena. Bawa motornya jangan laju-laju,” kata Sintia mengingatkan.

Geisha lalu menemani Morena berjalan ke depan. Ini sudah jam 6 malam, namun hari masih begitu terang. Sementara, sisa-sisa semburat senja tipis terlihat di ujung kanvas terluas semesta itu.

“Mo, makasih, ya, udah selalu ingat sama hari ulang tahun aku, walau kadang aku suka lupa sama hari ulang tahun kamu,” kata Geisha lantas tersenyum.

Bagaikan virus, Morena tertular oleh senyum itu. Morena meluruskan tangan untuk memeluk sahabatnya yang tengah berulang tahun itu.

“Sama-sama, Ge. Sekali lagi, selamat ulang tahun, sahabat aku yang paling aku sayang. Ini tahun terakhir kamu sebagai anak usia belasan, semoga di tahun ini, kamu senantiasa bahagia, ya. Tetap jadi sahabat aku yang receh, dan buat orang ketawa. Tetap jadi Geisha yang percaya diri, jangan pernah minder, ya, sama kemampuan kamu. Dan, tetap jadi Geisha, sahabat sekaligus saudara aku yang paling ngertiin aku. Aku sayang kamu, Ge.”

***

1.120 words
©vallenciazhng_

22 Agustus 2022
R

e-publish : 20 Desember 2022

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro