Bab 3 : Terbentuknya Eskul Unik Dengan Segala Ke-Goblok-annya

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Sepulang sekolah

Biasanya aku langsung ngacir ke rumah untuk sekedar istirahat atau makan. Namun, untuk hari ini aku harus menahan kebiasaan tersebut. Kalian sudah kenal ruang neraka, kan? Kali ini akan kutunjukkan sebuah ruangan yang harus kau singgahi jika kau akan atau hampir memasuki ruang neraka. Mari kita sebut ruang pengadilan. Ruang yang berisikan hakim-hakim ahli—bahkan disebut-sebut lebih ahli daripada hakim agung MA(*)—dengan segala alat eksekusinya. Mereka inilah yang siap menjatuhkan vonis pada siswa-siswa bandel sebelum mereka di jerumuskan ke dalam ruang neraka.

Bagi orang awam, mereka menyebutnya ruang guru.

Biasanya ruangan ini ramai. Namun, karena sudah sedikit sore, sebagian besar guru di sekolahku sudah pulang. Meski begitu, tetap saja ada beberapa guru yang masih 'berkeliaran' di ruang ini. Kenapa sore? Karena aku sudah menunggu Bu Rosa sejak pulang sekolah tadi. Namun, beliau memintaku untuk menunggu dulu karena ia memiliki sesuatu untuk dikerjakan.

Kalau begitu, kenapa tidak besok saja?! Protesku sejak tadi.

Akhirnya panggilan yang bisa dibilang 'kutunggu' itu terdengar. Bu Rosa memintaku masuk ke dalam dan duduk berhadapan di meja gurunya yang terletak di pojok kanan belakang ruangan itu, tepatnya di samping kiri lorong kecil menuju toilet ruang guru. "Maaf, ya, membuatmu menunggu lama."

Basa-basi klasik.

"Ah, tidak apa-apa, Bu. Lagipula saya juga sedang tidak ada kerjaan di rumah." yang kuucapkan itu memang jujur, tapi entah mengapa terasa sakit saat menyebut kata 'tidak ada kerjaan' itu.

"Langsung ke intinya saja," ucap Bu Rosa sambil menunjukkan kembali selembar kertas yang lecek akibat ulahku. "Memang ini bukan formulir pendaftaran ekstrakulikuler, tetapi kertas ini masih ada hubungannya dengan ekstrakulikuler. Coba kamu baca dulu, Ram."

Tanpa basa-basi, kuterima kertas lecek itu dan mulai membacanya dengan seksama. Di detik berikutnya, mataku terbelalak setelah mengetahui apa isi kertas ini. Hal yang lebih laknat daripada formulir pendaftaran ekstrakulikuler.

Formulir pembentukan ekstrakulikuler baru.

Formulir yang harusnya hanya diberikan bagi siswa yang ingin menuangkan idenya untuk membentuk sebuah ekstrakulikuler baru di sekolah ini. Tentunya hal itu sangat amat tidak pantas diberikan padaku. Selain karena tidak mungkin aku mau melakukannya, siapapun yang diberikan kertas ini otomatis akan menjadi ketua dari ekstrakulikuler yang ia ajukan jika nanti ter-realisasi. Sungguh, berat sekali yang satu ini.

"Umm ... kalau yang ini rasanya saya tidak bisa, Bu." aku harus jujur saat ini demi masa depanku di sekolah ini!

"Jangan bilang begitu. Justru ini adalah kesempatan yang bagus buatmu, Ram. Ibu sudah menanyakannya ke Pak Gutomo. Katanya kamu belum memiliki ekstrakulikuler, padahal itu wajib. Kamu pasti tahu, kan, kalau nilai ekstrakulikuler dimasukkan ke dalam rapot?"

Yang beliau katakan memang ada benarnya ....

"Selain itu, ada alasan khusus mengapa ibu mengadakan teka-teki seperti tadi," singgung Bu Rosa. "Demi mencari siswa sepertimu yang dapat memecahkan misteri seperti itu dengan analisis dan hipotesis yang tepat, akurat, dan tidak bertele-tele adalah alasannya ibu mengadakan teka-teki tersebut."

Rasanya seperti sedang dipuji sekaligus dihina secara bersamaan. Yang kulakukan itu bukan analisis ataupun hipotesis. Aku hanya menebak-nebak kemungkinan yang ada. Tidak ada yang spesial dari itu semua. Kenapa semua orang selalu melebih-lebihkan sesuatu yang tidak memiliki nilai lebih seperti ini?

Kesal rasanya.

"Jadi maksud Ibu? Apa mungkin mau membuat ekstrakulikuler baru yang berhubungan dengan misteri?"

"Tepat sekali!"

"Kalau begitu saya tidak mau," jawabku sambil mencoba bangkit dari kursiku.

Ya, aku tahu ini kurang sopan. Namun, jika menimbang dari tingkat kesabaranku, ini masih tidak ada apa-apanya. Hari ini aku sudah sangat lelah dan kesal. Banyak hal yang menggangguku hari ini. Rutinitasku juga sudah mulai terganggu akibat teman sebangku yang sama seperti tahun lalu, seorang siswi yang gampang membuat orang lain—terutama laki-laki—baper, serta datangnya seorang wali kelas muda yang membuat sebuah misteri untuk dipecahkan dengan hadiah gratis makan seminggu penuh di kantin.

Gratis makan seminggu penuh di kantin ...

Beliau sudah menjanjikan hal itu.

Apa cukup etis bagiku untuk menolak permintaannya dengan cara kasar seperti ini?

Kuhentikan tubuhku yang sudah separuh berdiri dan kembali duduk di kursi itu. Setidaknya, aku harus menghargai keinginan beliau dengan membuat beberapa penyesuaian. Yah, meskipun jika pada akhirnya tidak ada titik temu akan tetap kutolak, sih.

"Gimana? Tertarik?" tanyanya sambil tersenyum penuh harap. Sebentar, apa beliau tidak sadar akan tindakanku tadi yang hampir menolak tawarannya mentah-mentah?!

"Err ... pertama-tama, apa jenis kegiatan eskul ini, Bu?"

"Seperti yang sudah kamu duga, eskul ini erat kaitannya dengan misteri. Meskipun ibu rasa bukan hanya itu yang akan kamu lakukan kedepannya."

Hee ....

"Nama eskulnya?"

"Ekstrakulikuler Pemecah Masalah Siswa!" jawabnya dengan lantang dan keras.

Eh? Pemecah Masalah Siswa? Ah, sial. Aku tahu kemana arah pembicaraan ini akan berlabuh ....

"Eskul dengan kegiatan membantu masalah orang lain, ya?"

"Tepat sekali!"

Semakin rumit. Duh, tubuhku sudah semakin gatal untuk segera meninggalkan ruangan ini!

"Apa tidak masalah membuat eskul semacam itu? Rasanya aneh, Bu, mendengar nama eskul seperti itu. Pokoknya tidak wajar, deh, eskul semacam itu ada di Indonesia. Mungkin lain ceritanya jika kita sedang berada di luar negeri." kucoba menolak tawarannya dengan cara sehalus mungkin.

"Tenang saja. Kalau soal itu ibu sudah mendapat persetujuan kepala sekolah, kok."

Setan! Dia sudah membuka jalan terlebih dahulu sebelum memulai pertempuran! Liciknya ....

"Emm, tapi untuk mencampuri urusan orang lain itu rasanya agak ... gimana, ya?"

"Kita bukan mencampuri urusan orang lain, melainkan menyelesaikannya. Itu akan terasa berbeda jika kamu mencobanya nanti, Ram."

Penjelasannya kali ini tidak dapat kumengerti. Yang kutahu, intinya beliau maksa banget!

"Sebelum itu, biarkan ibu memberikan peraturan ekstrakulikuler ini kepadamu. Ibu sudah memikirkannya matang-matang, loh," sambung Bu Rosa sambil memberikanku selembar kertas ukuran A4 lengkap dengan kop surat sekolah dan isi surat yang terkesan sangat formal.

Niat gila!

Ah, jangan protes dulu. Aku harus membaca ini dengan seksama demi kebaikanku!

...

...

Oke, ada beberapa poin penting yang tertera di sini :

1. Siswa yang menerima Formulir pembentukan ekstrakulikuler baru otomatis akan menjadi ketua ekstrakulikuler tersebut jika nantinya mendapat persetujuan sekolah.

2. Waktu untuk melakukan kegiatan sepenuhnya berada di tangan ketua ekstrakulikuler, selama tetap diadakan dua kali dalam seminggu dan melapor kepada pembina ekstrakulikuler.

3. Ruangan yang digunakan untuk melaksanakan kegiatan ekstrakulikuler adalah kelas XI IPS 3.

4. Ketua ekstrakulikuler boleh membatalkan penyelidikan suatu permasalahan siswa jika kasus itu dianggap sudah buntu.

5. Jika mendapat suatu kasus untuk diselesaikan, maka ekstrakulikuler ini wajib melakukan kegiatan setiap hari sampai kasus itu dinyatakan selesai.

...

...

Dengan begitu, jika aku setuju, maka otomatis aku akan menjadi ketua ekstrakulikuler ini sesuai dengan ketentuan sekolah. Bertambah satu lagi kegiatan-kurang-kerjaanku di sekolah ini. Ketua kelas dan sekarang ketua ekstrakulikuler—jika aku mau, tentunya.

Jika bisa ingin sekali kutolak ini semua. Namun, ada beberapa poin yang membuatku cukup tergiur. Godaan setan memang selalu datang kapan saja, ya. Bahkan di saat-saat seperti ini mereka masih saja terus-menerus menggodaku lewat poin-poin yang cukup menggiurkan ini.

Pertama, waktu kegiatan yang sepenuhnya berada dalam kuasa ku. Itu artinya aku bebas memilih hari apapun selama itu masih kulakukan dua kali dalam seminggu. Jadi, kupikir aku hanya tinggal memilih hari dimana aku sedang malas ke rumah. Lalu yang kedua, ruangan yang dipakai adalah kelasku. Selain jarak yang sangat mudah kujangkau, kurasa tidak mungkin ada siswa kurang kerjaan yang mau datang ke lantai tiga sepulang sekolah. Pastinya kasus yang kuhadapi akan sedikit nantinya—jika aku setuju—akibat jarak ini. Yang terakhir dan terpenting, aku bisa dengan bebas membatalkan sebuah kasus. Jika aku sedang malas menghadapi suatu kasus, aku tinggal membatalkannya dengan memikirkan alasan yang cukup masuk akal untuk menghentikan kasus itu bagi orang yang memberiku sebuah kasus.

Masalahnya ada di poin terakhir itu. Aku harus melakukan kegiatan eskul ini setiap hari jika aku mendapat sebuah kasus yang cukup sulit kutangani. Sejujurnya itu bisa aku hindari dengan poin keempat. Namun, bagaimana jika aku memang sedang ingin menyelesaikan kasus itu karena imbalan yang ... ehem ... menggiurkan.

Hmm ....

Terima atau tolak?

Sejenak kutatap lagi wajah Bu Rosa. Tatapan guru muda itu memancarkan sinar penuh harap. Dengan segala kebaikan yang sudah beliau berikan padaku—mari kita hitung poin-poin sialan ini sebagai kebaikannya juga—di hari pertama sekolah ini, rasanya tingkat kesabaranku ini tidak ada apa-apanya.

Namun, aku harus tegas di sini!

"Untuk anggotanya bagaimana, Bu? Apa saya juga harus mencarinya sendiri?" yep. Pertanyaan itu yang menjadi pertanyaan pamungkasku.

Untuk membentuk eskul di sekolahku hanya membutuhkan calon ketua, calon pembina, dan persetujuan kepala sekolah, sebelum akhirnya masuk ke tahap percobaan. Jadi, tak masalah jika eskul tersebut belum memiliki anggota dalam batas satu bulan. Maksudnya, eskul tersebut diberikan waktu satu bulan untuk mengumpulkan minimal empat orang anggota—termasuk ketua—sebelum akhirnya dapat dinyatakan sebagai eskul resmi. Yang jadi masalah, apa aku yang harus mencari sendiri anggota eskul ini kedepannya atau tidak. Jika jawabannya iya, maka akan kutolak itu semua.

"Tidak perlu, Ram. Ibu ingin kamu seperti orang bodoh di eskul ini."

Buset, ngeledek?!

"Maksud Ibu?"

"Ada yang pernah memberitahu ibu. Orang bodoh selalu menarik orang bodoh lainnya untuk datang."

Tunggu, kurasa aku juga pernah dengar itu, tapi sepertinya berbeda ...

Ah, iya! Hachiman(**)! Kampret, padahal kata-katanya sangat-amat jauh berbeda! Apa hubungannya dengan orang bodoh?! Harusnya, kan, "penyendiri selalu menarik penyendiri lainnya"! Gendeng! Otaku! Sebentar, kalau dipikir-pikir, jenis kegiatan eskul ini mirip dengan eskul Hachiman. Apa beliau semacam fans berat karakter fiksi itu?!

Ah, tapi aku mengerti maksud beliau. Sungguh, eskul ini akan terasa amat sangat enteng bagiku!

Setidaknya untuk sebulan ini. Lain cerita jika tidak ada yang mau gabung ke depannya.

Yah, tak apalah. Kalau tidak ada yang gabung juga tidak masalah.

"Baiklah jika Ibu memaksa. Saya akan mengikuti eskul ini."

Dengan begitu, beliau menyodorkan formulir pembentukan ekstrakulikuler baru itu dan memintaku membubuhkan tanda tangan di atasnya dengan wajah penuh kemenangan. Isi surat itu hanya berupa peraturan-peraturan serta syarat pembentukan ekstrakulikuler, kolom isian untuk mengisi data ekstrakulikuler, dan bagian akhir untuk tanda tangan calon pembina—yang tak lain adalah Bu Rosa—, aku sebagai calon ketua, dan kepala sekolah.

Ada sedikit hal yang menggangguku.

Apa tak masalah dengan ini semua?

Kurasa ... tak masalah, mungkin?

***

Semuanya akan terasa sibuk bagiku mulai esok hari. Mengemban tugas berat dan tidak masuk akal itu membuat kepalaku terasa sakit. Hanya tidur-tiduran di lantai yang bisa mengobatinya. Kenapa di lantai? Kalian masih ingat kasur kapuk sialan yang ikut basah akibat kelakuan goblok Ibuku tadi pagi? Kasur itu rupanya belum dijemur saat aku pulang ke rumah. Terpaksa kujemur kasur itu dan tidur di lantai seperti ini.

Meskipun begitu, ini masih jam tujuh. Kurasa belum waktunya tidur. Lapar pun belum terasa. Apa ada satu hal yang enak untuk dilakukan di jam-jam seperti ini?

Ke kamar adik perempuanku jawabannya!

Kurang sopan? Biarin! Kamarnya itu bak surga bagi sekelompok orang aneh yang terlalu mengagung-agungkan kebudayaan asing dan lebih sering mengurung diri di kamar.

Sebutan kerennya—menurut mereka—, sih, Otaku.

Apa? Aku bukan salah satu dari mereka! Aku masih cinta dengan negara ini! Aku hanya ingin melepas stress dengan menonton beberapa episode anime yang ia miliki. Bukan berarti aku maniak anime, lho, ya.

"Nii-chan, mau nonton anime lagi?"

Suara adikku terdengar dari belakang.

Jijik? Apalagi aku! Orang goblok satu ini sudah benar-benar kecanduan dengan nuansa Jepang! Seluruh ornamen kamarnya bahkan dipenuhi oleh benda-benda aneh macam poster, satu rak penuh berisi Light Novel(***), bantal bergambar karakter anime yang kalau tidak salah disebut dakimakura atau apalah, dan yang paling sering kupinjam adalah laptop dengan koleksi anime lengkapnya itu. Benda yang akan kupinjam lagi sekarang.

Sebenarnya aku tidak terlalu keberatan dengan hobinya yang bisa dibilang aneh ini. Namun, yang membuat adik perempuanku menyebalkan adalah gaya bicaranya yang selalu menggunakan logat ala-ala Jepang gitu. Panggilan 'Nii-chan' itu salah satunya. Pokoknya, dia sudah benar-benar terpengaruh sama negara Asia timur yang pernah membuat negara kita sengsara itu, deh.

Meskipun begitu, terkadang koleksi animenya cukup membuatku terbantu jika sedang stress. Oleh karena itu, aku biarkan saja sifatnya yang begini.

Oh iya, aku lupa. Namanya adalah Salma Indriyana.

Selalu ada kata "Yana" di setiap nama anak dari orang tuaku. Apa mereka segitu tergila-gila dengan kata itu?!

Ngomong-ngomong, aku juga masih punya satu lagi adik laki-laki bernama Yudhayana, juga merupakan kakak Salma, yang kini tengah menimba ilmu di sekolah dengan sistem asrama. Jarak antara aku, Yudha, dan Salma juga tidak beda jauh. Salma berbeda empat tahun denganku, sedangkan Yudha berbeda dua tahun denganku.

Itu artinya orang tua kami terbebani dengan satu anak SMA goblok dan dua anak SMP yang tidak kalah gobloknya.

Kembali ke percakapan aneh tadi.

"Ah, itu tahu. Pinjam laptop, ya?"

"Nontonnya di dalam kamarku aja, ya."

Yah, aku tidak keberatan, sih. Langsung saja aku masuk ke kamarnya. Dengan cepat, kubuka laptop itu dan mulai menyalakannya. Sempat kulirik ke belakang, rupanya Salma juga berada di dalam sambil mengambil sebuah buku tulis. Mungkin mau mengerjakan PR?

"Lagi bete?" tanya Salma sambil mulai menulis.

"Sial banget hari ini."

"Heeh, kenapa?"

"Pokoknya mulai besok bakal jadi neraka, deh, setiap harinya"

"Syukurlah, Nii-chan akhirnya punya kegiatan juga di sekolah," ucapnya sambil tertawa centil.

Serius, hentikan kata 'Nii-chan' itu ...

"Kenapa kau berfikir begitu?"

"Yah, apa lagi yang Nii-chan sebut neraka selain sebuah kegiatan sekolah? Jadi, jabatan apa yang Nii-chan dapat? Ketua kelas? Ketua eskul?"

Ah, kenapa pertanyaannya to the point sekali?

"... kalau kujawab keduanya apa kau percaya?"

Reaksinya setelah itu bisa kupahami. Hasrat ingin tertawa yang tertahan menghasilkan suara terkekeh yang sangat amat menyebalkan. "G-gak bohong, kan? Hahahaha!" akhirnya ia tertawa setelah menahannya cukup lama.

Melihat Salma yang seperti itu membuatku seperti orang goblok. Maklum dia terkejut. Melihat kakak goblok yang tiba-tiba memiliki kegiatan yang, mungkin, hanya dimiliki anak rajin, siapa yang tidak terkejut?

Ngomong-ngomomg, ada perbedaan besar diantara kami. Dia memang Otaku kelas kakap. Namun, bukan berarti dia seorang Hikikomori(****) yang kerjaannya hanya buang-buang waktu. Dia rajin. Sangat rajin malah. Setiap ada kesempatan untuk menambah aktivitas di sekolah pasti ia lakukan. Yah, meskipun ia sangat kecanduan dengan nuansa Jepang, tapi ia tetap tidak merupakan cita-cita yang ia terus banggakan sejak kecil. Oleh karena itu ia tidak boleh malas. Di rumah pun sama. Ia selalu membantu Ibuku dalam melakukan aktivitas rumah tangga setiap harinya. Jadi, ia sebenarnya hanya melakukan kegiatan Otaku-nya jika sedang benar-benar senggang.

Berbanding terbalik denganku, bukan?

"Kegiatan sekolah, sudah. Kalau dalam cerita-cerita klise, sih, harusnya Nii-chan nanti dapat berpasangan dengan gadis cantik, kan?" ucapnya yang masih saja terkekeh.

Aku menghela nafas. "Apa yang membuatmu berfikir begitu? Kehidupan kakakmu ini bukan berdasarkan cerita klise, tau. Lagipula mana ada gadis yang mau masuk eskul yang ku geluti ini. Jika ada, akal sehat gadis itu pasti rusak!"

"Malu-malu begitu juga sifat tokoh utama dalam cerita klise, loh!" godanya lagi.

"Arrrggh! Bisa tolong diam sebentar?! Lagi seru, nih!" seruku yang sudah tak tahan menerima ucapan demi ucapan Salma. Disisi lain, anime yang tengah kutonton ini memang lagi seru-serunya.

"Huh, jutek banget! Nanti ga ada gadis yang mau dekat-dekat dengan Nii-chan, loh, kalau terus seperti ini."

Bodo amat! Fokusku saat ini adalah anime yang tengah kutonton, tahu!

Sadar akan hal itu, Salma datang menghampiriku dan berkata, "Nonton apa, sih?"

"Liat aja sendiri."

***

(*) Hakim Agung MA : pimpinan dan hakim anggota pada Mahkamah Agung Republik Indonesia. Jumlah hakim agung menurut undang-undang maksimal 60 orang.

(**) Hachiman : tokoh utama dalam serial anime & Light Novel Oregairu

(***) Light Novel : adalah sejenis novel yang sering disertai dengan ilustrasi anime atau manga, biasanya ditujukan untuk pembaca remaja usia sekolah menengah.

(****) Hikikomori : arti harfiah: menarik diri atau mengurung diri adalah istilah Jepang untuk fenomena di kalangan remaja atau dewasa muda di Jepang yang menarik diri dan mengurung diri dari kehidupan sosial.

Dikutip dari Wikipedia dengan sedikit perubahan.

***

Hmm ... entah bakal ter-realisasi atau engga, tapi saya berencana menambah jadwal update cerita ini jadi dua kali dalam sebulan :v (dikit amat, woy!)

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro