Bab 7 : Pada Akhirnya Aku Terseret Semakin Dalam

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Entah bagaiamana caranya, kini kami sedang berada di sebuah kafe yang berada 2 blok dari sekolah kami. Namun, jumlah kami berbeda dibandingkan dengan saat di kelas tadi. Si perempuan, Ayu kalau tidak salah, sudah pulang terlebih dahulu. Mungkin karena dapat telepon dari rumahnya tadi. Tersisa aku, Silvia, Odetha, Yusril, dan si laki-laki yang bernama Arif itu. Kupikir bagus juga kalau hanya dia yang ada di sini. Nampaknya dia adalah orang yang paling paham dengan seluk-beluk kasus ini. Selain itu, aku punya firasat kalau pembicaraan tentang kasus ini akan semakin rumit jika si perempuan itu ada di sini.

Kami mengambil meja untuk enam orang di sudut ruangan. Belajar dari kesalahanku di kelas tadi, aku meminta Odetha, Yusril, dan si laki-laki duduk bersama. Aku khawatir akan terjadi hal-hal goblok jika aku duduk di samping salah satu dari ketiga orang itu. Sedangkan aku dan Silvia duduk di sebrang mereka.

Seperti kebanyakan anak muda yang doyan nongkrong di kafe, kami hanya memesan secangkir kopi dengan cemilan seadanya. Benar-benar anak muda banget. Jika saja harga makanan di sini murah, aku pasti akan memesannya. Jujur saja, aku benar-benar lapar sekarang. Oleh karena itu, untuk membungkam perut yang sedang meraung-raung tidak karuan, aku meraup cemilan yang kami beli dengan sangat brutal.

"Kapan mulainya? Makan terus!" tegur Odetha yang nampak gregetan melihatku terus-menerus mengambil makanan.

"Laper ..."

"Kalau begitu kenapa tidak pesan makanan sekalian?!"

"Alasan utamanya, sih, karena aku tidak punya uang lebih."

Silvia menatap ke arahku dan berkata, "Kalau mau pesan aja, Ram. Biar aku yang bayar."

"Heh? Serius?"

Silvia mengangguk.

Mantap! Kesempatan langka, nih!

"Kalau begitu ...."

Plak!

"Tahu malu sedikit!" protes Odetha sambil memberikan tamparan ringan kepadaku. Lama-lama dia seperti ibuku saja! "Via juga. Jangan memanjakannya seperti itu. Nanti bisa kebiasaan!"

"Y-ya," ucapku dan Silvia secara bersamaan. Huh, kami terlihat seperti anak kecil yang baru saja dimarahi orang tuanya.

Setelah camilan yang kami pesan hampir habis, aku menghela nafas lega untuk sejenak. Lalu berkata, "Naskah itu. Bisa jelaskan intinya saja? Membacanya sekarang malah bakal merepotkan."

"Huh? Maksudnya?" ucap si laki-laki.

Umm ... mungkin untuk selanjutnya akan kupanggil Arif saja. Terlalu panjang narasi kalau tidak memakai nama aslinya. Soalnya aku merasa tidak enak pada seseorang jika memanggilnya dengan sebutan 'si laki-laki' melulu. Hal yang sama juga akan kulakukan jika bertemu dengan siswi yang tadi. Namanya kalau tidak salah Ayu, kan?

"Inti cerita, tokoh, latar, atau apapun yang berguna. Kita tidak punya banyak waktu, kan?"

"Ah, aku mulai dari tokohnya dulu, ya? Ceritanya tentang seorang anggota kepolisian bernama Pratama yang terkenal akan kejujurannya. Meski begitu, dia dibenci oleh rekan-rekannya.

"Alasannya karena Pratama selalu melaporkan pelanggaran-pelanggaran rekannya di lapangan kepada atasan. Seperti uang damai, korupsi kecil-kecilan, hingga pelanggaran indisipliner lainnya," ucap Arif panjang lebar.

"Lalu, inti ceritanya?"

"Hmm ... puncak masalah terjadi saat Pratama menyatakan cintanya kepada seorang gadis yang sudah lama dia kenal. Setelah itu tidak ada lanjutannya lagi."

Eh? Apa-apaan itu?!

"Hoi-hoi, bukankah kau bilang drama ini bergenre misteri?"

"Tidak tahu. Itu yang tertulis di naskahnya. Makanya kami meminta pertolongan kalian."

Enteng sekali jawabnya!

Aku menghela nafas berat dan mulai menyandarkan kepalaku ke meja. "Harusnya aku tolak saja kasus ini ..." gumamku pelan.

Pletak!

"Aduh! Buat apa itu?!" aku langsung bangun akibat sentilan cukup keras di dahi yang kuterima dari orang di sebelahku, Silvia.

"R-Rama gak boleh bilang begitu. Tidak sopan!" ucapnya pelan, tetapi dengan wajah tegas.

"I-iya ..."

Yah, Silvia tidak salah, sih. Mau bagaimana pun yang berlalu, ya, berlalu. Tidak ada kata kembali. Masa lalu ada bukan untuk disesali. Pokoknya, untuk sekarang aku harus mencari tahu segala informasi penting tentang naskah ini, siapapun sumbernya.

"Tapi, gimana? Ceritanya tidak jelas begitu. Bertemu penulisnya juga mustahil," gumamku lagi.

"Bagaimana kalau kita bertanya tentang penulisnya? Mungkin kita bisa tahu sesuatu dari situ," ujar Yusril sambil mengangkat tangannya tinggi-tinggi.

Menjijikkan.

Ehem!

Bukannya tidak kepikiran untuk bertanya tentang penulisnya, tetapi aku rasa masih ada hal lain yang harus dicari tahu dari naskah ini. Namun, aku juga tidak bisa menolak usulan itu. Jadi, aku hanya diam dan menunggu jawaban dari Arif.

"Yah, sejujurnya aku baru tahu kalau dia suka menulis setelah melihat naskah ini. Dia selama ini kukenal sebagai anak yang pemalu. Benar-benar pemalu. Bahkan, kurasa dia tidak memiliki begitu banyak teman.

"Selain itu, dia juga payah dalam olahraga. Fisiknya lemah. Daffa juga selalu berkata kalau dia lebih suka melakukan aktivitas yang tidak melibatkan fisik. Mungkin maksudnya seperti membaca dan menulis."

Tetap membingungkan. Informasi dari Arif masih terbatas. Aku masih perlu sumber yang lebih lengkap dan akurat.

"Kau tahu rumahnya di mana?"

"Ya."

Aku kemudian menghela nafas sebelum berkata, "Baiklah, kita besok akan ke sana. Untuk hari ini kurasa sudah cukup."

Odetha dengan ekspresi yang nampak tidak senang dengan keputusanku bertanya, "Heh? Kenapa?"

"Yah, kalau dipaksakan juga kita tidak akan mendapat informasi apapun. Jadi, kurasa kita harus mengakhirinya untuk saat ini."

Odetha menyipitkan matanya. "Maksudnya Rama tidak percaya dengan informasi dari Arif?"

Yah, dibilang percaya juga tidak, tapi dibilang tidak percaya juga tidak.

"Bukan begitu. Maksudku, jika kita bertanya lagi padanya sekarang, apa kau yakin dia dapat menjawabnya?"

"Huh? Memangnya apa yang ingin kau tanyakan?" sahut Arif setelah mendengar ucapanku.

"Kehidupannya di rumah, karya tulisnya yang lain, atau masalah yang tengah ia hadapi. Apa kau tahu hal-hal semacam itu?"

"Tentu saja Arif tahu, kan?" sanggah Odetha.

Aku tidak menjawab sanggahan Odetha, melainkan menengok ke arah Arif. Yang lain pun mengikutiku. Raut wajah Arif berubah menjadi kebingungan. Disaat yang bersamaan, mungkin dia juga sedang berpikir untuk menemukan jawaban dari pertanyaanku. Yah, aku tidak bisa menyalahkannya juga. Jika Daffa seorang introvert, kupikir memang wajar kalau ada satu sampai dua hal yang tidak diketahui Arif, meskipun mereka sudah bersahabat sejak lama.

Arif memejamkan mata sambil menghela nafas pendek. Lalu ia berkata, "Yah, kalau hal-hal seperti itu aku memang tidak tahu. Apa alasanmu menanyakan dimana rumahnya itu karena--"

"Ya. Aku mau bertemu dengan orang yang benar-benar mengenalnya sejak kecil. Mungkin kita bisa mengetahui sesuatu," potongku sebelum Arif menyelesaikan ucapannya.

"Jadi, kita pulang?" tanya Odetha.

"Belum selesai, sih. Ada satu hal lagi."

Semuanya memasang raut wajah bingung.

"Aku mau beli Ind*mie. Tapi, di mana warung di daerah sini?"

Seperti biasa. Aku tidak ingin terkena kasus pencatutan nama. Jadi, mari kita sensor bagian nama setiap produk, instansi, atau hal lain yang semacam itu.

Perutku sudah lapar dan juga aku tidak yakin kalau Ibu sudah pulang. Salma pun kalau masak sering tidak ingat kalau dia punya kakak. Jadi, hanya Ind*mie lah satu-satunya harapanku untuk mengganjal rasa lapar saat di rumah nanti.

"Huuh, kukira sesuatu yang penting ..." keluh Odetha.

"A-anu ... kalau tidak salah tadi aku melihat ada warung. Mau kuantar?"

Wah, kebetulan yang sangat hebat!

"Yah, boleh saja. Kalau begitu, kami duluan, ya!" ucapku sambil menggandeng tangan Silvia keluar dari kafe tersebut.

Kami berdua berjalan meninggalkan mereka bertiga di kafe tersebut. Sempat aku mendengar teriakan Odetha yang memintaku untuk menunggu mereka, tapi kuabaikan.

***

"Kembaliannya. Makasih, Mas!" ungkap si penjaga warung sambil memberiku uang kembalian.

Aku dan Silvia berjalan keluar. Saat Silvia hampir menunduk untuk berpamitan, aku mencegahnya. Dia kemudian menatapku keheranan. "Jangan pulang dulu. Kita harus ke sekolah lagi."

"H-heh?" Silvia langsung melebarkan matanya. Wajahnya juga langsung memerah.

"Aku tidak suka menunggu. Setidaknya kita harus mendapat sesuatu yang berguna di sana."

Ucapanku tadi langsung membuat Silvia menghela nafas. Mungkin dia habis Berpikir aneh-aneh. Yah, aku tidak bisa menyalahkannya kalau soal itu.

"K-kenapa h-hanya kita berdua? B-bukannya Odetha dan Yusril juga anggota?"

"Odetha belum resmi jadi anggota dan bahkan Yusril tidak mengatakan ingin bergabung. Selain itu, mereka berdua menyebalkan. Hanya kau yang bisa kuandalkan di eskul ini, tahu?"

Terdengar suara 'eehh?!' panjang dari Silvia. Pelan, tapi masih terdengar olehku.

"Yah, sambil berjalan, dengarkan penjelasanku, ya."

Setelah itu aku dan Silvia kembali berjalan menuju sekolah. Capek, memang. Namun, semakin cepat ini selesai, maka bebanku akan semakin cepat berkurang, kan?

Ah, kenapa aku hanya mengajak Silvia?

Alasannya sudah kuucapkan padanya tadi. Namun, ada hal lain yang kubutuhkan darinya. Tanpanya, aku tidak akan bisa melakukan hal yang akan kulakukan sekarang. Kenapa aku bisa membuat skenario ini? Yah, sebenarnya tadi saat kami berlima berjalan menuju kafe tadi aku tidak sengaja melihat Silvia mampir ke sebuah warung--entah mau membeli apa. Yang lain sepertinya tidak memperhatikannya. Jadi, aku bisa menggunakan kesempatan itu untuk berpura-pura menanyakan warung di daerah sini agar hanya Silvia, satu-satunya orang yang mengetahui letak warung itu diantara mereka, yang kuajak kembali menuju sekolah.

"Hei! Mau ngapain lagi? Sudah sore! Pulang sana!" bentak seseorang saat kami sampai di gerbang sekolah. Suaranya sudah sangat familiar di telingaku.

"Ah, ini Pak Leon ... sebenarnya ada sedikit masalah," balasku dengan nada panik, yah, meskipun itu cuma pura-pura.

"Lalu, buat apa Non Silvi ikut segala, huh?"

"Ah, itu ... sebenarnya kami ingin melihat data siswa di komputer yang ada di ruang 'itu'. Apa kami boleh ke sana, Pak?"

"Buat apa? Mau ngerubah nilai semester kemarin?"

"Ah, tidak-tidak. Mana mungkin, kan?"

"Lalu?"

"Aku lupa mendata nilai semester lalu siswa kelasku. Aku sekarang ketua kelas loh, Pak. Jadi, tolong izinkan kami ke sana, ya? Sebentar aja."

"Hmm? Bukannya Non Silvi beda kelas denganmu? Buat apa dia ikut segala?"

Ah, sial! Bawel!

"Aku sudah janji mengantarnya pulang. Itu saja. Jadi, boleh tidak, Pak?"

"Gak boleh!"

Nah, sekarang giliranmu, Silvia! Skenario sudah sempurna! Ucapkan kata kuncinya!

"A-anu ... a-aku ingin cepat pulang, Pak. Tapi, Rama memaksaku untuk menemaninya melihat data siswa kelasnya. A-aku takut Papa sudah menunggu di rumah," ucap Silvia dengan malu-malu.

Pak Leon hanya tersenyum setelah mendengar ucapan Silvia. Lalu ia menengok ke arahku dengan tatapan tajam. Aku mengerti maksudnya. "Jangan salahkan aku, Pak. Data itu harus dikumpulkan besok, loh. Padahal baru diminta hari ini."

"Kalau begitu, biar Bapak yang mengantar Non Silvi. Kau cepat pulang sana, Toko Baju!"

"T-tidak mau. R-Rama sudah janji de-denganku, Pak. A-aku t-tidak mau diantar orang lain selain R-R-Rama ..." balas Silvia tidak karuan. Yah, meskipun aku yang memintanya berkata demikian, tapi kurasa rasa malunya itu benar-benar berlebihan. Seperti malu betulan saja.

Pak Leon nampak tak berkutik dengan jawaban Silvia. Seperti yang kuduga. Koneksi antara Pak Leon dan Ayah Silvia benar-benar bisa dimanfaatkan. Mungkin Ayah Silvia berpesan pada Pak Leon untuk menjaga Silvia di sekolah. Oleh karena itu Pak Leon mungkin juga sudah menganggap Silvia sebagai anaknya sendiri. Mana ada seorang ayah yang bisa menolak keinginan anak gadisnya, kan? Jadi, koneksi-koneksi itu kugunakan sebagai senjata rahasia untuk membuka jalan menuju ruangan yang sebenarnya haram untuk dimasuki siswa. Ruang database sekolah. Sebagai satpam sekolah Pak Leon memiliki akses masuk ke dalamnya.

"S-sebentar saja, ya?" ujar Pak Leon.

Bingo! Itu dia yang kutunggu! Pak Leon langsung membimbing aku dan Silvia menuju ruang database. Aku memberikan acungan jempol ke arah Silvia sebagai pujian atas bantuannya tadi. Ia hanya menunduk.

Berhubung hari sudah semakin sore, maka sekolahku pun semakin sepi. Hanya tersisa beberapa guru yang masih berkutat dengan tugasnya. Sebenarnya akan jadi masalah jika aku dan Silvia ketahuan masuk ke ruang database sekolah. Namun, untungnya ruangan itu agak terpisah dari ruang guru. Selain itu, hanya beberapa guru pilihan saja yang memiliki akses keluar-masuk bebas ke ruang tersebut.

"Nah, sebentar saja, ya. Jangan berbuat macam-macam juga!" ucap Pak Leon setelah membuka pintu ruang database.

"Oke! Tapi, Pak Leon jaga di depan aja, ya. Nanti kalau ketahuan guru bukan cuma kami yang repot loh, Pak," ucapku yang sudah berada di ambang pintu ruang database sekolah. Aku sudah mempersilakan Silvia masuk terlebih dahulu.

Setelah itu aku menutup pintu tanpa memperhatikan ekspresi ataupun jawaban yang akan diberikan Pak Leon.

"K-kita mau apa, sih, sebenarnya, Ram?"

Mengabaikan pertanyaan Silvia, aku langsung berjalan menuju sebuah komputer yang berada di pojok kanan ruangan. Bukan perkara mudah untuk menuju ke situ. Pasalnya ada banyak sekali tumpukan berkas di sana-sini. Alhasil pergerakanku pun sedikit terhambat. Seseorang, tolong bersihkan ruangan ini!

Setelah sampai, aku langsung duduk dan sedikit menggeser mouse komputer itu. Layar pun langsung menyala. Tepat seperti dugaanku, komputer data siswa memang jarang dimatikan. Namun, dari situ muncul masalah baru. Password. Ya, komputer itu terkunci. Aku memang sudah menduganya, tetapi kata apapun yang kumasukkan tetap saja salah. Sial! Apa passwordnya?!

"C-coba pakai kata 'komputersekolahqu', Ram," ucap Silvia pelan. Tanpa kusadari, kini dia sudah berdiri di sampingku.

Aku menuruti ucapan Silvia. Betapa terkejutnya aku saat komputer itu berhasil terbuka lewat password yang diberikan Silvia. Gila! Siapapun yang membuat password ini pasti orang alay!

"Dari mana kau tau passwordnya?"

"D-daripada itu, lebih baik Rama melanjutkan apa yang ingin Rama lakukan ..." jawabnya malu-malu.

Ah, sudahlah. Mungkin dia hanya menerka-nerka. Sekarang adalah bagian terpentingnya. Aku harus mencari data si pengarang naskah itu! Daffa ... umm ...

Goblok! Aku lupa menanyakan nama panjangnya!

Kalau begitu ...

Daffa

sedang mencari hasil ...

Daffa Rifqi Komarudin

Daffa Dwi Damara

Daffa Rizal Putra

Daffa Faisal Ardi

Hmm ... ini adalah hasil pencarian nama Daffa di data kelas 10 tahun lalu. Jadi, ada 4 orang bernama Daffa tahun lalu. Selanjutnya aku hanya perlu memeriksa data kelas 11 tahun sekarang dan nama panjang dari si pengarang akan ketahuan!

Daffa

sedang mencari hasil

Daffa Rifqi Komarudin

Daffa Dwi Damara

Daffa Faisal Ardi

Ada satu nama yang menghilang. Metode ini benar-benar praktis!

Jadi, nama panjang si pengarang adalah Daffa Rizal Putra.

Tanpa basa-basi, aku langsung membuka data dari siswa yang bernama Daffa Rizal Putra itu di data kelas 10. Yang kuingat, saat kelas 10 dulu kami pernah diminta untuk mengisi data-data pelengkap seperti hobi, cita-cita, hal menyenangkan, hal menyedihkan, dan sesuatu semacam itu. Hal itulah yang ingin kulihat dari datanya. Mungkin saja aku bisa mengetahui sesuatu dari situ.

Hobi : Melamun
Cita-cita : Belum tahu
Hal menyenangkan yang pernah dialami : Berteman dengan Arif dan Ayu
Hal menyedihkan yang pernah dialami : Kedua sahabatku tidak mengerti apa maksud dari ucapanku waktu itu

Heh? Apa maksudnya ini semua?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro