D+7

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Aku berpikir banyak hal semalam. Laptopku kehabisan baterai dan harus dicharge di ruang dokter, jadi aku tidak bisa mengetikkan dengan detail apa yang kupikirkan sepanjang malam.

Yang jelas, aku memikirkan tentang semuanya. Hari ini pembersihan masih dilakukan. Dan mendadak aku mengingat Papa, Mama, dan Sinta. Aku tidak pernah dekat dengan mereka, tapi tetap saja kami adalah keluarga.

Kemudian aku mengingat Vano. Kupikir aku tahu apa yang membuat Vano terkejut saat melihat zombie hari itu. Mungkin yang dia lihat adalah zombie papa atau mamanya.

Vano menyelamatkanku, dan aku berhutang budi padanya. Dia butuh ginjal, dan mungkin sewajarnya aku akan memberinya ginjal.

Dan ya, aku memang punya dua ginjal. Tapi masalahnya, salah satu ginjalku tidak berfungsi, sudah begitu sejak aku ada. Bukan sakit atau luka, tapi memang benar-benar tidak berfungsi.

Kalau aku mendonorkan ginjalku, berarti aku akan mati.

Hal pertama yang kupikirkan kemudian adalah, setelah aku bersusah payah bertahan hidup, akhirnya aku mati demi orang lain? Itu konyol.

Tapi kalau aku membiarkan Vano mati, kematiannya akan menjadi lebih konyol lagi. Dia bertahan hidup, tapi dia mati karena terjengkang saat berusaha menyelamatkanku.

Lalu kemudian aku memikirkan bagaimana aku hidup selanjutnya. Kupikir aku memang lebih baik mati daripada pusing memikirkan administrasi rumah sakit nanti—meski aku tahu bagian itu sudah ditanggung pemerintah.

Tapi kemudian, bagaimana aku hidup? Benar aku pasti akan mendapat tempat tinggal baru. Tapi tanpa papa mama, aku mungkin tidak akan bertahan lama. Aku tidak bisa memasak, aku belum pernah bekerja. Mama selalu menyuruhku belajar jadi selama ini yang aku tahu hanyalah bagaimana caranya belajar: duduk, membaca, mengerjakan soal.

Sementara Vano, posisinya sebagai bendahara OSIS saja sudah membuktikan kalau dia lebih layak hidup. Sementara aku hanya menghabis-habiskan saja oksigen di bumi secara cuma-cuma, Vano adalah pahlawan yang berani bertarung dengan para mayat hidup demi dunia.

Aku bisa membayangkan tentang apa yang akan terjadi padaku di masa depan jika tetap kekeuh ingin hidup.

Meski aku mulai merasa aman di tengah beberapa orang, tapi kejadian (atau musibah) yang kualami ini tidak akan mengubahku dari seorang yang ansos menjadi seorang yang sosialis. Aku benci berurusan dengan orang-orang yang terlalu berperasa, tidak mengindahkan logika, dan itu adalah fakta yang tidak bisa kuubah sekeras apapun aku mencobanya.

Pada pengamalannya, lebih mudah mengatakan aku ini seseorang yang membenci umat manusia.

Kemudian orang-orang baik dari OSIS itu akan mulai lelah denganku, merasa menyesal menyelamatkanku, menyalahkanku karena harus kehilangan satu teman mereka demi manusia sampah sepertiku, kemudian mulai meninggalkanku.

Dan ketika itu terjadi, maka akulah yang akan berubah menjadi mayat hidup.

Tidak bisa memasak, tidak bisa mencuci, tidak bisa bekerja, tidak tau caranya mencari uang. Aku mungkin akan hidup menggelandang di kota antah berantah berhubung kotaku sudah dikarantina. Kemudian aku akan mati karena kelaparan atau terserang penyakit di jalanan. Dan kalau ingin kuingatkan, aku pernah hampir mengalaminya seminggu yang lalu dan itu adalah pengalaman yang mengerikan.

Hidup justru menjadi pilihan yang menyedihkan buatku.

Sementara Vano, dia berbeda. Dia sudah pasti berpengalaman bertemu banyak orang. Bendahara OSIS bukan posisi mudah. Dia harus ikut andil menyampaikan pikiran dan gagasan dalam inti OSIS demi kebaikan seluruh warga sekolah, ditambah dia mendapat beban membawa uang yang jelas tidak sedikit jumlahnya.

Aku juga bisa membayangkan bagaimana jika Vano hidup.

Dia sekali lagi pasti akan menjadi pahlawan. Aku yakin, dia tipe orang yang akan bersikeras ikut membantu menyelesaikan pembersihan meski dia belum sembuh total. Aku yakin itu. Tipe pahlawan kesiangan.

Bukan sarkasme karna dia benar-benar kesiangan dalam menyelamatkanku. Itu adalah pujian dariku, dari lubuk hati terdalam.

Aku yakin dia akan hidup dengan baik untuk dirinya sendiri dan orang lain. Dia pintar mengatur keuangan, pandai bersosialisasi, dan dia sangat peduli dengan orang lain. Terbukti dengan dia menyelamatkanku meski kami bahkan tidak saling kenal.

Dia akan hidup menjadi manusia yang berguna di dunia ini, dan aku akan mati mengurangi populasi manusia sampah yang tidak berguna.

Vano pasti punya cita-cita, sementara tujuan hidupku saja aku tidak tahu apa.

Vano punya teman-teman, sementara aku tidak lagi memiliki keluarga atau apapun untuk menemaniku memulai semuanya.

Tidak ada lagi ibu yang meski suka memukul-mukul pantatku dengan sapu, tapi tidak pernah sekalipun dia menyerah padaku. Aku baru menyadarinya sekarang. Aku tidak menyangka aku akan merindukan wajah galaknya dan perasaan dipukul sapu tepat di pantat.

Tidak ada lagi ayah yang selalu tampak tidak peduli padaku, tapi diam-diam suka menyelinap ke kamarku hanya untuk memastikan selimutku tidak jatuh ke lantai karena kutendang. Aku sudah tau sejak lama, tapi memilih pura-pura buta dan tuli padanya. Ayah yang meski sukanya menyindirku, tapi diam-diam suka menyelipkan uang jajan tambahan ke bawah bantalku. Aku benar-benar merindukannya—bukan uangnya, serius. Aku ingin sekali saja bilang padanya, aku bangga punya ayah sepertinya.

Dan Sinta. Dia menyebalkan. Dia selalu menggangguku. Dia suka aku dimarahi. Dia suka kumarahi. Aku selalu mencekik lehernya dan dia selalu menarik rambutku.

Tapi setelah kurenungkan, baru kusadari dia sebenarnya hanya memancingku agar keluar kamar. Dia sebenarnya hanya mencari perhatian dariku yang adalah kakaknya. Aku baru ingat, aku tidak pernah memperlakukannya sebagai seorang adik. Dia selalu menjadi orang asing bagiku.

Aku benar-benar sudah hidup dalam ketidak-berartian. Semua yang kulakukan selama ini tidak memiliki nilai. Aku membuang semua orang yang peduli padaku, dan memilih egois pada diriku sendiri.

Tapi aku tidak pernah mengenal kata penyesalan. Jadi meski aku menyadari semua kesalahanku, tidak lantas membuatku berpikir untuk hidup lebih baik dan mulai mencoba menerima kehadiran orang lain.

Tidak. Manusia adalah makhluk yang terlalu berperasa. Sementara aku, entah bagaimana ceritanya sejak lahir hanya dibekali dengan logika.

Kembali ke topik.

Kupikir membiarkan Vano hidup adalah pilihan terbaik. Dia memiliki teman-teman yang masih menunggunya. Dia memiliki dunia yang mengelu-elukan namanya. Dia memiliki gelar pahlawan yang masih menunggu untuk disandangnya.

Dan aku, akan mati tanpa ada yang mengingat bahwa aku pernah ada. Tidak akan ada yang bersedih, tidak akan ada yang kehilangan.

Dan begitulah, aku akan mati dengan tenang.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro