Epilog

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Aku mendudukkan diri di tanah, bertekuk lutut di samping makam Lisa. Teman-temanku pergi lebih dulu, mengikuti jejak para pelayat yang tidak seberapa, memberiku ruang untuk meratap—tidak, sebenarnya aku tidak meratap, tetapi mereka tidak akan percaya meski kubilang begitu.

Kuhela napas perlahan, memandangi nisan Lisa yang biasa saja. Untuk sesaat, pikiranku kosong dan pandanganku menjadi tidak fokus sampai akhirnya aku menyadari, tidak ada foto Lisa untuk mengiringi kepergiannya.

Sebenarnya itu sesuatu yang wajar. Fakta bahwa kami baru saja mengalami banyak hal mengerikan, bisa dikebumikan dengan tenang saja sudah sesuatu yang luar biasa.

Tetapi, ini Lisa. Kurasa, meski di situasi normal sekalipun, orang tuanya tetap tidak memiliki foto gadis itu untuk dikenang.

Kuraih ponselku dari saku, satu-satunya kepunyaanku yang dapat kuselamatkan selama bertahan hidup selain tongkat bisbol. Meski tidak ada sinyal, senter dari ponselku sangat berguna ketika petang, dan tongkat bisbolku cukup ampuh untuk menghancurkan kepala seseorang.

Aku menggeleng pelan, menghilangkan bayangan kejadian yang sudah menjadi masa lalu. Di ponsel yang sudah terisi penuh baterai—terima kasih pada Rudy—kutatap gambar Lisa yang diam-diam kuambil sekitar setengah tahun lalu saat ada event di sekolah.

Gadis itu tidak pernah berubah sejak aku pertama mengenalnya. Kulitnya putih, seputih kertas. Rambutnya super lurus, hitam, dan panjang. Biasa ditata belah tengah dengan kedua daun telinga sempurna tertutup, membuatnya tampak seperti hantu. Ditambah tatapan matanya yang selalu tampak bosan, sempurna membuat orang lain enggan menghampirinya.

Dasar introvert akut.

Saking tidak pedulinya dia pada orang lain, aku bahkan yakin Lisa tidak pernah tahu bahwa tetangga seberang rumahnya adalah aku.

Sekali lagi aku menghela napas, membiarkan tanganku yang menggenggam ponsel jadi lemas. Kuarahkan kembali tatapanku pada gundukan tanah yang masih baru ini.

Lisa Umbrella.

Nama yang unik, bukan? Seunik orangnya.

Aku pertama kali mengenalnya sewaktu aku masih duduk di bangku SD. Lisa mungkin lupa—ralat, dia pasti lupa. Tapi aku dapat mengingatnya dengan jelas. Bagi Lisa, aku mungkin orang asing tidak penting yang jika dalam anime, digambarkan sebagai tokoh sampingan tidak jelas yang bahkan tidak memiliki wajah, apalagi nama. Tapi bagiku, Lisa adalah salah satu orang penting dalam hidupku yang tidak akan kulupakan meski aku lupa ingatan.

Lisa adalah alasan kenapa aku begitu sukses hingga dalam olimpiade matematika yang jika tidak ada tragedi mengerikan ini, aku akan mampu melanjutkan ke tingkat nasional.

Aku masih mengingatnya dengan jelas, hari itu, ketika aku mengerjakan remedial matematika di taman perumahan. Aku benar-benar membencinya, sesuatu yang disebut matematika itu.

Tiba-tiba saja, entah dari mana datangnya, Lisa menyodorkan kertas-kertas berisi jembatan keledai, lalu pergi begitu saja. Di penghujung tahun itu, dari ranking 26 di kelas, mendadak aku jadi ranking 12. Dan aku jadi jatuh cinta pada matematika.

Jembatan keledai yang dibuat Lisa tidak ada di buku, buatan otaknya sendiri. Bahkan guru pun tidak mengerti. Jembatan keledai itu mengubah pandanganku pada matematika dan semua pelajaran hitungan lainnya. Bahkan ada tips dan trik belajar di sana, membuatku mudah dalam menguasai pelajaran hapalan. Aku mendadak jadi brilian.

Jembatan keledai super berharga yang diberikan Lisa secara cuma-cuma pada tokoh sampingan di hidupnya yang bahkan tidak mempunyai wajah apalagi nama.

Sejak hari itu, entah berapa kali aku berusaha mendekati Lisa untuk minimal sekadar mengucapkan terima kasih. Tetapi itu tidak mudah, dan bahkan hingga kematiannya, aku tidak pernah berhasil mengucapkan terima kasih pada Lisa.

Apakah aku sudah bilang kalau Lisa adalah anak yang sangat unik? Kurasa sudah.

Tinggal tepat di seberang rumahnya, aku nyaris hafal kebiasaan Lisa yang monoton dan terus berulang dengan hampir konstan.

Ia yang selalu membuka gorden kamarnya pada pukul 6, kemudian berlarian ke luar rumah dengan mengigit sarapan dan diteriaki oleh ibunya tepat pukul setengah tujuh, namun entah kenapa selalu tiba di kelas 5 menit sebelum bel masuk, dan tidak pernah ikut bus sekolah. Entah ke mana anak itu keluyuran pagi-pagi sembari berangkat sekolah.

Lisa tidak pernah ikut kegiatan ekstrakulikuler apa pun. Saat bel pulang berbunyi, dia akan jadi yang pertama keluar dari kelas dan lingkungan sekolah. Terkadang, entah ke mana dia berpetualang, akan tiba di rumahnya setelah pukul 5 sore. Lisa tidak pernah berolahraga meski keluarganya jogging di pagi hari ketika akhir pekan tiba, menghabiskan seluruh sisa waktunya untuk berdiam diri di kamar entah melakukan apa.

Secara garis besar, dunia Lisa adalah kamarnya, sekolah, dan tempat antah berantah yang hanya dia sendiri yang tahu.

Lisa adalah film hunter. Semuanya diburu. Mulai dari berbagai jenis kartun, berbagai genre movie, berbagai jenis drama dari berbagai negara, pokoknya segala yang berjenis audio-visual, tidak ada yang tidak Lisa tahu. Bahkan film pendek motivasi sekali pun.

Kalau Lisa dapat drama atau anime yang bagus, yang otomatis berepisode-episode sehingga membutuhkan waktu untuk menontonnya, dia akan mulai membuat keributan. Entah itu memecahkan kaca, menakuti teman ceweknya dengan cacing entah dari mana, memukul kawan sekelas dengan bola kasti ketika olah raga, semuanya dilakukan seolah tanpa sengaja. Pintar sekali dia diam-diam berbuat dosa.

Minimal, dia akan pulang cepat dan dapat skors selama satu hari. Terakhir, setelah menonjok teman sekelasnya, dia dapat full skors selama tujuh hari. Ibunya akan mengurung Lisa di dalam kamar, dan jika sudah begitu, gorden kamar Lisa hanya akan terbuka tiga kali sehari, saat jam makan.

Asumsiku, ibunya sama sekali tidak tahu bahwa hukuman yang dia berikan adalah justru yang Lisa cari dengan berbuat onar.

Aku menatap nisan Lisa dan menggelengkan kepala pelan.

Sebenarnya, inilah alasan kenapa aku bisa langsung tahu itu adalah Lisa ketika satu orang terlacak di radar. Dia tengah diskors, dikurung ibunya di kamar, jendelanya tebal dan berteralis. Dia sempurna terkunci dari dunia luar. Dan dia adalah Lisa.

Awalnya, setelah lewat dua minggu, aku tidak berpikir dia masih tetap bertahan dan selamat. Bagaimana pula seorang manusia selemah Lisa bertahan sendirian di ruang tertutup selama sebulan. Tapi aku lupa kalau si ranking satu berturut-turut sejak SD itu memang punya jutaan ide brilian yang hanya dia sendiri yang tahu.

Aku memejamkan mata, kemudian mendongak dan menatap langit yang biru bersih tanpa awan.

Aku tahu banyak tentang Lisa. Mungkin aku ini sudah tergolong stalker, kali. Tetapi, ada lebih banyak hal lagi yang tidak aku tahu tentangnya.

Kenapa anak secerdas Lisa yang pintar berbicara ketika dia mau, justru memilih diam dan tidak ingin dikenal. Aku tahu beberapa orang jenius memang aneh, dan sudah pasti Lisa salah satunya. Tetapi yang aku benar-benar tidak paham, kenapa gadis itu seperti menyia-nyiakan kecerdasannya.

Kebanyakan anak-anak pintar di kelasku memilih duduk di depan karena bangku bagian belakang penuh dengan anak-anak yang berisik, sangat berpotensi membuat mereka tidak mampu memperhatikan pelajaran dengan baik.

Tetapi, Lisa, selalu duduk di pojok kanan belakang, tidak peduli di sekitarnya ada anak-anak berandal atau bahkan jika zona itu terkadang menjadi medan bertengkar anak-anak begundal.

Lisa yang menolak mengikuti intensif olimpiade dan berkesempatan berdiskusi dengan dosen, justru memilih untuk berpetualang entah ke mana, bahkan pernah sekali kupergoki dia sedang bercengkerama dengan orang gila terkenal di kota.

Lisa yang menolak mengikuti berbagai lomba dan memilih untuk menghabiskan waktunya menonton film di kamar tertutupnya.

Lisa yang sangat cerdas dan masuk ke SMA dengan nilai sempurna, tetapi menolak masuk jurusan IPA. Alih-alih, dia malah mendekam di jurusan bahasa. Bukannya aku meremehkan jurusan bahasa, mereka anak-anak yang hebat. Aku punya banyak teman dari jurusan itu. Hanya saja, sangat tidak terduga dari seorang Lisa. Padahal aku memilih jurusan IPA sambil berharap kali ini, di SMA, aku bisa sekelas dengannya.

Lisa yang jika dia mau, pasti akan punya banyak teman. Tidak sedikit orang-orang yang kukenal yang memuji Lisa cantik andai dia mau tersenyum. Bagiku, tidak tersenyum pun dia sudah menarik. Tetapi jangankan berteman, disentuh pun pandangannya sudah penuh dengan protes.

Lisa Umbrella. Gadis unik yang kukenal tetapi sama sekali tidak kumengerti.

Kali ini, kenapa dia memilih mengakhiri hidupnya sendiri?

Dunia benar-benar merugi kehilangan seorang Lisa. Padahal aku sudah bersusah payah menyelamatkannya begitu mendapat kesempatan, kenapa Lisa justru menyerahkan nyawanya itu padaku yang sama sekali tidak sebanding dengannya?

Keadaan ini membuatku teringat dengan kejadian jembatan keledai itu.

Padahal aku hanya tokoh sampingan yang bahkan tidak mempunyai wajah apalagi nama, kenapa Lisa memberikan kesempatan satu-satunya pada orang sepertiku? Kenapa orang berharga sepertinya ....

Sekali lagi, kutatap nama Lisa yang tergurat di nisan. Memikirkan tentang Lisa tidak akan ada habisnya. Mencoba memahami Lisa tidak akan ada ujungnya. Tapi aku menyukainya, berpikir tentang Lisa.

Sekali lagi aku mengulas balik segala memoriku dengan Lisa, dan segala memori tentang Lisa yang hanya aku yang punya. Bagaimana dia selalu membuat ibunya berteriak, bagaimana dia selalu berbuat onar, bagaimana dia melakukan hal-hal yang hanya dia sendiri yang paham.

Sekali lagi aku mengulas balik segala ingatan yang terekam dengan baik. Rambut panjangnya, bibir pucatnya, senyum tidak ikhlasnya, tatapan bosannya, semuanya.

Sekali lagi aku mengulas balik tentangnya. Tentang Lisa Umbrella.

~|×|~

Vano menatap gadis yang berdiri di hadapannya dengan pandangan tak mengerti. Di bawah pohon mangga, berlindung di bawah teriknya matahari, tiba-tiba saja gadis itu datang dan menyerahkan sekumpulan kertas, menginterupsi Vano yang tengah mengerjakan perbaikan untuk pelajaran matematika.

Tangan terentang gadis itu terangkat pelan, seolah memberi kode pada Vano bahwa lengannya sudah pegal. Cepat-cepat Vano menerima kertas-kertas pemberian gadis itu.

"Apa ini?" tanya Vano sembari melihat-lihat angka-angka di atas kertas.

"Harta karun." Gadis itu menutup ritsleting tas sekolahnya yang berwarna pink, menyampirkan kembali dua tali tas itu ke dua bahunya yang mungil.

"Kalo kamu, pasti bisa ngerti sama isinya. Sia-sia banget kalo cuma aku yang tahu. Sayang banget anak-anak lain nggak ngerti. Bahkan Bu Guru ... apa salahnya aku ngerjain pake cara yang nggak dia ajarin," gerutu gadis itu, membuat Vano mengangkat wajah dari kertas dan menatapnya tak mengerti.

"Yah, pokoknya itu harta karun. Cuma orang-orang terpilih yang paham. Dan aku memilihmu."

Setelah mengatakannya, gadis berambut panjang itu berbalik dan pergi, meninggalkan Vano yang tetap tidak mengerti satu kata pun dari segala yang dia ucapkan.

~|×|~

Aku berdiri, menepuk-nepuk celanaku yang kotor. Kutatap layar ponsel cukup lama, sebelum kemudian dengan berat hati menghapus satu-satunya foto Lisa yang kupunya. Aku bukan stalker, dan aku tidak mau menjadi freak yang menyimpan foto orang lain yang sudah mati, dan orang itu bahkan tidak tahu siapa aku.

Berapa lama aku di depan pusara Lisa?

Tidak aneh jika teman-temanku percaya aku meratapi kepergiannya, tidak rela atas kematiannya.

Tapi sekali lagi, aku tidak begitu.

Apakah aku sedih? Tentu.

Apakah aku tidak rela? Aku sudah banyak kehilangan selama hidupku. Orang tua, kakak, teman-teman. Kepergian Lisa bukan hal yang baru.

Perasaanku atas kepergian Lisa sama sedihnya ketika kakakku meninggal dulu, gagal ginjal dan tetap meninggal meski aku sudah memberikan ginjalku. Perasaanku sama sedihnya ketika ayahku meninggal dalam kecelakaan dulu, padahal aku tetap hidup dan sehat wal afiat meski terlibat dalam kecelakaan yang sama. Perasaanku sama sedihnya ketika melihat zombie ibuku, tetapi tidak berdaya untuk menyelamatkannya.

Tetapi aku rela, sebagaimana aku merelakan keluargaku. Baik Lisa maupun keluargaku, aku ingin mereka beristirahat dengan tenang di dunia sana.

Lagipula, kurasa aku sudah menemukan jawabannya. Alasan kenapa Lisa memilih mati.

Bukan karena aku yang merupakan tokoh sampingan tanpa wajah apalagi nama, alasan itu ada pada diri Lisa sendiri. Karena dia berkesempatan mendapatkan kematian yang menenangkan. Mengingat bagaimana kami bertaruh hidup dan mati bersama sekumpulan zombie selama sebulan ini, kesempatan untuk mati dengan nyaman tentu terlalu menarik untuk dilewatkan.

Sekali lagi aku menatap pusara Lisa, kemudian melangkah pergi menuju teman-temanku yang menunggu di gerbang pemakaman.

So, rest in peace, Lisa.

[]

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro