04 🕷️ Treated by Machi Komacine

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Sebuah payung yang selalu Feitan bawa tidak benar-benar merupakan payung. Itu adalah benda kamuflase dari sebuah pedang. Feitan menarik gagang payung tersebut, mengeluarkan pedang berukuran panjang, tipis, dan kelihatan sangat tajam. Aku menelan ludah ketika setiap permohonan yang kulakukan sudah tidak lagi didengarkan. Pria yang berada dalam satu ruangan yang sama denganku ini hanya memandangku dengan tatapan datar. Mata sipitnya semakin menyipit saat sedang serius. Ia pun mulai mengangkat pedangnya ke atas, bersiap untuk mengayunkannya pada bagian leherku.

"Ara." Suara seorang wanita terdengar dari sudut ruangan kanan ruangan. Baik aku dan Feitan pun melirik ke sumber suara. Di ambang pintu, telah berdiri Pakunoda dalam posisi bersedekap. Ia menatap kami berdua dengan santai lantas kembali berkata, "Ini pertama kalinya siksaanmu memakan waktu lama, Feitan."

"Cih! Anak ini terlalu menyebalkan sampai membuang-buang waktuku." Feitan menjawab dan mendapatkan respons tawa kecil dari Pakunoda.

"Jadi, apa yang kau dapatkan setelah sekian lama menghabiskan waktu dengannya?" Pertanyaan Pakunoda sepertinya mengundang ketidaksukaan dari Feitan. Namun, lirikan tajam dari lelaki itu justru dilemparkan padaku padahal Pakunoda yang berkata demikian.

"Tidak ada," jawab Feitan dengan suara rendahnya yang khas.

"Setelah lama disiksa dan tidak mendapatkan informasi apa-apa?" Pakunoda bertanya.

"Ch." Feitan tidak menjawab dan hanya mengumpat. Aku tidak tahu bagian mana yang lucu dari interaksi singkat tersebut hingga untuk kedua kalinya Pakunoda kemudian tertawa. Feitan sepertinya semakin emosi mendapatkan respons demikian. Hingga ia pun kembali bersuara, "Apa yang kau tertawakan?"

Pakunoda tidak segera menanggapi pertanyaan Feitan, ia hanya berpindah posisi menjadi lebih dekat lalu berdiri tepat di hadapanku. Ia berdiri berdampingan bersama Feitan. Aksi lelaki di hadapanku ini pun terhenti akibat kehadiran Pakunoda. Baguslah, dengan begini setidaknya kematianku bisa ditunda atau kalau bisa tidak perlu mati sekalian.

"Aku ingin kau menghentikan penyiksaan ini," ujar Pakunoda yang membuatku membulatkan mata berbinar. Sedikit senyum pun terbit di wajahku. Seperti yang diharapkan dari seorang Pakunoda. Dewasa. Tentunya ia tidak akan tega jika anak-anak sepertiku dibunuh oleh Feitan. Hm, aku merasa sedikit berbangga.

"Beri aku alasan mengapa harus membiarkan manusia menyebalkan ini hidup." Feitan masih terus saja bersikap ketus.

"Perintah Danchou." Pakunoda menjawab.

Chrollo Lucilfer adalah pimpinan Genei Ryodan, sapaan mereka terhadapnya adalah Danchou yang berarti komandan. Sosok yang amat dihormati hingga perintah dan keinginan komandan adalah mutlak. Kiranya seperti itu. Bahkan, Feitan tak lagi beralasan atau berkata apapun lagi setelah Pakunoda memberikan jawaban demikian. Lantas, Feitan pun kembali menyarungkan pedangnya. Ia melirikku sekilas seakan memberikan tatapan malas.

"Lalu, apa yang akan kita lakukan terhadapnya? Genei Ryodan tidak mungkin memungut anak kecil sejenis ini, bukan?" Sebegitu tidak maunya kah Feitan terhadapku sampai ia terus memunculkan pertanyaan atau pernyataan yang merujuk pada membunuhku dan menolakku?

Sial sekali aku. Padahal di masa depan, Genei Ryodan akan menerima Kalluto yang masih berusia 9 tahun. Anggota Genei Ryodan yang lainnya juga pasti bergabung saat usia semuda diriku. Entah dendam pribadi jenis apa sampai Feitan benar-benar suka mengataiku.

"Danchou ingin memberikan kesempatan untuknya direkrut." Jawaban dari Pakunoda kembali membuatku tersenyum lebar. Seakan-akan rasa sakit di seluruh tubuhku memudar sebab kabar baik yang ia bawa.

Berbeda dengan Feitan yang justru memasang wajah sinis. Oh tidak, ia memang selalu memasang wajah sinis di setiap saat. Tetapi kali ini, raut wajah Feitan seakan tidak suka.

"Kau mengetahui sesuatu?" Feitan bertanya serius.

"Aku merasa janggal saat menyentuh gadis ini dan mendapatkan ingatannya. Memang benar bahwa ia menargetkan Genei Ryodan untuk menjadi anggota. Namun, yang membuatku kurang percaya akan hal itu karena aku melihat pertarungannya dengan Danchou dalam sebuah duel."

"Duel? Dengan Danchou?" Feitan tampak tidak percaya.

"Itulah mengapa sebelumnya aku berspekulasi bahwa ia menargetkan Genei Ryodan untuk memburu atau membunuh kami. Meski kelihatannya anak ini tidak berbahaya sama sekali." Pakunoda menanggapi.

"Oi, wajahku memang periang dan polos tetapi bukan berarti aku lemah dan tak berbahaya, ya. Aku bisa membunuhmu kalau aku mau." Aku ikut dalam obrolan mereka karena tidak ingin terus diremehkan atau disalahpahami.

Namun ternyata, ucapanku semakin disalahpahami oleh Feitan yang sekarang sudah mulai memegang gagang pedangnya lagi. Pria itu sepertinya sedang bersiap untuk mengeluarkan pedang dan mengambil ancang-ancang untuk melakukan tebasan kilat.

"Jadi kau mau membunuh kami, ya?" Feitan bertanya dengan tatapan mengintimidasi.

"Baiklah, lanjutkan obrolan kalian lagi. Aku tidak akan menginterupsi daripada salah lagi," jawabku pada akhirnya.

"Danchou tertarik bagaimana bisa ia memiliki ingatan duel dengannya padahal itu tidak pernah terjadi. Mungkin itu adalah kekuatan yang ia miliki." Pakunoda kembali menjelaskan.

"Apapun keputusan Danchou, anak ini harus mengikuti tradisi." Feitan berucap.

Aku mengerti dengan tradisi apa yang dimaksud olehnya. Perekrutan atau penerimaan orang lain sebagai anggota selalu dilakukan dengan mengisi kursi kosong. Jika tidak ada kursi kosong di Genei Ryodan, maka orang yang menjadi anggota harus membuat kursi itu kosong dengan melakukan duel hingga salah satu pihak kalah. Itu artinya tradisi yang dimaksud mereka adalah aku harus mengalahkan salah satu anggota Genei Ryodan untuk merebut nomor identitas mereka.

Kemudian, Feitan pun melepaskanku dari ikatan. Akhirnya aku bisa bernapas lega. Namun, rasa sakit yang diberikan Feitan tadi pun kembali bisa kurasakan. Apalagi luka-luka di kulit yang masih menganga lebar dan terus mengeluarkan darah segar. Meski sudah dilepaskan dan tidak akan disiksa lagi, aku tetap saja bisa mati jika dalam kondisi begini. Bagaimana mungkin aku melawan salah satu anggota Genei Ryodan dalam keadaan sudah terluka duluan?

"Wajahmu tampak cemas, anak kecil." Pakunoda berkomentar. Aku langsung mendongak menatap ke wajah wanita itu.

"O-Oh, tradisi menggantikan kursi anggota, itu kapan?" tanyaku.

"Sepertinya kau perlu perawatan terlebih dahulu agar bisa bertarung dalam kondisi prima." Benar. Aku tersenyum bangga untuk sekali lagi. Pakunoda benar-benar pengertian, senang rasanya wanita itu berada di pihakku atau setidaknya tahu apa yang kupikirkan dan mengerti akan hal itu.

Lantas, Pakunoda pun bergerak menggendongku seperti pengantin. Jujur saja ini memalukan hingga aku memberontak untuk turun. Tetapi, tenaga wanita ini sangat kuat hingga aku tetap berada di gendongannya. Mau bagaimanapun, tubuhku saat ini adalah tubuh anak kecil berusia 12 tahun. Tidak apa-apa jika aku digendong olehnya.

"T-Terima kasih, Tan–"

"Pakunoda." Wanita itu menunduk, tatapannya sekarang sama sinisnya seperti Feitan. "Jangan panggil aku Tante."

Ow, Pakunoda marah dengan panggilan itu. Aku hanya mengangguk sebagai jawaban. Kemudian, aku membiarkan Pakunoda membawaku ke sebuah ruangan yang lebih baik daripada ruang siksa. Di ruangan ini terdapat sebuah tempat tidur dan di sebelahnya ada meja yang diatasnya berisikan makanan.

Kata Deefy sebelumnya, penjahat sama saja penjahat. Meski perlakuan Pakunoda seperti ibu-ibu yang sedang menggendong anaknya, begitu sampai di ruangan ini, ia langsung melemparku ke atas kasur dan melenggang pergi begitu saja. Aku hanya bisa membulatkan mata. Namun, aku tidak sendirian. Ketika pintu sudah ditutup dari luar, di pojok ruangan sana tampak seorang gadis berdiri bersandar ke tembok. Gadis itu mengenakan baju seperti yukata putih berpadu warna ungu di ujung jahitan kainnya, lengkap dengan obi–sabuk kain–di pinggangnya. Rambutnya berwarna merah muda dan ia segera berjalan mendekat lalu duduk di pinggiran tempat tidur.

"Buka bajumu," perintahnya tiba-tiba.

"Ha? Kau mau apakan aku?" tanyaku.

"Menjahit lukamu dengan nen," jawabnya.

Setiap makhluk hidup di dunia Hunter X Hunter memiliki energi dalam diri mereka yang disebut dengan aura. Dan nen sendiri adalah kemampuan individu dalam mengendalikan dan memanipulasi aura tersebut.

Benar. Anggota Genei Ryodan yang bernama Machi Komacine ini memiliki kemampuan nen dalam bentuk benang yang bisa ia gunakan untuk menjahit luka sekaligus mengobatinya. Tidak sulit bagi gadis ini untuk menyembuhkan lukaku dalam waktu singkat. Dengan begitu, tidak perlu menunggu hari berganti untuk melakukan tradisi pergantian perekrutan anggota.

.
.
.

TBC~
Bab 04 : Rabu, 28 Juni 2023, 21:15 WIB.

.

A/N : Ada yang mau duel rebut nomor anggota, nih. Kira-kira ada yang bisa nebak gak siapa yang bakalan duel sama MC?

Sampai jumpa di bab berikutnya ~

Salam hangat,

🌹 Resti Queen.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro