16 - Nyusul Ale

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Ale duduk diam di atas balkon kamarnya, hari Minggu ini adalah minggu terburuk dalam hidupnya. Dia tak memiliki kegiatan lain selain berdiam diri di dalam kamarnya. Ia sangat ingin sekali menghubungi Gita, namun ia terlalu gengsi melakukannya.

Sudah empat hari ini Ale dan Gita tidak mengabari satu sama lain. Ini memang bukanlah pertengkaran pertengkaran pertama mereka, tapi ini merupakan pertengkaran terlama yang pernah mereka lalui.

Biasanya jika mereka bertengkar, Ale dan Gita selalu dengan lapang dada meminta maaf dan mengakui kesalahan mereka, namun kali ini tak ada satupun dari mereka mau melakukan hal tersebut.

Ale tentu saja merindukan kekasihnya itu, dia sampai rela melakukan stalking pada semua media sosial yang Gita punya, namun dia harus menelan pil pahit karna tak satupun dari sosial media dari gadis cantik itu yang update selama empat hari ini.

Ingin bertanya tentang kabar gadis itu pada Nino namun lagi-lagi Ale memikirkan bagaimana bodohnya dia meminta sahabatnya itu tak mengurusi kehidupan cintanya dengan Gita. Jika sudah seperti itu, bagaimana bisa Ale dengan tidak tahu malunya menanyakan kabar gadis itu pada Nino?

Ale menatap satu-satunya update-an Gita di Instagram empat hari yang lalu. Hanya sebuah gambar berwarna hitam dengan kata Stupid Assh*le sebagai caption. Di kolom komentar tentu saja terdapat beratus orang yang bertanya apakah gadis itu baik-baik saja, namun tak ada satupun yang ia balas.

Masalahnya dengan Gita dan Nino saja sudah membuat kepala lelaki itu pusing, ditambah lagi dengan masalahnya dengan Laras Jum’at kemarin. Kenapa akhir-akhir ini tak ada sesuatu yang berjalan sesuai dengan yang ia harapkan?

Ponsel Ale yang berada di meja sebelahnya bergetar dan menampilkan nama Rendi tamvan di layarnya, tentu saja bukan Ale yang menyimpan kontak tersebut. Ale mengangkat telpon Rendi dan menempelkan ponselnya ke telinganya.

“Hmm?”

Wih lemes amat, bro. Abis ngapain lo semalem?” tanya Rendi sambil tertawa tak jelas.

“Ada apa?”

Jalan yuk, bete nih gue gak ada kerjaan.

“Jalan aja sama pasangan homo lo.”

Lah kan pasangan homo gue itu lo, gimana sih?

Ale mendengus. “Ya udah ayo.”

Widih tumben gampang amat diajakinnya,” ucap Rendi takjub karna biasanya Ale susah untuk ia ajak keluar di weekend seperti hari ini karna alasan ingin melakukan face-time-date dengan pacarnya. “Oke, gue jemput sejam lagi yah, gue prepare dulu mau dandan yang ganteng jemput lo.

“Serah.”

See you later, honey. Dandan yang cantik yah,” ucap Rendi dengan nada yang dibuat-buat.

“Geli, anjir,” caci Ale lalu memutuskan sambungan.

Oke, setidaknya dia masih memiliki Rendi di sini, jadi dia tidak se-kesepian yang ia kira. Walaupun lelaki itu bisa dibilang lebih tidak normal dari Nino, namun Ale percaya lelaki itu juga akan mengerti dirinya.

*****

Sudah tiga hari ini Ale dan Laras saling berdiam diri tanpa komunikasi satu sama lain. Walaupun mereka duduk berdekatan, namun terasa sangat jauh sekali.

Rendi pun menyadari ada sesuatu yang terjadi antara temannya itu dengan Laras. Selain karna mereka yang tiba-tiba tidak menegur, sikap Ale yang menjadi pendiam pun menguatkan pemikiran Rendi. Rendi yang selalu menjadi penonton dari hubungan tidak jelas antara Ale dan Laras pun akhirnya menjadi penasaran.

Sudah Rendi putuskan, ia akan menanyakan langsung pada Ale hari ini juga. Dan kesempatan itu pun tiba. Istirahat jam kedua ini Rendi dan Ale pergi ke kantin untuk sekedar membeli minuman dan berbincang, walaupun yang terjadi sebenarnya hanyalah Rendi yang bicara panjang lebar sedangkan Ale terlalu fokus pada pikirannya sendiri.

“Le, lo kenapa sih? Akhir-akhir ini kayaknya lo lebih diem deh. Ada masalah, yah?” tanya Rendi yang tak mau menyia-nyiakan kesempatan.

“Gak pa-pa," jawab Ale dengan singkat.

“Gue tau lo lagi bohong. Cerita sama gue, lo lagi kenapa sama Laras ?"

"Udah gue bilang gak pa-pa.”

Rendi membetulkan posisi duduknya. “Gini yah, Le. Oke, gue emang belum ada setengah tahun kenal dan jadi temen lo, tapi gue cukup kenal sama sifat-sifat lo. Jadi jangan bohong lagi, kasih tau gue lo ada apa sama Laras?”

Ale menghela napas berat. “Cuma masalah kecil aja, lo gak usah khawatir.”

“Gimana gue gak khawatir kalo lo tiba-tiba aja jadi pendiem kayak gini. Just spit it out!”

“Gue beneran gak—“

“Oke kalo lo gak mau ngasih tau gue masalah lo sama Laras, gue ganti pertanyaan. Lo ada masalah apa sama cewek lo?”

Alis Ale bertaut menatap Rendi. “Maksud lo?

“Gue tau kalo masalah lo sekarang bukan cuma sama Laras aja, tapi sama cewek lo juga.”

“Lo tau dari mana?”

“Sadar gak sih lo kalo dari kemarin lo ngehindar kalo gue tanya atau ngomongin tentang cewek lo? Hp lo juga sekarang lebih sering lo anggurin padahal dulu setiap saat lo sms-an mulu sama doi.”

Memang Rendi juga menyadari ada hal yang aneh pada Ale akhir-akhir ini. Lelaki itu lebih banyak diam dan menatap kosong ponselnya dan juga setiap kali Rendi atau teman-temannya membicarakan tentang kekasihnya, Ale lebih sering mengganti topik pembicaraan secara tiba-tiba. Tentu saja siapapun dapat menarik kesimpulan kalau telah terjadi sesuatu antara Ale dan kekasihnya.

“Kan udah gue bilang, jangan terlalu deket sama Laras. Batu sih lo! Begini kan jadinya.”

“Lo gak tau apa-apa, Ren.”

“Ya jelas lah gue gak tau, karna lo gak pernah kasih tau gue!” ucap Rendi dengan suara yang semakin meninggi, membuat beberapa orang yang berada di kantin menoleh ke arah mereka. “Kadang gue mikir, lo nganggep gue temen lo apa nggak sih? Selama ini cuma gue yang cerita ke lo tentang semuanya, lo gak pernah ngelakuin hal yang sama ke gue, bahkan awalnya lo juga gak cerita ke gue tentang cewek lo, kan?!”

Rendi menghela napas, sepertinya dia akan mengeluarkan seluruh unek-uneknya pada Ale saat ini. “Oke, gue bisa ngerti kalo belum sepenuhnya bisa percaya sama gue. Tapi gue pengen lo tau, semua perhatian gue atau pertanyaan kepo gue ke lo bukan cuma sekedar buat ngilangin rasa penasaran gue doang, tapi gue emang pengen ngebantu lo.”

Ale menunduk, dia tidak menyangka kalau dia telah membuat Rendi merasakan hal seperti itu. “Sori, Ren. Gue gak ada maksud buat bikin lo ngerasa kayak gitu.”

Rendi mengangkat kedua bahunya. “Gue tau kok,”

Ale menatap Rendi. Mungkin hubungannya dengan Gita, Laras dan Nino saat ini sedang tidak bagus, dia tak ingin hubungannya dengan Rendi juga berakhir sepertitiga orang tersebut. Sepertinya Ale akan menceritakan semuanya pada Rendi.

*****

“Lo serius, Ta? Lo beneran mau ke Surabaya?” tanya Sandra sambil membulatkan kedua matanya menatap Gita di depannya.

Memang tadi Gita mengatakan sesuatu yang sangat tiba-tiba; gadis itu akan ke Surabaya untuk bertemu dengan Ale.

“Kita belum ada liburan kenaikan kelas loh, Ta. Lo mau bolos?” tanya Nino yang duduk di sebelah Sandra.

“Hari Kamis ini kan sekolah kita libur, gue bakal bolos hari Jum’atnya. So, it will be a long weekend.”

“Lo beneran serius?” tanya Sandra untuk kesekian kalinya.

Gita mengangguk. “Udah mau seminggu gue sama Ale diem-dieman gini. Kalo salah satu dari kita gak ada yang mau ngalah, bisa bener-bener udahan gue sama dia.”

“Kenapa harus lo yang ngalah?”

“Gue gak ngalah, gue cuma mau ngelurusin semuanya aja. Kali ini gue juga gak bakal minta maaf duluan kalo gue ngerasa gue gak salah.”

Nino terlihat sedang berpikir sejenak, apa keputusan Gita untuk menemui Ale adalah keputusan yang tepat? Kalau hal itu dapat membuat keduanya kembali seperti dulu lagi, dia pasti akan… “Gue ikut!”

Gita dan Sandra menoleh kaget ke arah Nino. “Gue sendiri aja, No. Lo gak per—“

“Gue mau ngeliat Ale, Ta. Lagian males gue hari Jum’at masuk, ada pelajaran Pak Kusir," jawab Nino. Pak Kusir adalah guru Bahasa Indonesia yang paling tidak disukai oleh Nino karna gaya belajarnya yang dapat membuatnya ngantuk, dan akibatnya nilainya di pelajaran Bahasa Ibu-nya itu menjadi turun.

“Kalo gitu gue juga ikut,” ujar Sandra. “Males gue sendirian masuk, mending gue ikut aja ke Surabaya sekalian holiday.”

Gita tersenyum. “Thanks yah kalian, beruntung deh punya temen kayak kalian.”

Anytime, Ta. Oh iya, nanti kita berangkatnya pake mobil gue aja yah, nanti biar Pak Rudi yang bawa.”

Gita dan Sandra hanya mengangguk. Tentu saja mereka setuju, itu artinya mereka hanya perlu duduk diam di dalam mobil sampai tiba di Surabaya tanpa perasaan was-was jika Nino yang mengendarai mobilnya karna gaya lelaki itu mengendarai mobilnya bak seorang pembalap itu dapat mengantarkan mereka ke liang kubur, bukannya Surabaya.

Tunggu aku sebentar yah, Le. Aku gak mau ada salah paham lagi sama kamu.

*****

TBC

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro