21 - Aftermath

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Sabtu sore seharusnya menjadi sore yang paling ramai di ibukota dengan pasangan-pasangan muda yang menghabiskan waktu mereka berjalan-jalan berdua bersama pasangan.

Namun beda halnya dengan yang dilakukan oleh Ale dan Nino. Kedua sahabat itu justru hanya menghabiskan waktu dengan berdiam diri di kamar Ale. Ale yang sibuk dengan bola baseball bertanda tangan pemain baseball favorit Papa-nya dan Nino yang sibuk memainkan gitar akustik milik Ale dengan tidak jelas.

Untuk Ale menghabiskan malam Minggu sendiri adalah hal yang wajar mengingat dirinya sekarang sudah melajang dan tak memiliki kekasih, namun untuk Nino yang memiliki kekasih hal itu lain cerita.

Nino memutuskan untuk membatalkan janjinya untuk jalan bersama Sandra yang juga disetujui oleh gadis itu karna Sandra juga tak bisa meninggalkan Gita sendiri setelah apa yang telah terjadi padanya kemarin.

Nino menggenjreng gitar akustik yang berada di pangkuannya dengan asal. "Lo serius udahan sama Gita nih, Le?"

Ale yang sedang berbaring di atas kasurnya sambil melempar bola baseball ke atas seketika terdiam mendengar pertanyaan Nino. "Hmm," sahut Ale singkat.

"Apa gak bisa diomongin baik-baik? Kayaknya kalian berdua tuh masih emosi dan butuh waktu buat mendinginkan kepala. Oke gue ngerti kalo lo mau break sama Gita, tapi kalo sampe putus kayak gini tuh berlebihan, Le."

"Kalo gue gak ngelakuin itu gue bakal terus-terusan nyakitin Gita."

"Le-"

"Gue juga bakal pindah ke Inggris."

Nino melotot mendengar pengakuan Ale. "Apa lo bilang?"

Ale bangkit dan merubah posisinya menjadi duduk di atas kasur ber-sprei hitam. "Pas liburan kenaikkan kelas tiga gue bakal pindah dan sekolah di Inggris."

Nino meletakkan gitar akustik milik Ale ke samping meja belajar. "Bentar -bentar. Kok tiba-tiba gini sih?"

"Kalo gue di Surabaya, gue bakal bikin Laras makin menderita karna gue."

Lagi-lagi Laras. Nino mendesah. "Sekali-kali pikirin diri lo sendiri dulu deh baru pikirin Laras -Laras itu. Gue bingung sama lo, dia yang udah bikin hubungan lo sama Gita rusak tapi lo masih aja peduli sama dia." Nino memicingkan kedua matanya dan menatap Ale curiga. "Jangan-jangan lo... suka sama dia?"

Ale menggeleng. "Gue gak tau, No. Gue gak ngerasain kalo gue suka sama dia, tapi pas dia cium gue... gue... gue akuin gue sempet goyah, No."

Nino mendekat dan duduk di samping Ale, dia menepuk pundak Ale. "Gue gak nyalahin lo karna lo sempet goyah. Gue ngerti kok emang berat buat lo jauh dari cewek lo sedangkan di sana banyak godaan. Justru gue bakal mikir lo gak normal kalo lo gak goyah."

Memang Nino tak bisa menyalahkan Ale karna dia sempat goyah karna gadis lain, itu adalah hal yang wajar untuk remaja seperti mereka merasakan hal-hal seperti itu.

"Tapi perasaan lo ke Gita sendiri gimana? Pas lo goyah karna ciuman itu, apa lo juga ngeraguin perasaan lo ke Gita?"

Dengan cepat Ale menggeleng. "Gak pernah sekalipun gue ngeraguin perasaan gue ke Gita, No. Walaupun emang gue sempet goyah karna ciuman itu, tapi gue tau, gue yakin... gue masih sayang banget sama Gita."

"Sekarang?"

Ale membenamkan wajahnya di kedua telapak tangannya. "Gak ada yang berubah sedikitpun, No. Gak akan."

Nino bisa merasakan getaran pada suara dan tubuh sahabatnya ini. Dia tahu, sangat tahu kalau di antara putusnya hubungan Ale dengan Gita, Ale lah orang yang paling menderita. Di samping dia akan terus menyalahkan dirinya sendiri karna kesedihan Gita, Ale juga bukanlah orang yang mudah berpindah ke lain hati seperti orang pada umumnya.

Nino yakin, Ale akan membutuhkan waktu yang sangat lama sampai bisa membuka hatinya untuk gadis lain. Atau mungkin tak akan bisa? Entahlah, hanya waktu yang akan menjawabnya kelak.

*****

3 Bulan Kemudian

"Ah, gak nyangka akhirnya liburan juga." Sandra melebarkan kedua tangannya ke samping, kedua matanya tertutup seakan memberi ucapan selamat datang kepada hari libur panjangnya.

"Seneng banget yah kayaknya mau diajak ke rumah mertua," sindir Gita di sampingnya.

Tahun ajaran memang sudah selesai, Gita, Sandra dan Nino baru saja selesai mengambil nilai rapor mereka di sekolah. Mulai dua minggu ke depan, mereka sudah resmi menjadi murid kelas tiga.

Selama liburan itu, Nino sudah berjanji akan mengajak Sandra untuk berkunjung ke rumah istirahat orang tuanya yang berada di kota Jember. Tentu saja Sandra dengan senang hati menerima ajakan itu.

"Gita! Git!"

Gita menoleh saat namanya dipanggil. Seorang lelaki bertubuh tegap dan tinggi sedang berlari ke arahnya. Sandra dan Nino membunyikan suara-suara aneh untuk meledek Gita.

"Cie cie ampe lari gitu nyusulnya, udah kayak film India aja nih," ucap Sandra menatap jail ke arah lelaki yang kini sudah berada di depan Gita.

"Tau nih, kan bisa nanti telpon trus ajakin Gita ketemuan bukannya malah lari-larian ke sini. Show off nih," tambah Nino.

Yang diledek justru hanya tertawa malu dan menggaruk belakang kepalanya. "Yah habisnya gue takut gak bisa ketemu sama Gita lagi ntar."

Sandra dan Nino membulatkan mata mendengar pengakuan tersebut, bukannya Gita namun justru mereka yang heboh sendiri dengan berpura-pura pingsan hingga memegangi dada seperti habis tertembak.

Nino menarik tangan Sandra. "Kak, kita balik duluan yah, lo anterin Gita. Have fun!" Nino menarik tangan Sandra yang masih mengeluarkan kata-kata godaan untuk kedua orang yang masih berdiri kaku tersebut.

"So, Git... malem ini ada acara gak?" tanya lelaki bermata coklat di hadapan Gita, Gilang.

Sehari setelah putusnya Gita dan Ale, Karya Bangsa International School memang sempat heboh oleh berita putusnya pasangan fenomenal tersebut. Dan tak jarang banyak lelaki yang dulu hanya bisa memendam rasa pada Gita dari jauh pun melancarkan aksi mereka, termasuk Gilang Cahyo Putra, kakak kelas Gita.

Gilang yang dulunya adalah kapten tim basekt dan mantan Ketua OSIS pun menjadi kandidat terkuat untuk menjadi pasangan Gita. Lelaki yang sudah dinyatakan lulus oleh sekolah sejak sebulan yang lalu itu sengaja datang ke sekolah dengan alasan ingin melihat kapten tim basket penggantinya, yang diyakini semua orang hanyalah alasan semata.

"Malam ini sih paling cuma makan malam sama Mama dan Papa aja, Kak. Kenapa?"

"Oh gitu, gak pa-pa. Tadinya gue pengen ngajak jalan lo, tapi kalo sibuk ya gak pa-pa."

"Kalo besok gimana, Kak? Ada film yang mau aku tonton juga. Itu juga kalo Kakak gak keberatan."

Mata Gilang langsung berbinar mendengar hal itu, seakan dia baru saja mendapat durian runtuh. "Serius? Wah, gue sih bisa aja kalo buat lo mah."

Gita tersenyum memandang mantan kakak kelasnya yang tak kalah tampan dari Ale itu. "Ya udah, nanti malam aku kabarin lagi yah, Kak. Sampai jumpa besok."

"Gak mau gue anterin?"

"Gak usah, Kak. Papa udah jemput di depan."

"Oh gitu, ya udah hati-hati yah. Sampai ketemu besok, Ta."

Gita melambaikan tangannya pada Gilang yang sekarang sudah membalikkan tubuhnya dan berlari sambil sesekali melompat dan meninju udara.

Seperti apa yang dikatakan oleh Sandra dan Nino, mungkin ini sudah waktu untuknya melangkah maju dan melupakan Ale. Tiga bulan hidup masih dalam bayang-bayang Ale memang bukanlah hal yang mudah untuk Gita, jika bukan karna Sandra, Nino dan Gilang yang selalu ada untuknya, Gita tak tahu apakah dia bisa menjalani harinya seceria ini.

Berbicara tentang Ale, kabar terakhir yang Gita dengar kalau lelaki itu sudah berada di Jakarta sejak tiga hari yang lalu. Gita juga sudah mendengar kabar tentang dirinya yang akan melanjutkan sekolahnya di Inggris.

Bukannya peduli atau apa, Gita hanya mencoba untuk terbiasa mendengar nama itu di sela-sela obrolannya bersama dengan Nino dan Sandra. Karna pasangan tersebut akan langsung memasang wajah yang merasa bersalah jika mereka secara tidak sengaja menyebut nama Ale di depan Gita, seakan mereka sudah mengucapkan kata sumpah serapah di depan orang tua mereka.

Gita tak bisa menyalahkan Sandra dan Nino akan luka yang terus terbuka setiap saat dia mendengar nama Ale disebut. Maka dari itu, Gita telah berjanji untuk melangkah maju dan meninggalkan semua kenangan pahit dirinya bersama Ale. Dia akan pastikan bahwa tidak semua hubungan yang putus harus berakhir dengan bermusuhan. Setidaknya Gita dan Ale harus menjadi contoh sebaliknya.

*****

Ale tengah duduk di atas balkon kamarnya di Jakarta. Sudah tiga hari sejak kepulangannya di Jakarta. Seminggu lagi dia akan berangkat ke Inggris untuk melanjutkan sekolahnya di sana. Jauh memang, tapi untuk kenyamanan semua orang dia harus melakukannya.

Ale jadi teringat kembali bagaimana perpisahannya dengan Rendi dan Laras empat hari yang lalu di Surabaya.

"Lo seriusan Le mau ninggalin gue?" tanya Rendi yang memasang wajah sedihnya setelah Ale mengatakan bahwa dia akan melanjutkan sekolahnya di Inggris.

"Iya, kan udah gue bilang. Lo juga liat bokap gue di ruang kepsek tadi."

"Om-Om bule ganteng itu? Iya gue liat, tapi gue masih gak percaya aja. Masa lo mau kehilangan sobat kayak gue sih?"

"Kan kata lo nyokap lo mau balikin lo ke Jakarta lagi abis lo lulus, nah nanti di Jakarta kita ketemu lagi," ucap Ale yang masih mencoba menenangkan Rendi.

"Tapi tetep aja harus nunggu setahun. Nunggu itu tuh sesuatu yang bikin menderita, tau gak? Capek gue nunggu mulu."

Ale menoyor kepala Rendi ke belakang. "Lebay lo kayak disuruh nunggu buat dikawinin aja."

Rendi mendesah. "Kalo lo pindah, gue gak punya temen yang lebih ganteng dari gue deh. Bisa capek gue ngurusin cewek-cewek yang bakal ngejar gue lagi, belum lagi anak-anak baru." Rendi memijat dahinya seakan dia sedang pusing memikirkan soal olimpiade.

"Yee, inget Shinta! Mau dibuang lo sama cewek lo?"

"Wuih jangan gitu dong, coy. Susah tuh dapetinnya," jawab Rendi dengan segera.

Sebulan yang lalu, Ale memang sudah menolak Shinta secara terang-terangan dan itu sempat membuat gadis itu murung dan tak mau menegur Ale selama seminggu. Untungnya Rendi selalu ada di samping gadis itu dan menghiburnya dengan candaannya yang garing hingga perlahan Shinta mulai membuka hatinya untuk Rendi dan mereka menjadi pasangan fenomenal di SMA Tunas Pemuda.

"Ale, sudah?"

Seorang pria paruh baya yang tampan berdiri di samping Ale. Rendi menyalami tangan Papa dari sobatnya itu. Untuk ukuran seorang pria di atas umur empat puluhan, Papa Ale sangatlah tampan dan gagah.

"Iya, Pa." Ale dan Rendi melakukan salaman khas mereka. "Nanti malem gue jemput ke rumah lo, kita party buat yang terakhir."

"Kok sedih yah gue lo bilang yang terakhir." Rendi memajukan bibirnya seakan ingin menangis.

Ale dan Rob tertawa melihat tingkah Rendi, Ale lalu menendang paha Rendi. "Gue duluan yah." Ale mengangkat tangan kanannya sebelum akhirnya mengikuti langkah Papa nya.

Di jalan, Ale melihat Laras yang sedang menatapnya dari pinggir lapangan. Dia hampir melupakan gadis itu. Hubungan Ale dan Laras selama tiga bulan ini memang tidak bisa dibilang baik, Ale harus berganti tempat duduk dengan teman sebangku Rendi dan tidak berbicara dengan Laras selama itu untuk menghindari bully-an yang mungkin akan Laras terima karnanya.

"Pa, I have something to do. You can go first."

"Oke, take your time," ucap Rob yang lalu masuk ke dalam mobil berwarna hitamnya.

Ale berjalan mendekati Laras. Gadis itu kini hanya berdiri kaku dan tahu harus melakukan apa. Sepertinya sudah lama sekali sejak terakhir kali dia dan Ale berhadapan seperti ini.

"Hai," sapa Ale saat sudah berada di hadapan Laras.

"A -Ale, maaf yah. Gara-gara aku-"

"Sifat minta maaf lo ternyata belum berubah yah," potong Ale. "Gue pindah bukan karna lo, dan gue putus sama cewek gue juga bukan karna lo. Jadi mending lo berhenti minta maaf buat hal yang gak lo perbuat deh."

"Tapi aku-"

"Ras, gue pengen ngomong sesuatu ke lo deh."

Laras terdiam. Sepertinya dia tahu akan arah pembicaraan ini. Pembicaraan yang sudah sempat tertunda selama tiga bulan lamanya. Sepertinya dia akan menerima sebuah penolakan seperti yang Shinta terima.

"Gue mau jujur sama lo, masalah tentang di UGD waktu itu..." Ale melakukan jeda sedikit dan menarik napas panjang. "Jujur gue sempet goyah karna ciuman lo."

Kedua mata Laras membulat, dia tak pernah menyangka dapat mendengar sesuatau seperti ini. Bahkan dirinya tak pernah ingin berharap dapat mendengarnya dari mulut seorang Ale.

"Ka -kamu..."

"Tapi gue sadar, itu bukan karna gue suka sama lo, Ras. Gue cuma bingung sesaat aja. Karna lo cewek pertama yang nyentuh gue kayak gitu selain Gita, makanya jelas kalo gue ngerasa goyah karna cowok lain pun bakal ngerasain hal yang sama."

Pupus sudah angan Laras yang tadi sempat melayang tinggi. Ini adalah penolakan secara tidak langsung. Harusnya Laras tahu, dia memang tidak akan punya tempat di hati Ale sampai kapan pun.

"Gue pergi dulu yah, Ras. Lo jaga diri, jangan biarin Shinta atau yang lain nindas lo lagi!" ujar Ale sambil tersenyum manis pada Laras.

Ale sudah berbalik dan melangkah pergi saat Laras menahan tangan kirinya. "Kamu juga jaga diri, Le. Dan..." Laras menelan ludahnya. "Sampein maaf aku ke Gita. Aku berharap kalian balik lagi kayak dulu. Kalian berdua cocok."

Ale terdiam, kenapa rasanya sangat menyakitkan mendengar hal itu? Ale tersenyum lembut pada Laras dan mulai melangkahkan kakinya meninggalkan gadis berkuncir kuda itu.

Laras hanya dapat memandangi punggung Ale yang sudah masuk ke dalam mobil mewah berwarna hitam. Sampai mobil tersebut hilang di depan gerbang, Laras masih berdiri diam di tempatnya.

"Selamat jalan, Le. Selamat jalan, cinta pertamaku."

*****

TBC

TWO CHAPTERS TO GO 😂

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro