❬ 4 ❭ Sweeter Than Ice Cream

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Sejak sepakat untuk bekerja sama dalam proyek pembukaan cabang bistro, Zanna hampir setiap hari bertemu dengan Lino. Bahkan telepon dan pesan dari pemuda itu tak pernah absen untuk menjadi salah satu notifikasi di ponselnya. Membuat Miska mengheboh. Mengatakan bahwa kali ini sepasang anak manusia tersebut akan berakhir bersama. Padahal menurut Zanna, hubungannya dengan Lino tak lebih dari sebuah kooperasi.

"Mbak Za, hiasannya udah kelar semua. Pita yang buat dipotong juga udah dipasang," lapor Indah, salah satu karyawan Zanna.

Zanna yang sedang mengotak-atik tabletnya di meja resepsionis berbalik. Mengakibatkan rambut coklat keabu-abuannya terkibas mengikuti gerakan yang ia buat. "Taplak-taplak yang tadi jatuh juga udah rapi?"

"Iya, Mbak. Tadi udah diletakin vas bunga di atasnya. Jadi, nggak licin lagi," jelas Indah menggebu-gebu. Ia sangat penuh semangat. "Pokoknya semua udah beres."

Demi memastikan kebenaran dari ucapan gadis itu, Zanna menyisir pandang ke seluruh penjuru bistro milik Lino. "Oke, besok kamu sama yang lain datang ke sini sehabis zuhur, ya. Jangan ke kantor lagi. Nanti saya nyusul, soalnya saya ada urusan jam segitu."

"Siap, Mbak!"

"Kamu sama yang lain boleh pulang sekarang."

"Oke. Kalau gitu saya permisi dulu, Mbak─" Indah memiringkan kepala demi menatap seorang laki-laki yang berada di sisi lain meja resepsionis, tepat berseberangan dengan posisi Zanna, "─Mas Lino."

"Hati-hati, In." Lino melengkungkan bibirnya dengan penuh ramah-tamah. Kemudian, setelah Indah beranjak diikuti karyawan Zanna lainnya, pemuda itu menoleh ke arah si gadis. "Itu anak semangatnya tinggi, ya. Nurut banget lagi sama lo."

"Iya," sambut Zanna singkat. Mata dan tangannya kembali fokus pada sesuatu di permukaan layar tablet. Ekspresinya tenang dan datar. Menandakan bahwa ia sedang berada di tengah-tengah keseriusan.

"Mereka udah pada pulang tuh." Lino menarik botol minumnya. Lantas menempelkan dagu di atas benda tabung tersebut. "Lo nggak mau pulang juga?"

Kepala Zanna terangkat. Pandangannya mengarah lurus ke arah Lino yang juga menatapnya. Lalu, dalam sepersekian detik, dara itu meletakkan tablet dan membereskan barang-barangnya. "Ini mau pulang."

Kelopak mata Lino melebar. Dagunya berpisah dengan tutup botol setelah ia menegapkan tubuh. "Eh? Maksud gue, kalau lo masih mau di sini, ya, nggak pa-pa gitu. Entar gue temenin."

"Nggak usah. Gue mau pulang," balas Zanna tetap sibuk dengan kegiatan kemas-kemasnya. "Mau istirahat. Besok pasti sibuk banget."

"Oh, oke ...." Bahu Lino sedikit merosot. Netranya berkelip beberapa kali sebelum bertanya, "Mau gue anter, nggak?"

"Gue bawa mobil, kalau lo lupa." Zanna menunjuk kendaraannya yang terpakir di luar bistro dengan gerakan kepala.

Napas Lino terembus pelan. "Oh, iya. Gue lupa."

Tak ada tanggapan lagi dari Zanna. Kali ini dara itu benar-benar berfokus pada aktivitasnya. Menyebabkan keheningan tercipta di antara mereka. Akan tetapi, masih tidak membuat Lino mengalihkan arah matanya. Setiap gerak-gerik yang Zanna lakukan tak bolos dari penangkapan indra penglihatan laki-laki tersebut.

"Lo nggak pulang juga?" Zanna membuka suara setelah selesai berberes. Tatapannya terangkat, jatuh pada Lino yang masih memerhatikannya. Mengakibatkan pemuda itu sontak salah tingkat karena merasa tertangkap basah.

"Sebentar lagi." Lino menggaruk-garuk lengannya dengan kikuk. Ia cengar-cengir seraya menambah, "Beberapa karyawan gue masih ada di belakang soalnya."

"Oh, ya, udah."

"Hati-hati, ya, Na."

"Iya." Zanna mencangklong tas ke bahunya. "Lo juga hati-hati nanti."

"Pastilah. Besok, 'kan, mau ketemu lo lagi," sahut Lino cepat. Bahkan ia sendiri terkejut mendengar kalimatnya.

Alis Zanna bertaut. "Maksudnya?"

"Eh ..., er, ya, ketemu lo lagi." Peringis Lino kembali. Menjadikannya tampak kian konyol. "Lo, kan, EO-nya acara gue. Nggak mungkin dong lo nggak dateng."

"Oh, gitu."

❬✧✧✧❭

Pekerjaan Zanna yang merupakan penyelenggara acara dan kepribadiannya memang sangat bertolak belakang. Gadis itu amat tak suka berada di dalam kerumunan. Ia bahkan rela mempertaruhkan jatah camilan favoritnya hanya untuk menyendiri. Akan tetapi, melihat koneksi kedekatan di antara orang-orang adalah salah satu hobinya. Seolah kehangatan yang terjalin di interaksi mereka turut mengenyangkan sesuatu yang kosong di dalam diri perempuan tersebut. Oleh karena itu, ia memilih profesi ini─demi menikmati segala afeksi yang terpancar dari klien dan para tamunya.

"Waalaikumssalam," koor Zanna dan seluruh tamu usai Lino menyelesaikan pidato penutupan acara.

Bersamaan dengan para relasi Lino yang satu per satu mengeluari bistro, Zanna menemui karyawan-karyawannya yang bertugas hari ini.

Senyum Zanna terlempar pada seluruh pekerjanya. "Good job, Guys."

"Makasih, Mbak Za," balas Indah, mewakili yang lain. "Kali ini juga berkat kerja keras Mbak. Kalau nggak ada Mbak, pasti kita bakal keteteran."

Bibir Zanna terbuka makin lebar. Menyebabkan jejeran gigi rapinya kian tereksistensi. "Kalian sekarang boleh pulang. Maaf, ya, saya nggak bisa ajak makan-makan kayak biasa. Saya masih ada urusan di sini."

"Iya, Mbak. Nggak pa-pa."

Selepas karyawan-karyawannya pergi, Zanna kembali menandangi meja yang sejak tadi ia duduki. Namun, ketika tersisa lima langkah yang harus dara itu tempuh, kursinya ditarik oleh Rieke. Hal tersebut membuat Zanna menghentikan langkah. Mencoba berbalik arah untuk mencari tempat lain sebelum Miska merebut bangkunya lagi.

"Ini kursi Zanna!" protes Miska dengan wajah tidak bersahabat.

"Tapi, dia lagi nggak ada di sini," sahut Rieke tak kalah ketus. Wajahnya turut memancarkan mimik yang sama.

"Sebentar lagi dia balik. Dia lagi ngurusin karyawannya."

Tangan Rieke meraih sandaran kursi. Lantas menariknya dari kuasa Miska. "Ya, udah kalau gitu gue duduk di sini sebentar."

"Nggak, ya!" hardik Miska yang kontan berdiri. Ia tak terima dan mengambil kembali posisi Zanna secepat Rieke merebutnya.

"Udah, jangan ribut. Cuma kursi doang kok," lerai Aji. Pemuda itu menyentuh lengan pacarnya. Berupaya mencegah segala kemungkinan buruk yang tercipta.

"Iya, Mis," timpal Zanna sembari mengikis jarak yang tersisa.  "Nggak pa-pa kok."

"Nggak. Gue nggak mau tuh Medusa duduk di sebelah gue." Miska masih kukuh. Dengan cepat, ia menarik Zanna dan mendudukkan sahabatnya itu di tempat semula. Lalu memandang Rieke dengan sorot penuh kemenangan. "Nah, Zanna udah balik. Jadi, pergi sana."

"Ada apa nih?" tanya Lino─baru selesai mengurus tamu-tamu yang pamit─bingung. Netranya membagi pandangan pada Zanna, Miska, dan Rieke.

"Tau tuh Miska sama Rieke ributin kursi," celetuk Bisma sambil melahap makanan-makanan yang tersisa di meja. "Ambil kursi lain ngapa dah? Masih banyak juga."

"Males. Mau pulang aja." Hidung Rieke mendengus keras. Tangannya terlipat di depan dada saat memiringkan posisi untuk menghadap Lino. "Gue pulang dulu, No."

Kepala Lino bergerak naik-turun. "Iya, Ke. Hati-hati, ya. Makasih udah dateng."

"Dari tadi kek pulangnya. Malah ke sini dulu. Cih," celoteh Miska selepas Rieke hilang dari hadapan kelimanya.

Lino menghala napas kala menggeleng-geleng keheranan. "Dari dulu nggak akur-akur, ya, kalian."

"Ya, dia nyebelin, No."

"Baik aja tuh sama gue," sahut Lino sembari menempatkan diri di kursinya yang kebetulan tepat di sebelah Zanna. Entah kenapa posisi mereka sekarang benar-benar persis seperti di reuni tempo lalu.

"Ya, iyalah, lo sama dia, kan, temenan dari orok!" kesal Miska. Jari-jari lentiknya meraih bekas tisu yang ia pakai. Lantas melemparkan benda berwarna putih itu ke arah Lino yang untung saja cepat mengelak. "Terus dia juga pernah naksir sama lo, kan? Wajar dong."

"Sama gue juga baik tuh. Asyik aja," timbrung Bisma dengan mulut penuh makanan. Laki-laki satu itu masih sibuk dengan dunia sendiri kendati indra pendengarannya bekerja sangat baik.

"Iya, sama kalian emang pada baik, tapi sama temen gue nggak!"

Atensi Bisma terusik mendengar setiap kata Miska yang berapi-api. Tatapannya teralih dari makanan. "Hah? Siapa?"

"Ya, Zanna."

"Mis ...," desis Zanna dengan ekspresi tidak enak, sekaligus menenangkan amarah Miska yang sepertinya sedang membara.

"Gue masih inget, ya, apa yang dia lakuin ke Zanna dulu."

Zanna melilitkan tangan ke lengan Miska. Lantas menariknya lembut. "Mis, pulang, yuk."

"Eh?" Mata Miska tiba-tiba membola. Mimik marahnya tergantikan dengan keterkejutan. "Ya, ampun, Za, gue lupa bilang ke lo."

Tubuh Zanna membeku. Sinyalnya memprediksi bahwa ia akan menerima berita buruk. "Kenapa?"

"Tadi gue dateng sama Aji pake satu mobil ...." Miska menunduk. Bibir merah mudanya digigit-gigit kecil. "Dan ... gue mau ke rumah Aji dulu. Soalnya disuruh dateng sama camer."

Wajah datar Zanna yang sempat tegang sekarang menunjukkan luapan rengutan berkat ucapan Miska. Membuat tiga laki-laki yang semeja dengan mereka memfokuskan perhatian pada gadis itu, sebab menganggap momen ini adalah hal yang begitu langka. "Lho? Terus gue gimana? Masa jadi obat nyamuk?"

"Lo ... pulang sendiri aja, ya?"

"Mana bisa gitu?" Kerutan di dahi Zanna mendalam. Tak habis pikir dengan keputusan mendadak Miska. Padahal tadi siang sahabatnya itu yang membuat janji untuk pulang bersama, karena ia lelah membawa kendaraan, sehingga Zanna memutuskan untuk datang ke bistro Lino menggunakan taksi. "Gue nggak bawa mobil, Mis. Lo, 'kan, yang nyuruh gue begitu."

Miska mencebikkan bibir. Merasa begitu bersalah. "Nah, itu. Gue lupa gue bilang ke lo kayak gitu, Za."

"Tapi jam segini susah sih kalau nyari taksi." Aji mengerling ke arloji yang ia pakai. Kemudian, menatap Zanna. "Kalau lo mau, ikut aja, Za."

"Ogah, ah."

"Pulang sama gu─"

"Sama gue aja," sergah Lino memotong ujaran Bisma. "Biar gue yang anter lo pulang, Na."

Bisma berdeham sembari menahan senyuman. "Oke, siap. Ngerti banget gue mah."

❬✧✧✧❭

Setelah berunding selama beberapa menit karena kesalahan Miska, akhirnya Zanna benar-benar diputuskan pulang dengan Lino. Kini gadis itu tengah duduk diam di kursi sebelah pengemudi. Pandangannya mengarah lurus ke luar jendela. Memerhatikan pasar malam yang terbentang luas di seberang jalan. Lampu-lampu warna-warni nan terang ditambah keramaian orang membuat tempat itu tampak begitu meriah. Menghangatkan hati Zanna yang sekarang berperan sebagai penonton.

Tanpa terasa seulas senyum tipis mengembang di wajah dara itu. Kepalanya memutar balik kilasan masa lalu: di mana semua masih baik-baik saja, di mana segala hal masih berdiri kukuh di tempatnya, dan di mana seorang Zanna Iswara yang kelam belum tercipta.

"Lo mau ke sana?"

Zanna terjenggut dari lamunannya. Ia menoleh ke samping, tempat Lino yang sedang menyetir berada. "Hah?"

"Pasar malam." Lino melirik sekilas arah tatapan Zanna tadi. "Mau ke sana?"

Kepala Zanna menggeleng canggung. "Ng-nggak kok."

"Kalau mau ke sana nggak pa-pa kali. Gue temenin."

Zanna menggerakkan kepalanya ke kanan dan kiri sekali lagi. Namun, kali ini dengan aksi yang mantap. "Nggak kok. Gue mau pulang."

"Serius? Tapi dari tadi lo lihatin mulu." Lino memelankan laju mobilnya. "Gue ada temen tuh yang bukan stan es krim nitrogen di sana. Esnya banyak varian rasa, termasuk kopi. Gue udah coba. Mantap banget, Na."

Segelintir binar menghiasi mata Zanna perlahan. Ucapan Kino berhasil memikat interesnya. "Beneran?"

Bibir Lino melengkung sempurna. "Iya. Mau ke sana?"

Alih-alih menjawab, Zanna malah bergeming. Ia sedikit menunduk. Menimang-nimang ajakan yang mungkin akan disesalinya jika menolak.

"Oke, kita ke sana," putus Lino.

Zanna menengadah dengan wajah terperangah. "Emangnya lo nggak capek?"

Kurva tanda kebahagiaan Lino kian melebar. Bahkan mengakibatkan matanya hampir menyipit. "Nggak kok. Santai."

Tak ada pembicaraan lagi setelah itu. Zanna tetap diam pada posisinya dengan harapan besar mengenai es krim yang sebentar lagi akan ia santap, sedangkan Lino tersenyum-senyum karena kembali berhasil jalan dengan Zanna tanpa alasan pekerjaan.

Sesampainya di tempat tujuan, Lino harus kesusahan selama beberapa menit untuk mencari ruang kosong demi memarkir kendaraannya. Setelah bergelut dengan itu, barulah keduanya melangkah beriringan menuju stan milik teman pemuda tersebut. Ternyata tak butuh waktu lama untuk menemukannya sebab stan itu berada di bagian depan dari pasar malam.

"No," panggil Zanna pelan sebelum Lino memesan.

Lino yang berbincang kecil dengan temannya, si pemilik stan, menoleh. "Iya?"

"Es krimnya bisa dibungkus, nggak, sih?"

"Lah?" Mulut Lino susah payah menahan tawa. "Nggak bisa, Na."

Zanna menghela napas jengah. Menyadari bahwa pertanyaan yang dilontarkannya betul-betul konyol. "Oh ..., gitu, ya."

Raut Lino melembut mengetahui ketidaknyamanan Zanna. Ia berdeham sebentar, lalu bertanya, "Kenapa emangnya?"

"Nggak pa-pa."

"Males karena rame, ya?" tebak Lino telak, dari dulu ia selalu ingat beberapa hal yang tidak disukai Zanna. Akan tetapi, sebelum si gadis sempat menyahut, laki-laki itu lebih dulu menimpali, "Santai aja. Gue di sini."

Lagi-lagi Zanna bungkam. Tidak mengeluarkan respons dengan isyarat ataupun verbal.

"Gue pesen dulu, ya. Rasa kopi, kan?"

"Iya."

"Lo cari aja tempat duduk duluan."

Zanna mengangguk patuh. Ia memilih tempat duduk paling belakang dari tiga meja yang disediakan. Untuk menghilangkan ketidaknyamanannya, dara tersebut memutuskan untuk mengotak-atik ponsel sambil menunggu Lino.

"Nih." Lino meletakkan seporsi es krim di depan Zanna.

Melihat makanan dingin yang dikepuli asap-asap dari nitrogen, mata Zanna tak mampu menahan pancaran rasa terkesimanya. Dengan gerakan yang semangat, ia mengambil satu sendok bersama segaris senyum penuh.

"Sering-sering senyum kayak gitu dong, Na. Kan, manis lihatnya," ujar Lino yang sedari tadi menyaksikan setiap gelagat Zanna.

Wajah gembira Zanna kontan berubah datar. Ia menoleh ke arah Lino dengan dahi berkerut. "Kenapa sih lo selalu penggal nama gue jadi Na? Padahal yang lain menggalnya jadi Za," kata perempuan itu, mengalihkan topik.

Lino mengulas sebuah senyum, jenis kurvaan geli dan malu-malu yang juga sedikit mengandung kemanisan seperti es krim di hadapan mereka. "Karena yang lain pakai Za, makanya gue pilih Na. Biar beda, biar kedengeran spesial gitu."

Untuk kesekian kalinya pada malam ini, tak ada sama sekali respons yang Zanna berikan. Bahkan mimiknya berubah sedatar jalanan yang kaki mereka tapaki. Gadis itu sama sekali tidak terpengaruh dengan ucapan yang mengandung modus desideratif tersebut.

Lino meringis pelan. Tahu bahwa kalimatnya tak akan melahirkan efek berarti untuk Zanna, perempuan dingin dan datar yang entah kenapa bisa membuatnya tergila-gila sampai sekarang. Namun, tanpa putus asa, pemuda itu melanjutkan, "Biar mirip juga sama penggalan nama gue. Jadi, No sama Na. Lucu, kan? Cocok untuk jadi nama anak nanti."

"Anak kucing?"

Kekehan Lino mengudara. "Jodoh tuh biasa banyak kesamaannya, lho, Na."

"Terus?"

"Penggalan nama kita, kan, mirip. Siapa tahu jodoh."

Hidung Zanna mendengus pelan kala tangannya menyendok satu suapan lagi. "Kalau emang nemuin jodoh semudah itu nggak banyak orang yang pisah ..., 'kan?"

"Iya." Lino menganggut-anggut setuju. Kemudian, ikut melahap es krimnya. "Dan menurut gue, sebenernya bakal beneran bisa mudah kalau orang-orang itu mau lebih sabar untuk ngecocokin diri lagi."

"Tapi nyatanya cuma beberapa orang yang bisa sabar karena sifat alami manusia itu egois."

"Iya, memang. Semua manusia pasti punya sisi egois, termasuk gue dan lo. Cuma yang ngebedainnya seberapa besar kadar egois kita," sahut Lino mantap. Membuat Zanna membeku dengan tatapan yang menerawang ke permukaan meja. "Manusia itu kodratnya makhluk sosial, 'kan? Nggak bisa hidup tanpa orang lain. Jadi, menurut gue, entah egois gimanapun, ya, nggak pa-pa kalau punya hubungan. Toh demi kebaikan dan masa depan. Udah tua nanti, siapa yang mau ngurus kalau bukan anak? Nah, balik ke diri kita sendiri juga, 'kan."

❬✧✧✧❭

"Perasaan lo jalan duluan deh. Kok baru balik sekarang?"

Pertanyaan itu dilontarkan oleh Miska. Gadis semampai tersebut sudah menggunakan pakaian yang berbeda dari acara pembukaan cabang bistro tadi. Rambutnya pun tampak basah. Sepertinya baru selesai mandi.

Zanna melepaskan sepatu dan meletakkannya di rak. "Tadi ke pasar malam dulu."

"Sama Lino?"

"Siapa lagi?" Zanna melirik Miska sekilas. Kakinya berjalan menuju kamar.

Dengan langkah mengejar, Miska membuntuti sahabatnya. "Ngapain tuh?"

"Makan es krim."

"Wih." Miska bertepuk tangan heboh. "Kayaknya udah ada per─"

Gerakan Zanna berhenti. Ia cepat-cepat memotong, "Camer lo kenapa nyuruh datang?"

"Oh, itu." Keriuhan Miska bertambah. Ia tampak lebih bersemangat daripada mendengar berita dari Zanna. "Nanyain kapan gue sama Aji bakal ngadain acara tunangan. Soalnya, 'kan, beberapa bulan lalu Aji udah ngasih gue cincin."

"Terus?"

"Tadi gue nelepon Bokap-Nyokap sih, mereka bilang siap kapan aja kalau ortu Aji mau dateng. Ya, udah, akhirnya diputusin seminggu lagi keluarga kami bakal ketemuan untuk pinangan," jelas Miska penuh antusias. Matanya berbinar. Menunjukkan sebidang kesenangan tak terkira.

"Lo udah beneran siap?"

"Siap apa? Nikah? Siap dong!"

Napas Zanna terhela. Ia menatap Miska dalam-dalam untuk beberapa detik. Lalu menaikkan tangan. Memberi tepukan pada sahabatnya itu sebagai tanda ucapan selamat.

Bibir Miska melengkung. Jari-jemarinya menyentuh pelan tangan Zanna. "Lo juga harus nyiapin diri lo secepatnya, ya, Na. Gue mau nanti anak-anak kita juga sohiban kayak kita."

❬TBC❭

Hai, Wattpaders!

Balik lagi sama tim Bare Bears! Gimana kalian hari Rabu ini? Masih semangat? Masih nungguin LPD, kan?

Harus semangat dan harus nungguin LPD, ya! Kami maksa pokoknya. Hihihihi.

Sampai ketemu di pekan selanjutnya! ✨

Salam kreativitas tanpa batas,
We Bare Bears: MaaLjs, Tiuplylyn dan RGNyamm.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro