❬ 6 ❭ Darkling Hole

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Gue masih ada rasa sama lo, Na. Bisa, nggak, lo kasih gue kesempatan kali ini?"

Meja di bawah tangannya seolah mempunyai aliran listrik, menyengat kulit cerah Zanna hingga membuat gadis itu terperanjat dengan wajah tegang. Meski sebenarnya efek asli dari itu semua adalah deretan kata yang keluar dari mulut Lino.

Zanna bergeming. Matanya mengarah lurus pada wajah Lino yang harap-harap cemas menanti jawabannya. Kejadian ini persis seperti dulu, ketika Lino menyatakan perasaannya di kantin dengan disaksikan hampir seluruh warga sekolah; momen di mana detik-detik dunia SMA-nya luluh lantak tak terkira.

"Dari pembicaraan kita di pasar malam waktu itu, gue ngerti kalau lo ragu buat berhubungan, tapi gue mohon, Na, kasih gue kesempatan." Lino menelan salivanya. Oksigen di sekitar mereka, ia hirup dalam-dalam sebelum melanjutkan, "Gue janji, gue akan ngelakuin yang terbaik buat lo. Gue bakal berusaha ngehilangin setiap keraguan lo."

Alis Zanna menukik dalam. Wajah gadis itu mulai memerah. Netranya memutuskan tautan tatapan mereka. Mencoba untuk menahan sesuatu yang menghantamnya seperti kejadian dulu, kendati suasana sekarang benar-benar berbeda; hanya mereka, orang lain sibuk dengan kegiatan masing-masing.

"Na ...."

"Nggak." Zanna menunduk. Gusarnya karena dikerjai─untuk menerobos lalu lintas yang macet karena alasan tak masuk akal─tergantikan dengan sesak, seolah turut merasakan kepedihan yang akan Lino rasakan setelah ini. "Maaf, No. Jawaban gue tetap sama kayak yang dulu; gue nggak bisa."

❬✧✧✧❭

Aji menghela napas dalam-dalam, sedangkan Bisma mengeluarkan kesenduan alih-alih jahil─seperti biasa─dari indra penglihatannya. Dua laki-laki itu dipanggil Lino untuk datang ke apartemen. Bermaksud menghibur hatinya yang sudah dua kali dipatahkan oleh orang yang sama.

"Zanna tuh batu kali, ya?" Bisma menyandarkan bahu di sofa. "Maksud gue, kenapa gitu nggak terima aja si Lino. Terus, ya, udah, putusin kalau emang dia nggak nyaman, 'kan?"

Mata Aji mendelik mendengar penuturan Bisma. "Itu mah artinya dia mainin Lino. Lebih parah lagi dong."

"Iya, sih." Bisma melipat tangan di depan dada. Dahinya berkerut-kerut karena berpikir. "Ya, udah, sih, No, nyerah ajalah sekarang," tambah pemuda itu, berbeda dengan sarannya tempo lalu yang masih menyemangati si sahabat.

Lino yang menjadi peran utama dalam melodrama kali ini masih berdiam di tempatnya. Dengan posisi yang merebah di atas sofa, tangan pemuda itu bertengger di atas kepala. Bibirnya pun tak niat untuk melesatkan kata-kata.

"Bukan kenapa, ya, No, tapi ... ini udah dua kali gitu. Dia nggak ngehargaian effort lo apa?" sambung Bisma berapi-api. Sangat empati, seakan ikut merasakan kegundahan yang sahabatnya alami.

"Gue ...." Lino mengangkat tangannya dari kepala. Kemudian, melipat bagian tubuhnya itu di atas perut. "Gue nggak marah karena Zanna nolak gue. Cuma ..., jujur aja gue kecewa, kecewa karena nggak diberi alasan jelas kenapa gue ditolak. You know, kayak dihakimi tapi kita bahkan nggak tahu apa salah kita."

Aji, yang tadi sempat diam, mengangguk-angguk. Paham dengan maksud Lino. "Mungkin, kalau lo emang pengin banget tahu alasannya, lo bisa tanyain dia setelah semuanya adem."

Merespons anjuran Aji, Lino menjengitkan kepala. Bersamaan dengan itu, bel apartemennya berbunyi. Tanda ada orang yang datang. Mewakili Lino, Bisma bergerak membukakan pintu untuk si tamu.

Beberapa menit selanjutnya, Bisma datang bersama Rieke yang menjinjing satu set kotak makanan. Walaupun masih di tempatnya, Lino dan Aji dapat mencium aroma menyedapkan dari benda itu.

"Yang lain juga di sini, ya." Rieke mengangkat lebih tinggi kotak makanan yang ia pegang. "Untung gue bawa banyak."

"Tante Dewi datang, Ke?" tanya Lino─yang mengerti jika Rieke membawa makanan, pasti ibunya sedang bertandang. Ia mencoba untuk terlihat antusias agar nestapanya tak terendus oleh teman dari masa kanak-kanaknya tersebut.

Rieke, yang tinggal di gedung yang sama dan sering ke unit Lino, langsung melenggang menuju dapur. "Iya, masih ada tuh di apartemen gue."

"Malam udah pulang belum? Kalau belum nanti mau gue sapa." Lino mulai bangkit. Ia mengajak Aji dan Bisma untuk mengikuti pergerakan Rieke.

"Mau nginep sih. Sapa aja nanti." Rieke membuka satu per satu kotak. Mengekspos setiap makanan yang terlihat lezat di dalamnya. Lantas memindahkan setiap lauk itu ke piring. "Kalian berdua tumben di sini. Biasanya kalau mau ngumpul di kafe atau bistronya Lino, 'kan."

"Mau ngehibur temen lo yang lagi patah hati, Ke." Bisma duduk di kursi makan. Mencomot satu tahu goreng dari piring.

"Patah hati?" Rieke mengerling penasaran ke arah Lino yang mulai gelagapan karena mulut ember Bisma. "Emangnya kenapa bisa patah hati?"

Belum sempat Lino atau Aji mengambil alih untuk menjawab pertanyaan Rieke, Bisma dengan cepat berkata, "Biasalah. Masalah sama Ratu Es."

Rieke menyipitkan mata. "Ratu Es? Maksud lo ... Zanna?"

"Iya."

"Bukan!" sergah Lino yang keluar tepat dengan sahutan Bisma. Namun, upayanya sia-sia karena di detik kemudian, sebuah amarah tergambar jelas dari wajah gadis berkulit eksotis itu.

❬✧✧✧❭

Dengan mulutnya, Zanna meniup beberapa anak rambut yang menutupi penglihatannya. Tangannya sedang tak bisa membantu untuk melakukan itu sekarang, karena sedang terbungkus sarung tangan dan sibuk menggosok piring-piring kotor di dalam wastafel. Malam ini adalah gilirannya untuk mencuci piring sebab tadi Miska yang melakukan tugas masak.

Di tengah pergelutannya dengan anak rambut dan piring, Miska datang ke dapur dengan ponsel berdering. Dari suaranya Zanna tahu bahwa alat komunikasi yang dipegang sahabatnya tersebut merupakan ponsel khusus kerja miliknya.

"Za, ada yang telepon dari nomor unknown," ucap Miska, persis dugaan Zanna.

"Tolong tempelin ke telinga gue dong?" tanya Zanna yang lebih terdengar seperti permintaan.

"Oke." Miska menuruti. Tangan lentiknya menggeser ikon hijau di layar. Lalu menempelkan benda pipih itu ke telinga sahabatnya.

"Halo, dengan Za─"

"Zanna─a piece of shit─Iswara, iya, 'kan?" potong suara dari seberang telepon.

Zanna kontan membeku untuk tiga detik. Kemudian, dengan sisa kesadarannya, gadis itu melepaskan sarung tangan dan mengambil alih ponselnya. "Rieke?"

Mendengar nama yang disebut Zanna, Miska urung untuk meninggalkan dapur. Dengan ekspresi gelisah yang memancarkan penasaran, dara itu tetap di tempatnya.

Rieke tertawa kecil. "Gue kira Zanna yang dulu udah berubah, ternyata masih sama aja, ya."

"Maksud lo?" Zanna melirik Miska yang melipat tangan di depan dada dengan kening mengernyit. Ia tahu sekali, pasti sejawatnya itu sedang menebak-nebak kenapa Rieke menelepon.

"Masih sama ... kayak sampah, nggak punya perasaaan," sahut Rieke penuh aksentuasi di setiap katanya.

Sebelah tangan Zanna yang bebas mengepal. Berupaya untuk menahan gejolak kegusaran yang mulai tumbuh di dalam dirinya. "Tolong, ngomong yang jelas. Gue nggak punya waktu untuk ngeladenin lo doang."

"Fine. Kita langsung ke intinya; apa maksud lo nolak Lino lagi? Cakep lo? Ngerasa kayak Miss Universe, ya?" Suara Rieke menyaring di akhir kalimat.

"Semua orang punya hak buat nolak," ujar Zanna yang spontan menarik perhatian Miska.

Gebuan di intonasi Rieke belum surut saat ia melanjutkan, "Dulu supaya tenar, supaya dicap sebagai cewek satu-satunya yang nolak pesona seorang Adhlino Malven Ranggajati. Sekarang buat apa? Biar tetap dikejar? Biar Lino selalu jadi bayangan lo?"

"Semua orang punya hak buat nolak," ulang Zanna yang membuat Miska kian menaruh atensi padanya. Bahkan gadis itu hampir tak berkedip. "Lino aja nggak sibuk ngurusin ini, kenapa jadi lo yang repot-repot? Kurang kerjaan?"

"Berani, ya, lo, sialan?" Geraman Rieke terdengar jelas dari seberang sana. "Satu-satunya alasan gue kayak gini karena Lino sahabat gue. Gue nggak suka Lino jatuh ke lo yang cuma manfaatin dia."

Zanna bergerak untuk duduk di meja makan. Mencoba menenangkan diri dari tekanan Rieke dan tatapan menuntut Miska. "Gue nggak pernah manfaatin dia. Gue udah bilang itu dari dulu, 'kan. Budek lo?"

"Terus kenapa? Kenapa lo nolak dia? Kenapa lo mainin dia?"

"Gue nggak pernah mainin dia, asal lo tahu. Dia doang yang, mungkin, kebaperan karena selalu ditanggepin." Zanna menghela napas dalam-dalam. Kemudian, mengimbuh, "Untuk alasan kenapa gue nolak dia, sori-sori aja, gue nggak mau kasih tahu. Siapa lo mau tahu urusan gue?"

"Si─"

Tanpa menunggu Rieke selesai, Zanna mengakhiri sambungan telepon. Dengan tangan bergetar hebat, gadis itu berusaha memblokir nomor Rieke. Namun, upaya Zanna diganggu dengan genangan air di mata yang membuat pandangannya kabur. Sehingga mengakibatkan Miska yang sejak tadi memerhatikan turun tangan untuk menyelesaikan niatan itu.

"Ada apa dengan tolakan, Rieke, dan Lino?" Kalimat interogatif Miska terdengar tenang. Akan tetapi, penuh bumbu tuntutan.

Alih-alih menjawab, Zanna malah terisak nyaring. Mengisi segala ruang kosong di dapur dengan tangisannya. Menyayat hati Miska yang mendengar itu semua.

"Za ...." Miska berlutut di depan Zanna. Gadis itu menggenggam pelan tangan sahabatnya. Lantas mendongak untuk melihat raut menyedihkan Zanna, yang impuls membawa Miska menuju pada kenangan lama. "Za ..., Lino ... nembak lo lagi?"

Zanna mengangguk pelan. Menyebabkan air matanya makin luruh. Membasahi setiap permukaan pipi putihnya yang sudah bertransformasi menjadi merah.

Napas Miska tertahan. Bibirnya bergetar. "Dan ... lo tolak dia lagi? Makanya Rieke ... ngelabrak lo ... lagi?"

Zanna kembali mengangguk. Kali ini dengan tempo lebih cepat. Bahkan mampu membuat air matanya jatuh di punggung tangan Miska yang menggenggamnya.

Kelopak mata Miska tertutup rapat. Menyebabkan bulir-bulir berjatuhan dari mata gadis yang terkenal ceria itu. "Za ..., lo─"

"Gue nggak maksud jahat, tapi gue nggak bisa ...," potong Zanna histeris.

"Lo nggak jahat. Lo emang nggak jahat, Za." Miska mengangguk-angguk. Menggenggam tangan Zanna lebih erat. Menyalurkan energi agar sahabatnya itu tetap berdiri kukuh; tak kembali jatuh pada lubang kegelapan bernama trauma. "Mereka yang jahat. Mereka jahat karena nggak bisa ngertiin lo."

"Kalau gue nerima, gue juga ngelukain Lino, 'kan? Dia akhirnya juga pasti kecewa karena keadaan gue," racau Zanna tak terkendali. Dinding masif yang ia buat bertahun-tahun hancur. Setiap runtuhannya melukai gadis itu. Mendorongnya hingga ketepian agar diterpa badai yang sama dengan delapan tahun.

"Iya, Za. Lo nggak salah." Miska mengikis jarak mereka. Mendekap Zanna erat demi menyalurkan kehangatan. Tangannya bergerak cepat mengelus-elus pundak perempuan itu. Bermaksud agar sahabatnya lebih tenang. "Gue mohon lebih kuat kali ini. Ini cuma guncangan kecil. Lo pasti bisa ngelewatinnya. Gue janji, Za, gue bakal selalu ada di sebelah lo."

❬✧✧✧❭

Sudah dua minggu berlalu sejak pernyataannya ditolak dan sudah selama itu pula Lino terus mencoba menghubungi Zanna, hanya sekadar ingin menanyai kabar gadis itu dan memastikan bahwa Rieke tak melakukan hal-hal aneh seperti delapan tahun lalu. Namun, semua telepon Lino tak pernah diangkat. Pesan-pesan yang ia kirim juga tidak pernah dibalas. Mengakibatkan Lino kian khawatir bahwa terjadi sesuatu pada Zanna, meski ia telah bertanya pada Rieke yang mengaku tak melakukan apa-apa.

Selama ini, Lino sudah mencoba mencari Zanna secara langsung. Akan tetapi, hasilnya tetap nihil. Tak ada tanda-tanda apa pun. Bahkan ketika kemarin ia menandangi perusahaan gadis itu, Indah memberi tahu bahwa Zanna sudah absen tepat setelah hari pernyataannya.

Lino tak mau dirundung penasaran lebih lama. Oleh karena itu, setelah mendapatkan alamat dari Aji, pemuda tersebut pergi ke apartemen yang ditinggali Zanna dan Miska.

Sebenarnya, Lino juga sudah berusaha untuk mengulik informasi dari sahabat Zanna tersebut. Namun, setiap telepon dan pesan yang ia lontarkan untuk perempuan ceria itu juga bernasib sama, seperti yang ia berikan pada Zanna. Lino pun telah meminta bantuan Aji. Akan tetapi, tetap tak berhasil. Miska seolah menjadi patung tatkala ditanyai soal Zanna.

Setelah menempuh perjalan sekitar dua puluh menit, akhirnya Lino sampai di gedung apartemen. Dengan masih berpatokan pada informasi dari Aji, lelaki itu pergi ke lantai tempat unit Zanna dan Miska berada.

Seakan diberkati, saat hampir membunyikan bel, pintu apartemen sudah lebih dulu terbuka. Menampilkan Miska yang berpakaian rapi dari dalam sana.

"Mis!"

Bola mata Miska berotasi. Wajahnya yang hampir selalu menampilkan senyum mengekspos ekspresi galak. "Ngapain lo di sini?"

"Kenapa lo nggak pernah jawab telepon sama chat gue?" tanya Lino balik alih-alih menjawab Miska.

Miska menutup pintu di belakangnya. Kemudian, berjalan menyusuri koridor dengan langkah cepat. "Nggak ada waktu."

Napas Lino terhela mendengar kalimat Miska. Ia mencoba sabar demi mendapatkan penjelasan lebih banyak. Dengan kaki panjangnya, Lino mengejar gadis semampai itu. "Oke, kalau gitu jawab sekarang. Zanna ke mana?"

"Peduli apa lo sama dia?" Miska mengeluarkan kalimat interogatif dengan ketus. Air mukanya benar-benar tak menunjukkan kesan bersahabat. Sepertinya sedang dalam kondisi yang benar-benar gusar.

"Mis, gue serius─"

"Lo kira gue lagi bercanda?!" Miska berhenti beberapa langkah sebelum lift. Matanya mendelik marah. Wajahnya memerah. Gadis itu sekarang benar-benar sedang dilingkupi api dari dalam dirinya. "Kalau lo emang peduli sama dia harusnya lo nggak kasih tahu temen sialan lo itu soal Zanna yang nolak lo!"

Alis Lino tertaut. "Rieke?"

"Siapa lagi kalau bukan dia yang suka kurang kerjaan ngurusin kehidupan asmara lo?" balas Miska sama membara seperti tadi. Tangan-tangan langsingnya dibiar menumpang di depan perut.

Saliva Lino telan dengan susah payah. "Zanna ... diapain Rieke?"

"Lo tanya aja sama temen lo itu," tukas Miska yang cepat berlalu tatkala pintu lift terbuka. Meninggalkan Lino sendiri dengan sebuah tanda tanya besar di kepalanya.

❬ TBC ❭

Heyyo, apa kabar? Kalau udah baca sampe sini, in syaa Allah pada sehat semua, ya, kan?

Alhamdulillah.

Gimana chapter ini? Udah mulai ngebuka semua masalah, kan? Udah greget belum? Belum? Sip, tunggu chapter selanjutnya, ya!

Btw, ✨ f u n  f a c t ✨ buat bagian Zanna sama Miska nangis-nangis itu juga bikin nangis, lho. Huhuhu. (╥﹏╥)

Sampai jumpa pekan depan! 🧡

Salam kreativitas tanpa batas,
We Bare Bears: MaaLjs, Tiuplylyn dan RGNyamm

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro