{ 05 } Dark Room

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Kau mungkin bisa menyembunyikan apa yang sedang kau rasakan. Akan tetapi, mustahil bagimu menutupi sesuatu yang sudah tersingkap jelas."
- Aiden Cambridge

🚢

Vanessa berjalan di muka, memimpin regu kecil itu menelusuri koridor lantai tiga. Langkahnya yang terkesan monoton terus berlalu melintasi pintu demi pintu yang tertutup rapat. Wajah pucatnya masih terlihat tanpa ekspresi.

Sang gadis boneka melambatkan tapak kakinya manakala pemuda berambut coklat mulai menyamai langkah di sisinya. Manik hijau milik pria itu mengerling ke arahnya dengan tajam. "Vanessa, kau yakin benar tidak apa-apa?" lirihnya. Jarak mereka berdua cukup renggang dari Jhonny dan Carlos yang masih berjalan di belakang sana.

"Apa maksudmu?" balas Vanessa tanpa balik menatap lelaki itu.

"Kau mungkin bisa menyembunyikan apa yang sedang kau rasakan. Akan tetapi, mustahil bagimu menutupi sesuatu yang sudah tersingkap jelas. Jujur saja, kulitmu masih terlihat pucat, Vanessa. Apakah benar kau tidak apa-apa?" tegasnya.

Gadis itu membuang napas. "Aku tidak merasakan apa-apa," desisnya pelan, nyaris terdengar seperti angin lalu.

Aiden sedikit terkejut mendengar pengakuan gadis bermanik ungu tersebut. "Jangan bercanda! Aku sedang serius, Vanessa." Terdengar bahwa kalimat dengan sedikit penekanan lolos keluar dari mulutnya.

"Aku mengatakannya, ya?" Vanessa kini memalingkan wajah, menatap ke arah Aiden. Akan tetapi, ia sama sekali tidak menghentikan tapak kakinya.

"Kau mengatakannya," ulang Aiden.

Detik berikutnya, Vanessa membuang muka dari pria yang masih terus menatapnya dengan sorot khawatir. "Kalau sudah kukatakan, apa boleh buat, 'kan?" gumam gadis bersurai panjang nun hitam.

Gaun hitam dengan renda senada yang panjangnya hingga menutupi mata kaki, serta sarung tangan gelap panjang yang hampir menutupi seluruh bagian tangan dari jari-jemari sampai siku. Ditambah dengan rambut hitam legam yang menjuntai semampai hingga pinggul. Semuanya memperlengkap kesan misterius dari sang gadis boneka.

"Tanganku pernah tersobek oleh beling, kakiku pernah digigit oleh seekor anjing liar, tubuhku pernah hampir terbakar di perapian, tetapi aku tidak pernah bisa menunjukkan ekspresi yang sesuai karena aku tak bisa merasakan apa pun."

Aiden membisu mendengar penuturan Vanessa. Sebelumnya, ia hanya menganggap gadis ini seperti boneka hidup. Akan tetapi, ia sama sekali belum mengetahui latar belakangnya.

"Terlebih ketika pelayanku mengatakan bahwa suhu tubuhku terasa begitu panas. Namun, tetap saja aku tidak merasakannya. Sekarang pun begitu, aku tidak merasakan apa-apa," lanjutnya.

"Kalau begitu, bolehkah aku menyentuhmu sedikit untuk memeriksa?" bisik Aiden halus.

Gadis boneka tidak menjawab pertanyaannya. Akan tetapi, telapak tangan kanannya langsung menyambut lengan Aiden yang sedang berjalan di sisi kanannya pula.

Aiden terperangah begitu mengetahui Vanessa mengambil tindakan terlebih dahulu. Namun, beberapa saat kemudian rasa terkejutnya malah kian membesar. Bagaimana tidak? Tangan gadis itu ... dingin.

Walau sebenarnya masih tersisa sedikit kehangatan akibat adanya darah yang mengalir. Ia mencoba untuk tetap bersikap tenang. Tangannya bergerak untuk memeriksa denyut nadi dari gadis itu.

Hembusan napas lega keluar, ketika ia masih mampu merasakan adanya denyut yang bergerak, meskipun begitu samar.

"Segini saja sudah cukup, 'kan?" celetuk Vanessa membuyarkan hal yang tengah dipikirkannya.

Aiden segera melepas cengkraman telapak tangannya dari pergelangan gadis itu. "Iya, tidak ada masalah," sahutnya.

Mereka berdua kembali berjalan dengan berdampingan, tetapi diselimuti oleh kebisuan.

Hingga tiba-tiba, langkah Vanessa berhenti beberapa puluh meter sebelum melintasi lorong yang menuju langsung ke tangga terakhir, yang mana anak tangga tersebut akan mengantarkannya ke area terbuka dari geladak utama.

Bukan berhenti tanpa sebab, tetapi sebuah pintu di salah satu dinding lorong yang terbuka lebar sudah berhasil mengalihkan perhatian mereka semua. Ruangan gelap gulita tengah menanti di dalam sana. Hawa dingin tercipta akibat desir angin malam yang dibalut badai dahsyat masuk dari ruangan yang pintunya terbuka itu.

Mereka berempat dapat merasakannya, suara lolongan malam yang begitu mencekam. Beberapa saat kemudian, kilat menyambar, menghasilkan sinar putih terang yang sudah cukup untuk membuat mereka menangkap siluet dari apa saja yang ada di ruangan tersebut.

Jendelanya terbuka, pantas saja angin dari badai bisa menembus masuk.

"Hentikan langkah kalian sampai sini! Perasaanku tidak enak. Lalu, apa-apaan tulisan darah yang ada di pintu keluar itu?" ucapan yang dibarengi dengan pertanyaan terlontar dari bibir mungil sang gadis boneka.

Manik ungunya tidak lagi memandang ke arah pintu ruangan yang terbuka, melainkan ke arah papan besi yang menjadi batas antara lantai geladak yang tengah mereka pijak, dengan geladak utama di luar sana.

Lagi-lagi tulisan yang memiliki warna merah darah tercetak, tetapi masih basah. Sehingga cairan kentalnya mengalir, membuat jalur tetesan yang terarah dengan lambat ke bawah.

"Lelucon macam apa ini?" Carlos kali ini membuka mulut, melontar pertanyaan yang mewakili perasaan mereka semua. "Ulah siapa dan apa tujuannya?" cercahnya.

Tentu saja tak ada yang menjawab pertanyaan tersebut. Hal itu membuat Carlos sedikit kesal. Ia dengan tanpa perhitungan langsung melangkah ke depan, mencoba mendekati pintu besi yang berpoleskan kalimat aneh berbercak merah kental.

Akan tetapi, sebelum Carlos melangkah lebih jauh dari jangkauan Vanessa, gadis itu langsung menangkap pergelangan tangan Carlos, kemudian menariknya dengan kasar agar pria itu kembali ke dalam jangkauannya. "Sudah kukatakan untuk menghentikan langkah, bukan?" ungkitnya dingin.

Detik berikutnya, dua buah busur terlontar keluar dengan kecepatan tinggi dari kedua sisi dinding koridor yang menghimpitnya. Meluncur bergantian ke arah titik yang tadi sempat dipijak oleh lelaki bersurai pirang itu.

Carlos mengerjap, sama sekali tak terlintas di dalam benaknya bahwa akan ada suatu jebakan di titik-titik terakhir itu. Ia segera memalingkan wajah, menatap sang gadis boneka yang baru saja menyelamatkan hidupnya. "Bagaimana kau bisa mengetahuinya?" Pertanyaan terlontar, rasa penasaran menyelinap di antara rongga kalbu.

"Tulisan di pintu itu." Telunjuk Vanessa terangkat, menunjukan tepat lurus ke depan. "Ingatlah semua dosa-dosamu." Ia mengutip, membaca huruf-huruf merah darah yang tertulis beberapa meter di sana. Akan tetapi, ia kembali membisu, dan setelah itu ia malah menggelengkan kepala.

"Tidak," racaunya, "Itu lebih terlihat seperti pesan kematian bagiku." Gadis boneka itu berpaling, kini menatap ruangan gelap yang masih menyalurkan desir angin yang dingin. "Atau mungkin itu hanya sekadar perasaanku saja, ya?" gumamnya.

Carlos merasa kalau gadis itu sedang kebingungan untuk menjelaskan jawabannya. "You know, scratch that." Ia menarik lengannya sendiri dari cengkeraman gadis itu. "And thanks," pungkasnya lirih.

Pemuda itu bergegas melaluinya, membelakanginya, kemudian berjalan melawan arah dengannya.

Tatapan Vanessa tidak mengikuti kepergian Carlos. Ia masih terpaku pada ruang gelap yang sempat membuat pakainya serta rambutnya hitamnya itu melambai. Walaupun tempat itu terlihat begitu kelam, tetapi ia berpikir bahwa mereka bisa saja mencapai geladak utama jika melewati ambang jendela ruangan tersebut yang terbuka lebar.

Tanpa banyak bicara, sang gadis boneka mulai mengambil kiprah, berjalan memasuki area gelap tersebut. Tubuhnya tenggelam dalam gelita.

"Vanessa, tunggu!" tahan Aiden ketika menyadari bahwa gadis yang semula berada di sampingnya, kini mulai memisahkan diri ke dalam gelap ruang yang asing.

Vanessa menoleh sebagai respons atas panggilannya. Aiden bergerak untuk menyusul gadis itu. Akan tetapi, tepat sebelum langkahnya memasuki jangkauan area gelap, pintu ruangan tersebut segera terbanting keras. Menutup akses keluar-masuk dari ruang asing.

"Vanessa!" Bogem mentah milik Aiden menghantam keras ke ambang pintu yang tertutup rapat. Papan penutup itu hanya mengeluarkan suara buk yang keras, tetapi tetap bergeming di tempat. "Vanessa, apa yang terjadi di dalam sana?!" pekiknya khawatir.

Kedua pria yang semula menjaga jarak dengannya, Carlos dan Jhonny, kini ikut mendekat ke arah pintu tersebut. "Vanessa, kau mendengarku?" lontar Jhonny ikut mengepalkan tangan di papan pintu.

Tak ada respon dari dalam sana.

Mereka bertiga mencoba untuk mendobrak pintu tersebut. Beberapa kali mencoba, tetapi pintu itu tetap bergeming. Seolah terbuat dari bongkahan baja yang begitu keras dan sukar dirobohkan.

"Vanessa!!!" Kepalan tangan Aiden menghantam pintu dengan keras untuk yang kesekian kalinya. Namun, rupanya yang ia lakukan tidak menimbulkan dampak apa pun pada papan tersebut.

"What really happens?" lirihnya yang dirundung keputusasaan pada akhirnya.

Tak ada jawaban. Hanya bunyi ledakan guntur yang memecah keheningan.

🚢

|| 1.235 kata ||

Dipublikasikan pada :
6 September 2021
© Daiyasashi

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro