{ 09 } Doll

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Kecurigaan adalah kunci awal untuk menghancurkan segalanya."
- Lost in the Sea

🚢

"Menyingkirlah dari situ, Aiden!" seru Carlos yang melihat Aiden masih sibuk mengutak-atik kunci pintu dengan sebatang kawat.

Aiden menoleh ke arah suara yang memanggil namanya itu. Sekejap ia terkejut bukan main, menatap mata kapak yang mengkilap sudah siap membacok kepalanya. Spontan ia melesat ke samping, menghindari perkakas melintang nun tajam yang hampir saja memecahkan kepalanya menjadi dua bagian.

Mata kapak tertancap di pintu, membuat sebuah lubang berbentuk garis di papan kayu itu. Nyaris memotong telinga Aiden yang berada tak begitu jauh dari sasaran kapak tersebut.

"Stupid! You were gonna kill me, huh?!" cecar Aiden pada orang yang tadi mengayunkan kapak itu. Degup jantungnya seketika berpacu tak karuan, sampai-sampai membuat dadanya sedikit sakit. Napasnya memburu. "Bercandamu sama sekali tidak lucu, Carlos! Itu membahayakan."

Pria bersurai pirang itu mengerling tajam ke arah Aiden. "Tutup mulutmu! Aku sudah tidak sabar lagi dengan ini." Carlos menarik kapaknya yang semula masih tertahan di antara celah papan pintu, mengangkatnya tinggi-tinggi, kemudian kembali mengayunkannya dengan kuat hingga menembus daun pintu.

Aiden mengenggak paksa salivanya agar terjun membasahi kerongkongan. Ia menurutinya, kemudian hanya terduduk diam sambil memandangi usaha pria yang ada di hadapannya itu untuk membuka pintu dengan cara yang begitu kasar.

"Dari mana kamu mendapatkan benda itu?" lontar Aiden tiba-tiba.

"Bukan aku yang menemukannya, tapi Jhonny." Carlos tidak menghentikan pekerjaannya. Ia tetap mengayunkan kapak yang berada di dalam genggamannya ke arah gagang pintu. Berusaha melepaskan kunci yang sudah menahan pintu itu agar tetap tertutup rapat.

"Di mana Jhonny?" Aiden tersadar, pria bermanik hazel itu tak lagi ada di sekitar mereka. Ia merambat pada tembok, kemudian berdiri tegap sambil memandangi area sekitar. Kosong. Sepanjang koridor itu hanya ada mereka berdua, tidak ada yang lain.

Carlos menghantamkan mata kapaknya pada celah lubang di papan pintu yang semakin teriris lebar. "Dia ada di salah satu ruangan. Kupikir sebentar lagi dia akan kemari," balasnya tanpa memandang lawan bicara. Ia menarik kembali gagang perkakas tersebut, kemudian menendang daun pintu dengan kuat.

Pintu itu terbuka, menunjukkan bayangan dari kawasan gelap yang ada di dalam sana. Seharusnya, jika gadis boneka itu masih berada di dalam sana, dia akan begitu kesulitan untuk melihat. Akan tetapi, tidak ada satu pun alat penerangan yang dinyalakan untuk membantu penglihatannya.

Aiden segera mendorong pintu tersebut agar terbuka seutuhnya. Ia dan Carlos mulai menginjakkan kaki di area ruang gulita. Jendela yang tadi terbuka dan mengalirkan hembusan angin kencang, kini sudah tertutup rapat.

Pandangan keduanya langsung terarah pada salah satu sudut ruangan itu, menangkap tubuh milik seorang gadis yang berdiri kaku di sana.

Manik ungu menyorot ke arah dua pria yang baru saja masuk ke dalam ruangan tersebut dengan tatapan kosong. Di balik kegelapan yang membungkus rapat dirinya, terdapat kulit putih pucat yang menyimpan beragam keganjilan.

"Vanessa?" celetuk Aiden. Pria itu menghentikan langkahnya sebelum sampai di dalam jangkauan perempuan itu. Alih-alih menatap sang gadis boneka dengan pandangan yang menyiratkan berbagai pertanyaan. "Kau baik-baik saja di sini?"

Gadis itu sedikit memiringkan kepalanya. "Aiden, ya?" racaunya.

Aiden merasa sedikit aneh mendengar Vanessa melontarkan pertanyaan seperti itu. Ia kenal betul, ingatan gadis itu tidaklah pendek. "Tentu saja." Iris hijaunya menelisik rupa Vanessa dengan tajam.

"Maaf, tetapi sepertinya aku melupakan sesuatu," lirih Vanessa. "Yang jelas, tentu itu bukan tentang dirimu, Aiden."

"Kau tidak ingat tentang apa pun yang terjadi di sini?" timpal Carlos ikut melemparkan pertanyaan.

"Aku ingat ruangan yang ada di lantai dasar, tulisan di dinding yang berwarna merah darah, dan beberapa hal lainnya, sebelum aku masuk ke dalam tempat ini," akunya.

"Apakah kau ingat jika sejak tadi kami memanggilmu dari luar sana? Atau malah kau sama sekali tidak mendengarnya?" Carlos kembali bersuara.

Vanessa menggelengkan kepalanya perlahan. "Entahlah. Aku tidak tahu," jawabnya.

Carlos berdecak, "Bagus! Kau kehilangan kepercayaan dariku." Pria itu langsung berbalik dan hendak melangkah pergi dari tempat tersebut.

"Aku tidak memintamu mempercayaiku," kilah sang gadis boneka dengan dingin, berhasil membuat lelaki bersurai pirang itu menahan kiprahnya.

"Ah sudahlah, kalian ini jangan memperkeruh keadaan!" Aiden berusaha menengahi mereka. "Sesuatu sudah terjadi, dan kalian berhentilah bersikap seperti anak kecil. Mengertilah, sejauh kita berkeliling di tempat ini tadi, tidak ada satu pun orang lain yang kita temui. Lalu, apa jadinya jika di antara kita sendiri memiliki perasaan curiga dan tidak saling mempercayai?" urainya.

Kedua remaja yang tadi sempat beradu lidah, kini saling membisu. Mereka menyadari kesalahannya, tetapi masih terlampau egois untuk mau mengakuinya. Diam menjadi satu-satunya alternatif untuk mengakhiri perang mulut kecil itu.

Detik demi detik menguap, seiringan dengan terdengarnya sepasang langkah kaki di luar sana yang entah milik siapa. Nyenyap masih menyelimuti ketiga orang yang berada di dalam ruagan remang-remang itu.

Hingga seorang pria berambut cokelat muncul dari balik ambang pintu yang sudah rusak berat akibat bacokan kapak dan tendangan kasar tanpa ampun. Manik hazelnya menatap tajam ke dalam kegelapan, mengamati ketiga orang yang berada di dalamnya secara bergantian.

"Baguslah kalau kalian bertiga baik-baik saja," selorohnya diiringi seutas seringai tipis yang terlukis di tampang rupawannya. "Sekarang, bisakah kalian ikut denganku? Ada sesuatu yang ingin aku tunjukkan pada kalian," imbuhnya.

Carlos dengan cepat menimpali, "Baiklah." Ia langsung menyetujuinya tanpa basa-basi.

Jhonny menganggukkan kepala. Kemudian ia berbalik pergi dari area itu. Diikuti oleh Carlos yang juga angkat kaki meninggalkan kegelapan.

Aiden memandang Vanessa sebentar. "Kau ikut dengan mereka, 'kan?" tanyanya dengan hati-hati.

Vanessa mengangguk singkat sebagai respons. "Tentu saja. Mari pergi." Gadis itu langsung mengambil kiprah, berjalan melewati Aiden, kemudian keluar dari keremangan ruangan.

Aiden buru-buru berjalan mengekor di belakang Vanessa. Akan tetapi, sekelebat bayangan yang tersisa di sudut ruangan itu telah menarik perhatiannya. Ia sempat menoleh ke belakang, ke arah tempat di mana sang gadis boneka berdiri dengan kaku tadi. Pandangannya mengamati sebuah benda yang memiliki warna cerah di dalam kegelapan.

Topeng berbentuk kepala kelinci itu menatap balik ke arah Aiden. Di bawah topeng itu, ada lembaran-lembaran kain tebal yang terlipat dengan rapi. Perasaan tidak enak menggerogoti lubuk hatinya tatkala ia menangkap bercak darah pada kain putih yang menyelimuti benda tersebut.

"Ada apa, Aiden?"

Kalimat itu nyaris membuat jantungnya meloncat lepas saking terkejutnya. Aiden cepat-cepat berbalik, menatap sang pemilik suara yang sudah memanggilnya. Ia melihat Vanessa berdiri di depan ambang pintu yang rusak itu, seolah sedang menunggu dirinya untuk ikut pergi ke luar.

Aiden menggelengkan kepala kuat-kuat. "Tidak ada apa-apa." Ia tidak berani mengungkapkan rasa takutnya yang mulai menjelma menjadi perasaan curiga. Dijejakinya ubin dingin yang menjadi tumpuannya untuk berdiri, bergerak menghampiri Vanessa yang sudah menunggunya.

"Mari pergi! Kupikir, mengikuti mereka berdua, Jhonny dan Carlos, bukanlah hal buruk," pungkasnya.

🚢

|| 1.066 kata ||

Dipublikasikan pada :
11 September 2021
© Daiyasashi

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro