07. Tumpukan Lelah

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Mataku rasanya malas untuk memulai hari di pagi ini. Mungkin memang aku menyelesaikan latihan itu saat matahari sudah tenggelam, tetapi usahaku berkonsentrasi kemarin membuatku saat lelah. Bahkan itu bisa membuat rekor baru, tidur saat menyentuh kasur.

"Apa kau tidak apa-apa Lan?" tanya kakek yang melihatku turun dari tangga dengan lunglai.

"Tenang saja kakek, nanti siang juga akan segar dengan sendirinya," kataku yang berusaha menunjukkan bahwa diriku sangat semangat, padahal setengah dari diriku sepertinya masih di atas kasur.

"Apa yang semalam kau lakukan?" tanya Rose dengan wajah bingungnya.

Aku mengalihkan pandanganku sejenak dari matanya. "Em ... olahraga?" kataku asal.

"Olahraga apa yang membuatmu semakin lemas ini?" tanya Rose yang mencolek lenganku.

"Olahraga yang membutuhkan otak untuk kerja terus menerus," kataku pelan dengan mata yang tetap tak bisa melihat Rose.

"Aneh. Sudahlah, ayo kita pergi sekarang jika tidak ingin telat," kata Rose yang mengambil tasnya di salah satu kursi.

"Memangnya bu Joana akan memarahi kita?" tanyaku.

"Tidak, tetapi kita akan ketinggalan teori dari bu Joana dan aku tidak mau melewati hal itu karena ketelatanmu," kata Rose sambil berdecak pinggang tetapi mulutnya melengkung, menunjukan senyuman jailnya.

"Oke, oke. Kakek, kami pergi dulu," kataku yang menoleh pada kakek yang ada di belakangku.

"Hati-hati dan jangan tertidur," kata kakek lalu tertawa pelan.

"Semoga," kataku sambil tersenyum miring.

Baik aku, Rose, dan kakek tertawa pelan. Mungkin percakapan seperti ini baik untuk memulai hari dimana aku harus kembali berkutat dengan namanya pengobatan. Kalau kemarin mengatasi luka ringan, lalu apa yang akan kami dapatkan sekarang?

"Kira-kira kita akan mendapatkan apa?" tanya Rose dengan senyuman ceria.

"Entahlah, level yang lebih tinggi dari luka gores?" tebakku asal.

"Seperti apa?"

"Hum ... ... seperti mengambil sesuatu yang tertusuk di kulit atau otot atau daging?" tebakku asal tetapi cukup membuatku sedikit ngilu.

"Memangnya kau ini psikopat?" tanya Rose dengan tatapan horor.

"Baru segitu aja dipanggil psikopat, tetapi aku baru tau elf mengetahui kata psikopat. Aku kira hanya kata-kata halus nan sopan saja," kataku dengan gaya berpikir.

"Karena dulu ada elf hitam yang hampir menjadi kanibal dan perkataannya selalu mengenai anggota bagian tubuh," kata Rose dengan wajah yang cukup ketakutan.

"Elf hitam? Aku tidak bisa terlalu membayanginya," kataku sambil mencoba berpikir. "Contohkan apa yang ia katakan, aku penasaran."

"Kau penasaran?! Adakah hal yang tidak kau penasaran-kan?" tanya Rose yang melihatku tajam.

Kayaknya tidak ada, kecuali hal-hal yang membosankan.

"Baiklah, karena aku temanmu yang baik hati ...."

"Yang tidak sombong serta rajin menabung," tambahku yang berakhir dengan tawa pelan.

"Ya, ya, terserah padamu. Jadi seingatku dia pernah mengatakan "Jika kau memerlukan lebih, berikan ginjalmu, paru-parumu, dan lambungmu padaku"," kata Rose yang bergaya seperti menakuti anak kecil. 

"Kenapa meminta semua itu?" tanyaku dengan senyum kecil.

"Tidak tahu, tidak ada yang tahu. Dia tak pernah memberikan alasan kepada siapapun," kata Rose sambil menaikan bahunya.

AKu kembali mengangguk-angguk. "Lalu mengapa paru-paru dan Lambung juga? Kalau Ginjal kemungkinan besar aku mengerti."

"Entah. Memangnya mengapa dengan ginjal?" tanya Rose bingung.

"Karena ginjal'kan ada dua, bahkan guyonan bisa menyertakan jual ginjal karena satu ginjal saja .... " Jika kau memerlukan lebih. Mulutku terdiam dengan posisi masih terbuka. Memerlukan lebih? Apakah maksudnya uang? Tapi bukankah di katakan bahwa elf menggunakan pembayaran barter?

"Ada apa, Lan?"

"Hei Rose, apakah ada saatnya elf sedang kesusahan?" tanyaku.

"Uh, iya saat aku masih sangat kecil. Kenapa bertanya?" tanya Rose yang masih menunjukkan wajah bingung. "Lalu kenapa kau tahu? Apakah dari kakek?"

Teka-teki ini bukankah terlalu mudah? "Tidak, aku hanya menebak. Nah, sudah sampai. Kita belum telat bukan?" tanyaku ragu yang berusaha menghindar dengan berjalan cepat menuju pintu masuk.

Aku dan Rose mulai bersiap di meja yang telah di tentukan kemarin. Tepukan tangan bu Joana membuat kami semua yang ada di ruangan ini menoleh kepadanya. Kali ini kami akan diajari mengenai luka yang lebih dalam. Kata bu Joana luka yang cukup dalam sampai membuat orangnya merasa sakit jika bergerak, ditambah dengan kedipan mata saat mengatakan hal itu.

Oke, buang jauh-jauh mengenai elf semuanya waras.

Bu Joana memberi tahukan mengenai luka tusuk yang cukup dalam. Caranya cukup mudah untukku, karena luka tusuk yang diberikan oleh bu Joana ialah luka tusuk karena kayu runcing. Awalnya kayu yang tidak terlalu tipis lalu kayu yang sangat-sangat tipis. Bu Joana berkeliling melihat penanganan kami satu per satu sembari menjelaskan jika ada kesalahan.

"Lan, sepertinya kau benar-benar terbiasa ya."

"Apa?" Aku mengangkat kepalaku dan menemukan bu Joana yang berdiri di dekatku.

"Kemarin kau memberikan penangan yang tepat untuk luka gores, sekarang kau bahkan bisa mengeluarkan tusukan kayu dari kulit tanpa kebingungan," kata bu Joana ceria.

Tusukan ke hati lebih susah di tanganin loh bu. "Iya, kalau di tempat saya ini sering terjadi, tetapi berbeda dengan luka yang lebih serius," kataku yang berusaha sedikit merendah dan menghancurkan pemikiran kalau aku sangat ahli.

"Begitu kah? Kalau begitu saat terluka seperti itu apa yang kau lakukan?" tanya bu Joana yang entah mengapa malah tertarik.

"Em ... sedikit menjijikan, tetapi saya membiarkan ludah saya mengenai luka bu."

"Bukankah mulut adalah tempat bakteri yang banyak?" tanya gadis elf lain. Sepertinya aku sudah menjadi pusat perhatian sekarang.

"Itu memang benar, tetapi yang dari saya ketahui bahwa di dalam ludah, atau silva terdapat bakteri yang bisa menyembukan luka dengan cepat. Tapi aku tidak tahu dengan elf, apakah sama atau tidak," kataku yang langsung memutuskan kontak mata dari semua elf yang ada di sini.

Suara bisik-bisik memenuhi sekelilingku. Aku melihat sedikit bu Joana yang sedang berpikir keras. "Itu bisa menjadi bahan penelitian. Terima kasih atas informasimu Lan," kata bu Joana yang menunjukkan senyumannya dan sebelah tangannya yang ia letakkan di bahuku. "Baiklah semuanya, kembali bekerja!" kata bu Joana yang berbalik dan membuat elf lainnya kembali pada kegiatan mereka tadi.

Aku hanya bisa berharap aku tidak melakukan sebuah kesalahan.

....

"Kau jenius!!"

"Dari mana coba?" tanyaku malas sambil melirik Rose yang menatapku dengan kagum.

"Kau memberi suatu informasi yang tidak kita ketahui. Apalagi selain jenius?" tanya Rose dengan senyum bangganya.

"Aku hanya memberi tahu satu informasi yang baru untuk kalian. Baru- satu. Aku tidak sejenius itu," kataku sambil menghela nafasku.

"Aku penasaran apa yang ada di dalam otakmu hm? Sepertinya banyak yang perlu di bongkar," kata Rose sambil mendekatiku dengan kedua tangan yang seperti ingin memegang kepalaku.

"Oh, ayolah, sepertinya ada elf yang psikopat lagi di sini," kataku sambil menghindarinya.

"Jika itu artinya aku bisa membongkar isi kepalamu, maka itu artinya iya," kata Rose yang masih mengejarku.

Setelah beberapa lama kami berhenti karena kelelahan, aku juga harus menyiapkan energi lebih untuk mempersiapkan diri di latihan malam ini. Setelah sampai di rumah, kakek kembali menyuruhku untuk kembali bersiap dan berjalan sambil memakan sebuah roti khas elf.

"Tidakkah kau merasakanya?" tanya kakek yang masih berjalan sambil melihat sekeliling perlahan.

"Apa? Kunang-kunang?" tanyaku bingung karena dari kami berjalan sembari di temani kunang-kunang, walaupun sekarang belum benar-benar gelap.

"Tidak, energi yang alam berikan," kata kakek sambil tersenyum lembut.

Aku menatap sekeliling dan mencoba melihat jika ada sesuatu yang ganjal. "Aku rasa aku harus me-level up kekuatanku dulu,"kataku sambil tertawa hambar.

"Tenanglah, jika memang kau mempunyai kemauan yang kuat, pasti kau bisa menjadi salah satunya," kata kakek sambil mengelus pundakku lalu kembali berjalan.

Kemauan... yah? Padahal aku hanya berpikir karena aku berada di dunia di mana sihir adalah hal yang biasa dan tidak memerlukan kontrak sana-sini, jadi aku bisa menjadi seseorang yang bisa menggunakan sihir. Apakah kemauan seperti itu cukup?

"Nah Lan, ayo kita mulai lagi."

Aku melihat kakek yang tersenyum lembut dengan batu-batu hijau yang masih mengeluarkan cahayanya dengan indah. Oke, masalah nanti pikirkan nanti. Untuk sekarang tidak ada salahnya di coba.

.
.
.
.
.
.

Berikan jejak kalian, maka itu bisa menjadi semangat saya dalam melanjutkan cerita. Terima kasih sudah mampir~



Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro