14] DAFTAR

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Losta Connecta by Andhyrama

www.andhyrama.com// IG: @andhyrama// Twitter: @andhyrama//FB: Andhyrama// Ask.fm: @andhyrama

***

Kau ini cowok macam apa? Beraninya membuat Sella menangis! Aku tidak terima kau melakukan itu. Aku memang adik kelasmu, tetapi aku tidak takut padamu! Aku akan tunjukan padamu kalau kau akan menyesal telah menyakiti pujaan hatiku!

Membaca surat yang aku temukan di laci itu membuatku terdiam. Sesungguhnya semalam aku juga memikirkan tingkahku yang berlebihan membentak Sella, walau itu hanya satu persen dibanding kegalauanku karena Hana, tetapi itu juga cukup membuat pikiranku bertambah berat.

Surat ini ditulis oleh anak yang sama dengan yang mengirimku surat berpita hitam saat MOS. Aku tidak tahu siapa anak yang menyukai Sella, kenapa dia tidak langsung melabrakku saja kemarin? Kenapa harus dengan mengirimkan surat seperti ini? Tanpa diberi surat seperti ini, aku juga sudah bertekad akan minta maaf, tetapi nanti. Aku mau menikmati hari tanpa Sella dulu.

"Angga sudah buat PR Bu Markonah?" tanya Aldi yang memang duduk denganku sekarang.

"Sudah," kataku yang memang kemarin mengerjakan PR walau sedang galau tingkat berat.

"Mana," ucapnya yang sudah pasti mau mencontek.

Aku segera mengambil bukuku dan kuberikan pada Aldi. Dia membuka-bukanya, sedangkan aku segera menyembunyikan surat dari pengagum rahasia Sella ke sakuku.

"Apakah kamu tahu rasanya melihatmu bersama dirinya? Itu benar-benar sakit, sesakit melihat Raisa duet dengan Afgan," kata Aldi yang ternyata membaca bagian belakang buku PRku.

"Jangan dibaca!" kataku hendak merebut buku itu.

"Apakah kamu tahu rasanya melihatmu memandangnya? Itu benar-benar pedih, sepedih memandang isi dompetku yang tinggal bon-bon bensin," Aldi melanjutkan membaca, sedangkan aku masih mencoba merebut buku itu.

"Apakah kamu tahu rasanya melihatmu memeluknya? Itu benar-benar perih, seperih membasuh mata dengan jus bawang," Aldi membaca itu dengan intonasi yang dibuat-buat dan saat itu aku bisa mengambilnya.

"Aku bilang jangan dibaca!" kataku kesal yang akhirnya menyobek lembar akhir dari buku itu dan memberikannya kembali kepada Aldi.

"Itu buat siapa?" tanya dia meledek.

"Rahasia," jawabku sembari meremas-remas kertas itu.

"Ayolah cerita," bujuknya dengan senyuman jail.

"Jangan dibahas," ujarku.

"Ratna?" tebaknya.

"Aku sudah move on darinya. Sama sekali bukan dia," jawabku.

"Kamu kan sudah ada Risa," ucapnya tiba-tiba.

"Iya, ini puisi udah lama kok, jangan dibahas makanya," kataku salah tingkah.

"Itu bukan puisi, masa puisi konyol banget," ucapnya mengejek.

"Tulisan," kataku.

"Tulisan kegalauan," sahutnya menambahkan.

"Tulisan kegalauan seorang yang menderita kesendirian," tambahku.

"Tulisan kegalauan seorang yang menderita kesendirian tanpa dirinya yang telah pergi," tambahnya lagi.

"Cukup!" Kalau dilanjutkan kami bisa membuatnya menjadi novel, diterbitkan dan menjadi best seller, menjadi film, diadaptasi Hollywood dan memenangkan Best Picture dalam ajang Academy Awards.

Saat pelajaran Pak Wiwit yang santai, aku bercerita pada Risa tentang pesta ulang tahun Ratna, dia tidak ingin ikut, tetapi aku paksa dia dengan lembut dan akhirnya dia mau. Sebenarnya, aku punya rencana di pesta yang akan diadakan besok malam itu.

Gio dan Kina juga akan datang, ini adalah saat yang tepat untuk membuat Gio berhenti bermain-main dengan Kina. Aku membujuk Risa untuk tampil beda besok, adikku Nala akan membantunya. Walau Nala tidak suka berdandan, tetapi dia sangat pintar mendadani orang. Aku sudah membicarakan itu pada Nala dan dia setuju membantuku.

Saat pulang sekolah, aku melihat Hana sedang berdiri menunggu di depan sekolah. Aku tahu dia menunggu Bang Haris. Melihatnya berdiri di sana sendiri membuatku ingin sedikit berbincang-bincang. Aku tahu dia sudah punya pasangan, tetapi apa salahnya jika aku dan dia menjadi teman? Lagi pula, kami satu ekskul dan dia harus berangkat besok.

Aku memarkirkan motorku di pinggir jalan dan kemudian mendekatinya. "Hana," panggilku.

Dia tak menoleh sehingga aku menyentuh pundaknya dengan jari telunjukku. Dia langsung menoleh padaku. "Lap?"

Ini benar-benar menyakitkan, melihat wajah seseorang yang kita sukai dan mengetahui fakta bahwa dia sudah ada yang memiliki. Mengetahui dia tidak akan memikirkanku sama sekali, tidak akan mau mengerti dan memahami. Akan tetapi, setidaknya dia sehat, dia senang dan dia hidup. Aku akan mencoba bahagia di samping kebahagiannya.

"Besok kamu datang ekskul?" tanyaku.

"Besok Sabtu," jawabnya.

"Iya, Sabtu kita main pedang lagi," kataku.

"Pedang samurai?" tanya dia.

"Bukan, pedangnya beda," jawabku.

"Beda-beda, tetapi tetap satu jua," jawabnya.

"Kamu tetap dalam jiwa," gumamku tanpa suara.

"Jiwa dan raga?" kataku.

Padahal aku tidak mengeluarkan suara, tetapi dia dengar. "Iya, jiwa dan ragaku selalu ada kamu," jawabku yang sudah ketahuan.

"Salah," katanya. "Bagimu negeri, jiwa raga kami," tambahnya dengan nada Padamu Negeri.

"Iya, lupa lirik," kataku cengengesan.

"Lupa-lupa ingat?" tanya dia.

"Iya lupa-lupa ingat," kataku mengiyakan.

"Kalau sama kamu aku tidak akan lupa," kata dia.

Seketika ada getaran di dada yang membuatku merasa melayang, tetapi aku tidak ingin terbang. Aku tidak akan terkecoh oleh kata-katanya. Karena jika aku terkecoh, aku akan semakin sakit mengetahui faktanya.

"Kamu menyandar ke tembok, ya? Seragam pramuka bagian punggungmu kotor," kataku yang melihat ke punggung Hana.

Dia menyingkirkan rambutnya ke depan dan seperti ingin membersihkan bagian punggungnya itu. 

"Biar aku bantu," kataku yang kemudian mencoba membantu dengan menyibak debu-debu cat berwarna putih itu.

Bunyi motor terdengar mengerem di depan kami. Motor besar itu, cowok tinggi yang melepas helmnya itu. Dia adalah Kakanda, maksudku Bang Haris. Ia segera turun dan menarikku. Membawaku dengan wajah marah serta tangan yang terangkat.

"Apa yang kamu lakukan pada Adinda?" tanya Bang Haris.

Aku bukannya takut, tetapi kaget. "Cuma membantunya," jawabku.

"Jujur saja! Wajahmu ingin aku tonjok?" katanya menggertak.

"Itu tangan Abang kayaknya mau tampar bukan tonjok," kataku yang melihat posisi tangannya belum terkepal.

"Oh iya, maaf," ucapnya, "aku ulangi saja," tambahnya yang kemudian mengepalkan tangannya seperti ingin menonjok.

"Iya, Bang, silakan," kataku.

"Jujur saja! Wajahmu ingin aku tonjok?" katanya mengulangi gertakannya.

"Jangan! Aku bisa menjelaskannya," kataku memohon.

"Ikuti aku! Kita ngobrol di Kafe Hujan, aku bayarin," katanya yang segera melepaskan tangannya dari lenganku.

"Makasih Kakanda," jawabku, "maksudku Bang!" ucapku mengoreksi.

Hana melihatku seperti khawatir. Dia segera memakai helm yang diberikan Bang Haris. Aku menuju motorku dan mereka berdua berboncengan. Aku disuruh untuk mengikuti mereka, Bang Haris bilang, dia antar Hana dulu, lalu baru kami ke Kafe Hujan.

Melihat Hana memeluk Bang Haris dari belakang di motornya itu membuatku panas. Aku tidak cemburu, walau aku juga harus menjelaskan kejadian tadi pada Bang Haris. Akan tetapi, aku bingung kenapa dia mau mengobrol denganku? Kenapa dia membawaku ke Kafe Hujan? Kenapa dia mau mentraktirku? Apa yang akan dia bicarakan?

Di Kafe Hujan, tempat yang romantis itu. Aku dan Bang Haris duduk di kursi di meja yang paling pojok. Dia mengeluarkan buku catatannya, sedangkan aku bingung mau mengatakan apa, tetapi aku mencoba memberanikan diriku.

"Bang, tadi itu aku cuma mau membersihkan kotoran di punggung Hana," jelasku.

"Adindaku sudah menjelaskannya tadi," jawabnya.

"Maaf Bang, aku mengganggunya lagi," kataku menunduk.

"Nama?" tanya dia.

"Lana Anggarda Praja," jawabku bingung.

"Tempat, tanggal lahir?"

"Bogor, 29 Februari 1998," jawabnya.

"Sekarang 2015, jadi kamu tidak ulang tahun, ya?" tanya Bang Haris yang kemudian aku jawab dengan anggukan. "Tahun depan, tenang saja."

"Iya, Bang! Tahun depan," jawabku menahan tawa.

"Kenapa?" tanya dia.

"Tahun 1998 kan bukan tahun kabisat, aku lahir tanggal 28," kataku tertawa. "Bang Haris kurang fokus nih!"

"Astaga!" Dia menepuk dahinya. "Jadi, sejak kapan kamu suka dengan adikku?" tanya Bang haris.

Aku mengangkat kepalaku. Aku bingung, tetapi segera tersenyum lebar mengetahui fakta bahwa Bang Haris adalah kakaknya Hana. Jadi, selama ini aku hanya cemburu buta. Pantas saja mereka mirip, sama-sama punya fisik yang high class.

"Sejak dia mengambil alih kapasitas berpikir otakku," jawabku serasa semangat.

"Kapan itu?" tanya dia lagi sembari menulis.

"Dua minggu yang lalu kalau tidak salah," kataku mencoba mengingat.

"Apa yang kamu suka darinya?" tanya dia lagi.

"Aku tidak munafik, dia cantik," kataku. "Hanya orang yang merasa jelek yang menganggap orang tidak boleh suka orang karena fisiknya," tambahku.

"Bukan begitu, orang yang sadar dirinya tidak cantik secara fisik, pasti akan mencoba menarik dengan hal lain tanpa harus mempermasalahkan kodrat bahwa pria suka wanita cantik secara fisik. Kalau dia iri dengan kecantikan orang lain dia akan mengatakan bahwa kecantikan dalam yang nomor satu sehingga mereka mencemooh wanita yang cantik dari luar saja, dengan cemoohan mereka itu, mereka pun jadi tidak cantik luar dan dalam," jelas Bang Haris.

"Menurutku kecantikan dalam seorang wanita itu ada di level lebih tinggi, maksudku tidak semua orang bisa langsung tahu kalau dia benar-benar cantik dari dalam. Perlu pendekatan lebih dari hanya sekedar penglihatan," ucapku berpendapat.

"Fake persona, sekarang ini banyak wanita yang terlihat baik, tetapi di belakangnya kita tidak tahu," kata Bang Haris lirih. "Hana memang cantik, tetapi kamu tidak hanya butuh kecantikan wajah bukan? Banyak wanita cantik yang menyebalkan. Jadi, selain cantik, apa yang kamu suka lagi darinya?" tanya dia lagi.

"Iya, kecantikannya bukan segalanya. Aku tidak langsung jatuh cinta ketika melihat parasnya, aku jatuh cinta sejak dia tersenyum padaku. Dia murah senyum, itu yang membuatku tak mampu berpaling dari bentuk senyumnya yang selalu terngiang di kala aku ingin tidur," kataku menjelaskan sembari membayangkan senyum Hana.

"Cantik, murah senyum, lalu?" Bang Haris mencatat dalam buku catatannya.

"Lucu, dia selalu membuatku bahagia dengan ucapan-ucapannya yang di luar dugaan. Awal-awal memang aku bingung saat berbicara dengannya, tetapi sekarang aku kecanduan, aku selalu ingin bicara dengannya," jawabku yang langsung rindu pada Hana.

"Orang-orang menyebutnya oon, tulalit, bahkan mungkin saja aneh. Akan tetapi, kamu mengatakan dia lucu? Aku tidak percaya," ujar Bang Haris menggeleng, "tetapi, aku mengerti dia terlalu sempurna jika dia bisa bicara dengan normal."

"Tidak! Justru dia akan menjadi biasa saja jika dia seperti gadis lain. Hana yang sekarang sudah sangat sempurna buatku, dia punya kelebihan, dia juga punya kekurangan. Manusia yang sempurna adalah manusia yang punya kekurangan dan kelebihan," kataku membantah.

"Tidak sependek itu, dia akan lebih sempurna jika dia bisa menutupi kekurangannya," kata Bang Haris.

"Aku akan menutupinya, aku akan melengkapinya," ujarku bersemangat.

Dua gelas cappuccino yang dipesan Bang Haris datang. Kami  mencicipinya sebelum dia mulai mewawancaraiku lagi.

"Kamu adalah peserta ke sembilan belas. Dari hari Minggu aku mendata siapa-siapa saja yang sedang berusaha mendapatkan adindaku tercinta, jadi aku mencoba menyeleksinya. Ada empat belas yang menyatakan bahwa dia menyerah setelah aku mengatakan sejujurnya tentang adikku, tersisa lima jika kamu aku hitung," katanya.

"Siapa saja mereka?" tanyaku ingin tahu. "Maksudku keempat lainnya."

"Ada satu orang dari sekolahmu, tiga yang lain bukan," jawabnya. "Aku rasa kau sudah tahu tentang Hana. Jadi, aku langsung saja katakan padamu bahwa kamu ingin maju atau tidak?" tanya Bang Haris.

"Aku akan maju," kataku semangat.

"Wawancara kita lanjutkan," kata dia.

"Siap!"

"Kamu merokok?" tanya dia.

"Tidak!" jawabku mantap.

"Cupu!" ledeknya terkekeh.

"Maksudku aku sudah berhenti, aku sempat merokok dari kelas delapan sampai kelas sepuluh," jawabku jujur.

"Kenapa kamu berhenti?" tanya Bang Haris.

"Korekku hilang saat itu, aku jadi berhenti," jawabku jujur.

"Biasanya alasannya karena demi kesehatan, sadar buang-buang duit, tetapi kamu malah karena koreknya hilang. Bolehlah," kata Bang Haris mencatat lagi jawabanku.

"Selain itu, aku juga ingin melindungi Ratna, pacarku sejak kelas sepuluh. Aku tidak ingin menebar asap rokokku ke arahnya," jawabku.

"Kamu punya pacar sekarang?" tanyanya lagi membuatku kaget.

Sekarang aku adalah pacar Risa, bagaimana ini! Apakah aku harus jujur padanya? Astaga aku bingung. "Aku punya, tetapi itu hanya pacar bohongan. Maksudku dia menjadikanku pacar hanya ingin menutupi statusnya yang sedang gawat. Dia sahabatku, aku hanya membantunya," kataku dengan panik.

"Pacar bohongan," kata Bang Haris dengan nada tidak senang.

"Iya, itu hanya bohongan," jawabku.

"Hubunganmu dengan keluarga bagaimana?" tanya dia yang membuatku kaget lagi.

Ini demi Hana, aku harus jujur pada kakaknya. "Aku punya Nala, adikku dan hubungan kami baik sekali. Aku dan ayahku juga baik, tetapi aku sedikit punya masalah dengan ibuku." jawabku dengan menunduk.

"Apa itu?" tanya dia.

"Dia pergi meninggalkan kami. Maksudku dia hanya pergi ke rumah nenek, tetapi dia sepertinya akan segera berpisah dengan ayahku. Mereka tak mengatakan apa masalahnya, aku tidak tahu apa-apa," jawabku.

"Complicated. Baiklah, pertanyaan terakhir. Apakah kamu pernah membuat wanita menangis?" tanya dia.

Baru kemarin aku membuat Sella menangis, sekarang pertanyaan itu datang padaku. Aku harus menjawabnya dengan jujur. "Iya, aku pernah," jawabku.

"Seberapa sering?" tanya dia lagi padahal tadi katanya pertanyaan terakhir.

"Aku sering membuat Nala menangis saat kecil karena kenakalanku. Aku membuat Ratna menangis karena aku meninggalkannya saat kami bertengkar. Aku membuat ibuku menangis karena aku membentakku beberapa saat lalu. Aku membuat Sella menangis karena aku juga membentaknya," kataku menunduk.

"Aku menyayangi adikku. Aku tidak ingin membiarkan dia berhubungan dengan seseorang yang suka membuat wanita menangis. Kamu tahu aku pun juga, aku sering menolak cewek yang mengatakan bahwa dia ingin menjadi pacarku. Mereka kemudian menangis, tetapi aku memeluknya dan mengatakan bahwa ada banyak pria di luar sana, jangan menangis karena aku," kata Bang Haris membagikan pengalamannya. "Seorang pria pasti pernah membuat wanita menangis walau hanya sekali yaitu membuat ibunya menangis saat melahirkannya. Akan tetapi, alangkah baiknya kalau kita berusaha membuat wanita selalu tersenyum di depan kita," tambahnya.

"Aku berjanji tidak akan membuat Hana menangis," kataku.

"Jangan berjanji padaku, jangan pula hanya pada Hana," jawabnya. "Janji bukan untuk main-main, kamu tahu itu kan? Jika kamu mengingkari janjimu orang yang kamu beri janji pasti akan kecewa."

"Aku akan berjanji pada diriku sendiri, biarkan aku sendiri yang kecewa kalau aku sampai mengingkari janjiku. Aku berjanji tidak akan membuat wanita menangis karena bersedih lagi," kataku bertekad.

"Aku hargai segala kejujuranmu dalam wawancara kali ini. Aku suka orang yang jujur, tetapi kamu juga jangan obral kejujuran. Seharusnya kamu tahu mana yang harus kamu katakan secara jujur mana yang tidak," katanya.

"Tidak berarti berbohong begitu?" tanyaku.

"Bukan, menyembunyikan sesuatu yang tak pantas dibicarakan bukan dengan cara berbohong, tetapi dengan cara diam," katanya.

"Diam itu emas," ujarku.

"Emas itu berkilau dan matamu berkilau bagai lautan," katanya.

"Laut ataupun samudera akan aku seberangi demi Kakanda," ucapku meringis.

"Demi Lovato itu yang menyanyi Serangan Jantung, Adinda!" jawabnya.

"Aku bisa serangan jantung kalau Kakanda pergi," kataku yang sedang menahan tawa.

"Kakanda harus pergi, Adinda! Kakanda harus mencari sang naga terbang," katanya lagi yang juga menahan tawa.

"Bawa Adinda terbang bersama Kakanda," kataku.

Dia kemudian tertawa. "Kamu anaknya ngaco juga!" katanya masih tertawa.

Aku pun juga tertawa. "Iya Kakanda juga," jawabku.

"Jangan panggil begitu," katanya.

"Aku pengin," ucapku.

"Nanti kalau udah resmi," jawabnya mencoba menghentikan tawanya.

"Iya, Bang!" kataku masih tertawa.

Lampu hijau nih! Ahay! Aku jadi sebuma sangijetan! Alias senang bukan main sampai ingin jempalitan!


------

Andhyrama's Note

Jatuh cinta, aku selalu jatuh cinta pada senyuman seorang wanita. Secantik apa pun dia kalau tidak tersenyum tidak akan membuatku jatuh cinta. Eaaaks!

Kalau kalian bagaimana saat jatuh cinta? Hahahaha.

Question Time

Sampai di sini, karakter favoritmu itu siapa? Alasannya juga ya!

Loco's Challenge #2

Kita akan bermain drama, kalian hanya perlu membuat percakapan dari kasus-kasus yang nanti saya berikan. Ayo tunjukan drama kalian! (jangan di dunia nyata doang ngedrama-nya)

Contoh :

Kasus : Siti baru saja memergoki Paijo bermain hati dengan Sarinah padahal Siti sudah dijanjikan akan dilamar Paijo.

Siti : Apa yang Akang lakukan? Kenapa Akang tega dengan Siti?

Paijo : Siti dengarkan akang, Sarinah itu sudah mati.

Siti : Sekarang aku lihat dia sedang mencium Akang!

*paijo pinsan*

Ayo beraksi!

Kasus 1 : Sini telah lama berpacaran dengan Sana, tetapi Sana tak kunjung melamar Sini, bahkan mereka Sana tak pernah menyentuh Sini. Lalu sini ingin bertanya pada Sana.

Kasus 2 : Juminten hamil padahal dia mandul, kemudian dia ke dukun dan bertanya siapa yang menghamilinya.

Kasus 3 : Kinaryo dipecat oleh bosnya, tetapi dia tetap berangkat kerja. Santo kemudian bertanya pada Kinaryo kenapa dia tetap berangkat kerja.

Kalian pasti bisa!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro