20] BINGUNG

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Losta Connecta by Andhyrama

www.andhyrama.com// IG: @andhyrama// Twitter: @andhyrama//FB: Andhyrama// Ask.fm: @andhyrama

***

"Hana, aku dan ayahku akan datang ke rumahmu. Aku akan melamarmu," kataku pada Hana yang kedua tangannya aku pegang.

"Ibumu tidak ikut?" tanya dia dengan pandangan bingung.

"Dia tidak bisa ikut," kataku beralasan.

Dia menarik kedua tangannya. "Maaf," jawabnya.

"Hana, kamu kenapa?" tanyaku lagi.

Dia hanya memandangku dengan aneh. "Dia juga akan datang melamarku, dia akan datang dengan kedua orang tuanya," jawab Hana yang membuatku membisu.

Aku hanya diam mendengarnya mengatakan itu. Aku tidak tahu mengapa dia memberi tahu padaku tentang lawanku yang akan melamarnya bersama kedua orang tuanya. Apa aku sudah kalah? Apa aku sudah tidak bisa memperbaiki ini? Hana, maafkan aku.

Dia pergi dariku. Hana pergi dariku. Tanpa kata-kata selamat tinggal, tanpa ucapan lain. Dia hanya melangkah pergi tanpa menoleh padaku. Aku sudah tak bisa menahan diriku untuk tidak bersedih. Pipiku seakan mengeras, mataku seakan didorong oleh aliran arus. Aku menangis tanpa suara.

"Dia tidak ingin dilamar anak durhaka, Angga," kata Risa yang tiba-tiba muncul.

"Apa salahnya menemuinya, Ngga? Nyokap lu pasti kangen," sahut Gio yang muncul di belakang Risa.

"Kak Lana, tidak ingin titip salam ke Ibu?" tanya Nala yang datang dari arah lain.

Aku mundur perlahan saat mereka semua mengatakan hal-hal itu. Aku bukan anak durhaka, aku bukan anak yang seperti itu. Kalian tolong mengerti! Aku tidak seperti itu! Aku hanya bisa menggeleng sembari mundur teratur. Air mataku masih turun membasahi pipi. Kakiku gemetaran, tetapi tetap bergerak ke belakang. Sampai kakiku tak lagi berpijak, aku terjatuh dan terbangun dari mimpiku.

Napasku tersengal karena merasa bahwa diriku telah terjatuh. Aku bangkit dan duduk sembari melihat sekitar kamarku. Itu hanya mimpi, itu tidak nyata. Aku mencoba menenangkan diriku dari mimpi buruk yang baru terjadi itu. Tiba-tiba ponselku yang ada di meja dekat ranjang berdering dan aku segera mengambilnya.

Sebuah panggilan dari nomor yang tidak kukenal. Aku langsung berpikiran bahwa itu adalah Ibu. Pikiranku saat ini hanya tertuju padanya, pada ibuku. Aku mengangkat panggilan itu sembari menempelkan ponsel ke telingaku.

"Halo, Bangga! Selamat ulang tahun!" ucap seseorang yang aku tahu adalah Sella.

"Aku tidak ulang tahun," jawabku datar.

"Ulangi Sella," kata dia seperti pada dirinya sendiri. "Halo, Bangga! Selamat ulang hari!" ucapnya lagi yang langsung membuatku menggeleng.

Aku mengecek jam di ponselku dan ini tepat tengah malam. Astaga kenapa dia masih sempat-sempatnya telepon sih? Kalau Hana sih tak masalah. Ini Sella, kututup saja kayaknya.

"Aku mengantuk, aku tutup ya," kataku.

"Jahat!" kata dia tiba-tiba.

"Memangnya ada apa?" jawabku yang sensitif sekali kalau ada cewek bilang jahat ke aku.

"Bangga enggak kangen Sella? Aku kangen banget!" kata dia.

"Enggak," jawabku malas.

"Aku kan sudah jadi unyu, seharusnya Bangga kangen dong," jawabnya.

"Ada yang lebih unyu," jawabku yang kumaksudkan untuk Hana.

"Ih, siapa dia? Kata cermin ajaib aku yang paling unyu," kata dia dengan nada kesal.

"Iya deh kamu paling unyu," kataku yang mengalah.

"Aku tadi mimpi Bangga. Di mimpi aku, Bangga keren banget! Bangga jadi Superman yang menyelamatkan aku dari monster jahat. Terus aku dipeluk Bangga, dibawa terbang bersama. Ah so sweet banget deh," terangnya dengan agak heboh.

Aku langsung teringat mimpiku terakhir tentang Sella di mana dia menjadi raksasa dan memakanku. Sekarang dia memimpikanku? Aku jadi Superman? Aku pakai celana dalam di luar berarti ya? Kok aku malah jijik membayangkannya.

"Sella, aku mau tidur lagi, sudah ya," ucapku.

"Hana, kamu tidur lagi aja," kata Sella yang aku tahu tidak ditunjukkan padaku.

"Kamu bersama Hana?" tanyaku yang tiba-tiba jadi melek.

"Iya, aku menginap di tempat Hana," kata Sella. "Eh, tadi aku belum lanjut mimpiku. Habis dibawa terbang lalu aku dijatuhin di taman bunga, aku tidur bersama bunga-bunga. Saat itu banyak orang memarahiku karena aku sambil selfie di antara bunga-bunga itu. Untung ada Bangga, mereka jadi sibuk foto bareng Bangga daripada mengurusi aku yang merusak bunga-bunga."

"Kirim fotonya Hana coba, aku tidak percaya kamu tidur sama Hana," kataku yang sama sekali tidak peduli dengan lanjutan mimpinya Sella.

"Ih, percaya padaku dong Bangga," kata dia, "aku foto nih, nanti aku kirim," tambahnya.

Aku mengiyakan, beberapa saat kemudian aku bilang, "sudah belum?"

"Iya nanti aku kirim," jawabnya, "eh, iya Bangga aku a-" kata-katanya segera aku potong karena aku penasaran pada satu hal.

"Kenapa kamu bisa menginap di tempat Hana?" tanyaku.

"Hana dapat nilai empat puluh pelajaran Pak Herno, jadi aku mau bantu belajar bersama. Aku sih dapat nilainya lima puluh," jawabnya kemudian.

Aku tertawa kecil. "Terima kasih, ya," jawabku.

"Kenapa Bangga malah terima kasih?" tanya dia.

"Ternyata kamu baik," jawabku. "Jangan lupa kirim fotonya, aku mau tidur lagi, ya!"

"Ok, Bangga! Kecup jauh dari bibir seksiku!" kata dia yang membuatku terkekeh pelan.

Setelah itu, aku benar-benar mendapatkan foto Hana yang sedang tidur. Ah, lucu banget, jadi pengin ada di sisinya. Bagaimana dia menutup mata, bagaimana bibirnya terbuka sempit, dia bagaikan putri tidur yang minta dicium buat dibangunkan.

Dia juga akan datang melamarku, dia akan datang dengan kedua orang tuanya.

Tiba-tiba kata-kata itu terngiang, kata-kata di dalam mimpiku yang diucapkan oleh Hana. Aku melunturkan senyumku, menaruh ponselku kembali dan segera kembali tidur. Apa benar hal itu akan terjadi? Aku tidak akan pernah mendapatkan Hana jika hubunganku seperti ini terus dengan ibuku. Apa itu benar? Apa yang harus aku lakukan jika itu benar?

***

Pagi ini, aku sarapan dengan Nala di ruang makan yang bergabung dengan dapur. Ayah tidak ikut makan bersama kami. Adikku masih begitu diam, aku tidak mengerti. Biasanya dia cukup aktif berbicara. Apa ada sesuatu yang sedang dipikirkannya ya? Apa tugas-tugasnya belum selesai atau ada hal lain? Lebih baik aku tanyakan saja.

"Nala, kamu kenapa? Kayak tidak semangat begitu," tanyaku dengan nada senormal mungkin.

"Tidak ada apa-apa," jawabnya.

"Sejak pulang dari Tangerang kamu murung terus, ada masalah apa?" tanyaku lagi.

"Aku bilang tidak ada apa-apa, Kak," jawabnya lagi tanpa menoleh ke arahku.

Aku berhenti makan. "Nala, jangan bohong! Katakan saja," kataku yang agak memaksa.

"Sebenarnya," kata dia lirih sembari menaruh sendoknya seperti tak ingin makan lagi. "Tidak ada apa-apa."

"Nala, kalau kamu punya masalah berarti itu masalahku juga," kataku.

"Ibu," ucapnya lirih.

Aku agak terkejut, aku langsung teringat mimpi semalam. "Ada apa dengan Ibu?" tanyaku dengan nada pelan.

"Ibu," Nala terisak sembari menahan emosi yang bisa kulihat dari tangannya yang bergetar. "Dia menyuruhku agar tidak menjenguknya lagi," tambahnya membuatku menggeleng pelan.

"Kamu tahu kan sekarang? Kamu mengerti kan sekarang?" tanyaku ke Nala yang seperti tengah menangis.

"Kak Lana," ucapnya yang kini benar-benar menangis.

"Dia sudah tidak menyayangi kita. Dia sudah melupakan kita. Aku akan bicara pada Ayah agar Ibu cepat diceraikan saja. Kita akan punya Ibu baru yang peduli dengan kita," kataku ke Nala dengan emosi.

"Tidak," kata Nala menggeleng. "Mereka tidak boleh bercerai!" Nala memandangku seperti menahan air matanya.

"Sudahlah, Nala. Ayah juga pasti ingin menikah lagi, kamu tidak sadar selama ini dia kesepian? Mereka harus segera bercerai, demi kita," jawabku sembari tertawa getir.

"Semudah itu? Semudah itu Kak Lana ingin mengganti Ibu?" tanya Nala menggeleng pelan sembari berdiri.

"Demi kita, demi aku, kamu dan Ayah," jawabku.

"Tapi dia ibu kita! Dia yang melahirkan kita! Dia tidak akan pernah terganti, aku tidak akan biarkan Kak Lana menyuruh mereka bercerai," jawabnya dengan penekanan.

Aku ikut berdiri. "Dengar baik-baik. Dia sudah tidak mau bertemu kita, dia bukan ibu kita lagi. Lupakan dia, kita akan mendapatkan ibu tiri yang jauh lebih baik," jawabku yang kemudian pergi.

"Kak Lana jahat!" teriak Nala.

Aku menoleh padanya, aku bisa melihat wajahnya begitu marah. Akan tetapi, aku juga marah. Bagaimana Ibu menyuruh Nala untuk tidak mengunjunginya lagi. Dia memang bukan ibu kami lagi. Nala, kamu harus mengerti! Dia tidak sayang kita! Aku pergi saat kusadari air mataku sudah ada di ujung pelupuk mata.

***

Selasa ini benar-benar berbeda. Efek malam minggu bersama Hana meluntur karena masalah Ibu. Kenapa aku harus ada masalah keluarga di saat aku sedang ingin menikmati indahnya jatuh cinta. Sebenarnya aku juga setuju dengan kata Nala bahwa Ibu memang tidak bisa digantikan, tetapi jika memang seperti ini masalahnya. Dia mau tidak mau harus segera enyah selamanya. Aku akan membicarakan hal itu pada Ayah nanti.

Untung saja ada hal-hal lucu di kelas yang membuat beban pikiranku menjadi ringan. Seperti saat Aldi ketahuan tidur dan dimarahi guru dia malah berteriak, 'Mama minta pulang!' Sekelas menertawakannya. Padahal aku kasihan sih dia kayaknya begadang semalaman, mukanya kayak orang teler.

Sepulang sekolah, aku ikut bergabung dengan anak kelas sebelas yang tengah mengadakan seleksi menjadi pengurus OSIS tahap tertulis. Kelas dua belas memang tidak wajib ikut, tetapi aku ingin bertemu dengan Reno, aku ingin berbincang-bincang dengannya.

Saat anak OSIS lain tengah menjaga kelas-kelas yang digunakan untuk seleksi tertulis, aku bersama Reno berada di luar kelas di lantai tiga. Kami berdiri dengan tangan memegang ke tembok pembatas. Reno tengah memakan permen karet, dan tentu saja aku minta.

"Nih, Kak," kata dia memberikanku satu dari wadahnya, kalau Gio pasti memberikanku yang ada di mulutnya.

"Kau masih ada semangat untuk jadi ketua OSIS, kan Ren?" tanyaku sembari memasukkan permen karet ke dalam mulut.

"Aku tidak yakin, Kak," katanya seperti ragu.

"Kenapa?"

"Aku takut aku tidak bisa bertanggung jawab. Selama ini kakak semua yang memang mendorongku untuk maju, jadi ketua. Akan tetapi, dalam diriku sendiri aku masih banyak keraguan untuk maju. Aku tidak ingin mengecewakan," jawabnya.

"Itu bagus," kataku dan dia langsung menoleh dengan pandangan bingung, "kau ragu dan itu berarti kau memang pantas. Kau benar-benar memikirkan resiko-resikonya, jika kau terlalu yakin justru iyu bisa mengecewakan dirimu sendiri dan orang-orang yang percaya padamu nantinya," terangku.

"Keyakinan datang dari nol menuju seratus, ya Kak?" tanya dia yang benar-benar mengerti apa yang aku maksudkan.

"Iya, sekarang kau ada di angka lima puluh, tetapi aku harap kau jangan sampai ke angka seratus. Sisakan sepuluh persen untuk keraguan-keraguan itu, justru itu yang akan membuatmu lebih teliti mengambil langkah," terangku.

"Menjadi ketua OSIS berarti punya tanggungan sebagai tumpuan OSIS, menjadi panutan dan menjadi penggerak. Apa aku bisa melakukan itu?" tanya Reno ragu.

"Kesuksesan Bakti Sosial yang kamu pimpin adalah bukti bahwa kamu memang pantas. Bagaimana kau memimpin rapat dengan kejelasan tiap detail, bagaimana kau punya jawaban-jawaban pertanyaan kami dengan sangat cerdas dan beralasan kuat, bagaimana kau menggerakkan kami tanpa menutup diri untuk menerima masukan benar-benar bagus," kataku yang memang jujur akan apa yang aku ucapkan.

"Itu hanya sekali, hanya sekali aku memimpin sebuah progam kerja. Bagaimana Kak Angga yakin aku bisa melakukan hal serupa nantinya?" tanya Reno lagi.

"Memangnya kami harus butuh berapa? Kami hanya butuh satu bukti, satu bukti bahwa kau punya kualitas, bukan kuantitas," kataku menepuk lengannya.

Dia tersenyum padaku sembari mengunyah permen karetnya. "Aku akan berusaha, aku tidak ingin hanya bergerak saja, aku akan menjadi penggerak yang lain untuk bergerak bersamaku," katanya yang membuatku menepuk punggungnya tanda aku salut padanya.

Kemudian aku bertanya apa yang akan dia lakukan jika sudah menjadi ketua OSIS. Dia bilang dia akan membenah dari dalam. Ia akan menyamakan tujuan pengurus OSIS, bahkan dia juga akan menyamakan tujuan untuk anggota OSIS juga, ia akan membuat label anak OSIS bukan hanya untuk pengurus, tetapi untuk semua siswa di sekolah ini yang memakai seragam OSIS. Kesalahpahaman tentang definisi OSIS itu sendiri perlu diluruskan. Itu ucapnya, sedangkan untuk program-program kerja ia tak mengatakannya padaku, karena hal-hal itu adalah gabungan dari banyak otak para pengurus OSIS. Tujuannya hanya menciptakan keseimbangan OSIS di sekolah kami. Bukan tujuan yang muluk-muluk, tetapi tidak akan tercapai tanpa pemimpin yang bisa menggerakkan semua anggotanya.

***

Setelah tes tertulis pemilihan pengurus OSIS selesai, kami menuju ke salah satu kelas di lantai tiga yang kami jadikan ruang rapat untuk membahas tes tertulis itu. Program kerja ini dipimpin oleh Vera, anak kelas sebelas jurusan TKJ yang rambutnya selalu dikucir.

Kami kelas dua belas duduk di belakang dan hanya memerhatikan para kelas sebelas berdiskusi dan saling mengevaluasi. Ada Gio dan Risa yang baru saja masuk ke ruang ini, mereka duduk di sampingku dan ikut memerhatikan anak-anak kelas sebelas.

"Kalian tadi kan enggak ada, kok tiba-tiba ke sini?" tanyaku dengan suara pelan.

"Iya, gue ketahuan ambil mangganya Nenek Rumi, kami dihadang jadinya gue balik aja ke sekolah," jawab Gio.

"Tinggal beli, sih," kataku terkekeh.

"Si Risa ngidam, gue kan suruh dia pelukan, tapi dia bilang gue bau kecut. Pas itu kami sudah di depan pohon mangganya Nenek Rumi. Karena Risa bilang gue kecut, gue ambil mangga aja buat dia biar dia makan yang manis-manis, jadi pas peluk gue enggak sadar kalau gue bau kecut," terang Gio.

"Padahal mangganya juga kecut, lagi pula gue enggak mau mangga," sahut Risa.

"Gue tau, lu maunya lihat muka gue yang manis, kan? Pas boncengan gue kan lihat depan, jadinya lu enggak bisa lihat gue terus," terang Gio.

"Kapan-kapan Risa suruh bawa mobil aja," jawabku.

"Gue kan kayak lu enggak bisa main setir," jawab Gio.

"Kamu kan sukanya main hati," sahutku terkekeh.

"Bilang aja mau gue ajarin," jawab Risa.

"Sayang mau?" ucap Gio ke Risa.

"Ada bayarannya," kata Risa menyeringai.

"Apa pun deh," sahut Gio.

"Kasih gue tanda tangannya Kaka Slank," kata Risa.

"Susah enggak ya, Ngga?" tanya Gio ke aku.

"Kamu minta maaf ke mantan-mantanmu yang kayak singa aja bisa, masa minta tanda tangan doang enggak bisa," jawabku.

"Lagi pula kan bisa gue palsukan, dia enggak bakal tau," bisik Gio.

"Tentu saja harus ada bukti foto dan video," sahut Risa yang sepertinya peka sekali dengan apa yang Gio bilang.

"Lu enggak ikut? Enggak pengin ketemu Kaka?" tanya Gio.

"Enggak, gue tunggu aja," jawab Risa santai.

"Ok, deal!" kata Gio seperti ingin berjabat tangan ke Risa.

"Deal!" Risa menjabat tangan Gio.

"Kalau gue sudah bisa main setir, kita narik angkot, Ngga! Lu jadi kenek," kata Gio.

"Jangan mau, Ngga! Ganteng-ganteng kenek," kata Risa.

"Kok gue enggak dibilang ganteng juga?" tanya Gio ke Risa pura-pura cemberut.

"Lu mah goblok!" kata Risa ke Gio.

"Kamu ganteng kok, Gi! Ganteng-ganteng sopir," kataku terkekeh.

"Angga paling mengerti memang. Gue sama Angga, aja deh!" ucap Gio yang kemudian memelukku.

Aku juga balas memeluknya. Kami berdua sampai tak sadar kalau yang lain sedang memerhatikan kami.

***

Kami segera keluar setelah rapat itu selesai. Di luar kami dikejutkan dengan adanya lampion yang sepertinya diterbangkan dari lapangan. Lampion yang terbang tidak hanya satu tetapi ada beberapa walau tidak bisa aku katakan banyak. Saat itu kami segera melihat ke bawah dengan menunduk dari dekat tembok pembatas.

Di sana ada puluhan anak yang kayaknya tadi ikut test tertulis dan mereka tengah bersiap-siap menerbangkan balon. Aku tercengang saat kumpulan balon itu dilepas dan membawa sebuah spanduk besar. Aku hanya menggeleng karena di spanduk itu ada tulisannya dan itu ditujukan padaku.

Aku cinta Bangga!

Maukah Bangga jadi pacarku?

Salam kecup dari makhluk paling unyu, Sella.

Aku masih menggeleng dan anak yang lain melirikku dengan pandangan aneh, termasuk Gio dan Risa yang menahan-nahan tawa sudah pasti karena melihat ekspresiku. Lalu, di bawah ada suara yang memanggil-manggilku siapa lagi kalau bukan Sella.

"Bangga! Turun!" kata Sella yang berdiri di tengah anak-anak lain yang membentuk formasi hati.

Seketika secara bersama-sama semua yang ada di sekitarku mengatakan, "ciye!"

Akhirnya dengan ragu-ragu dengan perasaan campur aduk aku turun dan menghampiri Sella. Salah seorang dari anak-anak itu membuka jalan agar aku bisa masuk ke dalam formasi hati itu. Di sana Sella sudah tersenyum-senyum melihatku.

"Bangga," panggilnya dengan sok anggun.

"Apa-apaan ini?" tanyaku bingung.

"Cium pipi kananku jika Bangga menerimaku, tampar pipi kiriku jika Bangga menolakku," kata dia.

Aku terdiam, aku benar-benar masih terkejut dengan spanduk besar dan lampion-lampion itu dan sekarang aku disuruh untuk menjawab. Pilihan jawabannya benar-benar membuatku pusing. Dia mau dicium kalau aku menerima dan minta ditampar kalau menolak? Mana bisa aku melakukan hal-hal itu.

"Sella, aku tidak bisa," kataku dengan canggung karena semua orang melihatku.

"Bangga bisa," jawab Sella sembari menatapku penuh keyakinan.

"Aku tidak bisa menerimamu, aku juga tidak bisa menolakmu. Jangan buat pilihan yang susah," jawabku memohon.

"Cukup cium," kata dia menunjuk pipi kanannya, "atau tampar," tambahnya menunjuk pipi kirinya.

"Aku tidak bisa," jawabku menggeleng.

Sella menarik tangan kananku. "Lakukan saja apa yang Bangga inginkan," jawabnya.

"Aku tidak bisa," jawabku menarik tanganku kembali dan menggeleng.

"Lakukan sekarang, Bangga!" kata Sella.

"Terima! Terima! Terima! Terima!" teriak anak-anak dari lantai tiga dengan begitu keras.

Aku sungguh tidak bisa melakukan apa pun sekarang. Aku bingung, aku tidak bisa menerimanya karena aku sudah menyukai Hana, dan aku juga belum tentu menyukainya walaupun Hana tidak ada. Aku juga tidak bisa menolaknya karena itu berarti aku harus menamparnya, apa yang akan terjadi jika aku menamparnya, di depan banyak orang.

"Terima! Terima! Terima! Terima!"

Ini benar-benar membuatku tak keruan. Aku tidak bisa berpikir jernih sehingga mendekatkan kepalaku ke pipi kanan Sella secara perlahan. Apa ini benar? Apa yang aku lakukan benar? Akan tetapi, aku sadar aku membohongi perasaanku lagi, aku juga membohongi Sella dan semuanya jika aku menerimanya. Sehingga kemudian aku jauhkan kembali kepalaku.

Aku mengangkat tangan kananku, dan aku ayunkan ke pipinya. Begitu pelan, aku menamparnya tetapi itu tidak akan membuatnya sakit. Aku benar-benar melakukan dengan sangat pelan sampai tak ada suara yang terdengar dan saat itu juga tak ada lagi suara anak-anak lain yang berteriak.

Sella memandangku dengan kedua matanya yang besar, dia menangis tanpa suara. "Kenapa Bangga melakukan ini?" tanya dia.

"Lap jahat!" teriak seseorang dari salah satu barisan formasi hati itu.

Aku tidak tahu Hana ada di antara mereka, aku benar-benar tidak sadar bahwa dia ikut dalam rencana Sella ini. Dia mendekatiku, dia datang padaku. Aku tak bisa berucap apa pun, aku tak bisa melakukan apa pun saat ini. Aku panik, aku bingung dan pikiranku tak menentu.

Tamparan keras langsung mendarat di pipi kiriku. Hana menamparku dengan wajah marah itu. Aku hanya diam, aku tak mampu melakukan apa pun saat dia mendekati Sella dan mengusap air mata Sella.

"Hana," kataku begitu lirih.

"Sella, jangan menangis. Kamu cantik kalau tersenyum," kata Hana yang kemudian ingin membawa Sella pergi dari hadapanku.

"Bangga, apa aku tidak cantik? Apa aku tidak menarik? Apa yang kurang dari diriku?" tanya Sella sembari menangis tanpa isakan.

"Sella, aku, aku tidak menyukaimu," jawabku pelan.

"Siapa, siapa yang Bangga suka? Siapa orangnya?" tanya Sella.

Aku mengatur napasku sejenak. "Aku menyukai Hana," jawabku pelan.

Sella langsung menoleh pada Hana. Tangisannya makin deras saat wajah tak percaya itu melotot pada Hana. "Hana, kenapa kamu melakukan ini padaku?" tanya Sella.

"Melakukan apa?" tanya Hana.

"Membiarkan Bangga mencintaimu," jawab Sella.

"Aku bangga padamu Sella," jawab Hana.

"Hentikan ucapan-ucapan sok polosmu itu!" kata Sella dengan keras.

"Aku pakai baju, aku tidak polos," jawab Hana yang kemudian mendekat ke Sella. "Sella, ayo pulang!" ajak Hana.

"Jangan sentuh aku!" kata Sella yang kemudian mendorong Hana.

Aku tentu saja segera berada di belakang Hana agar dia tidak terjatuh. Hana sama sekali tak memedulikanku yang menangkapnya. Ia buru-buru menjauh dan hanya melihat ke arah Sella. Aku benar-benar tak mampu mengatakan apa pun sampai akhirnya Sella pergi dan formasi anak-anak kelas sepuluh itu juga bubar.

"Hana, maafkan aku," kataku ke Hana yang sekarang tengah memandangku.

"Siapa kamu?" tanya dia dengan ekspresi datar.

Aku menggeleng pelan. "Hana," jawabku.

"Itu namaku," katanya.

"Maafkan aku, aku tidak bermaksud menamparnya. Aku hanya menyukaimu, aku tidak menyukai Sella! Aku maunya jadi pacarmu bukan pacar Sella!" jawabku.

Hana hanya diam dan tetap menampakkan ekspresi datar itu. Akan tetapi, dia tiba-tiba tersenyum. Aku tahu dia tidak benar-benar melupakanku. Namun, senyuman itu punya arti lain karena pandangan matanya tidak tertuju padaku.

"Rem!" panggil Hana seperti pada orang yang di belakangku.

Aku menoleh ke belakang dan saat itu Hana berlari ke arah orang yang dia panggil Rem. Dia adalah Reno Erlangga Muda. Jadi, dia sainganku? Seseorang yang aku dukung adalah lawanku? Aku hanya bisa menggeleng karena tak percaya.

"Ayok pulang," kata Reno ke Hana dan bisa kulihat Hana mengangguk. "Kak Angga, kami duluan," teriak Reno membawa Hana pergi ke parkiran.

Aku hanya diam, aku hancur, kini aku hanya butiran debu. Aku ingin tersapu angin dan hilang selamanya.


----

Andhyrama's Note

Aku mau minta maaf buat semua yang komentarnya aku balas dengan gombalan-gombalan ataupun godaan-godaan receh. Aku tidak ada maksud selain hanya bercanda saja. Jadi, tolong jangan ada yang diambil hati. Kalian boleh baper karena ceritanya, tapi jangan karena aku. Anggap saja aku tidak ada. Ceritanya yang ada! Terima kasih.

Question Time

Apa kekurangan cerita ini?

Katakan kekurangan cerita ini ya, aku mau revisi kalau sudah tamat. So, silakan kalian UTARANkan sesuatu yang menganjal. Jangan malu, ini akan membantu, aku tak akan marah.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro