27] PUNCAK

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Losta Connecta by Andhyrama

www.andhyrama.com// IG: @andhyrama// Twitter: @andhyrama//FB: Andhyrama// Ask.fm: @andhyrama

***

Kami berdelapan sudah berkumpul di depan rusun pukul tujuh malam. Semuanya sudah mengecek barang-barang yang akan dibawa. Aku sendiri membantu mengangkat tas-tas ke bagian belakang mobil. Sementara itu, Kak Dista malah mengajak Risa, Erna dan Hana untuk selfie dengan tongkat narsis.

"Kamu yang bawa mobil Risa, Gi?" tanyaku ke Gio yang berada di samping mobil hitam milik Ayah Risa.

"Iyalah, Gue sudah punya SIM A sekarang," kata Gio membanggakan diri.

"Hebat juga Risa bisa mengajarimu," kataku terkekeh.

"Enggak juga, aku kan gagal dapat tanda tangan Kaka Slank, jadi yang mengajariku Bang Rasya yang paling tampan," katanya.

Aku tertawa. "Serius kamu memanggil Bang Rasya begitu?" tanyaku.

"Ya, dia cuma minta syarat aku harus memanggilnya begitu kalau mau diajari mengemudi," jawabnya.

"Akrab sekali ya kamu sama dia sekarang," kataku yang sebenarnya ada rasa iri karena Bang Rasya tidak pernah menawariku belajar menyetir mobil, ya mungkin akunya saja yang harus meminta.

"Tidak hanya dengan Bang Rasya sih, Bang Ryan juga, Bokap sama Nyokapnya Risa juga, gue sudah diterima di keluarga Risa, makanya saat mobil camer gue lecet-lecet karena gue, mereka enggak marah sama sekali," jelasnya.

"Aldi, foto kami! Kamu bawa kamera, kan?" teriak Erna ke Aldi.

"Jangan mau, memorinya abis nanti, belum juga berangkat sudah main foto-foto melulu," teriak Gio ke Aldi yang sebenarnya menyindir cewek-cewek itu.

"Biar saja sih," bisikku terkekeh.

"Mana-mana tadi yang bilang begitu?" ucap Kak Dista mendekati kami.

"Gue, Kak," ucap Gio mengaku.

Kak Dista kemudian melotot ke arah Gio. "Ini pacar kamu, ya Sa?" tanya Kak Dista ke Risa tanpa menoleh ke orang yang ia tanya.

"Bukan," jawab Risa yang membuat wajah Gio langsung berubah.

"Benar bukan?" tanya Kak Dista yang akhirnya menoleh ke Risa yang masih bersama Erna dan Hana.

"Iya, itu sopir baru, Kak," jawab Risa seperti menahan tawa.

"Kok enggak bilang punya sopir lucu begini," kata Kak Dista yang kemudian menghampiri Gio.

"Awas Gio, lu pasti bakal dicubit," kataku memberi peringatan.

"Telat lu kasih taunya," kata Gio yang sedang dicubit kedua pipinya oleh Kak Dista.

"Anak siapa ini, lucu banget?" tanya Kak Dista semakin keras mencubit pipi Gio.

Aku hanya tertawa melihat Gio pasrah saja dicubit oleh Kak Dista, sementara yang lain juga tertawa. Terkecuali Hana, sepertinya dia tidak mengerti mengapa yang lain tertawa.

"Sudah siap semua?" tanya Bang Haris yang datang dari arah rusun.

"Siap!" jawabku.

"Apa yang kamu lakukan?" tanya Bang Haris ke pacarnya. "Itu anak orang, sini ke sini," suruh Bang Haris ke Kak Dista.

Akhirnya Kak Dista mau saja disuruh Bang Haris untuk mendekat. Sementara itu, Gio mengusap-usap pipinya yang memerah.

Bang Haris kemudian mencubit kedua pipi pacarnya itu dengan cukup keras. "Sakit kan? Sakit?" tanya Bang Haris.

"Mau aku jawab dengan ekspektasi atau realitas?" tanya Kak Dista seperti mengancam.

"Coba ekspektasi," jawab Bang Haris.

"Tidak, ini sama sekali tidak sakit. Sakit itu saat kamu meninggalkanku padahal hatiku masih ada padamu," jawab Kak Dista.

"Cobe realitas."

"Setan! Kamu habis boker, pegang-pegang pipiku!" teriak Kak Dista langsung mendorong Bang Haris menjauh.

"Oh, iya! Aku lupa enggak pakai sabun ceboknya," jawab Bang Haris.

"Jijik!" Kak Dista mengamuk dan memukuli Bang Haris.

Aku hanya tersenyum saja melihat tingkah mereka. Setelah itu, aku menghampiri Hana dan mengandeng tangannya untuk segera bersiap dan berangkat ke Puncak. Sebenarnya Puncak bukan tempat yang istimewa, maksudnya aku terlalu sering ke sana sehingga sudah bosan. Aku tinggal di Bogor sampai kelas enam, selain itu aku juga sering ke Bogor untuk ke rumah Paman dan bertemu Eldo. Demikian pula dengan Hana, ya dia orang Bogor juga. Walaupun puncak bukan tempat yang istimewa, tetapi jika aku bersama Hana itu akan selalu menjadi istimewa.

Gio menyetir dengan Risa di sampingnya, sementara Aldi ada di belakang bersama Erna. Sedangkan di mobil yang dikendarai Bang Haris, Kak Dista duduk di jok depan di samping Bang Haris, Aku dan Hana duduk di jok belakang. Kami duduk berdekatan dengan tangan saling menggengam seperti takut untuk berpisah.

"Lap, kamu bawa jaket kan, di sana dingin," kata Hana padaku.

"Kalau sama kamu, di kutub pun akan selalu hangat," jawabku.

Dia kemudian tersenyum padaku, lalu menghadapkan wajahnya ke depan. Kak Dista menoleh ke belakang dan memerhatikan kami berdua, terutama pegangan tangan kami. Ia tersenyum dengan pandangan aneh ke arahku.

"Awas saja kalau kalian melakukan hal yang aneh-aneh," kata Kak Dista.

"Aneh bisa berarti unik, keragaman flora dan fauna di dunia sangat unik dan patut dijaga dan dilestarikan," jawab Hana.

"Oke aku ulangi," jawab Kak Dista. "Awas saja kalau kalian melakukan hal yang unik-unik," katanya dengan menahan tawa.

Aku pun juga menahan tawa. "Kak Dista orang mana sih?" tanyaku tiba-tiba.

"Hana aku orang mana?" ucap Kak Dista malah melempar pertanyaan ke Hana.

"RCKH," jawab Hana.

"Apaan itu?" tanyaku menoleh ke Hana.

"Republik Cinta Kakanda Haris," jawab Hana.

"Seratus!" puji Kak Dista ke Hana.

Aku tercengang, begitu juga Bang Haris yang sedang menggelembungkan permen karet yang langsung pecah mendengar kata-kata yang muncul dari Adinda tercintanya itu.

"Memangnya ada bukti kalau kamu tinggal di situ?" tanya Bang Haris ke Kak Dista. 

"Enggak," jawab Kak Dista yang kini menatap Bang Haris yang sesekali melihat ke jalan untuk terus menyetir.

"Kok enggak ada buktinya?" tanya Bang Haris bisa kulihat dia mengerutkan dahinya.

Kak Dista menempelkan tangan ke dada Bang Haris. "Tidak perlu bukti kalau kamu bisa merasakannya, di sini," jawab Kak Dista yang kemudian mendekatkan wajahnya ke wajah Bang Haris.

"Ada mereka," ucap Bang Haris merujuk pada keberadaan aku dan Hana.

"Ah, iya," jawab Kak Dista. "Khilaf."

Aku rasakan Hana menyandarkan kepalanya ke pundakku, aku pun menoleh padanya. "Kamu mengantuk?" tanyaku.

Dia tak menjawab dan kemudian mengganti posisinya. Dia membaringkan tubuhnya dengan kedua pahaku sebagai bantalnya. Tentu saja aku mau saja dan tidak berontak. Melihat wajah lelahnya yang ingin terlelap membuatku tersenyum.

"Kamu orang mana?" tanya Hana padaku.

"RCAH," jawabku. "Republik Cinta Adinda Hana."

Dia tersenyum dan kemudian tangannya merangkul leherku, ia mendekatkan wajahku ke wajahnya. "Lap, kamu tahu apa yang aku pikirkan?" tanya dia.

"Apa kamu memikirkanku?" tanyaku.

"Kamu? Ada orang yang lebih aku pikirkan sekarang," jawabnya.

"Siapa?" tanyaku lirih.

"Ibunda."

Aku terdiam saat dia menyentuh wajahku. "Ibumu pasti sering melakukan ini waktu kamu tertidur. Menyentuh wajah putranya yang tampan, dan tersenyum sembari bersyukur. Aku ingin bertemu ibumu, dan berterima kasih padanya karena telah melahirkanmu ke dunia ini. Kamu akan mempertemukanku dengannya, bukan?" tanya dia lirih.

Senyumnya tampak sangat tulus saat aku mengangguk tanda mengiyakan permintaannya. Akan tetapi, aku tidak tahu kapan itu akan terjadi, Hana. Jika saja semua keadaan berjalan semestinya, pasti sekarang kamu sudah mengenal ibuku. Dia akan menyukaimu juga. Ayah dan adikku juga akan menyukaimu.

Perjalanan ternyata tak secepat biasanya, ada macet yang membuat kami belum juga sampai. Hana sudah tertidur dan aku mengelus-elus rambutnya perlahan dan terus saja memerhatikan wajahnya yang memang tidak pernah sedetik pun meruntuhkan kekagumanku.

Kami berada di tengah kemacetan. Aku menoleh ke depan saat Bang Haris menaruh jaketnya ke atas tubuh Kak Dista yang sudah terlelap. Lalu, dia menoleh padaku. "Pahamu tidak pegal, Ngga?" tanya dia.

"Tidak," jawabku.

"Kebetulan sekali ya temanku sedang baik sehingga mengizinkan kita menuju vilanya," ucap Bang Haris yang sepertinya ingin membuka obrolan.

"Dia pasti orang yang sangat baik dan juga sudah sangat percaya pada Bang Haris," kataku menebak saja.

"Di dunia ini kepercayaan adalah hal yang sangat berharga, segala kekecewaan berasal dari kepercayaan yang disalahgunakan," jawab Bang Haris. "Oh, ya, kenapa kau tidak memberitahuku kalau kau sudah berpacaran dengan Adindaku?" tanya dia kemudian.

"Aku, aku hanya.... Maafkan aku Bang, aku belum menemukan pelaku itu," jawabku.

"Pelaku yang mana?"

"Yang melempar batu ke kamar sewa Bang Haris."

"Oh, ya. Aku lupa," jawabnya terkekeh. "Ya, lupakan saja kalau begitu."

"Tidak Bang, aku tetap akan mencari pelakunya," kataku, "karena dia juga...,"aku menutup mulutku karena seharusnya aku tidak mengatakan kalau aku juga diancam oleh orang itu.

"Kalau itu maumu ya, terserah. Jadikan pekerjaan sampingan saja," jawab Bang Haris yang kembali melajukan mobil karena antrean macet mulai bergerak.

"Oh, ya Bang."

"Apa?"

"Terima kasih," ucapku, "karena telah mengizinkanku mendekati Hana."

"Aku bahkan mengizinkanmu menikahinya, kelak," jawabnya terkekeh.

Aku tertawa senang. "Oh, ya Bang. Boleh aku bertanya?"

"Silakan saja calon adik ipar," jawabnya.

"Apa Hana pernah pacaran sebelumnya?" tanyaku yang penasaran dengan hal itu.

"Pernah," jawab Bang Haris dengan nada yang tiba-tiba berubah. "Dia berpacaran dengan seorang jagoan, anak orang terpandang, tetapi hubungan mereka kandas dengan hal yang membuatku tak akan pernah memaafkan anak itu," kata Bang Haris seperti menyuarakan kekesalannya.

Aku menunduk menatap wajah Hana. Entah kenapa aku juga ikut kesal mendengar kata-kata Bang Haris, cewek seperti Hana disakiti oleh seorang cowok? Kalau aku bertemu dia, aku akan menghajarnya. Aku akan melakukan itu, Hana. Tidak peduli dia anak siapa, tidak peduli dia jagoan, tidak peduli aku akan kalah atau menang. Aku membenci setiap orang yang menyakitimu, Hana.

"Kau adalah yang terpilih, Angga. Ingat hal itu. Aku sudah berusaha keras menyeleksi dan membuat pertimbangan-pertimbangan pada setiap cowok yang ingin ke Hana. Walau dia yang memutuskan, tetapi aku sudah memberitahunya untuk memilih dengan benar," jelas Bang Haris. "Dari cowok-cowok itu, aku hanya setuju padamu dan satu anak lagi bernama Reno. Entah kenapa aku melihat Reno sebagai orang yang bisa melindungi Hana dan melihatmu sebagai orang yang akan membuat Hana merasa nyaman. Aku menanyakan pada Hana, apa yang dia butuhkan. Perlindungan atau kenyamanan. Dia menjawab dengan cerdas, dia memilih kenyamanan karena rasa nyaman akan menimbulkan rasa aman dan rasa terlindungi.

"Dia percaya padamu kalau kau bisa membuatnya aman dan terlindungi. Jangan remehkan itu, dia begitu percaya padamu. Kau mungkin hanya pacarnya tanpa ikatan lain, tetapi sebagai seorang pria kau punya tugas untuk melindungi wanita yang kau sayangi. Jika Hana terluka, aku akan menyalahkanmu, jika dia sakit, aku akan menyalahkanmu, sampai dia lupa mengerjakan PR pun aku akan menyalahkanmu," katanya seperti mengancam. "Tidak perlu jadi jagoan, kau tetap bisa melindunginya dengan caramu sendiri. Ingat mencegah sesuatu akan selalu lebih baik daripada mengobatinya."

"Aku akan berusaha, Bang," jawabku.

"Kau boleh memanggilku Kakanda jika kau ingin."

"Serius?" tanyaku begitu gembira.

"Tentu saja," jawabnya.

"Terima kasih, Bang, eh maksudku Kakanda!"

Aku tersenyum dan memerhatikan Hana lagi. Menggenggam tangannya yang berada di atas perutnya, sedangkan tangan yang lain kugunakan untuk mengelus-elus rambut Hana perlahan. Kakanda sudah percaya padaku, Hana. Itu artinya aku akan selalu berusaha membuatmu nyaman. Aku akan melindungi Nawang Wulanku ini. Kamu adalah Nawang Wulan, tetapi aku bukan Jaka Tarub.

Aku tidak ingin jadi Buriswara, walau aku tergila-gila pada seorang wanita, tetapi aku tidak suka bikin onar dan inginnya menang sendiri. Aku tidak ingin jadi Leksmana, walau aku akan berusaha halus dan setia, tetapi aku kenal takut, yaitu saat kamu pergi dan terluka. Aku juga tidak ingin jadi Gatotkaca, walau aku akan berusaha waspada dan bertanggung jawab, tetapi aku tidaklah sekuat dia. Aku hanya ingin menjadi Antasena, bukan karena dia sakti, tetapi karena dia jujur dan apa adanya. Aku akan mencoba jujur padamu, dan menunjukkan diriku yang apa adanya, kekurangan-kekuranganku dan segalanya.  

***

Aku tersadar dari tidur, tetapi aku belum membuka mataku. Kini aku merasa begitu sesak. Ya, ternyata aku merasa sedang dipeluk seseorang. Hana, apakah dia yang memelukku? Dia tidur bersamaku? Apa yang terjadi semalam? Aku tersenyum sembari menggeleng. Tidak mungkin.

Akhirnya kubuka mataku dan aku tengah dipeluk dengan erat oleh Gio. Astaga. "Gio, minggirlah!" ucapku.

"Jangan pergi," ucapnya masih dalam keadaan merem dan memelukku semakin erat.

"Bangun!" kataku menepuk pipinya.

Ia membuka matanya. "Angga."

"Enyahkan tubuhmu dari tubuhku," kataku berpura-pura emosi.

"Jangan tinggalkan aku, Angga," katanya malah sengaja memelukku lebih erat.

"Gio, kamu pengin aku gelitiki?" kataku mengancam.

"Ah, sama Angga mah diapa-apakan juga mau aku," katanya masih memelukku.

Akhirnya aku menggelitiki pinggangnya agar dia berhenti memelukku. Aku berhasil dan dia malah merintih agar aku berhenti, tetapi aku tidak berhenti. Adu duduk di kakinya dan tanganku beraksi menggelitikinya terus.

"Bangkai! Kuda! Kutang! Kancut!" teriaknya mengeluarkan kata-kata kotor lainnya.

"Kalian mesra amat," kata seseorang yang keluar dari arah kamar mandi.

Bang Haris keluar hanya mengenakan handuk berwarna merah, memperlihatkan tubuh bagian atasnya yang masih basah. Tubuhnya bagus, jauh berbeda denganku. Dia dadanya terbentuk, sedangkan dadaku rata, dia perutnya kotak-kotak, milikku mulus seperti jalan tol. Dia lengannya berorot dan lenganku dipegang langsung ke tulang. Aku selalu iri dengan cowok yang punya badan bagus, tetapi aku tidak pernah berusaha untuk membentuknya.

"Bang Haris sering ke gym, ya?" tanya Gio yang bangkit setelah lemas digelitiki.

"Enggak, aku hanya olahraga ringan," ucapnya sembari memakai kaus.

"Aku juga olah raga ringan," kata Gio.

"Apaan emangnya?" tanyaku.

"Angkat nasi pakai sendok ke mulut," jawabnya mengeluarkan joke garingnya.

"Di mana yang lain, Kakanda?" tanyaku ke Bang Haris.

"Kok panggilnya, Kakanda?" kata Gio melirik ke arahku.

"Karena Hanaku juga memanggilnya begitu," jawabku.

"Panggil aku Kakanda juga dong," jawab Gio. "Aku kan cemburu."

"Kamu kan lebih muda dariku sepuluh bulan," sanggahku.

"Jadinya Adinda, ya? Ayo panggil aku, Adinda!" katanya menarik tanganku seperti seorang anak yang minta mandi bola ke ibunya.

"Yang lain sedang jalan-jalan di kebun teh, sana ke luar dan hirup udara segar," suruh Bang Haris pada kami. "Hubungan kalian bisa melukai dua cewek sekaligus loh," kata Bang Haris terkekeh.

"Memangnya Kakanda mau ke mana?" tanyaku sembari turun dari kasur.

"Aku akan siapkan makan untuk kalian semua," jawabnya.

"Masak sendiri, Bang?" tanya Gio yang ikut turun dari kasur juga.

"Belilah," jawabnya.

"Duitnya bagaimana, Bang?" tanya Gio lagi.

"Tenang, ini adalah acara yang aku buat, kalian senang-senanglah. Masalah itu tak perlu dipikirkan," jawab Bang Haris langsung keluar setelah selesai berpakaian.

Aku dan Gio keluar dari vila mewah ini dengan memakai jaket dan sepatu. Masih pukul tujuh dan udara masih sangat dingin di sini. Ternyata memang posisi vila itu tak jauh dari kebun teh. Kami berjalan berdua sembari melihat ke sekeliling.

Aku tidak peduli pada cewek-cewek berwajah bening yang lalu lalang di jalanan, mereka sudah tidak menarik karena di otakku ada Hana. Aku hanya memikirkan apakah dia kedinginan, apa dia tidak digigit ulat yang sedang naik ke pucuk dahan teh, atau tidak kepeleset ke semak-semak.

"Mereka sedang foto-foto," kata Gio melihat layar ponselnya.

"Sudah pasti, kita kan membawa fotografer," kataku yang merujuk pada Aldi yang memang ahli di bidang itu.

Gio menoleh dan menaikkan satu sisi bibirnya seperti tersenyum sinis, tetapi aku tahu maksudnya hanyalah mengiyakan kata-kataku. Entah mengapa, aku selalu berpikir Gio punya sisi lain di dalam dirinya, mungkin memang semua orang juga punya sisi lain. Aku pun punya, Risa punya, Hana juga pasti punya. Hanya saja, sisi itu selalu tersembunyi dari balik penglihatan orang, seperti bulan yang salah satu sisinya tak pernah kita lihat dengan mata telanjang.

Sejenak aku memikirkan masalah tentang mundurnya Adnan. Gerak-gerik Gio membuktikan bahwa memang dia ada apa-apanya di balik itu. Hari ini, aku akan mendapatkan pesan dari Sella tentang keberhasilannya mendapatkan pesan laporan itu—aku sangat yakin Sella bisa melakukannya. Pesan itu mungkin akan menjadi pesan biasa-biasa saja, tetapi kuyakin juga akan ada petunjuk penting di sana.

"Lihat fotonya Aldi," teriak Erna menghampiri Aldi yang memegang kamera.

Aku tentu saja segera berlari ke arah Hana. Ia sedang memerhatikan daun-daun teh yang masih basah oleh embun. Aku ikut memerhatikan daun-daun itu di sampingnya. "Apakah daun itu lebih menarik daripada aku?" tanyaku menahan senyum.

Dia menoleh padaku. "Kau tahu kalau daun melakukan fotosintesis?" tanya dia.

"Aku tahunya daun cinta kita sudah tumbuh dan pohonnya siap berbunga," jawabku.

"Tumbuh tidak harus ke atas, ke samping juga bisa."

"Di atas ada kayangan tempat bidadari sepertimu seharusnya tinggal."

"Sinetron bidadari dibintangi Marshanda."

"Bintang tidak akan terlihat meski langit malam begitu cerah, karena kamu lebih terang dari mereka di mataku."

"Tidak, matahari yang terlalu terang membuat bintang tak terlihat, dan kamulah matahariku." ucapnya membuatku tersenyum.

Dia memandangku dan tersenyum juga. Masih dengan senyuman itu, senyuman maut yang pertama kali kulihat saat di stasiun. Saat dia tersenyum kedua matanya akan menyipit dan berbentuk seperti bulan sabit. Sampai kapan pun senyuman itu akan membuatku tunduk padanya. Seperti penyihir yang menggunakan mantra untuk membuat orang lain mematuhinya.

"Hasilnya bagus, pengin lihat, Ngga?" tanya Aldi yang ternyata telah memotretku dan Hana.

"Kamu tidak bilang-bilang kalau mau memotretku," ucapku ke Aldi.

"Lagi, enggak?" tanya dia.

"Mau foto?" tanyaku ke Hana.

Hana mengangguk dan tersenyum, tanda dia mau. "Oke, potret kami Aldi," kataku ke Aldi.

Aldi menurunkan kamera yang digantungkan ke lehernya itu, kemudian dia menata posisiku dan Hana. Dia membuatku berada di belakang Hana dan memeluknya. Sementara itu, Hana ada di depanku, tetapi pandangannya menengadah ke arah wajahku. Kami seperti tengah berpose untuk foto pre wedding.

"Lap, kamu terlihat gugup," ucapnya.

"Tidak cowok normal yang tidak gugup jika berada di posisiku sekarang," kataku tersenyum padanya.

"Bagus!" kata Aldi langsung menunjukkan padaku hasil jepretannya.

"Lucu, ya?" ucap Hana terkekeh.

"Aldi, foto gue sini!" teriak Gio yang sudah berdiri di dekat Risa.

Aldi pun segera menuju ke arah Gio, sedangkan aku tetap di posisi bersama Hana. Gadis ini memakai jaket dariku. Padahal itu jaket jelek, tetapi dia mau saja memakainya. Apa karena itu pemberian dariku atau dia juga tahu apa pun yang dia pakai sama sekali tak akan merubah persepsi orang tentang betapa cantik dirinya.

"Aku ingin bermain petak umpet," kata Hana tiba-tiba.

"Aku yang jaga, kamu sembunyi ya," kataku.

"Kamu saja yang jaga, Lap," ucapnya.

"Iya, aku, Honey," ucapku.

"Tutup matamu!"

"Aku hitung sampai sepuluh ya!"

Aku membuka mataku setelah menghitung sampai sepuluh. Apa yang aku lihat hanya Erna yang sedang mengobrol santai dengan Kak Dista di pinggiran kebun teh, serta Gio dan Risa yang tengah difoto oleh Aldi. Di mana Hanaku bersembunyi?

Melewati celah di antara barisan pohon teh, aku mencari cintaku. Di mana dia berada? Dia pintar sekali bersembunyi. Namun, setelah beberapa waktu, perasaanku mulai berbeda. Aku khawatir dengan Hana.

Jika dia terluka, aku akan menyalahkanmu.

Kata-kata Bang Haris terputar kembali di otakku. Entah apa yang aku pikirkan, aku merasa cemas sehingga melangkah lebih cepat sembari memanggil namanya. Aku tidak bisa menemukannya. Di mana dia?

"Di mana Hana?" teriak Kak Dista ke arahku.

"Kami sedang bermain petak umpet," jawabku cukup keras.

"Kita harus kembali," sahut Kak Dista lagi.

"Aku bantu cari," ucap Erna yang mendekatiku. "Aku lupa jalan ke vila dan aku pengin pipis," tambah Erna saat berada di sampingku.

Karena tak kunjung menemukan Hana, yang lain pun ikut mencari bersamaku. Kami menyisir satu petak area kebun teh. Aku benar-benar mulai frustasi, aku begitu cemas dan takut. Bagaimana kalau dia diculik alien? Terjatuh ke lubang seperti Alice di film Alice in Wonderland, masuk ke dunia Narnia, atau ke dunia sihir ala Harry Potter. Bagaimana ini?

"Kalau Haris tahu pasti dia sudah cemas sekali," kata Kak Dista seperti mengeluh padaku.

"Dia masih di sekitar sini," ucap Risa yang optimis.

"Lu lagi masih aja jepret-jepret," sahut Gio ke Aldi.

"Siapa tahu aku foto nanti ketemu," jawab Aldi.

"Biar saja sih! Buat dokumentasi," ucap Erna cukup keras.

Aku sudah ingin menangis kalau Hana tidak juga ditemukan, tetapi aku tidak akan melakukannya. Aku tidak boleh cengeng. Meski aku takut, aku cemas dan aku juga rindu padanya walau baru setengah jam tidak bertemu. Aku harus tetap tabah dan mencarinya dengan teliti.

"Dia paling sudah kembali ke vila," ucap Kak Dista kemudian.

"Tanya saja ke Abang Ganteng," kata Erna ke Kak Dista.

"Kau panggil Haris dengan sebutan Abang Ganteng lagi, aku jadikan kau kantung teh celup!" ucap Kak Dista mengancam tentunya dengan nada bercanda.

"Jangan," kataku, "dia akan marah kalau nyatanya Hana tidak ada di vila."

"Biar saja marah daripada kita terus mencari dan tidak menemukannya," jawab Kak Dista, "lagi pula, kau yang harus bertanggung jawab," kata Kak Dista.

"Iya, ini memang salahku," ucapku lesu.

"Calon adik iparku hilang, tentu saja ini salahmu, siapa lagi?" ucap Kak Dista seperti menahan tawa dan aku tidak mengerti.

"Aku yang menyuruhnya bersembunyi, semuanya memang bermula dariku."

"Kalau sampai ada apa-apa dengan Hana, aku juga tidak akan tinggal diam menuntutmu ke polisi," ucap Kak Dista lagi dengan ekspresi yang sama.

"Benar ini semua salahmu, Angga! Aku kebelet pipis sampai lupa lagi aku kalau lagi kebelet, itu semua karena kamu juga, Angga," Erna juga menyalahkanku.

"Gue setuju, lu yang salah, Angga!" Risa ikut bergabung dalam tim yang menyalahkanku.

"Gue ganteng, lu ganteng, mending kita bersatu," ucap Gio padaku.

"Goblok!" Risa mendorong kepala Gio.

"Maafkan aku, ini memang salahku. Jika kalian ingin kembali ke vila, silakan saja aku akan di sini terus sampai Hana kutemukan," jawabku menunduk.

"Bisanya minta maaf doang," Kak Dista membuatku tak berkutik lagi.

"Iya, dasar! Untung aku tidak pipis di celana, kalau iya, awas aja kamu, Ngga!" Erna pun menambah beban rasa bersalahku.

"Gue kecewa sama lu, Ngga!" kata Risa kemudian.

"Baiklah sekarang kita tinggalkan saja, Angga," kata Kak Dista.

Aku melihat ke arah mereka semua, beberapa dari mereka melihatku dengan sinis, tetapi bibir mereka seakan ingin tertawa. Ya, mungkin mereka ingin menertawakanku sebagai lelaki payah yang menemukan pacarnya di antara tumbuhan teh saja tidak bisa. Mungkin juga ekspresiku sangat lucu dan pantas ditertawakan.

Namun, itu semua salah. Saat seseorang memelukku dari belakang, dadaku langsung menjadi hangat. Aku tahu kalau mereka hanya bersandiwara saja, Hanaku ada di belakangku. Aku menoleh ke belakang dan dia sedang memelukku, erat seperti tidak ingin kehilanganku.

Saat dia melepaskan pelukannya aku segera memeluknya lagi dari depan, lalu kulepaskan. Aku memegang kedua tangannya, lalu kuganti dengan menempelkan kedua tanganku ke pipinya.

"Aku takut, Hana. Kamu jangan pergi jauh dariku," kataku sembari memandang matanya.

"Jauh kau pergi meninggalkan diriku," ucapnya menyanyikan lagu Tinggal Kenangan dengan lirih.

"Dengar Hana, aku sungguh menyayangimu! Entah kamu percaya atau tidak, kamu adalah orang yang ada di setiap aku bangun tidur sampai aku kembali terlelap. Kamu kini adalah bagian terpenting dalam hidupku. Jangan buat aku khawatir, mengerti?" ucapku dengan sungguh-sungguh agar dia paham.

Dia mendekatkan wajahnya ke wajahku, menyentuhkan ujung hidungnya ke ujung hidungku. Dia menggeleng pelan dan membuat ujung hidungku merasa geli. "Itu adalah ciuman hidung," ucapnya.

"Boleh aku melakukannya lagi?" tanyaku.

"Sudah-sudah, kalian ini tidak tau tempat banget, ya," kata Kak Dista yang menyadarkanku.

"Gue cemburu sumpah," kata Gio dengan kesal. "Angga tidak pernah melakukan itu padaku."

"Lu berlagak kayak begitu lagi, gue lempar ke kandang singa!" kata Risa.

"Ah, bilang aja cemburu," Gio menyikut Risa.

"Ayo kembali, Haris sudah menyiapkan makan," kata Kak Dista.

"Abang ganteng pintar masak juga?" tanya Erna.

"Dia beli!" sahut Kak Dista sewot.

"Ah, jantan sekali," jawab Erna.

"Dia masak sendiri aslinya," ucap Kak Dista lagi ingin mengetes respons Erna.

"Ah, suami idaman," jawab Erna dengan ekspresi kagum.

"Dia beli masakannya sendiri," kata Kak Dista lagi.

"Ah..., kok goblok dia?" tanya Erna yang kemudian membuat kami tertawa.

Kami segera kembali ke vila. Aku berjalan di belakang sembari bergandengan dengan Hana. Bisa kulihat di depanku, Risa dan Gio terus-terusan melempar candaan. Gaya mereka berpacaran memang unik, Gio yang hobi melempar rayuan dan Risa yang terus-menerus mengatakan kata goblok ke Gio. Terlebih Risa tampak sangat mungil dibanding Gio yang tinggi mudah bagi Gio untuk menarik Risa ke keteknya kalau kesal.

Hana tidak begitu banyak bicara, dia lebih sering tersenyum dan menikmati keadaan. Serasa hidupnya memang sangat tenang dan tenteram. Berada di sampingnya juga membuatku begitu, tenang dan tenteram. Walau saat kulihat dia lagi, aku mengingat kemarin malam saat dia mengatakan ingin bertemu ibuku. Itu membuatku sedikit merenung.

Aku hanya bisa berharap Ayah bisa membujuk Ibu untuk kembali. Dia mengatakan akan berusaha hari ini. Semoga saja, Ayah berhasil. Walau minim harapanku, tetapi ada celah di mana mereka berdua pasti bisa bersatu lagi. Aku dan Nala, kami berdua seharusnya menjadi alasan bagi mereka untuk terus bersama.

***

Kami menghabiskan hari Sabtu ini dengan banyak hal. Mengunjungi Taman Safari, kemudian dilanjutkan ke Kebun Strawberry sampai akhirnya kami ke Puncak Pass. Tidak ada yang melelahkan jika bersama dengan Hana. Ditambah dengan keseruan yang lain, kami semua menikmati liburan ini.

Saat malam, kami berdelapan makan bersama dengan berlesehan di ruang tengah. Kami bercerita banyak hal tentang kejadian hari ini. Candaan, keluhan mereka dan banyak hal lain yang patut ditertawakan.

Setelah itu, kami dbersantai, aku memilih duduk di depan vila. Memandang langit yang bertabur bintang. Hana bersandar ke pundakku dan aku menunjukkannya rasi-rasi bintang di atas sana. Tentu saja aku mengarang, aku tidak tahu nama rasi-rasi bintang di atas sana.

"Kamu ingat kalau aku bilang kamu adalah matahariku, kan?" tanya Hana dan aku hanya mengangguk. "Aku adalah bulan karena kamu yang menyinariku. Walau kamu sedang tidak ada di sisiku, kamu selalu meninggalkanku dengan ribuan bintang. Setiap bintang itu adalah satu kenangan, setiap detik kita bersama adalah kenangan. Walau aku sedang sendiri, kenangan bersamamu akan selalu ada," jelasnya.

Saat mata terlelap aku masih mengingat kata-kata Hana itu. Setiap detik adalah kenangan dan setiap kenangan akan menjadi bintang. Jika aku pergi darinya, aku pun akan menjadi kenangan baginya karena matahari pun adalah bintang. Bedanya aku akan menjadi kenangannya yang paling terang dan paling hangat. Ah Hana, baru aku sadari kamu pintar sekali membuat cowokmu ini berbunga-bunga.

***

Aku terbangun pukul lima, Bang Haris, Gio dan Aldi masih tertidur di kasur besar ini. Aku mengingat pesan, ya aku belum mengecek pesan dari Sella kemarin. Seharusnya aku mengeceknya, tetapi sekarang pun tak masalah.

Kakiku menginjak lantai dan berjalan ke arah ponselku yang berada di atas meja. Memang benar ada pesan dari Sella. Dia berhasil mendapatkan apa yang aku minta. Laporan yang masuk ke ponsel Pak Wardoyo. Sella juga menambahkan bahwa nomor orang yang melaporkan itu sudah tidak aktif. Aku tahu Sella pasti iseng menelepon si pelaku itu. Lagi pula, aku sudah menduga bahwa nomor itu pastilah hanya digunakan pelaku satu kali saja.

Logikanya seperti ini, jika si pelapor memang bukan orang yang bersalah dia pasti akan menggunakan nomornya sendiri untuk melapor. Jika ia menggunakan nomor yang hanya ia pakai sekali, maka sudah jelas dia memang si pelaku atau setidaknya ada sangkut pautnya dengan si pelaku. Langsung saja aku baca bagaimana isi laporan itu.

Pak Wardoyo, saya ingin melaporkan. Saya melihat lima siswa laki-laki dari sekolah kita yang tengah merokok dan bermain judi di warung Mpok Risma. Bapak bisa melihatnya sendiri di sana. Saya tahu warung itu masih berada di sekitar lingkungan sekolah, jadi seharusnya mereka yang melanggar aturan di sana juga diberi sanksi sesuai peraturan sekolah. Terima kasih.

Aku membaca berulang-ulang laporan itu. Kemarin aku berpikir kalau laporan ini akan memberikan petunjuk penting. Sebenarnya aku hanya menutupi rasa pesimisku, laporan ini sama sekali tidak memberikan petunjuk. Tunggu! Aku salah! Ini benar-benar petunjuk, satu kalimat di laporan itu meyakinkanku kalau pelakunya bukan Adnan sendiri.

Dugaanku membulat, Gio berlaku bodoh sekaligus bejat. Tidak ada bedanya dia dengan Radit yang menggunakan cara curang untuk mengangkat satu orang menjadi ketua OSIS. Aku harus bicara dengan Gio.

Aku membangunkannya dengan menggeleng-gelengkan tubuhnya. "Gio, aku ingin bicara! Segera pakai jaketmu, kita ke luar!"

Gio tak membantah dan mengikutiku untuk ke luar. Aku mengajaknya ke tempat yang sepi dekat pepohonan yang rindang. Dia masih mengucek-ucek matanya sembari menggigil kedinginan. Aku pun juga kedinginan, tetapi aku harus segara menanyakan hal ini padanya.

"Gio, tolong jujur ya. Kamu yang menyuruh Adnan untuk mengaku bahwa dia yang melakukan segala kecurangan itu, ya, kan?" tanyaku.

Matanya terbuka lebih lebar. "Apa lu bilang?"

"Kamu sebelumnya bilang kalau kamu tahu semuanya dan empat orang itu akan mengaku, itu semua ulahmu dan dengan bantuan anak-anak Kumis Salmon, ya, kan?"

"Memangnya kenapa? Bocah keparat itu kan memang salah, lu mau bela dia atau bagaimana?" tanya Gio kemudian. "Ayo, kembali! Gue ngantuk!"

"Adnan kan sudah bilang dia tidak ada sangkut pautnya, saat di jembatan itu. Ini pasti kamu yang menyuruhnya mengakui hal yang tidak ia lakukan!"

"Lu enggak tau siapa Adnan, dan gue lebih tau. Lu tertipu dengan tampang baiknya, sudahlah yang penting sekarang Reno sudah aman. Kita tidak perlu khawatir," kata Gio berlagak semuanya baik-baik saja.

Aku benar-benar geram. Dia tidak sadar dengan apa yang dia lakukan. Dia tidak sadar bahwa dengan melakukan hal itu sama saja dengan menggunakan cara licik untuk mengangkat satu orang. Tidak ada bedanya dia dengan Radit si pengecut itu. Aku tidak terima, sahabatku juga menjadi seorang pengecut. Tanganku kukepal erat dan dengan cepat kuhajar wajah rupawan Gio, sampai dia terdorong.

"Apa-apaan?" tanya dia seusai meludah.

"Kamu mengambil keputusan bodoh! Adnan tidak bersalah, kalau pun dia mengaku di depanmu, itu karena dia adalah teman Reno. Dia terpaksa melakukan itu demi temannya, menyelesaikan masalah pelik yang tidak ia lakukan, dan pendorongnya adalah dirimu! Kamu telah membuat orang berkorban dengan jalan seperti itu. Membuat pelaku sebenarnya tertutupi kedoknya, membuat pelaku aslinya tertawa di belakang layar karena ada yang mengakui perbuatan mereka," terangku.

"Lu ini bodoh atau apa, Ngga? Lu enggak kenal Adnan, dia mengaku di depanku. Dia mengaku semua! Itu karena dia memang salah! Itu pun karena gue yakin seratus persen dia yang bersalah! Memanganya kalau bukan dia siapa lagi? Lu tonjok gue demi anak itu, ha?" ucap Gio dengan tatapan emosi padaku.

"Ini bukan demi dia, ini demi kamu! Kamu adalah sahabatku, dan aku ingin kamu melakukan hal yang benar! Bukan seenaknya sendiri! Gio, kamu mendukungku untuk mengusung Reno, tetapi kamu sendiri menggunakan ego dan emosi untuk menyelesaikan masalah dengan cepat tanpa tahu kebenaran sesungguhnya," terangku padanya. "Pikiranmu begitu pendek untuk mengambil keputusan seperti itu."

Dia mengangkat depan jaketku dan menatapku dengan geram. "Dengar! Gue juga melakukan itu demi lu! Lu pengin Reno maju dan gue juga, lu enggak mau dia difitnah dan gue juga, tetapi lu jarang bertindak. Lu enggak bisa ambil keputusan, lu enggak bisa maju menerjang batas karena itu gue melakukan itu di belakang lu. Memaksa empat orang itu mengaku dan juga memaksa Adnan untuk mengakui kebejatannya. Karena gue yakin dia salah dan selamanya dia memang salah!" ucapnya kemudian menjauhkan tangannya dariku. "Tidak ada pelaku lain, semuanya sudah selesai."

"Kamu tidak paham apa yang aku katakan?" tanyaku dengan tangan mengepal siap untuk menghajarnya lagi.

"Lu mau pukul gue lagi?" tanya Gio. "Silakan sepuas lu! Gue enggak akan membalasnya!"

Aku berhenti mengepalkan tangan, menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan. "Baca pesan ini baik-baik," ucapku menyerahkan ponselku padanya.

Dia tampak ragu dan akhirnya mau membaca pesan itu juga. "Adnan, dia menggunakan kata ganti saya saat rapat itu," ucap Gio. "Ini pesan dari anak itu."

"Apa perlu dia mengatakan siswa laki-laki?" tanyaku.

"Memangnya kenapa dengan itu?" dia balik bertanya.

"Tanpa ada kata laki-laki, laporan itu pun tetap bisa dimengerti, ya kan?"

"Lalu?"

"Jika kamu melihat ada lima cewek yang main judi di warung itu, apa yang akan kamu katakan pada orang lain?" 

"Ada lima cewek main judi," jawabnya.

"Faktanya lima anak itu adalah cowok, apa yang kamu katakan?"

"Ada lima anak main judi," jawabnya menatapku dengan bingung.

"Dengan kata-kata siswa laki-laki, kita tahu satu hal. Sebenarnya cowok pun bisa mengirim pesan itu, tetapi akan lebih masuk akal jika cewek yang melakukannya. Pelakunya adalah cewek bukan cowok," jawabku.

Dia tercengang seperti tak percaya dengan kata-kataku. Kemudian aku jelaskan tentang apa yang aku lakukan sebenarnya. Aku memberitahunya bahwa pelapor itu adalah pelaku karena nomornya tidak digunakan lagi. Dia mulai mengerti dengan apa yang aku bicarakan.

"Masalah yang kita hadapi ini lebih misterius dari yang terlihat, Gio," kataku yang membuatnya tersenyum getir seperti telah mengakui bahwa apa yang dia lakukan adalah kesalahan.

-------

Andhyrama's Note

5000 kata, anjaylah yah T-T. Part paling panjang di cerita ini. Part-part selanjutnya juga kemungkinan akan sama/lebih panjang dari ini. Aku lagi semangat untuk akhir cerita ini. Hahahaha.

Question Time

-Jika kalian adalah tokoh di Losta Connecta, apa yang akan kalian lakukan di sana?

-Kalian paling penasaran dengan latar belakang tokoh yang mana?

-Apa pendapat kalian dengan dialog-dialog di Losta Connecta dan dialog apa yang paling kalian ingat?

-Jika kalian ada di dunia Avatar Aang, kalian ingin mengendalikan elemen yang mana?

-Superhero Marvel favorit kalian?

-Superhero DC favorit kalian?

-Apa yang terjadi di kuburan setiap malam Jumat kliwon?

-Apa yang dibicarakan Icha dan Tapasha di episode 6969 serial Utaran?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro