5] MARAH

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Losta Connecta by Andhyrama

www.andhyrama.com// IG: @andhyrama// Twitter: @andhyrama//FB: Andhyrama// Ask.fm: @andhyrama

***

Mingguku tidak sesuai harapan. Aku tidak bisa mengirim pesan ke Hana karena ternyata Sella selalu mengawasi Hana. Sedangkan anak itu benar-benar bertanya banyak hal tentangku. Aku tidak bisa menelan apa yang aku katakan sebelumnya sehingga begini jadinya. Aku menjadi seperti narasumber yang ditanya banyak hal oleh Sella walau aku hanya menjawab satu huruf dia akan menyambung terus tanpa putus bahkan ketika aku tidak membalas dia mengirim ping banyak sekali padaku. Ini yang namanya panitia MOS dikerjai oleh peserta MOS.

Selain pekerjaan menjadi narasumber, aku hanya bermain game di laptop dan menonton televisi. Nala beres-beres rumah dan menyiapkan makan untuk aku dan Ayah sedangkan Ayah sendiri, dia pergi setelah sarapan. Dia hanya bilang kalau dia ada urusan dengan temannya.

Alarm berbunyi dan aku segera bangun. Hari pertama ini aku mendapat tugas untuk menjaga gerbang sehingga aku berangkat lebih awal. Sebelumnya Risa sudah mengirim pesan bahwa dia akan berangkat sendiri padahal kali terakhir dia membawa motor ke sekolah, ia menabrak gerobak tukang bubur. Entah apa yang akan dia tabrak nanti, kadang kebiasaannya sama seperti sepupuku suka ngebut-ngebutan.

Jam setengah enam dan aku sudah berada di depan gerbang bersama dengan Reno dan Kina. Reno Putra Atmojo adalah saudara kembar Rani Putri Atmojo mereka sama-sama kelas sebelas sekarang, berbeda dengan Rani yang cerewet—dia selalu dijadikan pembawa acara untuk kegiatan-kegiatan di sekolah— Reno tidak banyak bicara namun dengan postur tegap dan tinggi dia tampak berwibawa. Sedangkan Kina adalah gadis yang menggebu-gebu dan terkenal galak.

"Adek itu jalan apa ngesot? Cepat! Waktu adalah uang!" teriak Kina pada gerombolan peserta mos yang memakai topi kerucut berwarna-warni itu.

"Awas tasnya jatuh," ucapku saat melihat mereka lari tergopoh-gopoh.

"Kasih salam! Punya sopan santun kan?" kata Kina lagi saat mereka sudah sampai di depan gerbang.

"Selamat pagi Kak!" ucap mereka dengan terpaksa.

"Senyum! Pelit amat kasih senyum!" teriak Kina lagi dengan geram.

"Pagi!" jawabku yang juga tersenyum ke arah mereka.

"Pagi," jawab Reno datar.

Melihat anak-anak itu aku jadi teringat dua tahun yang lalu saat aku berada di posisi mereka. Aku benar-benar geram dengan panitia MOS yang serasa ingin sekali dihormati. Kami dituntut mengeluarkan senyum palsu kepada mereka dan berucap salam pada akhirnya kami dimarah-marahin hanya untuk kesalahan sepele. Aku benar-benar geram pada kakak kelasku yang menjadi panitia MOS dulu. Aku masih ingat Kak Tari yang memarahiku sampai cipratan-cipratan ludah keluar dari mulutnya, benar-benar ingin kugampar waktu itu.

Positifnya dari MOS ini sebenarnya tentang kekompakan satu kelompok, pembelajaran disiplin dan pelatih kesabaran. Akan tetapi tentu tidak semua mampu menarik kesimpulan ini ketika mereka begitu marah. Terlalu banyak kemarahan yang dipendam oleh peserta MOS dengan sistem yang seperti ini. Kemarahan yang dipendam ini akan menjadi dendam.

Awal aku ingin masuk menjadi OSIS pun salah satu alasannya adalah karena dendam walau di samping itu aku memang ingin berorganisasi. Tidak berbeda dengan yang lain apalagi si Kina ini. Kalau Risa hanya kebetulan saja kenal dengan salah satu kakak kelas anggota OSIS sehingga dia ikut masuk juga. Dendam itu luntur saat aku mulai diterima menjadi anggota OSIS saat kelas sepuluh, ternyata kami juga masih tetap dididik dengan suara keras oleh OSIS kelas sebelasnya. Aku mulai merasa bahwa itu semua tidak ada artinya siklus ini tidak akan terhenti.

"Kak Angga, Kak Reno kenapa kalian diam? Coba panggil anak-anak yang di sebelah kanan itu aku akan meneriaki yang sebelah kiri," kata Kina yang segera berpindah tempat.

Kami semua panitia memang diharuskan memanggil masing-masing Kakak. Entah siapa yang memulai aturan ini, tetapi alasannya memang agar adik-adik kelas juga memanggil kami dengan panggilan itu. 

"Adek cepat ya, sudah hampir jam enam!" teriakku tanpa nada marah seperti Kina.

"Kalian mau sekolah apa jadi model! Jalan aja kayak lagi catwalk! Buruan, Kakak serak tau teriak terus!" teriak Kina yang tetap terdengar keras.

"Segera berbaris di depan aula, Dek," ucap Reno dengan tegas.

Sementara itu, aku mencari-cari kelompok HPP, mereka seharusnya sudah datang. Terlebih aku sudah kangen dengan Hana. Aku sudah tidak sabar ingin bertemu lagi dengannya setelah kemarin seharian aku menahan diriku untuk tidak mengirimnya pesan.

"Kak Angga!" teriak Sella yang datang bersama yang lain dengan topi berumbai-rumbai dan yang berwarna-warni.

Aku tidak memerhatikan Sella, tetapi mencari-cari Hana. Tidak ada, dia tidak bersama kelompoknya, di mana dia gerangan?

"Kak Angga bagaimana penampilan kami? Sangat membahana bukan?" ucapnya dengan senyum berkedip-kedip serasa ingin menunjukan alis tebalnya yang sepertinya baru dia lukis.

"Kalian baris dulu sana!" ucapku menunjuk ke arah depan aula.

"Ya udah Kak, Sella and friends duluan ya," ucapnya yang segera berjalan masuk diikuti yang lain di belakangnya.

"Kak Angga! Tadi itu kelompok yang kamu bimbing?" tanya Kina yang berjalan ke arahku.

"Iya," jawabku.

"Cewek yang pipinya tembam itu pakai make-up! Dia harus dihukum nanti," kata Kina dengan nada kesal.

"Sudah jam enam, semua yang datang setelah ini kita anggap telat," jelas Reno yang memerhatikan arloji di tangannya.

Aku benar-benar khawatir, bukan karena Sella akan dihukum karena memakai dandanan ibu-ibu, tetapi karena Hana belum juga datang. Aku takut dia disuruh lari memutari lapangan, bagaimana mungkin aku tega melihatnya berlari di lapangan yang panas. Ini semua salahku karena tidak menasihatinya untuk bangun lebih pagi walau sebenarnya aku sudah mengatakan pada Sella agar semua anggota kelompoknya berangkat bersama, tetapi mereka pastilah memilih meninggalkan Hana dari pada telat bersama.

"Woy, Angga!" teriak orang dari belakangku.

Aku menoleh. "Kak Gio? Ada apa?" tanyaku.

"Bantu gue menata sound buat upacara!"

"Kak Gio, tolong sebut semuanya pakai sebutan Kakak!" sahut Kina.

"Bawel lu!" jawab Gio.

"Ish!" respon Kina dengan wajah cemberut.

Aku dan Gio meninggalkan Kina dan Reno untuk menuju ke lapangan. Kami berdua segera menyiapkan beberapa peralatan dan menggotong mimbar yang akan digunakan kepala sekolah untuk memberikan pidato.

"Anak-anak itu sedang digeledah di depan aula, gue penasaran apa saja yang mereka bawa," ujar Gio, "tahun lalu ada yang bawa kemenyan sama pembalut," tambahnya tertawa sendiri.

"Kemenyan emang aneh, tetapi kalau pembalut kan cewek yang sedang tanggalnya harus bawa itu," kataku.

"Kan mereka sudah pakai buat apa bawa lagi?" tanya Gio.

"Bukannya mereka harus ganti itu minimal tiga jam sekali? Saat sedang masa itu mereka harus menjaga kebersihan," jawabku.

"Kok lu tahu amat sama begituan?" tanya Gio dengan pandangan aneh.

"Aku kan punya adik perempuan!" jawabku.

"Tetap mencurigakan," ucap Gio memandangku seakan-akan aku punya rahasia yang sedang ia duga-duga.

Tidak lama kemudian kami disuruh berbaris dari depan aula menuju ke lapangan upacara yang ada di belakang. Semua peserta MOS berlari dan mengucapkan salam kepada setiap panitia yang berdiri. Aku menyadari panitia lain berteriak dengan tampang congkak sedangkan aku hanya menjawab 'pagi dek!' kepada mereka.

"Lari dek!" teriak beberapa panitia.

Pada barisan terakhir ada sekelompok peserta yang terlambat dan sengaja di pisah. Aku melihat Hana di sana dia berlari bersama yang lain dan mengucapkan salam pada setiap panitia. Aku terdiam memandangi senyumnya sampai dia sampai di depanku.

"Selamat pagi Kak!" ucapnya.

Detak jantungku serasa berhenti, waktu serasa melambat saat dia ada di depanku. Aku ingin sekali melangkah dan menjangkau tangannya yang lembut, membuang topi anehnya, melempar tas busuknya dan memutuskan kalung kerangnya. Aku ingin memandangnya lebih dekat dan mengatakan, 'Aku suka kamu, Hana!' Kemudian dia akan membalas, 'Aku juga suka Kakak!'.

"Angga! Ayo ikut upacara!" tepukan Gio di pundakku membuatku sadar akan lamunanku.

Saat upacara berlangsung aku hanya memerhatikan Hana yang berbaris dengan anak-anak yang telat lainnya semua ada sembilan. Aku memandangnya, dia seperti tak kenal panas. Ia tetap tersenyum walau pidato membosankan Kepala Sekolah menggema. 

Upacara selesai dan semua panitia segera memunculkan seringainya. Ini waktunya menghukum para peserta yang melanggar aturan, sedangkan siswa-siswi kelas sebelas dan dua belas yang bukan panitia MOS yang juga masuk hari ini menonton dari berbagai tempat. Setidaknya mereka juga ingin melihat dendam-dendam mereka tersampaikan oleh kami sebagai wakilnya.

Tentu saja aku ingin melihat Hana. Aku sengaja berada di belakang Kina yang tengah mengintrogasi para peserta yang telat.

"Kenapa kamu telat?" ucap Kina dengan nada horror.

"Kesiangan Kak," jawab cowok jangkung yang wajahnya dipenuhi jerawat itu.

"Alasan klasik! Tidak bermutu! Kamu mau jadi apa kalau kerjaan kamu cuma kesiangan? Kenapa tidak sekalian kesorean atau kemalaman begitu?" ucap Kina yang tidak dijawab oleh cowok yang wajahnya sudah memucat itu.

Hana tampak tenang dibanding semua peserta yang lain. Dia tetap tersenyum walau ia sudah mendengar teriakan Kina dan ocehannya yang pedas itu. Sekarang giliran Hana yang diintrogasi, pujaan hatiku tidak akan goyah dengan omelan Kina. Aku jamin.

"Kenapa kamu telat?" tanya Kina pada Hana.

"Saya memang telat, Kak," jawabnya.

"Maksud Kakak alasan kamu telat itu apa?" tanya Kina lagi.

"Kadang kita membutuhkan alasan untuk mengambil keputusan, jadi menurut saya Kakak harus bisa mengambil keputusan dengan alasan yang baik!" ucap Hana tersenyum manis pada Kina yang melotot itu.

"Kamu lagi ceramah! Kakak sedang tanya! Jawab yang benar!" teriak Kina mulai kesal.

"Jawaban yang benar adalah jawaban yang sesuai dengan hati, jangan bohongi perasaan, Kak!" ujar Hana semakin melantur.

Beberapa peserta lain terlihat menahan tawa karena jawaban Hana yang tidak sesuai dengan yang Kina inginkan.

"Kamu tidak punya sopan santun! Kalau ditanya jangan congkak begitu!" kata Kina.

"Sopan dan congkak adalah hal yang berbanding terbalik, seharusnya Kakak pilih salah satu saja," kata Hana lagi.

Akhirnya semua peserta lain tidak bisa menahan tawa mereka lagi beberapa dari mereka mengeluarkan tawa yang langsung membuat Kina geram.

"Jangan tertawa! Siapa yang menyuruh kalian tertawa?" tanya Kina memandang ke arah yang lain. "Yang tadi merasa tertawa sekarang push-up dua puluh kali!" teriak Kina.

Sementara Kina menghitung push-up anak-anak yang menertawainya, aku mendekati Hana.

"Kamu jangan telat lagi besok, ya!" ucapku sembari menyentuh lengan atasnya.

"Lebih baik telat dari pada tidak sama sekali," ujar Hana.

"Tetapi lebih baik lagi kalau kamu bisa berangkat tepat waktu," kataku tersenyum padanya.

"Aku berangkat jalan kaki jadi butuh banyak waktu," jawabnya.

Sebenarnya aku ingin sekali menanyai di mana rumahnya dan maukah dia dijemput olehku setiap hari, tetapi aku salah tempat mengatakan itu jika di sini. "Baiklah, jangan diulangi lagi besok!" kataku.

Hana mengangguk dan tersenyum padaku. "Kadang kesalahan butuh diulangi agar paham, jadi aku akan mengulanginya besok!" 

Aku tidak fokus mendengarkan jawabannya karena aku terlalu fokus pada senyumnya. Seakan jantungku berhenti berdetak saat matanya menatapku dan senyumnya ditunjukan olehku. Sungguh aku tidak bisa menyangka bahwa aku seberuntung ini bisa bertatapan dengannya.

"Aku memakai make-up agar dilihat Kak Angga!" teriak seseorang dari belakang.

Aku menoleh dan melihat Sella tengah berdiri di tengah lapangan dengan kumpulan panitia menyerubunginya. Gadis berpipi tembem itu menangis ketika para panitia bertubi-tubi melontarkan kalimat tajam kepadanya.

"Sella begitu mengagumi bendera merah putih, dia sampai mau berdiri di depan tiang bendera dan kakak-kakak memuji-mujinya," kata Hana dengan nada takjub.

"Kak Angga sini!" teriak salah seorang dari panitia yang mengerumuni Sella itu padaku.

"Hana, kamu ikuti perintah Kak Kina, ya! Kak Angga percaya padamu," kataku pada Hana dan segera berlari ke arah depan tiang bendera.

Aku melihat Sella yang menangis sehingga eyeliner-nya luntur dan bedak-bedaknya pun luntur. Ia melihatku dan tetap menangis.

"Ini Kak Angga yang buat kamu jadi melanggar aturan?" tanya Erna.

Seketika Sella langsung memelukku dan menangis mengotori jas almamaterku. 

"Kak Angga! Maafkan Sella, Kak! Ini semua salah Sella! Kak Angga jadi disalahkan sama kakak-kakak jahat ini," ucap Sella sembari menangis.

"Sudah tidak perlu menangis!" kataku yang sebenarnya ingin melepaskan pelukannya.

Akan tetapi pelukan Sella semakin erat membuatku mau tidak mau hanya diam dan mendengar curhatan sembari suara tangisannya. Semua orang seakan melihatku, panitia, peserta dan bahkan siswa-siswa lain yang tidak ada pelajaran hari ini. Aku menjadi pusat perhatian siang ini.

Seharusnya yang memelukku bukan Sella, tetapi gadis yang tengah berlari itu, Hana.


****

Andhyrama's Note

Kalian mungkin merasa POV 1 Angga itu sepeti POV 3, padahal ini memang disengaja karena POV 1 yang seperti ini punya keuntungan menggambarkan suasana lebih baik walau sisi perasaannya tidak sekuat POV 1 murni. Itu saja.

Question Time

Bagi-bagi pengalaman saat kalian MOS yuk di sini :D Ceritakan pengalaman paling berkesan kamu saat MOS!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro