Red Rose (Part 2)

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Tidak ada yang lebih berbahaya dari bunga beracun yang menipu dengan kelopaknya yang menawan.
- Louisa

.
.
.

Kunang-kunang memenuhi penglihatan Louisa, tengkuk terbungkus baju tebal mulai memberat diikuti napas yang makin memburu terhalang selembar kain. Keringat dingin mengucur membasahi masker dan pakaian. Memejam sejenak, mengatur energi yang tersedot habis, Louisa terhuyung hampir menabrak paha orang di antrean depan, beruntung Mike segera meraih dirinya sebelum kening gadis itu menjadi tumbal.

Terlalu gegabah. Louisa tidak berpikir jauh bahwa efek yang akan timbul ketika mengendalikan Deux sebesar ini. Latihan dengan praktik selalu memiliki perbedaan besar. Memang saat menggerakkan Deux di sekitar rumah, Louisa tak mendapatkan masalah seperti sekarang. Terlanjur basah. Ia tidak bisa mundur.

"Kau tidak apa?" Mike berjongkok, memeriksa wajah di bawah tudung yang sudah memerah serupa udang rebus. Alis tebalnya turun, sorot mata pemuda itu khawatir kalau-kalau Louisa sakit gara-gara mengintilinya ke mal, padahal ia memang sedang sakit. Dasar bocah kepala batu. "Kita pulang saja."

Louisa buru-buru menahan lengan Mike, menggeleng pelan seraya menyipit dengan mulut terbuka. "Aku kepanasan!" keluhnya dengan nada yang dibuat kesal. Setengah ucapan Louisa itu benar, selain karena hawa musim semi yang panas ditambah jaket tebal dan masker memuakkan, berebut oksigen dengan orang-orang yang ada di sekitar pun menjadi pekerjaan rumah yang sulit, mengatur pembagian tenaga dan perhatian pada anak buah plastiknya juga salah satu faktor yang membuat ia kepayahan.

"Yakin? Tidak mau pulang saja?" Mike memastikan lagi. Tangannya sigap menurunkan penutup mulut dan tudung jaket yang dikenakan Louisa. Begitu melihat wajah lega di hadapan, Mike ikut merasa terlepas dari ikatan kencang. "Aku sudah bilang tidak perlu ikut, kau ini," sambungnya gemas. Mike ingin sekali memukul kepala bersurai cokelat terang itu, tetapi harus ia tahan. Memukul seseorang yang tingginya sepinggang, sama saja mendeklarasikan bahwa pemuda jangkung itu seorang pecundang.

"Tidak usah," tolak Louisa. Lubang hidungnya tak lagi kembang-kempis seperti tadi. Pikirnya ia akan pingsan satu menit lalu, kalau itu terjadi, habislah usahanya bertahan selama beberapa menit. "Antreannya sebentar lagi, Papa butuh uang. Aku mau lepas ini saja." Louisa tak bisa egois, lebih tepatnya ia mati-matian tetap berada di tempat sebelum Deux menyelesaikan tugas. Cara terakhirnya mengurangi panas, dengan melepas jaket dan memberikan benda itu ke Mike.

"Baiklah. Mau aku gendong saja?" Mike tak tega melihat sosok kecil di samping mengibas-ngibas tangan sembari menahan pegal setelah berdiri cukup lama. Antrean tersisa dua orang lain untuk sampai giliran Mike.

Menimbang tawaran Mike, Louisa rasa itu tak buruk. Lagi pun ia bukan lagi wanita dewasa yang akan aneh jika digendong seorang pria di tengah-tengah keramaian. Orang-orang tidak akan berpikiran macam-macam saat melihat anak kecil yang berada di pangkuan. "Iya." Jawaban singkat dibarengi tangan terangkat. Itu lebih baik daripada berdiri sampai terasa menyatu dengan lantai.

Di ruangan yang sepenuhnya berubah menjadi kebun. Deux menghindar setiap akar-akar berduri yang hendak melilitnya sampai hancur. Berlarian di plafon penuh tanaman rambat dan bunga merah yang dikerubungi lalat. Boneka yang menatap nyalang musuh di bawah pun harus ekstra waspada dengan duri-duri yang bisa saja muncul di tempat dirinya berdiri. Namun, meski kesulitan ia mampu menebas tanpa keraguan begitu akar-akar yang mustahil dihindari menyasar leher.

Frustrasi hebat dialami Rose. Sesekali terdengar geraman dari sosok bertubuh gumpalan tanah dan berselimut dedaunan, akar, dan duri-duri sebesar jempol, tampak dari serbuk-serbuk cokelat kemerahan yang berjatuhan dari sela-sela daun. Fisik serupa Gigi Hadid itu lenyap begitu saja.

"Berhenti berlarian seperti tikus!" raungnya. Sampai detik ini, akar-akar milik Rose tak mampu menyentuh barang sedikit pun Deux. Makhluk itu diberkati badan kecil dan kelincahan yang luar biasa. Rapalan demi rapalan ia ucapkan agar tanaman mawar yang mirip tumbuhan parasit makin kuat dan besar. Ini sudah beratus-ratus tahun lamanya, Rose tidak akan kalah dengan mayat yang tiba-tiba kembali hidup. Dengan mata kepala sendiri, ia melihat wanita itu mati terbakar bahkan Rose sendiri melahap bagian tangan Louisa.

Rose terdesak ke sudut. Deux mendadak bergerak sembarang dengan kecepatan yang tak mampu ia ikuti. Pukulan dan sabetan dari pisau berbahan perak mengantarkan rasa sakit ke sekujur tubuh. Rose tersadar saat itu, tampaknya Igor mati gara-gara bertemu dengan sosok yang dilawan. Mengetahui rekan sesama Rose musnah lewat perasaan mengerikan tempo hari, ternyata bukan sekadar khayalan belaka. Wanita itu mendecih, mengumpat tentang ia yang bakal mampus sekarang juga jika tak berhasil kabur.

Kaki bersepatu pantofel hitam menekan permukaan cermin yang terpasang vertikal, mengukir retakan-retakan layaknya lukisan. Lengan di sisi tubuh membantu menambah momentum yang akan Deux lepas. Sebelum Rose berkedip, ujung pisau berkilat-kilat terkena cahaya lampu yang perlahan padam, menyapanya dalam jarak sejengkal. Dengan kekuatan penuh di ujung kaki kiri, Deux melancarkan tendangan yang mengincar pelipis. Namun, Rose tak bisa dianggap remeh. Lapisan mawar berdaun juga duri yang membungkus tubuhnya lebih tebal dari baja tank.

Kamar mandi yang mengalami pembusukan tak kuat menahan tekanan dari Deux, Rose terpental menghancurkan dinding beton menuju sekumpulan manusia yang tengah berbaris panjang. Berpasang-pasang mata menatap ngeri ke arah monster tanaman yang terbaring seraya memekik nyaring.

Satu per satu jiwa yang terkejut, kembali ke raga masing-masing. Teriakan menyaingi musik dari grup band rock lawas yang dimainkan di mal. Anak-anak menjerit histeris seraya memeluk masing-masing orang tuanya yang juga ikut ketar-ketir. Berhamburan menjauh dari lokasi. Mike yang kebetulan tengah mengantre di sana mengeratkan pelukan, mengambil ancang-ancang langkah panjang.

"Di mana!" Suara Rose menggetarkan keramik-keramik di lantai empat. Membuat beberapa orang terjatuh tak tahan menghadapi serangan ketakutan spontan. Setiap langkah besar dari tanaman hidup itu menciptakan gempa bumi buatan. Rose mengedarkan pandangan, melepaskan kelopak-kelopak mawar merah ke udara. Dirinya harus menemukan Louisa. Tak ada guna menghadapi boneka, jika sang pengendali bersembunyi.

Sesosok berpakaian renda keluar dari kepulan debu. Berjalan tenang melewati puing-puing hasil pekerjaannya. Kelopak mata Deux menutup setengah, membiarkan bulu-bulu lentik melindungi penglihatan bola kacanya.

Tiga orang berseragam hitam mendekat seraya membawa pentungan. Termakan oleh pandangannya sendiri, pria yang merupakan petugas keamanan mematung menganga begitu berhadapan dengan sosok yang baru pertama kali mereka jumpai. Lambung setiap orang yang masih di sekitar Rose, teraduk-aduk aroma menyengat bangkai yang sedang harum-harumnya. Lalat-lalat yang berputar-putar dekat bunga mengeluarkan bau amis darah juga nanah.

"Ya Tuhan!" seru pria, salah satu dari petugas keamanan.

Tak diberi waktu untuk mengeluarkan jurus seribu langkah, akar panjang Rose melilit ketiganya. Jeritan tak terelakkan begitu duri-duri setajam pisau merobek setiap inci tubuh manusia. Bunyi ngilu dari tulang yang diremas terdengar hingga tangisan bocah-bocah mengeras. Mulut terbuka dari bagian tengah tubuh Rose, mengunyah pria-pria malang yang gugur dalam tugas dan tertidur selamanya di perut bersama cairan asam.

Meski salah satunya berhasil ditarik Deux, kenyataan berkata lain. Luka yang memenuhi sekujur tubuhnya terus-menerus mengeluarkan darah, di bagian perut benda panjang dan benda mirip kacang kedelai sebesar kepalan jatuh menggambar abstrak di keramik putih.

"Louisa! Kau!" Rose memekik mengenali Louisa dalam wujud anak-anaknya.

"Mike menunduk!"

Akar panjang yang tercambuk ke arah mereka, nyaris memutuskan kepala Mike. Beruntung Louisa yang memeluk menghadap belakang cepat memperingati. Sayang, tidak ada yang namanya keberuntungan dua kali. Kaki kanan Mike berhasil ditangkap, pemuda itu jatuh memeluk lantai, sementara Louisa terjungkal ke pangkuan Deux yang sigap menangkap majikannya.

"Lari!" Di tengah-tengah tubuh yang diseret melewati mayat mengenaskan, Mike masih sempat memerintahkan gadis kecil di kejauhan untuk pergi.

"Aku ambil alih." Louisa merentangkan tangan. Sorot kekanak-kanakan yang semula Mike lihat, tergantikan mata elang yang menyiratkan kebencian luar dalam. Perintah Mike hanya masuk ke telinga kemudian keluar bersama dengan embusan napas panas.

Di bawah komando bocah berjiwa dewasa. Deux di belakang Louisa menutup rapat pelupuk mata, kemudian berlari menukik mengeluarkan semua senjata yang tersembunyi di balik busananya. Terbang berputar, lantas menebas akar duri yang mengikat Mike. Beruang imut yang selalu mengekori Louisa muncul dari balik pilar, menyeret salah satu tangan Mike agar orang itu menyingkir dari arena pertempuran. Mengamankannya di dekat toko yang lokasinya cukup jauh dari tempat Louisa.

"Apa---arrgg!"

Tanpa persetujuan, beruang setinggi tak sampai lutut itu mencabut kasar duri yang masih tertancap dibetis. Di sela-sela mencengkeram lubang bekas duri di kaki, Mike teringat boneka yang ia berikan kepada Louisa. Kenapa benda yang seharusnya diam di ranjang atau bersama mainan-mainan lain, malah bertingkah seolah-olah ia adalah petugas medis. Tampak di depannya beruang berpita itu membawa kain kasa dan botol entah dari mana. Walau hanya pertolongan pertama, beruang itu menuangkan semua isi botol, mendengar ringisan Mike ia mengikat luka dengan kain kasa sekencang mungkin. Berusaha menghentikan pendarahan sementara sebelum benar-benar diobati oleh dokter sungguhan.

Perkelahian seru tengah terjadi antara Louisa dan Rose. Keduanya sama-sama unggul dengan kekuatan masing-masing. Deux menusuk-nusuk setiap bagian yang dirasa lebih lemah dari bagian lain, Louisa pun ikut turun tangan mengalihkan perhatian dari sosok Rose yang termakan ketakamannya di masa lalu.

Harga mahal yang harus dibayar untuk kecantikan dan keabadian. Rose meracau ingin kembali memakan manusia, hati nuraninya sudah binasa ketika ia memutuskan membuang empati, bersama dua belas orang lainnya dengan membunuh dan memakan setiap potongan tubuh Louisa dan lima anak yang diasuhnya.

"Panggil polisi!" Mike berteriak meminta seseorang. Bukan tak mau melakukan itu sendiri, telepon miliknya hilang dari saku, terlempar atau terpental tak tahu ke mana. "Siapa saja! Cepat!"

"Sudah!" Kakek bertongkat yang meringkuk dekat toko pakaian menyaut. "Mereka butuh lima belas menit untuk sampai!" lanjutnya masih melindungi kepala menatap lantai.

Mike mengedarkan pandangan, beberapa orang termasuk dirinya terjebak lantaran akar sialan itu sudah merambat sampai ke eskalator dan tangga darurat. Mereka betul-betul terisolasi. Ketika ada yang nekat menembus barikade si monster, orang itu dililit sampai tubuhnya hancur menjadi bubur daging, kemudian diisap ujung-ujung duri yang mirip mulut lintah.

"Kau masuk lewat mana?" tanya tak sabar Mike. Namun, beruang Louisa tak sama dengan Deux, sosok berbulu putih itu malah pergi ke arah orang-orang yang sekiranya butuh bantuan. Seperti robot yang sudah terprogram mesti melakukan apa, tetapi bukan oleh seorang ahli komputer, melainkan anak perempuan yang berguling dan mengelak akar-akar gila di tengah-tengah mal yang luas.

Makin lama Louisa kian kehilangan stamina, suara dari pernapasan terdengar menyesakkan. Deux dan beruang pun ikut melambat mengikuti pengendali yang kelelahan. Tanpa pikir, ia merogoh saku celana---tergesa-gesa membuka bungkus cokelat seukuran buku jari yang diberikan Peter sebagai bekal. Glukosa mengalir ke pembuluh darah, membawa energi untuk Louisa agar kembali menghunus jemari lentiknya.

"Aduh!" pekik Louisa.

Mike menariknya sampai tersungkur ke ketiak pemuda itu. Mendapati tatapan penuh kebingungan, takut, sekaligus tidak percaya. Louisa tak lantas berbicara, mereka malah saling pandang dalam diam hingga tak menyadari sesuatu sebesar mobil hendak meremukkan kedua anak manusia yang salah satunya memeluk erat.

Deux di mata keduanya seperti seorang pahlawan, ia menahan serangan dari Rose dengan punggung supaya tidak langsung menyentuh Mike dan Louisa di bawah. Lengan kiri boneka itu terlihat hampir putus karena beban berat yang tertubi-tubi diberikan monster hijau dan merah di belakang sana.

"Sno!"

Kaki-kaki kecil berlarian di permukaan lengan besar Rose yang menimpa Deux. Mengacungkan kedua tangan bulatnya sembari menggenggam bungkusan sebesar bola kasti. Dengan gaya keren, Sno menembak tepat ke bunga yang menjadi mata pengganti milik Rose, kemudian menyelamatkan diri setelah tugasnya selesai.

"Itu apa? Hei!" Mike histeris menggendong bocah yang bersamanya seperti membawa kardus atau keranjang di pinggang.

"Lepaskan!" Tendangan Louisa berhasil membebaskannya dari cengkeraman laki-laki yang panik setengah mati. Ia berlari mendekati Deux yang tengah menjalankan perintah sang pengendali.

"Kembali kemari!" Setengah pincang mengejar Louisa. Bagaimana bisa bocah itu berlari secepat kilat dari dirinya? Betul-betul hari yang melelahkan otak dan badan. "Papamu akan marah, Louisa! Berhenti!" Peringatannya tak didengar.

Sno berlari memutari Mike sembari memegang kain kasa panjang yang masih misterius muncul dari mana. Dalam sekali hentak, Mike tergulung kain pembungkus luka.

"Aku berjanji menjelaskan ini nanti, tolong pergilah!" Louisa berkata membelakangi Mike. Menjejalkan seluruh permen yang ada di kantong memenuhi rongga mulut, sisanya mengotori telapak tangan dan sekitar bibir.

Menerima lemparan kain kasa, Louisa melilit tangan beberapa lapis lantas meraih pisau yang diberikan Deux di samping. Dua orang kembar berbeda spesies itu berjalan beriringan, kemudian mempercepat langkah dengan gerakan selang-seling memperdayai Rose.

"Loui! Sa!" Suara Rose bercampur dengan suara laki-laki. Menggelegar melukai pendengaran, merambat di permukaan dinding dan lantai. Meraih sumber keberanian orang-orang yang meringkuk berharap pertolongan segera datang. Mengantar kesadaran mereka pada titik terendah dan gelap.

Mike dan para pengunjung mal yang sial, jatuh dengan sakit kepala hebat disertai mimisan dari telinga, hidung, dan mulut. Bergelimpangan tanpa menyadari apa yang akan menimpa setiap tubuh yang telah menjadi target dari duri-duri pengisap darah dan nyawa.

Melawan Igor memang sulit, tetapi melawan Rose jauh lebih menyusahkan. Louisa harus bertarung sembari mengendalikan Deux dan Sno yang mesti melindungi setiap orang-orang tak bersalah yang bergantung hidup di bahu gadis cilik itu. Setidaknya sampai bala bantuan datang. Lagi pula Rose akan mati saat ini. Wanita kejam yang memakan ia dan anak-anak di masa lalu itu akan binasa bersama dosanya, lalu pergi ke neraka.

.
.
.

To be continue


Note:
Sepertinya bagian ini akan menjadi lebih panjang dari perkiraan. Ya semoga tidak membosankan. Selamat menikmati! ^^

#salamwritingmarathon #challengemenulisbersama_tim3
r

edaksisalam_ped

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro