LBS-19

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Entah di langkahmu yang keberapa, aku berpikir untuk berjalan di sisimu.

Yang sayangnya pada hati bersarang ragu,
Haruskah aku mengaku?

🔥

Tak terhitung berapa kali Irish dan Keenan berciuman. Sentuhan fisik sudah tak asing bagi mereka. Biasanya Irish selalu menikmati interaksi intim dengan Keenan. Untuk pertama kalinya, satu jam lalu dia merasakan hal sebaliknya. Hanya ada takut dan perut bergejolak hebat ketika Keenan nyaris menyentuh bibir Irish.

Sejak tadi Irish menggenggam tangan Atala. Mereka duduk bersisian dan kepala gadis itu menyandar di lengan Atala. Kondisi Irish sudah membaik, tidak setegang tadi. Getar tubuhnya mulai terkendali, perlahan-lahan lenyap oleh usapan menenangkan Atala di rambut gadis itu.

“Irish, bisa tolong jelaskan.”

Ayah Keenan memperbaiki kacamatanya. Dia menghela napas berat menatap putranya yang babak belur. Daripada membawa perkara ini ke kantor polisi, Irish memilih menyelesaikannya secara baik-baik. Maka, dia sengaja memanggil ayah Keenan ke Jedaa di saat Keenan masih terbaring lemas.

“Maaf, Pak. Melihat kondisi Irish, sebaiknya saya yang menjelaskan. Tentu nggak sedetail yang Bapak harapkan. Saya melihat anak Bapak memaksa Irish di sofa. Kita sama-sama tahu makna konteks memaksa itu. Saya berani mengatakan itu pemaksaan karena sebelum saya masuk ruangan Irish, saya mendengar dia berteriak. Setelah saya sampai di dalam, anak Bapak ternyata sedang menindih Irish.”

“Bisa aja mereka sama-sama mau. Mereka itu pacaran. Jaman sekarang bukan hal tabu lagi kalau orang dewasa belum menikah melakukannya. Saya nggak bermaksud nggak percaya. Kita harus bisa memikirkan segala kemungkinan yang ada. Betul, ‘kan?”

Atala terkesiap. Pacaran? Pacaran? Bagaimana bisa? Yang dia tahu Valentino adalah pacar Irish. Lalu laki-laki ini ....
“Betul. Tapi melihat Irish yang ketakutan ini, apa Bapak masih mengira kalau mereka sama-sama mau?”

Laki-laki itu menghentikan usapan di kepala Irish, lalu menunduk saat menyadari Irish menggeleng. Atala kian menunduk, mensejajarkan wajahnya dengan Irish.

“Kami udah putus.”

Tanpa sadar Atala bernapas lega.

“Benar, Keenan?”

Keenan mengangguk lemah. Nyeri di seluruh wajah membuatnya enggan bicara banyak.

“Dan kamu mau memaksa Irish?”

“Ya.”

“Kenapa?”

“Aku nggak terima kami putus.”

“Anak kurang ajar!”

Sang ayah menarik kerah baju Keenan. Lalu sebuah tamparan mendarat di pipi lebam Keenan. Bahkan sampai dua kali tamparan yang dia dapat, Keenan tak mengelak. Dia hanya diam, melirik Irish yang tatapannya kosong.

“Maaf, Rish. Om nggak tahu harus ngomong apa. Ini pasti berat buat kamu. Apa kita perlu—”

“Om,” potong Irish, “Keenan nggak membela diri, aku puas dengan itu. Aku milih damai. Om dan Keenan bisa pulang. Silahkan.”

Sedetik kalimat Irish selesai, Keenan berdiri dan keluar dari Jedaa menuju mobilnya sendiri. Tidak ada permintaan maaf darinya, yang sebenarnya dapat Irish mengerti. Gadis itu ingat apa yang telah dia lakukan dan berkemungkinan besar menjadi sebab tindakan gila Keenan malam ini.

Tadinya Irish sudah siap jika Keenan ingin buka-bukaan kejadian tiga minggu lalu. Dia agak kaget karena Keenan bungkam, bahkan terkesan tidak peduli lagi. Entah karena enggan memperbesar masalah atau apa, yang jelas Irish sangat lega dan berharap setelah hari ini tak ada lagi masalah dengan Keenan.

“Om mengerti. Maaf, Rish. Om pamit.”

Dalam sekejap, masalah selesai. Atala heran, mengapa Irish tak memperpanjang masalah. Setidaknya dia berpikir bahwa harus ada permintaan maaf dari laki-laki bernama Keenan atas tindakan pemaksaannya tadi.

“Apa aku masih boleh sandaran di lengan kamu?”

Atala tersadar dari lamunan, buru-buru mengusap rambut Irish.

“Tentu. Selama yang kamu mau, Rish. Apa masih takut?”

“Nggak. Aku udah tenang, tapi masih kebayang aja sama kejadian tadi. Yang tadi itu jauh lebih buruk dibanding saat kita ada di motel dan berakhir di kasur.”

Untuk sesaat Atala tersentak, ingatannya berputar pada hari itu. Matanya memejam, berusaha mengendalikan pikiran dari hal-hal yang tak seharusnya dia bayangkan.

“Rish, apa dia suka maksa kamu kayak gitu? Apa selama ini dia main kasar? Aku nggak bodoh untuk menilai kalau tadi kamu nggak menginginkan dia.”

“Nope.” Irish menegakkan kepala, bertatapan dengan Atala. “Satu tahun pacaran, aku nggak pernah tidur sama dia sekali pun.”

Mungkin seharusnya Irish tak mengatakan itu, karena Atala jelas terkejut. Entah apa yang kini dipikirkan oleh Atala, dia tak membalas pernyataan Irish. Keduanya hanya diam, membiarkan waktu berlalu sepi sampai beberapa menit ke depan.

Telapak tangan besar Atala menyentuh rahang Irish, yang mana gadis itu jadi memejamkan mata. Debar jantung Irish mengencang bersamaan rasa panas yang menjalari wajah. Dia tidak mampu menduga apa yang Atala akan lakukan. Yang dia tahu, sentuhan itu menghangatkannya. Sentuhan yang bertahun-tahun lalu menjadi kesukaan Irish. Sentuhan yang terasa tulus, hingga Irish tak percaya bahwa segalanya hanyalah kepura-puraan.

“Ini pertanyaan pribadi yang bersifat kurang ajar. Kamu boleh pukul aku setelah ini. Aku mau tahu Rish, apa cuma aku? Apa aku masih satu-satunya laki-laki yang nyentuh kamu?”

Kenangan mereka berdesakan memenuhi dada Irish, yang mengakibatkan air mata gadis itu menetes. Malam ini dia terlalu lelah, ditambah dengan terpaksa teringat kejadian penyerahan dirinya pada Atala. Dan sialannya, laki-laki itu bertanya sesuatu yang tidak bisa Irish sangkal.

Tiga minggu Irish melarikan diri dari Atala, sengaja tidak ke Jedaa dengan harapan laki-laki itu menyerah. Dari hasil laporan Danu dan Rasti, Atala malah lebih gencar mendatangi Jedaa. Di detik ini Irish jadi ingin meluruhkan perasaan lelahnya. Sia-sia apa yang dilakukannya tiga minggu ke belakang.

Malam ini Atala menyelamatkan Irish, kedatangannya sangat tepat. Irish enggan membayangkan bagaimana jadinya jika Keenan berhasil melaksanakan niatnya. Untuk itu, Irish merasa sangat lelah. Ya, Irish lelah berlari serta menyangkal. Bolehkan dia mengaku saja ... kalau Atala masih memiliki peran penting di dalam hati gadis itu?

“Hei, jangan nangis,” bisik Atala seraya mengusap air mata Irish, “apa pertanyaanku nyakiti kamu? Maaf.”

Mata Irish terbuka, air matanya kian deras. Atala cepat-cepat menarik tisu dari kotak dan menghapus mata Irish. Berkali-kali dia mengucapkan maaf. Ingin memeluk Irish, tapi Atala sadar itu terlalu lancang setelah apa yang dialami Irish tadi. Digenggam begini saja Atala sudah sangat bersyukur.

“Jangan nangis lagi, Rish. Jangan nangis.”

“Kenapa sih dulu kamu berengsek banget? Kenapa kamu dulu kurang ajar banget?”
Awalnya Atala terpaku mendengar keluhan Irish. Namun, kedua sudut bibirnya tertarik. Kembali diusapnya air mata Irish yang terus berjatuhan.

“Iya, aku berengsek, Rish.”

“Aku sedih banget kamu tinggalin, aku tersiksa. Aku mau marah, tapi nggak tahu sama siapa. Aku pernah mau mati aja saat lihat dua garis di testpack. Tapi aku nggak bisa. Aku nggak bisa bunuh dia yang nggak bersalah.”

Tangis Irish semakin menjadi. Kedua tangannya kini memukul-mukul dada Atala. Laki-laki itu menikmati luapan emosi Irish. Dengan setia dia diam, mendengarkan apa pun yang Irish katakan. Baik Irish maupun Atala, saat ini sama-sama sedang tersayat. Dada mereka nyeri dan perih. Keduanya terluka. Bukan hanya salah satunya yang menderita, tapi dua-duanya.

Di mata Irish, Atala mendekatinya atas rasa bersalah. Padahal yang sesungguhnya, Atala pun tidak tahu untuk apa semua kegilaannya ini. Atala memahami bagaimana duka kehilangan. Hanya dengan membayangkan, hati rasanya dipatahkan berkali-kali tanpa ampun. Irish melalui banyak penderitaan dan Atala tak ingin ada kesedihan di masa depan yang harus ditanggung sendirian lagi oleh Irish.

“Kamu nggak tahu gimana bahagianya aku saat dia nendang di dalam perut. Kamu juga nggak tahu gimana sedihnya aku saat ingat kita nggak membesarkan dia bersama.”

Irish tersedu-sedu, terus memukul dada Atala meski tangannya sudah sakit.

“Aku nangis dan selalu minta maaf ke dia karena menghadirkannya dengan cara yang salah. Aku berdoa semoga suatu hari nanti dia ngerti kenapa ayahnya nggak ada. Tapi, At, dia pergi duluan, tanpa pernah lihat aku. Apa itu hukuman? Apa Tuhan nggak mempercayakan aku untuk ngerawat anak kita?”

Dada Atala sesak, ditariknya Irish ke dalam pelukan, dikecupnya kening itu berkali-kali dengan air mata tertahan.

“Aku udah relain kamu, aku tanggung semuanya sendiri daripada harus melihat kamu terpaksa hidup sama orang yang nggak kamu harapkan. Tapi kamu berengsek banget. Kamu lagi-lagi datang ke hidupku. Kamu pengacau, At.”

“Ya, aku si berengsek yang lagi-lagi mengacaukan hidup kamu, Rish.”

“Dan sialannya, kamu hari ini jadi penyelamatku. Kamu lihat aku versi lemah. Padahal aku nggak pernah mau dipandang lemah sama kamu. Padahal aku nggak mau kamu tahu kalau aku juga bisa nggak berdaya.”

Irish yang malang. Ditinggalkan oleh Atala membuatnya memperkuat karakter diri. Namun, sekuat apa pun dia bertahan, ketika bertubi-tubi lelah menyerang, Irish tetaplah gadis yang hanya butuh menangis dan menumpahkan perasaan. Sudah hilang rasa malunya sejak dia menggenggam tangan Atala serta bersandar di lengan itu.

Malam ini Irish ingin membuka semua topeng yang dia kenakan. Sekali saja di hadapan Atala, Irish ingin menunjukkan bagaimana rapuhnya hati itu. Tak peduli pada batas yang telah dia dobrak, Irish hanya ingin menjadi diri sendiri untuk malam ini.

Kali ini aja, kali ini aja.

“Hal yang bikin aku betah berinteraksi sama kamu, karena kamu apa adanya, Rish. Jadi, di depanku cukup jadi diri kamu sendiri. Nggak perlu jaim. Kalau kamu emang maunya nangis, aku nggak akan larang lagi."

“Kamu jahat banget, At. Jahat. Kamu cowok berengsek. Kamu bajingan. Aku benci kamu.”

“Benci tapi mau dipeluk, ya?”

Irish tambah menangis dan mencubit pinggang Atala. Laki-laki itu tertawa kecil sebelum meraih tangan Irish untuk dia kecup. Dalam pelukan Atala, Irish merasa nyaman, sampai-sampai rasa kesalnya menipis meski beberapa detik lalu Atala sengaja menggodanya. Itu membuat Irish bingung pada perasaannya sendiri. Atala adalah luka, tapi kini Irish merasa laki-laki itu juga penyembuh.

“Apa kamu nyaman aku peluk gini?”

Perlahan Irish mengangguk. Dia tak lagi menangis, air matanya pun telah kering. Menakjubkannya, dia masih ada di pelukan Atala. Satu tangannya digenggam, satunya lagi mencengkeram kemeja Atala. Dia tak tahu mengapa harus mempertahankan posisi itu. Bukankah seharusnya dia menjaga jarak setelah emosinya reda? Bukankah tak semestinya dia memberikan angin segar untuk Atala? Mungkinkah Irish lelah bersembunyi dan akan mengaku bahwa hatinya masih menginginkan Atala?

“Aku juga nyaman peluk kamu gini, Rish. Jantungku sampai berdebar keras deketan sama kamu.”

Sama, Irish juga berdebar kencang, yang mana kata orang itu adalah salah satu tanda jatuh hati. Debar yang Irish rasakan untuk Atala sangat berbeda ketika jantungnya berdebar karena Keenan. Ada banyak perasaan di dalam debar itu yang sulit Irish deskripsikan.

“Aku antar kamu pulang, ya.”

“Aku masih mau di sini sebentar lagi.”

“Oh, oke. Mau aku cariin makanan?”

“Kamu harus cepat pulang, ya?”

“Nggak. Aku free. Nggak ada janji harus pulang jam berapa.”

“Emang Keisha nggak nyariin?”

“Rish ....”

Irish mendongak, Atala balas menundukkan wajah. Mata itu basah lagi dan dengan segera Atala mengusapnya.

“Aku kangen Naomi. Aku mau peluk dia lagi, At. Aku berkhayal bisa gendong dia sama kayak kamu gendong Keisha. Aku—”

Kalimat Irish terpotong oleh bibir yang menyentuhnya secara mendadak. Sejenak Irish membelalak, matanya bertemu dengan mata Atala yang seolah-oleh meminta izin. Bibir mereka masih sekadar menempel diiringi desah napas berat keduanya.

Mungkin akal sehat Irish telah lenyap seiring matanya yang menutup dan bibirnya sedikit terbuka. Izin dan akses untuk Atala telah dia berikan meski tanpa kata. Napas Irish kian berat, ketika dengan lembut Atala melumat bibir itu. Tangan Atala yang kini menyelip pada helai-helai rambutnya, membuat tengkuk Irish meremang. Remasan pelan pada pinggangnya kian memacu adrenalin Irish.

Bisa jadi Irish tidak mengerti apa yang sedang dia lakukan, atau dia mengerti tapi otaknya kosong untuk membangun batas-batas tinggi. Kedua tangan Irish mengalung di leher Atala, yang mana sedetik setelahnya ciuman itu kian dalam. Setiap lumatan, Irish nikmati dengan perasaan membuncah. Decap bibir mereka beradu dengan detik jam di antara keheningan Jedaa.

“Rish,” bisik Atala.
Bibir mereka hanya berjarak sedikit saja. Irish bisa merasakan hangat embusan napas Atala dan aroma menyegarkan dari mulut itu. Lagi, Irish meremang. Atala mengusap rahang dan tengkuk Irish perlahan-lahan.

“Apa kamu mau bilang sesuatu?”

Irish menggeleng, lalu bibir mereka kembali menyatu. Kali ini Atala mengangkat tubuh Irish tanpa melepas tautan bibir mereka, mendudukkan gadis itu di pangkuannya. Bukan hanya Atala yang aktif, Irish pun sama. Mereka saling melumat, saling mendesah, sesekali Irish menjambak rambut Atala. Perlahan-lahan hasrat membakar keduanya, tapi urung melangkah pada adegan lebih jauh.

Di sofa itu, Irish nyaris disentuh paksa oleh Keenan. Dan di sofa itu pula, dia menikmati ciuman Atala yang menggetarkan tubuhnya. Irish menyadari bahwa Atala masih berarti. Bahkan di detik Atala membelitkan lidahnya pada lidah Irish, gadis itu ingin terus-menerus mengulang momen itu. Yang secara sederhana dapat diartikan, kalau Irish ingin menjalani waktu yang sama dengan Atala. Namun, mengingat masa lalu, membuatnya urung mengatakan apa pun.

Karena Irish tak siap jika harus terluka lagi ....

To be continued

Ahhhhh! Part ini nganu banget ya, Bun?

jadi Irish itu nggak mudah. Bayangin, mantan penuh pesona terus-terusan ngejar, gimana hatinya jadi nggak goyah?

follow ig putriew11. Kamu juga bisa gabung ke grup privatku di FB, cari Kata Putrie W.

Lav,
Putrie

Mantan emang menawan 😜

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro