LBS-25

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Pada akhirnya aku lelah bersembunyi.

Kali ini biar kubuka semua topeng,

Menunjukkan padamu bahwa debar ini masih untukmu.

🔥

“Kenapa Irish mau, sih, pergi sama cowok berengsek itu?”

Sudah lima menit sejak Irish pergi menyanggupi  bicara dengan Atala. Gadis berambut pendek itu terus bersungut-sungut. Dia sedang mengeluh habis-habisan, tapi Valentino sama sekali tidak merasa terganggu. Melihat ekspresi kesal Dara malah sangat menggemaskan di mata laki-laki itu.

“Sorry, ya. Aku nggak tahu apa permasalahan mereka, tapi mantannya Irish kelihatan serius.”

Dara menyuap satu sendok cheesecake, mengunyah dan menelannya dengan cepat.

“Dulu dia berengsek, Val. Kamu nggak tahu, sih!”

Bertahun-tahun mengenal Dara, Valentino sudah tidak asing dengan nada ketus gadis itu. Hatinya malah membara perlahan-lahan karena menemukan sosok dengan kepribadian yang bertolak belakang dengannya. Selama ini pun perempuan-perempuan yang dia kencani sebagian besar lemah-lembut, tidak bicara sefrontal Dara, serta selalu menjaga sikap anggun di depan Valentino.

“Sebelumnya, sorry kalau kita bahas Irish. Aku nggak paham apa yang terjadi di antara mereka. Tapi, Dara, manusia itu punya lebih dari dua sisi. Mantannya Irish dulu berengsek, bisa jadi kali ini dia mau nebus kesalahannya. Manusia bisa berubah, karena yang abadi emang perubahan.”

Mungkin selama sepuluh detik Dara terdiam, terperangah pada cara bicara Valentino. Permintaan maaf untuk membicarakan Irish adalah hal yang tidak Dara duga. Perasaannya sangat dihargai. Ada sedikit gemuruh aneh di hati gadis itu. Jika tahu Valentino adalah orang yang sangat paham cara menghargai perempuan, mungkin Dara sudah lebih dulu mengejarnya.

“Kamu nggak sakit hati Irish nggak lihat kamu selama ini? Pura-pura jadi pacarnya, padahal kamu sendiri bisa menilai kayak apa gencar mantannya Irish buat balikan.”
“Iya, sih. Heran juga. Aku dalam keadaan sepenuhnya sadar nggak  keberatan kalau Irish sama cowok lain. Apa, ya? Mungkin rasa sukaku ke dia hanya level tertinggi dari kagum? Nggak paham, sih.”

Bisa jadi, jawab Dara selama ini. Tidak heran juga Valentino kagum pada Irish. Laki-laki itu ikut menemani Irish dalam bertransformasi  menjadi gadis impian banyak laki-laki. Pilihan Valentino tidak mengungkapkan perasaan pada Irish mungkin juga karena dia sendiri tidak yakin semuanya tetap baik-baik saja setelah itu.
“Anyway, balik ke topik mantan Irish. Sebagai sahabatnya, kamu berhak menjaga Irish, tapi pikirin juga hal yang sebenarnya dia inginkan.”

Dara mengerutkan kening.

“Contoh?”

“Irish butuh lebih banyak waktu untuk membuktikan keseriusan mantannya. Aku dan kamu pasti bisa lihat makna tatapan Irish ke cowok itu. Iya, ‘kan?”

Tidak mengiyakan ataupun menyanggah, Dara hanya kembali menikmati menikmati cake-nya. Diam-diam Valentino memperhatikan, menatapnya seolah tanpa kedip.

“Ngapain lihatnya kayak gitu? Nggak pernah lihat cewek makan kue? Atau kamu mau?”

Satu sendok penuh berisi cake Dara arahkan ke Valentino. Niat gadis itu hanya bercanda, karena berpikir mana mau Valentino makan dari sendok yang sama dengannya. Dalam hitungan detik wajah Dara memanas. Tangannya dipegang oleh Valentino, lalu dituntun untuk memasukkan sendok itu ke mulut.

“Eh, apa-apaan?”

Dara segera menarik tangannya, mengeluarkan sendok dari mulut laki-laki itu. Kuenya benar-benar dimakan, bahkan disertai senyum tipis yang membuat dada kian berdebar.

“Kamu mau suapi aku, ‘kan? Jadi, aku makan.”

“Next time jangan gitu lagi, deh. Bukannya kamu nggak suka yang manis-manis gini? Iya, ‘kan?”

“Suka, kamu kan manis.”

“Basi, Val.”

Warna merah di wajah Dara yang putih tidak bisa disembunyikan. Senyumnya tertahan, tapi Valentino bisa menangkap dengan jelas.

“Kamu tahu aku nggak suka makanan manis?”

“Aku pernah dengar pas bazar jaman kuliah kamu nolak ditawarin kue karena nggak suka yang manis.”

“Oh?” Valentino terkejut. “Itu udah lama banget dan kamu masih ingat?”

“Ingatanku bagus.”

“Bisa, sih, makan kalau diperlukan dalam suatu situasi. Cuma setelah itu palingan mual.”

“Kayak situasi goda cewek, ya?”

Valentino tertawa pelan. Dia sangat menikmati obrolan ringan bersama Dara. Karena itu pula dia tiba-tiba merasa konyol selalu menerima kue dari Irish, padahal gadis itu tidak pernah memaksa. Permasalahannya adalah Irish tidak tahu apa yang tidak disukai Valentino. Dan dengan bodohnya Valentino bersikap selayaknya laki-laki sejati yang enggan menolak pemberian seorang gadis.

Hari ini setelah sekian lama Valentino merasa ada seseorang yang memperhatikannya dengan baik. Ingatan Dara mungkin memang bagus, tapi bagi Valentino itu adalah sesuatu yang memang pantas dikagumi. Bisa saja Dara tak acuh, nyatanya gadis itu melarang Valentino memakan kuenya.

Aneh, Valentino merasa aneh. Pandangannya tak bisa dilepas barang sejenak dari Dara. Kecantikan gadis itu sudah sejak lama Valentino sadari. Kepribadian Dara yang tangguh serta tak main-main dalam menjaga Irish juga Valentino acungi jempol. Namun, satu bulan berbalas pesan di Madam Rose dan pertemuan hari ini sungguh menambah berkali-kali lipat ketertarikan Valentino.
Hatinya mengatakan gadis itu memang layak diperjuangkan, pantas disayangi semaksimal mungkin, dan dijaga layaknya vas berlian. Sudah Valentino tekadkan untuk membuat gadis itu senyaman mungkin di sisinya.

“Hei, mau nonton?”

“Aku yang pilih film-nya?”

“Deal.”

Kurang dari satu jam kemudian mereka sudah berada di gedung bioskop. Mendadak Valentino menyesali keputusannya yang membiarkan Dara memilih film. Siapa yang menyangka gadis di sebelahnya itu akan memilih menonton The Conjuring. Mau membatalkan pun dia segan. Jadi, laki-laki itu duduk kaku, sedangkan Dara terlihat sangat antusias menanti adegan demi adegan menegangkan.

Hanya Valentino yang tidak menikmati tayangan pada layar lebar itu. Berkali-kali dia meneguk air mineralnya, berusaha tidak terpengaruh pada apa yang terpampang di sana. Telinganya cukup sering dia sentuh,  karena merinding mendengar backsound.

Menit demi menit terasa begitu lama. Valentino heran bagaimana orang-orang bisa menikmati film yang dapat menyebabkan terjaga sepanjang malam. Bahkan Dara pun sangat tegang, sampai-sampai tidak menoleh ke arah Valentino sejak film diputar.

Laki-laki itu tidak sanggup lagi. Akhirnya dia memejamkan mata. Sejak kecil Valentino memang tidak suka segala hal berbau mistis. Jika tanpa sengaja dia menonton tayangan horor, maka di malam hari dia akan kesusahan tidur. Sudah dia bayangkan jika malam ini pasti dirinya terjaga sampai pagi.

Belum sampai sepuluh menit Valentino memejamkan mata, seseorang menarik-narik pelan lengannya. Dengan enggan laki-laki itu membuka mata dan menoleh ke sisi kanan. Ekspresinya menunjukkan keterkejutan karena posisi wajah Dara yang sangat dekat dengannya. Jantung laki-laki itu berdetak lebih cepat. Mungkin karena teriakan dari layar. Mungkin juga karena jaraknya dengan Dara yang sangat rawan.

“Ayo keluar,” bisik Dara.

Gadis itu langsung berdiri dan mendahului Valentino keluar ruangan. Sesampainya mereka di luar, Valentino bertanya ada apa. Film-nya belum selesai. Masih ada waktu sekitar tiga puluh menit lagi.

“Ada apa kamu bilang? Ngaku, deh. Kamu nggak suka film horor, kan, Val? Terus ngapain tadi kamu setuju? Harusnya bilang.”

Jelas sekali gadis itu merasa kesal. Langkahnya cukup cepat, menyusuri lorong menuju food court. Digenggamnya erat popcorn ukuran medium yang tinggal setengah. Percayalah, Dara sudah berusaha mengontrol emosinya dan itulah hasil maksimal yang bisa dia berikan.
Ah, karena itu, pikir Valentino.

Segera diraihnya lengan Dara, menghentikan gadis itu di antara ramainya lalu-lalang pengunjung mal. Valentino menarik Dara ke tepian agar tidak terganggu dan mengganggu.

“Sorry,” ucap Valentino seraya melepas pegangannya dari lengan Dara.
Bibir gadis itu agak maju, sepertinya efek kekesalannya. Dara membelai-belai rambutnya, menghela napas panjang, dan barulah menatap Valentino.

“Val, kita kenal dari lama, tapi nggak dekat banget sampai aku tahu apa yang nggak kamu sukai secara mendetail. Kamu memaksakan diri ikut nonton mungkin karena  nggak mau aku kecewa. But,  it makes me feel bad and guilty. Don’t be another person for someone, Val. Just be yourself.”

Lima detik mereka berpandangan dalam diam. Mata Dara lalu melebar bersamaan jantungnya yang berpacu cepat. Valentino baru saja mengecup bibir gadis itu, membuat sang empunya bibir merona dalam sekejap.

“It’s me, Dara. Don't be sorry for what you said.”

Tidak peduli sekitar yang mungkin menaruh perhatian padanya, Valentino menunjukkan versi dirinya yang asli. Begitu juga dengan Dara. Tanpa pikir panjang dia menendang betis Valentino sekaligus meninju lengannya.

“And it’s me, Val.”

Kemudian, Dara melangkah lebih dulu dengan senyum yang mati-matian dia tahan. Di belakangnya Valentino mengaduh, tapi juga ikut-ikutan menahan senyum.

🔥

Suasana mobil sangat sunyi. Atala tidak bersuara, pemutar musik juga tak dia nyalakan. Sesekali Irish melirik, kemudian diakhiri dengan helaan napas panjang. Gadis itu enggan bertanya akan dibawa ke mana dirinya. Atala pun tidak menjelaskan mau bicara apa dan di mana. Ketika sampai di pelataran sebuah vila pribadi, barulah Irish panik. Hanya ada mobil Atala yang terparkir di sana, menandakan bahwa memang tempat itu telah diatur secara khusus oleh Atala.

“Hei, hei! Jangan ngada-ngada, At! Vila? Kita mau bicara di dalam vila?”

“Nggak ada tempat yang lebih bagus dari ini untuk aku cium kamu atau kamu nampar aku. Turun, Rish. Kita benar-benar butuh bicara.”

Irish ingin memaki, tapi tertahan begitu saja karena melihat keseriusan wajah Atala. Atala turun lebih dulu, sedangkan Irish masih ragu haruskah menuruti kata-kata Atala. Belum terpecahkan keraguannya, Atala membuka pintu Irish, meraih telapak tangan gadis itu dan menyeretnya. Otak Irish lumpuh sesaat dengan keberanian Atala, hingga tubuhnya tidak memberikan perlawanan.

Aura Atala sangat berbeda. Irish tidak dapat menduga apa yang ada di kepala laki-laki itu. Yang dia tahu kini dadanya bertalu-talu berada di ruang tamu vila berdua saja dengan Atala. Sorot mata Atala melemah setelah melepaskan tangan Irish dan mengunci pintu ruangan. Kunci itu dia simpan di saku jeans-nya, mengumumkan tanpa kata bahwa mereka memang akan terjebak berdua di sana untuk beberapa jam ke depan.

“Kamu gila tahu nggak, sih, At? Oh, ya, aku juga sama gilanya. Sial.”

Irish melempar tas tangannya ke sofa setengah frustrasi. Laki-laki itu seolah-olah tuli, tak ditanggapinya ucapan Irish. Langkahnya dengan pasti mendekati Irish, bodohnya Irish merasa terintimidasi dengan terus melangkah mundur hingga tubuhnya membentur dinding. Harus Irish akui, bersama Atala otaknya nyaris tumpul untuk berpikir.

Kedua lengan Atala segala mengunci Irish. Tatapan mereka bertemu. Irish berusaha menunjukkan bahwa dirinya tidak lemah dengan menundukkan wajah. Walau dalam hati gadis itu nyaris berteriak karena jarak mereka yang sangat dekat. Apa pun bisa terjadi, tapi Irish meyakini dirinya telah dewasa untuk tidak melewati batas yang telah terbangun selama ini.

“Kenapa kamu bohong, Rish? Kenapa kamu harus pura-pura punya pacar dan mau nikah?”

Kecurigaan Irish terbukti. Irish tidak lagi mampu mengelak. Maka, dia akan mengakuinya kali ini.

“Satu, kamu nggak berhak menuntut jawaban. Dua, aku berhak menutupi kehidupan pribadiku. Tiga, karena aku mau kamu sadar kalau kita nggak bisa kembali kayak dulu.”

Atala memukul dinding. Secara refleks Irish menutup mata dan memiringkan tubuh.

“Aku nggak mau kita kembali ke masa lalu. Apa kamu nggak paham, Rish? Aku mau kita perbaiki apa yang ada saat ini. Nggak, nggak. Salah. Aku yang harus memperbaikinya sendiri, kamu cukup diam. Tapi aku kaget sama kebohongan kamu. Shit!”

Sekali lagi Atala memukul dinding. Demi Tuhan, Irish mulai ketakutan. Namun, dia menenangkan diri dengan mengingat-ingat bahwa laki-laki berengsek di hadapannya ini tidak pernah memukul Irish dulu.

“Kamu udah tahu, terus mau apa?” tantang Irish.

“Aku orang yang selalu percaya diri, Rish. Di depan Valentino mendadak aku jadi bertanya-tanya seberapa hebatnya aku sampai berani ngejar kamu. Laki-laki dengan fisik sempurna kayak dia udah berhasil bikin aku insecure. Kamu tahu kenapa? Aku khawatir kalau sampai di akhir nanti aku nggak bisa menggoyahkan hati kamu. Sial!”

“Kamu mau bicara ini aja, ‘kan? Udah clear. Aku mau pulang.”

“Belum selesai.”

Atala kian mendekatkan wajah. Irish sangat paham apa yang akan terjadi jika dia tidak mengangkat tangan dan mendaratkan tamparan di wajah Atala. Laki-laki itu bergeming, tubuhnya sedikit terhuyung. Lalu senyumnya muncul. Senyum yang tiba-tiba saja sangat Irish benci.

“Ya, benar. Begitu caranya, Irish.”

I

rish tidak mengerti maksud Atala. Namun, karena kekurangajaran laki-laki itu yang kembali berniat mencium Irish, tamparan yang jauh lebih kerasa mendarat di pipi laki-laki itu. Irish terengah-engah, karena emosi, pun karena melihat sudut bibir laki-laki itu mengeluarkan cairan merah.

Seberapa keras Irish menampar, gadis itu juga tidak tahu. Tangannya sampai kebas dan napasnya menjadi tidak beraturan. Hatinya terluka oleh cinta lama yang mempermalukan dirinya. Irish kira dirinya telah berlari sangat jauh, tapi kini Irish sadar bahwa masa lalu masih sangat berpengaruh untuknya.

Atala menyeka sudut bibirnya yang perih. Lalu kembali berusaha mencium Irish. Dan sebuah tamparan lagi-lagi dia dapatkan. Rasa perih menjalari wajahnya. Bekas tangan Irish sangat jelas terlihat di sana.

“Gila! Kamu mau apa, Atala?! Aku nggak mau dicium kamu! Aku akan nampar kamu terus kalau kamu maksa aku lagi!”

Tangan Atala meraih tangan Irish, mengarahkannya lagi ke wajah merah itu. Irish tidak percaya bahwa Atala sedang minta ditampar.

“Tampar aku semaumu, Rish. Malam ini kamu bebas balas dendam.”

Tidak lagi bisa dicegah, air mata Irish mengalir deras. Lalu tamparan yang hampir sekeras sebelumnya menyapa wajah Atala.

“Berengsek!” maki Irish.

Satu tamparan lagi.

“Bajingan!”

Satu lagi.

“Kurang ajar!”

Masih belum berhenti tamparan Irish.

“Kamu bejat!”

Tangannya yang kebas tidak cukup untuk menghentikan aksi Irish.

“Kamu bajingan dan aku stuck sama kamu! Sialan! Aku benci kamu!”

Atala hanya bergeming mendapat tamparan beruntun dari Irish. Rasa sakit di wajah tidak berhasil mengusiknya. Darah yang kian menetes bukanlah hal penting bagi Atala. Menatap air mata gadis itulah yang sungguh meremukredamkan hatinya. Jari besarnya bergerak menghapus air mata Irish. Gadis itu tampak hendak menampar lagi. Namun, alih-alih menampar, Irish kali ini malah menarik kerah kemeja Atala.

Dengan agresif dan emosi, gadis itu melumat bibir Atala. Terkejut, tapi Atala tidak menunjukkan ekspresi itu. Dia tahu kali ini cukup diam dan membiarkan Irish melampiaskan sakit hatinya. Bahkan ketika dengan sengaja Irish menggigit bibir Atala hingga luka, laki-laki itu tidak protes.

Tanpa melepas lumatan Irish yang menggebu-gebu, Atala mengangkat tubuh itu dan merebahkannya di ranjang. Adegan yang nyaris sama persis seperti mereka di masa lalu.

“Apa aku boleh berhenti membenci kamu?” bisik Irish.

Pelan, Atala menyentuh wajah Irish. Kali ini dia yang berinisiatif. Dilumatnya bibir gadis itu, membelitkan lidah dengan Irish tanpa perasaan menggebu-gebu. Sejenak dia memberi jeda, menatap Irish dengan harapan baru.

“Mulai detik ini, aku dan kamu menjadi kita.”

Mata Irish memejam ketika bibif Atala kembali menyapanya. Bahkan satu kaki gadis itu melingkari pinggang Atala. Sekali lagi, adegan yang nyaris sama dengan masa lalu mereka.

Ada perbedaan dulu dan saat ini. Irish dan Atala telah dewasa, seharusnya tahu kapan harus berhenti dalam situasi sekarang. Bukankah begitu?

To be continued

Dara nggak aku bikinin lapak khusus ya. Di sini aja deh bareng Irish. PR aku banyak soalnya. Huhu

Btw, jujur aja. Aku pengen bikin bab ini 21+. Tapi mikir lagi. Aku skip buat wedding night di buku aja ya. Wkwkwk

Btw lagi, bab 30 cerita ini bakal END. Hohoho. Nabung Deh nabung dari sekarang.

Btw sekali lagi, aku punya lapak baru. Masih prolog aja. Mampir ya jangan lupa. Hiyaaaa.

Lav,
Putrie

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro