LBS-26

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Nyaris seratus purnama aku merindu, tanpa sadar masih menantimu dalam berbagai kalimat sangkalan.

Kini kamu di sisiku. Apakah hanya delusiku semata?

🔥

Atala menautkan jemarinya dengan Irish, menggesek-gesek pelan telapak tangan yang sangat merah. Dagunya berpangku pada kepala Irish yang berbaring memunggunginya. Berkali-kali dia mengecup kepala gadis itu dengan pelan.

"Kita bisa cari obat buat bibir kamu, At. Pipimu juga sebaiknya dikompres."

"Nggak usah dipikirin. Ini nggak sakit."
"Pasti bohong," sanggah Irish.

Dekapan Atala semakin erat. Tubuh mereka sangat rapat, tapi hanya sebatas itu saja. Mereka bisa mengendalikan diri dalam situasi ciuman penuh hasrat tadi. Dan berakhir dengan Atala yang memeluk Irish dari belakang. Kalau menuruti nalurinya, sungguh Atala sangat ingin menaikkan dress Irish, lalu menyatukan diri dalam lautan hasrat. Namun, tidak, Atala tidak melakukannya. Dia masih sangat waras untuk tidak menghancurkan Irish ketika hubungan mereka baru saja membaik.

"Pasti berat banget buat kamu sampai akhirnya bisa ngakuin perasaan ke aku, Rish."

"Tadinya aku yakin rasaku ke kamu udah mati. Mungkin kamu yang ngasih mantra biar rasa itu hidup lagi."

Senyum Atala mengembang, lalu meringis pelan karena sudut bibirnya tambah nyeri.
"Tuh, pasti sakit. Cari obat, ya?"

"Nggak mau," tolak Atala, "maunya peluk kamu sepuasnya malam ini, Sayang."
Merona wajah Irish jadinya.

"Mama kamu bakal nanya kenapa wajahmu merah. Keisha juga mungkin bakal jeli."

"Jangan pikirin hal remeh kayak gini. Kamu bisa bahas yang lain, tanya apa pun, bahas sesuatu yang mungkin bisa lebih melegakan hati kamu."

"Aku suka Keisha."

"Keisha juga suka kamu, Rish."

"At." Irish mengeratkan genggaman. "Aku cukup memahami masa lalu kita dari penjelasan kamu. Saat itu kita sama-sama salah. Aku nggak berhak untuk membenci kamu terus-terusan. Malam ini aku juga terang-terangan ngaku kalau hatiku masih mau kamu. Tapi aku ragu, apa ini benar? Kamu sendiri gimana ke aku? Mantan istrimu? Pendapat mamamu dan Keisha gimana?"

Segala keraguan Irish dapat Atala mengerti. Desi dan Keisha bisa jadi menerima dengan lapang dada kehadiran Irish di hidup mereka. Namun, Atala pun memikirkan hal lain; orang tua Irish. Laki-laki itu harus mempersiapkan diri sebelum bertemu orang tua Irish.

"Tentang ibunya Keisha, kamu mau aku jawab apa? Aku nggak berkhianat. Kamu juga statusnya bukan selingkuhanku. Aku ... berhak ambil langkah maju, 'kan?"

Gadis itu mengangguk.

"Rencana kamu apa untuk kita?"

"Jalan aja dulu, Rish. Hangout, pergi ke tempat-tempat yang kamu mau, ngelakuin apa pun yang kamu mau."

Memang hanya itu yang ada di kepala Atala. Hatinya sudah lega karena berhasil membawa Irish ke dalam pelukannya. Akan tetapi, untuk rancangan masa depan yang lebih serius, Atala belum terpikirkan. Mungkin satu atau bulan lagi dia baru merencanakan bertemu orang tua Irish, meminta maaf dan bisa jadi untuk diberi hadiah spesial atas sikap berengseknya dulu.

"Kamu nggak mau tanya apa-apa ke aku?" tanya Irish.

Atala membalik tubuh Irish, membuat mereka berpandangan. Manis sekali wajah di hadapannya, terlebih dengan senyum tulus itu. Atala telah melewatkan banyak senyuman Irish dan memberi gadis itu air mata terus-menerus. Kali ini dia akan memastikan bahwa Irish tidak lagi menderita.

"Kamu nggak trauma sama kejadian di Jedaa?"

Alis Irish mengerut. Dia sedang mengingat-ingat kejadian mana yang Atala maksud.

"Oh. Mantan aku itu? Nggak. Kenapa trauma?"

"Dia ... hampir memperkosa kamu, Rish."

"Dulu dia nggak begitu, At. Maksudku, selama ini perlakuannya baik, jadi kejadian itu kayak angin lalu. Manusia bisa khilaf, 'kan?"

Atala terdiam. Dimainkannya rambut Irish dengan gerakan pelan, lalu ditarik untuk dia hidu wanginya. Pertanyaan Desi ada benarnya, Irish manusia atau bukan? Atala kali ini terheran-heran bagaimana Irish bisa memiliki hati yang begitu lapang?

"Kapan putus sama dia?"

"Baru-baru ini."

Dahi Atala mengernyit, terlebih melihat senyum tertahan Irish.

"Gimana? Baru-baru ini kapan maksudnya?"

"Oke, oke. Aku jujur. Waktu kita nggak sengaja ketemu di Sanur, yang aku tendang kamu, nah saat itu aku baru putus sama dia. Terus aku suruh Valentino jadi tameng. Yah, intinya gitulah, aku bohongin kamu."

Alih-alih kesal karena Irish sangat berusaha menghindarinya, Atala mengecup bibir itu sekilas. Kening mereka saling bersentuhan, hingga desah napas keduanya juga terdengar bersahutan.

"Aku deg-degan, Rish."

"Aku tahu."

Tangan Irish berada di dada Atala, debar laki-laki itu juga bisa dia rasakan.

"Kita jalan-jalan setelah Keisha keluar dari rumah sakit, ya."

"Keisha ajak juga, At. Nanti dia jealous dadday-nya pergi sama perempuan, tapi dia nggak ikut. Kita pergi bertiga, ya?"

Tanpa sadar Atala mengangguk cepat. Untuk beberapa saat dia terpaku karena Irish. Gadis ini ... benar-benar menyukai Keisha-kah? Atala kira setidaknya dalam kencan pertama mereka nanti Irish hanya ingin berduaan saja. Ternyata Keisha juga dijadikan prioritas. Selama ini hal yang membuat Atala tidak terlalu serius dalam pencarian pasangan adalah Keisha. Keraguan Atala begitu besar tentang pasangan yang mampu menerima secara tulus atas kehadiran putrinya. Bersama Irish, keraguan Atala akhirnya menghilang.

"Makasih, Sayang."

"Geli, deh, kamu manggil Sayang, At. Canggung tahu, nggak?"

"Terus panggil apa? Mommy? Bunda? Ibu? Ummi?"

"Ish! Malah ngelawak."

Keduanya terkekeh geli.

"Kita nggak pulang? Wajah kamu minimal harus dikompres."

"Nginep gimana, Rish?"

Kesiap di wajah Irish dapat Atala tangkap. Mata gadis itu melebar ketika Atala berpindah posisi dan membayanginya dari atas. Irish sadar posisi mereka sangat berbahaya. Sedikit saja Atala merendahkan tubuh, pastilah mereka akan bersentuhan meski masih saling terlindungi pakaian. Dengan akal sehat yang masih penuh, Irish mendorong dada Atala dengan kedua tangannya. Bukannya bergerak, laki-laki itu tetap bergeming, bahkan kini menangkap kedua tangan Irish.

"At, jangan aneh-aneh."

Tangan Irish diangkat, melewati kepala Irish, lalu ditekan pada bantal. Atala berani bersumpah, raut wajah tegang Irish itu sangat menarik. Kegelisahan tergambar jelas di sana, memacu adrenalin Atala.

"At, bahaya."

"Kamu emang bahaya Irish. Selalu buat aku kepanasan."

"Atala ...."

"Sebentar aja, Rish, sebelum pulang. Sorry."

Debar Irish kian menggila, berpikir Atala akan berani berbuat nekad. Namun khayalannya lenyap ketika laki-laki itu hanya menenggelamkan wajah di ceruk leher Irish. Hangat embusan napasnya membuat Irish meremang.

"Aku nggak tahu sejak kapan. Tapi kayaknya aku kangen banget sama kamu, Rish."

"Aku lebih kangen kamu."

"Aku tahu."

Wajah Atala terangkat, bibir Irish dilumat lembut beberapa detik.

"Sekali lagi maaf, Sayang."

Irish memejamkan mata, kembali menikmati buaian Atala. Ciuman tak pernah senikmat itu untuk Irish. Ciuman tak pernah begitu mendebarkan untuknya. Apa karena Atala orangnya? Apa karena Atala yang pertama memberi sensasi itu? Apa karena Atala yang Irish tunggu selama ini, maka hatinya nyaris meledak bahagia atas ciuman mereka?

🔥

"Cieee! Gimana hasil dua hari lalu, Daraaaaa?!"

Teriakan Irish sungguh mengganggu. Ibu Dara yang melewati kamar anaknya sampai terkejut, tapi sudah sangat terbiasa atas keakraban Irish dengan Dara. Kemarin seharian Irish sibuk di Jedaa karena mendapat orderan dadakan dalam jumlah besar. Maka dari itu, hari ini dia baru bisa mengunjungi Dara dan sangat penasaran tentang kencan sahabatnya.

"Apa, sih? Nggak ada apa-apa," elak Dara.
"Bohong, deh, bohong! Hayooo ke mana dan ngapain aja?"

Kecupan? Jawab Dara dalam hati. Oh, tapi dia tak akan mengatakannya sekarang. Terlalu malu jika Irish berteriak girang dan terdengar oleh ibunya yang sedang ada di rumah.

"Rish, kamu nggak ada kerjaan, ya? Pergi deh sana. Aku mau siap-siap kerja, nih."

"Cieee! Yang malu-malu! Cerita dong cerita!"

"Nggak ada apa-apa, Rish."

"Ayolah, Dara. Aku mau tahu."

Kedua tangan Irish memangku dagu, senyumnya begitu lebar menanti Dara bercerita. Namun, yang ditunggu-tunggu malah asyik mengeringkan rambut tanpa menanggapi Irish. Menunggu sampai gadis itu selesai dengan mesing pengeringnya, Irish tetap tidak mendapat jawaban apa pun. Senyum Irish lenyap, paham bahwa Dara sungguh tidak ingin berbagi kisah.

"Kebiasaan, deh, nggak mau cerita. Ya udah. Aku pergi."

Dara segera berpaling dari kaca riasnya, melihat Irish yang ternyata sudah turun dari ranjang. Nyaris mencapai pintu, Dara memegang tangan Irish hingga sedikit membuat Irish bergerak mundur.

"Aku bakal cerita. Duduk dulu, oke? Yuk, Rish, duduk."

Tangan Irish kembali ditarik Dara, tapi gadis itu bergeming.

"Rish? Yuk! Aku cerita semua yang mau kamu dengar."

Pandangan Irish masih tertuju pada pintu yang tertutup, sedangkan Dara ada dal posisi yang tidak bisa melihat wajah Irish. Mata gadis itu merah, tak ingin pula menunjukkannya pada Dara.

"Aku pulang aja. Kamu mau siap-siap kerja, 'kan? Lanjutin, deh."

"Rish."

Dara berdiri di depan Irish. Seperti yang dia duga, wajah Irish terlihat kecewa. Dipeluknya sang sahabat, seraya mengucapkan maaf berkali-kali.

"Maaf, Rish. Aku nggak ada maksud sembunyiin apa-apa."

Tawa sumbang Irish menusuk hati Dara.

"Kenapa minta maaf? Ya udah, sih, kalau nggak mau cerita nggak apa-apa. Aku nggak maksa, kok. Aku pulang, ya."

"Rish."

"Aku nggak apa-apa, kok. Santai aja."

Pelukan mereka terlepas begitu saja. Tanpa mengucapkan kata lain, Irish melewati pintu Dara. Tangannya bergetar ketika memasukkan kunci mobil, tapi Irish tahu harus segera menyalakan mesin dan pergi dari sana. Dadanya sesak, air matanya mengalir tanpa jeda. Setelah sampai di rumah, Irish tidak langsung turun dari mobil. Kedua tangannya menutup wajah, lalu terisak-isak.

Rasanya sakit, ketika dia yang tahu segala tentangmu, tapi sebaliknya tidak begitu. Irish merasa Dara dekat, tapi terlalu dalam untuk diselami. Apa yang tak Dara ketahui tentang Irish? Namun, apa yang Irish ketahui tentang Dara? Gadis itu terlalu tertutup. Irish mencoba memahami karakter Dara, tapi ada kalanya dia sedih. Seakan-akan dirinya tidak pantas tahu kisah gadis itu.

Kebaikan Dara tidak perlu diragukan, tapi Irish meragukan perannya dalam hidup sang sahabat. Banyak permakluman yang Irish beri, salah satunya tentang Dara bermain Madam Rose dan chatting selama satu bulan dengan Valentino. Kali ini, bertanya tentang bagaimana kencan Dara dan Valentino pun Irish tidak mendapat jawaban. Terkadang dia berpikir, apakah Dara tertutup karena memang tidak ingin Irish mencampuri kehidupannya?

Dering ponsel mengalihkan Irish. Diraihnya beberapa lembar tisu untuk mengeringkan wajah sebelum meraih ponsel dari tas. Nama Atala tertera di sana, tanpa ragu Irish menggeser tanda hijau.

"Aku mau ketemu kamu di rumahku, sekarang," ucap Irish tanpa menunggu sapaan Atala.

"Rish, kamu nangis? Sekarang aku di Jedaa. Tunggu, ya, Sayang?"

Irish mengakhiri panggilan, kemudian turun dari mobil dan duduk di teras sampai Atala datang. Irish langsung memeluk Atala, menangis di dada bidang itu tanpa tahu malu. Meski bingung dengan sikap Irish, Atala tetap menenangkan gadis itu, membelai kepala Irish hati-hati.

"Kenapa? Mau cerita nggak?"

"Cerita di dalam."

Pelukan mereka terlepas. Irish membuka pintu rumah sambil menghapus air matanya. Perasaannya sangat kacau, jadi ketika sampai di ruang tamu, Irish lagi-lagi memeluk Atala dengan manja.

"Aku sedih, At. Sedih banget."

Atala kelimpungan, pasalnya Irish kini berjalan dan mengarahkan tubuh mereka ke kamar. Dan seperti yang Atala takutkan, gadis itu bahkan menjatuhkan diri di ranjang dengan posisi Irish di atas dan Atala di bawah. Setelah adegan di vila dua hari lalu, Atala padahal berjanji akan menjauhi ranjang ketika bersama Irish. Karena pening menahan hasrat itu nyaris membuatnya tidak bisa menahan diri.
Kacau! keluhnya dalam hati.

"Rish, aku tahu kamu sedih. Tapi bisa ganti posisi, nggak?"

"Aku nyaman, mau pelukan gini."

Kamu nyaman, aku tersiksa, Rish!

Dengan santai Irish memeluk Atala. Kepalanya tak bergeser dari dada laki-laki itu. Mau tidak mau Atala mengalah, berperang sendiri dalam mempertahankan akal sehatnya. Atala kian menyadari, kalau Irish sangatlah berbahaya untuk hati dan pikirannya. Namun, tidak ada yang bisa Atala lakukan. Irish telah memangkas jarak di antara mereka, mana mungkin Atala mengambil risiko dengan bertindak di luar keinginan gadis itu.

"Ada apa? Siang-siang gini kenapa nangis?"

"Kadang aku ngerasa jauh banget sama Dara. Dia kayak tertutup, nggak mau langsung cerita kalau ada apa-apa. Aku sedih, At."

"Tapi kalau kamu ada apa-apa, dia langsung ada buat kamu, 'kan?"

Irish mengangguk.

"Ini analisa sekilas aku. Bisa jadi Dara memprioritaskan kamu di atas kepentingannya sendiri. Saat dia ada masalah atau apa pun, dia nggak langsung cerita karena nggak mau kamu terbebani."

"Menurut kamu gitu?"

"Iya, Sayang. Pasti dia nggak bermaksud sembunyiin sesuatu. Kamu yang harus lebih sabar nunggu dia cerita."

Sekali lagi Irish mengangguk, tetap menikmati nyaman tubuh Atala tanpa tahu laki-laki itu gelisah nyaris tidak terkendali.

"Rish, pindah ke ruang tamu aja, yuk. Aku mau kopi."

"Bentar lagi, deh. Kamu katanya kangen aku, dipeluk lamaan dikit masa nggak mau sih?"

Bagaimana Atala harus menjelaskan? Irish seharusnya tidak terlalu polos untuk mengerti keresahan laki-laki, bukan? Sentuhan sekecil apa pun yang diberikan Irish sesungguhnya adalah serangan besar untuk Atala. Tiga tahun dia tidak menyentuh satu perempuan mana pun dan sekarang kesabarannya sedang diuji habis-habisan.

"Heiii! Kalian ngapain?!"

Teriakan seseorang membuat Irish turun dari tubuh Atala. Dara mendelik, lalu mendekati Atala yang masih kebingungan bagaimana gadis itu bisa masuk.

"Kamu mau macam-macam lagi sama Irish, ya?!" tuduh Dara seraya menarik kerah kemeja Atala.

Harus Atala akui, tenaga Dara patut diperhitungkan. Bisa-bisanya Atala diseret turun dari ranjang dan satu tangan gadis itu sudah mengepal. Mungkin satu atau dua bogem sudah melayang ke arah Atala jika Irish tidak mencegah Dara, begitu juga dengan Atala yang buru-buru memberi penjelasan.

"Tenang, Dara, tenang. Kami cuma pelukan. Nggak lebih. Sumpah!"

"Nggak ngapain, Dara. Aku cuma cerita ke Atala sambil pelukan."

Dara melepaskan cengkeramannya pada kerah kemeja Atala. Dia mendengkus disertai tatapan sengit. Kedua tangan Atala terangkat, menyatakan kalah bahkan sebelum baku hantam. Dalam kamus hidupnya, tidak boleh memukul perempuan. Jadi, ketika perempuan memukul atau menamparnya, Atala tidak boleh membalas. Begitu ajaran mamanya.

"Kamu, kok, ke sini? Katanya mau kerja."

Tidak mau suasana panas berjalan lebih lama, Irish meraih tangan Dara. Pandangan Dara akhirnya teralihkan, jatuh pada mata sembab Irish. Segera diusapnya mata itu, lalu memeluk Irish.

"Sorry bikin kamu sedih."

"Aku coba ngerti. Kamu nggak mau aku terbebani, 'kan, karena selama ini kamu juga tahu kalau hidupku banyak masalah?"

"Maaf, Rish. Aku takut ganggu kamu dengan ceritaku yang nggak penting."

"Hei, kita sahabat, 'kan? Aku juga mau dianggap, lho. Mulai sekarang, biasain cerita sesuatu ke aku, dong."

Bisa Irish rasakan Dara mengangguk. Adegan pelukan itu berlangsung sekitar lima menit. Selama lima menit pula Atala bagaikan makhluk tak kasat mata. Jika Atala tidak tahu bagaimana Irish terbuai ketika berciuman, mungkin Atala akan berpikir bahwa dua gadis itu memiliki kelainan.

To be continued

Kita manis-manisan dulu ya, Sayang, sebelum teriris-iris😂

mau kasih tahu, nanti Dara ada lapak khusus. Tayangnya masih lama, setelah Irish naik cetak karena mengandung spoiler buku. pamer cover aja dulu ya. wkwkwk.

awwww! Bisa kebayang gimana lika-likunya Dara sama Valentino dari judulnya?

🔥

Sambil nunggu Irish update lagi, kuy baca cerita di bawah ini.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro