LBS-28

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Denganmu di titik ini tidak lagi kusesali. Walau aku resah jika  perpisahan yang harus kita jalani.

🔥

Aunty, kapan-kapan ke rumah, ya? Aunty harus ketemu Whip Cream!”

Dahi Irish mengerut. Siapa Whip Cream?

“Kelinci Keisha,” bisik Atala.

“Oh. Emang Aunty boleh ke rumah Keisha?”

“Boleh, dong. Tinggal di rumah juga boleh. Ya, ‘kan, Daddy? Kamarnya ada banyak.”

Nyaris saja Atala dan Irish tersedak. Keduanya saling tatap, lalu tersenyum sedikit canggung. Gadis kecil yang sedang menikmati sushi roll seafood itu tampak tidak merasa ada yang salah dengan ucapannya. Anak-anak tetaplah anak-anak, pikirannya tidak rumit, bicara tanpa beban.

“Boleh katanya tinggal di rumah kamu, At. Gimana?”

Kali ini Atala sungguh tersedak. Godaan Irish tidak lucu, malah terasa menyeramkan. Gadis itu menahan tawa, tapi tatapannya tetap menunjukkan geli atas reaksi Atala.

“Bercandalah. Jangan dianggap serius. Tapi kalau sekedar main boleh, nggak?”

“Boleh. Boleh banget.”

“Aku nunggu ajakan resmi dari kamu.”

Seolah-olah hanya mengatakan kalimat biasa, Irish kembali menikmati ramen-nya. Keisha juga beberapa kali disuapi sushi, pemandangan yang menghangatkan hati Atala dan menambah tempo detak jantungnya. Sambil mengunyah dia terus menatap Irish, berpikir bagaimana gadis itu bisa sangat tenang. Percakapan mereka di area permainan tadi juga seakan-akan tidak pernah terjadi. Irish masih ceria, bermain dengan Keisha sampai ikut-ikutan berteriak girang. Tidak sekali pun Irish mempertanyakan keraguan hati Atala.

Lucu, Atala merasa terjebak sendirian tanpa tahu sebenarnya bagaimana perasaan Irish. Kepalanya masih tidak bisa berhenti merangkai berbagai kemungkinan atas hubungan mereka kini. Atala butuh berpikir lebih lama, butuh waktu, butuh ... pengertian Irish, lagi. Namun, saat ini dia tahu harus menyimpan kekacauan hatinya. Ada Keisha yang sangat antusias menikmati waktu bersama Irish. Setelah makan siang, gadis kecil itu tidak segan mengajak Irish ke toko boneka. Keisha bertanya pada Irish lebih lucu boneka beruang warna putih atau pink, atau mungkin yang cokelat.

Thanks, Rish. Kamu kelihatan enjoy sama Keisha.”

“Aku nggak punya alasan untuk nggak enjoy.”

“Biarpun Keisha bukan anak kamu?”

“Apa penting? Dia nggak bisa menentukan siapa orang tuanya. Jadi, dia sama sekali nggak ada kaitan dengan rasa benciku ke kamu dulu. Karena aku udah belajar memilah dan memilih perasaan yang seharusnya aku punya.”

Luar biasa. Atala terkesima dengan jawaban Irish. Tidak lagi peduli sedang berada di mana, atau mempertimbangkan keberadaan Keisha yang masih asyik melihat-lihat boneka, Atala mengecup pipi Irish. Rona gadis itu mencuat dengan cepat.

“DP, Rish. Sisanya kalau kita lagi berduaan.”

Daddy, Kei beli yang ini sama yang ini, ya!”

Gadis kecil itu berbalik, untung saja tidak sempat melihat adegan sang ayah mengecup pipi Irish. Sedikit canggung karena rasa khawatir ketahuan, Irish membungkuk. Perhatian Irish tertuju pada dua boneka di tangan Keisha.

Aunty yang beliin gimana, Kei?”

No, no, no! Nanti uang Aunty habis. Kalau Daddy uangnya banyak, jadi nggak apa-apa kalau Kei minta beliin boneka.”

“Wah! Sebanyak apa uangnya? Eh, tapi Kei kok, tahu? Hayoo! Buka-buka dompet Daddy, ya?”

“Bukan di dompet, tapi di kotak besi yang ada di kamar Daddy. Uangnya bertumpuk-tumpuk, diikat-ikat pakai karet. Ya, ‘kan, Daddy?”

Pft!

Telapak tangan kiri Irish berada di bibirnya, berusaha tidak menyemburkan tawa setelah melirik Atala yang menggaruk-garuk kepala. Irish mengambil dua boneka berukuran sedang dari tangan Keisha, karena gadis kecil itu bilang mau memilih lagi.

“Hasil penjualan dari toko belum sempat aku masukin ke bank, jadi aku simpan di brankas. Keisha nggak sengaja lihat pas aku naruh uang,” terang Atala tanpa diminta.

“Keisha selalu belanja semaunya gini? Maksudku, nggak dibatasi berapa yang harus dia keluarkan dalam sehari. Sorry kalau lancang nanya.”

Alih-alih menyahuti pernyataan Atala, Irish malah membahas topik lain. Anak berusia hampir empat tahun memilih belanjaannya sendiri dengan kuantitas yang juga semaunya. Meski sejak tadi dia menimpali Keisha, merespons segala tanya gadis kecil itu perihal boneka yang akan dibeli, tapi hal itu tetap sedikit mengganggu Irish.

“Keisha punya rules yang udah dia pahami sejak usia dua setengah tahun. Kalau dia mau beli barang baru, artinya dia harus menyingkirkan barang lama yang ada di kamarnya. Mau itu baju, boneka, atau sepatu.”

“Disingkirkan?”

Irish menatap penuh tanya.

“Ah, sorry. Maksudnya disumbangkan. Sekarang dia udah milih dua boneka dan dia masih mau milih. Mungkin dia bakal beli empat atau lima boneka. Artinya nanti sampai di rumah, dia harus mengeluarkan empat atau lima bonekanya dan harus siap untuk disumbangkan.”

Karena cukup terkejut, Irish sampai nyaris tidak berkedip. Ada yang menjalari hatinya, entah itu perasaan kagum, terharu, atau ... entahlah.

“Acara belanja kayak gini nggak sering. Dua bulan sekali juga belum tentu. Keisha tipe yang sayang sama barang. Mungkin karena hari ini jalan sama kamu makanya dia pengen have fun total. Aku nggak masalah keluarin uang berapa pun buat dia, selagi aku punya, Rish. Bagian terpentingnya yang bikin aku nggak mikir ngerogoh kantong, Keisha paham aturan yang aku kasih.”

Tidak mau munafik, Irish mengaku dalam hati telah salah menilai Atala—walau tidak sepenuhnya berpikir negatif. Sempat dia kira Atala hanyalah laki-laki yang sibuk mencari uang, bahkan mengejar-ngejar mantan tanpa perlu repot memberi anak perhatian. Seorang duda, masih muda, Irish tidak menyangka bahwa Atala memberi ajaran yang sangat baik untuk Keisha. Sosok yang tidak segan untuk Irish akui kehebatannya dalam berusaha membentuk generasi berkarakter tinggi.

“Mungkin beberapa orang menganggap ajaranku ke Keisha itu kuno. Terserah orang mau ngasih penilaian gimana. Keisha anakku, aku berhak mendidik dia dengan caraku.”

Ah, manisnyaaaa!

Satu boneka yang ada di tangan kanannya, Irish pindahkan ke tangan kiri. Lalu diraihnya tangan Atala, dikecup pelan seraya berkata, “Kalau Naomi masih ada, dia pasti bahagia ayahnya adalah kamu, terlepas dari kesalahan masa lalu yang kita buat.”

Senyum Irish melebar sebelum meninggalkan Atala dan menghampiri Keisha yang asyik memilih boneka.

🔥

Rencananya memang setelah dari mal mereka akan ke pantai. Namun, baru sepuluh menit mobil melaju, Keisha tertidur di jok tengah bersama boneka-boneka barunya. Irish duduk di samping Atala, karena tadi Keisha yang meminta.

“Kecapekan kayaknya Keisha, At.”

“Dia biasa tidur siang.”

Irish ber-oh dalam hati. Lagi pula bermain dari pagi, wajar gadis kecil itu kelelahan.

“Kita mau ke mana, Sayang?”

Atala meraih tangan kanan Irish, menggenggam erat setelah sempat dia kecup. Meski pernah mendapat perlakuan yang sama dari mantan-mantan pacarnya, Irish tetap merasa berdebar. Tatapan Atala beserta senyumnya itu juga yang menggoyahkan hati Irish sebegitu hebatnya.

“Aku nggak ada rencana. Terserah kamu mau ke mana. Langsung pulang juga nggak apa. Kasian Keisha tidur di mobil.”

“Berduaan bentar, yuk,” ajak Atala. “Keisha kalau udah tidur pules banget, bakal susah bangun. Amanlah kalau kita ngobrol-ngobrol.”

Matanya fokus ke jalan, tapi tangannya tetap tidak melepaskan Irish.

“Di rumahku?”

“Rish,” Atala menoleh, “aku duda bertahun-tahun. Aku masih normal, jadi sekarang ini aku berusaha jauh-jauh dari yang namanya kamar dan kasur saat berduaan aja sama kamu. Jangan mancing-mancing, ya.”

Maunya Irish tertawa melihat ekspresi memohon Atala. Namun, karena kesungguhannya dalam bicara, Irish jadi tidak sampai hati.

“Emang ... selama ini kamu nggak jalin hubungan sama perempuan?”

“Nggak.”

“Tidur sama perempuan?”

“Cuma sama kamu dan ibunya Keisha.”

“Bohong, ah,” tuduh Irish meski tanpa bukti.

“Aku nggak mau lagi jadi berengsek dengan menodai perempuan tanpa terikat status legal sama aku, Rish.”

Hanya Tuhan yang tahu bagaimana dada Irish berdebar sangat kencang saat ini. Pengakuan Atala bagai angin segar, menyejukkan hati Irish.

“Kalau kamu?”

“Apa?” tanya Irish balik.

Diamnya Atala dan kecupan singkatnya di tangan Irish, membuat gadis itu paham apa yang Atala maksud.

“Apa kamu mementingkan berapa laki-laki yang pernah tidur sama aku setelah kamu?”

“Nggak. Asal jangan bayangin cowok lain saat kita— Ha! Bahas yang lain aja, Rish!”

Sejujurnya Irish akan mengaku bahwa hanya Atala yang pernah menyentuhnya sedalam itu, tapi dia urungkan. Mungkin tidak saat ini, Irish menunggu waktu yang lebih tepat untuk memberi tahu Atala. Lagi pula, laki-laki itu tidak mempermasalahkannya, bukan?

Belum ingin pulang, Atala menghentikan mobil di sebuah lapangan. Hanya ada mereka di sana, berdua berdiri bersandar pada kap mobil. Mereka sengaja turun, agar Keisha tidak terganggu oleh percakapan mereka.

“Kenapa kamu nggak bahas apa yang aku bilang di mal tadi?”

“Soal kamu yang bingung sama perasaanmu sendiri?”

“Ya. Kenapa nggak bilang aku berengsek atau apa?”

Irish tersenyum.

“Kenapa harus ngatain kamu kalau aku jatuh hati sama orang berengsek?”

Atala meraih pinggang Irish, merapatkan tubuh mereka. Gadis itu menangkup kedua rahang Atala seiring wajah yang kini kian mendekat. Matanya memejam otomatis ketika bibir mereka saling menyentuh. Tidak sampai di situ, Atala mulai melumat bibir Irish. Sentuhan lembut dan tidak tergesa-gesa, gadis itu sangat menikmatinya. Tak mau menjadi si pasif, Irish pun membalas ciuman Atala. Lidahnya mencari lidah Atala, menggoda laki-laki itu dengan kemampuan maksimal yang Irish punya.

Remasan di pinggang Irish menjadi tanda bahwa Atala juga menikmatinya. Lidah mereka saling membelit, sama-sama menggoda. Kedua tangan Irish mengalung di leher Atala, sesekali meremasnya. Tubuh Irish bergetar, perasaan aneh menyerangnya habis-habisan. Ciuman itu tidak cukup untuknya, sama sekali tidak cukup. Irish butuh hal lebih dari sekadar remasan di pinggang. Dahaganya pada sesuatu itu ingin dituntaskan. Namun, ketika Atala memisahkan bibir mereka disertai bisikan, Irish tahu bahwa batas itu harus tetap ada.

“Kita harus berhenti, Rish.”

Irish mengusap bibir basah Atala dengan ibu jarinya.

“Kamu tersiksa, ya, At?”

Ada ejekan tersirat dalam kalimat Irish.

“Kamu emang nggak?”

Giliran Atala yang mengusap bibir Irish.

“Nggak, tuh,” elak Irish.

“Oh, ya? Yakin?”

“Yakin.”

Namun, setelahnya Irish memeluk Atala, menghidu dalam-dalam parfum laki-laki itu. Seharian ini dia memang bisa tertawa bersama Keisha. Ciuman tadi pun memang melenakan Irish, tapi di dalam hati dia menyimpan satu ketakutan. Sejak dia menerima kehadiran Atala, Irish tahu bahwa risiko sekecil apa pun atau sebaliknya, harus siap dia tanggung. Dan yang dia inginkan saat ini hanyalah memeluk Atala, karena Irish tidak bisa menduga masihkah besok ada kesempatan untuk melakukannya.

🔥

Dugaan Irish benar bahwa akan ada yang berubah setelah ucapan Atala di mal satu minggu lalu. Meski tidak terang-terangan, tapi Irish bisa merasakan bahwa Atala sedang menghindarinya. Mereka baru bertemu sekali setelah hari itu. Irish terlalu dewasa untuk bersikap kekanak-kanakan dengan melakukan protes perihal berkurangnya komunikasi di antara mereka. Karena Irish paham apa yang sedang terjadi, jadi dia mengikuti arus yang Atala ciptakan untuk saat ini.

“Berapa hari ini kamu kayaknya nggak ada ngomongin Atala, Rish.”

“Sibuk dia, jarang ketemu dan chat seminggu ini.”

“Rish, kamu bohong.”

Sontak Irish menggeleng disertai senyum tipis. Dara bagai alat pendeteksi kebohongan yang membuat Irish tidak bisa menyembunyikan apa pun.

“Kami oke. Kamu jangan kepikiran. Tahu, ‘kan, aku nggak bakal sembunyiin hal besar dari kamu?”

Dara mengangguk.

“Bilang kalau butuh bantuan buat nonjok Atala.”

“Tapi mungkin saat ini kamu pengen nonjok orang lain.”

Pandangan Irish terpaku pada mobil yang baru saja berhenti di pelataran kedainya. Mobil yang sangat dia kenali siapa pemiliknya. Niatnya barusan hanya memandang ke luar kaca, menatap lalu-lalang kendaraan sembari menikmati kopi bersama Dara. Tidak disangka, sosok itu yang tertangkap mata Irish.

“Gila, ya? Masih berani dia ke sini?”

Siapa pun yang menyakiti Irish berarti harus siap berhadapan dengan Dara. Sebelum sosok itu melewati pintu utama, Dara lebih dulu berlari dan mencegatnya masuk.

“Jangan berani masuk ke sini, Keenan!” tegas Dara.

Kedai yang sedang sepi membuat gadis itu tidak segan menunjukkan arogansinya.

“Aku datang secara damai, Dara. Aku mau ketemu Irish.”

“Nggak boleh!”

“Gimana kalau kita tanya Irish?”

Kepala Keenan sedikit melongok demi sosok yang berdiri di belakang Dara.

“Boleh aku masuk, Rish? Aku butuh bicara.”

“Tetap nggak boleh!”

Sekali lagi Dara bersikeras, tapi Irish mengusap bahu gadis itu dan berkata, “Dara, kami akan ngobrol aja  kamu bisa tetap di sini. Kalau ada apa-apa kamu bisa langsung bantuin aku.”

“Rish, kamu itu terlalu baik jadi orang. Boleh, kok, sesekali jadi devil.”

Menghela napas panjang, Dara lalu masuk lebih dulu. Dia kembali duduk di samping dinding kaca, pura-pura tidak melihat dua sosok yang kini berjalan ke ruangan Irish. Gemas Dara, sahabatnya itu benar-benar berhati malaikat, sering kali jadi menimbulkan kesan Irish malaikat dan Dara iblisnya.

Irish menutup pintu, mencegah pembicaraan mereka terdengar sampai ke luar meski tidak tahu apa yang akan Keenan sampaikan. Laki-laki itu duduk di sofa tanpa disuruh, tapi seperti sengaja menjaga jarak dengan Irish.

“Langsung aja, Ken. Kamu mau ngomong apa?”

“Aku mau minta maaf baik-baik. Kesan pertemuan terakhir kita buruk banget. Kita memulai dengan indah, setidaknya saat berpisah gini kita bisa sedikit menghargai kenangan-kenangan itu, ‘kan? Aku bukan mau balikan. Bukan maksudku nyuruh kamu ingat-ingat masa indah kita untuk menyudutkan kamu biar terima aku lagi. Kamu paham maksudku, ‘kan?”

Niat baik Keenan Irish hargai. Gadis itu mendekat, duduk di sofa yang terpisah dengan tempat duduk Keenan. Laki-laki ini pernah sangat Irish cintai, tapi juga pernah mematahkannya. Hebatnya, Irish tidak lagi merasa nyeri saat ini.

“Aku maafkan. Aku minta maaf untuk semua hal buruk yang kamu terima dari kita kenal sampai saat ini.”

“Rish, maaf bahas ini lagi. Kelakuanku saat itu ... apa bikin kamu trauma?”

Menggeleng yakin, Irish menunjukkan ketenangan luar biasa.

“Itu kesalahan. Iya, ‘kan? Selama ini kamu nggak pernah kasar ke aku. Jadi, aku udah lupain semua itu. Kalau kamu mau tahu aku gimana sekarang, aku baik-baik aja, Ken.”

Keenan menghela napas lega.

“Ken, apa kamu mau having fun kayak gitu terus? Sorry lancang, padahal ini bukan lagi ranahku. Tapi kamu pernah ada di hatiku, aku mau jalanin hidup yang berarti. Waktu nggak bisa diulang, Ken.”

“Karena itu aku nggak bisa ngajak kamu balikan, aku masih berengsek. Tapi akan aku pikirkan untuk berubah. Maaf kalau kamu tersakiti, Rish.”

Mereka memang tidak sejalan. Irish tahu keputusannya untuk berpisah dari Keenan memang tepat. Perpisahan mereka secara resmi hari ini juga Irish sambut dengan baik. Tidak ada dendam tersimpan, Irish membalas uluran tangan Keenan. Mereka berjabat tangan dengan hati yang lebih lega dari sebelumnya. Mungkin itu akan jadi sentuhan terakhir, entahlah, Irish juga tidak yakin. Yang jelas jika di waktu mendatang mereka bertemu lagi, Irish akan menganggap Keenan sebagai teman.

“Aku pamit, Rish. Cuma itu yang mau aku bilang. Makasih kamu udah berkompromi sangat banyak buat aku.”

“Ken.”

Langkah Keenan terhenti meski pintu ruangan Irish sudah dia buka. Mereka kembali berhadapan.

“Pasti ada perempuan yang buat kamu pengen berubah. Semangat, ya?”

“Thanks.”

Laki-laki itu membalik tubuh dan terbentur sesuatu. Seseorang ternyata berdiri di hadapannya, sangat dekat. Dahi Keenan mengernyit, sebelum akhirnya ingat bahwa orang itu adalah yang memukulnya habis-habisan di malam dia mencoba menodai Irish.

“Jadi dia tamu yang Dara maksud, Rish?”

“Atala?” Irish sedikit terkejut. “Kami cuma ngobrol sebentar.”

“Urusanku udah selesai.”

Hanya itu yang Keenan ucapkan, lalu pergi dari sana. Irish mendekati Atala, tersenyum ramah sebagai sambutan.

“Kamu datang, kok, nggak bilang-bilang?”

“Kita butuh bicara, Rish. Dara aku suruh pulang, karena aku mau bicara serius sama kamu.”

Perasaan Irish tidak enak. Terakhir kali Atala bilang butuh bicara disertai tatapan tak terbaca itu, ada adegan tampar-menampar. Kali ini apa? Irish menduga mungkinkah karena kehadiran Keenan, jadi Atala meminta penjelasan?

“Bukan tentang mantanmu tadi. Ini hanya tentang kita.”

Ah, gitu ....

Senyum Irish terulas sembari mengajak Atala duduk bersama. Perasaannya semakin tidak enak. Irish tahu bahwa sesuatu akan terjadi sebentar lagi.

To be continued

Hahhhh! Nggak percaya kalau bab depan adalah bab terakhir. Ini aku antara senang dan deg-degan!

Oh ya. Setelah nulis bab ini aku dapat ide bikin kisah Keenan yang dapat karma jadi bucin sebucin-bucinnya sama cewek🤣 pada mau nggak sih? Tanya aja dulu.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro