16 - Investigasi dimulai

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Kupikir, investigasi yang mereka maksud seperti yang di TV. Rupanya, itu hanya sebatas bahasa hiperbola mereka. Karena yang sesungguhnya terjadi ialah mereka hendak menginterogasiku mengenai hubunganku dengan Vero.

Sudah kuduga, kabar itu akan segera sampai di telinga Eisha. Biang utamanya pasti Shafa. Tidak ada yang lain lagi.

Saat ini, mereka membawaku duduk di kursi belajarku. Sedangkan mereka duduk di atas ranjang dan tengah menatap ke arahku. Tatapan mereka seperti singa yang kelaparan dan hendak memangsa binatang apa pun yang bisa mereka santap sebagai makanan. Bedanya, mereka bukan hendak memangsa makanan, melainkan memangsa gosip.

“Jadi, gimana ceritanya kamu bisa dekat lagi sama Vero?” tanya Eisha dengan mata yang berbinar. Buku yang tadinya aku kira diari ternyata akan ia gunakan untuk mencatat poin-poin ceritaku. Aku memarahinya, dan memintanya untuk menyimpan buku itu. Apakah Eisha mengira ceritaku itu sebagai materi kuliah yang akan diujiankan?

“Oke, aku bakalan cerita, tapi jangan ada yang motong,” ujarku seraya menyindir si tukang pemotong pembicaraan, alias Eisha. Eisha yang menyadari sindiran itu lantas terkekeh dan mengacungkan jari telunjuk dan tengahnya ke atas bersamaan membentuk tanda 'peace'.

“Jelasin yang detail, ya, Bel,” request Shafa yang membuatku berdecak.

“Fa, aku lagi mau cerita, bukannya mau jelasin materi kuliah.”

Shafa hanya tertawa kecil mendengar kekesalanku.

Setelah dirasa suasana kondusif, aku pun memulai menceritakan semuanya dari awal. Dimulai dari aku yang menemukan akun Instagram Vero tanpa disengaja, lantas aku yang bimbang untuk mengirimi direct message kepadanya.

“Eh, jadi ini namanya CLBK tanpa di sengaja?”

Aku menatap malas ke arah Eisha yang memotong ceritaku. Jujur saja, aku tipikal orang yang paling malas untuk bercerita jika dipotong-potong seperti ini.

“Ei, jangan dipotong dulu,” ujar Shafa lantas menyenggol lengan Eisha yang ada di sampingnya.

“Eh, iya, maaf-maaf. Lanjut cerita, Bel.”

Aku melanjutkan ceritaku. “Trus, akhirnya aku beraniin diri buat chat dia. Awalnya cuma nanya kabar, lalu—”

Wait wait, jadi kamu yang chat dia duluan? Mana boleh cewek chat duluan, Bel. Kan, itu merusak kodrat kita sebagai kaum hawa.”

“Ei.” Shafa melirik Eisha dengan tajam. Tatapan Shafa lantas beralih kepadaku. “Lanjut, Bel, lanjut,” ujarnya sembari memamerkan senyumnya.

“Awalnya cuma nanya kabar, trus jadinya sering chat-an. Pas itu, Vero ngajak ketemuan dan gitu, deh.” Aku mengakhiri ceritaku. Shafa dan Eisha terlihat manggut-manggut setelah mendengarkan ceritaku.

“Trus, dia sekarang gimana, Bel? Kerja? Atau, kuliah?” tanya Shafa.

“Nggak dua-duanya, Bel. Sebenarnya, pas itu dia sempat kerja sama teman papanya, cuma udah nggak lagi.”

“Kenapa nggak lagi?” tanya Eisha. Aku hanya mengedikkan bahu sebagai jawaban.

“Dia gak niat lanjut kuliah emangnya?”

“Nggak, Fa.”

“Yah, sayang banget. Coba aja dia lanjut kuliah. Pastinya bakalan seangkatan, trus kalian wisuda bareng kan cakep, tuh,” ujar Shafa yang sepertinya isi pikirannya sudah tentang wisuda.

Aku menggelengkan kepalaku, lantas berujar, “Sekalipun dia kuliah, dia bakalan jadi adik tingkat kita, Fa.”

“Lah, kok gitu? Emangnya, dia gak naik kelas?” Suara Eisha terdengar cukup memekikkan telinga, lantaran gadis itu yang tiba-tiba bertanya dengan nada histeris.

Aku lantas mengusap-usap telingaku. Lama-lama, gendang telingaku bisa rusak kalau begini caranya.

“Iya, dia pernah gak naik kelas pas kelas sepuluh.”

“Kamu udah tanya alasannya?”

“Udah. Katanya pas itu, dia kena penyakit usus buntu, jadinya harus dioperasi gitu. Trus, harus istirahat total, dong. Sekalinya masuk, dia udah ketinggalan banyak pelajaran. Jadinya gak naik, deh.”

“Oh, gara-gara sakit. Aku kirain gara-gara ketahuan ngerokok di sekolah,” ujar Shafa.

“Kenapa kamu bisa mikir kayak gitu?” tanyaku.

“Sepupu aku juga sekolah di SMA Tunas Harapan. Satu sekolah sama Vero. Pas itu dia gak naik kelas, gara-gara beberapa kali ketahuan ngerokok. Gila banget peraturannya. Ketahuan ngerokok aja langsung gitu. Mana ancamannya kalau ketahuan ngerokok sekali lagi, bakalan di drop out. Serem banget sekolahnya emang.”

Aku manggut-manggut saja mendengar cerita Shafa. Namun, jauh di dalam hatiku, mengapa rasanya ada yang janggal?

“Tapi kayaknya gak mungkin, deh, kalau Vero ngerokok dan sebangsanya. Soalnya, kita sama-sama tahu betapa teladannya Vero dulu,” ujar Eisha memberi opini. “Bahkan, dia aja hampir dicalonin jadi ketua OSIS pas SMP. Bodohnya aja, dia nolak.”

“Biasalah, Ei, sibuk ngebucin sama Reva. Nanti kalau jadi ketos, gak punya waktu lagi,” sahut Shafa.

Sementara aku, hanya menjadi pendengar bagi penyampaian opini mereka.

Apa yang dikatakan mereka itu benar. Vero adalah salah satu murid teladan di SMP kami dulu. Saat kelas delapan, ia pernah ditawari pembina OSIS untuk dicalonkan sebagai ketua OSIS di periode itu. Namun, aku melihat dengan mata kepalaku sendiri betapa Vero begitu kokoh dengan pendiriannya menolak tawaran miss Adita selaku pembina OSIS kami waktu itu.

“Padahal kalau Vero calonin diri pas itu, pastinya si Andika gak bakalan jadi ketos. Sumpah tuh orang, sombongnya bukan main,” gerutu Eisha. Andika adalah ketua OSIS terpilih pada saat itu. Banyak yang tidak menyukai sifat angkuhnya. Untung saja, cara kerjanya begitu bagus, sehingga miss Adita tidak kepikiran untuk menurunkan jabatannya.

“Udah-udah, sekarang kan kita tahu kalau Vero itu jelas cowok baik-baik. Dan, kami sebagai sahabat dukung kamu buat deket sama dia, Bel. Kalau bisa, sampai jadian, biar kami dapat traktiran gratis. Iya, gak, Ei?”

“Iya, dong. Pokoknya kalau yang ada makanan gratis, aku dukung, Bel,” ujar Eisha dengan semangatnya.

“Giliran makan gratis aja kalian cepet.” Aku melempar penghapus yang kuambil di atas meja kepada mereka.

By the way, gimana, nih, agenda berikutnya? Nanti kalian udah keburu pulang,” ujarku berpura-pura sedih. Biasanya, kami menghabiskan waktu hingga jam 4 sore saja. Jika pulang terlalu kesorean, bisa-bisa dihabisi oleh masing-masing dari orang tua kami. Maklum, namanya juga anak gadis. Penjagaannya ketat.

“Santai, Bel, santai. Hari ini, kita gak bakalan pisah, kok,” ujar Shafa.

Aku mengernyitkan keningku, berusaha mencerna ucapan Shafa barusan. “Maksudnya, kalian nginep?”

“Iyaps, betul sekali. Selamat! Seratus juta untuk anda!” sorak Eisha kegirangan.

Aku menepuk permukaan keningku. Pantas saja mereka membawa begitu banyak cemilan. Rupanya itu persediaan hingga nanti malam.

Sepertinya, jadwal tidurku hari ini akan bergeser cukup jauh. Ditambah lagi, biaya listrik yang akan bertambah karena mereka menginap hingga besok. Mati sudah.

“Ei, keluarin senjata kita,” sorak Shafa dengan keras. Aku sontak menyuruhnya untuk mengecilkan volume suaranya. Takut mengganggu kak Sonya, maupun keluarga bu Elia.

“Lagian, senjata apa, sih, Fa?” tanyaku.

“Tara!” Eisha mengeluarkan beberapa bungkus berwarna-warni dari dalam tasnya. Aku memperjelas penglihatanku dan ... masker wajah?

“Waktunya masker wajah,” ujar Shafa dengan volume yang sudah tak setinggi sebelumnya.

Aku menghela napasku. Tidak akan ada habisnya bila merencanakan agenda bersama mereka. Sehabis masker wajah, apalagi nantinya?

•-•-•-•-•

Tbc.🌈

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro