21 - Kecewa

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Aku memacu motorku dengan kecepatan yang tidak terlalu laju menuju kafe 88, kafe dimana foto temannya Razka diambil. Sempat terjadi insiden di jalanan tadi, sehingga jarak tempuh kami menjadi bertambah sedikit. Akhirnya setelah menyelip sana sini, aku dan Razka tiba di kafe 88. Cukup menguji nyali bagiku yang belum pernah melakukan aksi menyelip di jalanan. Namun, melihat Razka yang terlebih dahulu memulai aksi itu, aku pun mengikutinya. Yang terpenting ialah cepat sampai ke kafe dan membuktikan kebenaran dari ucapan Razka.

"Teman kamu dimana, Ka?" tanyaku kepada Razka, setelah celingak-celinguk melihat keberadaan Vero di tengah keramaian kafe. Ruangan kafe itu sangat luas, maka dari itu sulit untuk mencari seseorang begitu saja dalam waktu yang singkat. Beda cerita dengan yang kemarin, aku mendatangi kafe dalam keadaan yang tidak terlalu ramai. Setidaknya, tidak seramai yang sekarang ini.

"Bentar, aku chat dulu," ujar Razka lantas mengeluarkan ponselnya. Saat ini, kami berdiri di luar ruangan dengan sedikit menepi. Takut bila mengganggu ketentraman para pelanggan lainnya jika kami berdiri di dalam.

"Katanya di meja dekat jendela belakang. Ayo." Razka menarik tanganku. Aku tidak berkutik sedikitpun, melainkan sibuk memperhatikan tangan Razka yang ada menyentuh kulitku. "Eh, sorry," ujarnya setelah sadar menyentuh kulitku.

Aku mengekori langkah Razka di belakang. Dari kejauhan, aku dapat melihat sebuah meja sesuai yang Razka katakan tadi. Dekat jendela belakang. Ada 4 lelaki yang duduk berkerumun di meja bundar itu.

"Woi, Bro." Tiga langkah sebelum meja bundar itu aku dapat melihat salah satu dari teman Razka berteriak menyapa Razka. Razka segera berjalan mendekat dan memberi tos kepada satu persatu temannya.

"Lama amat nyusulnya. Jamuran kita nungguin lo." Protes itu dilayangkan oleh teman Razka yang berambut klimis. Baru berdiri di sana saja, aku sudah dua kali melihatnya menyugar rambutnya ke atas. Benar-benar tipikal lelaki yang suka tebar pesona.

Beralih dari meja temannya Razka, aku memutar pandanganku ke sekitar sana guna mendapati keberadaan Vero. Namun, nihil. Tidak ada kudapati Vero di meja manapun.

"Woi, Ver. Betah amat di toiletnya."

"Gue sekalian mesan cemilan tadi, makanya agak lama."

Di antara suara keramaian di kafe, terdengar sebuah suara yang cukup familiar di telingaku. Suara itu ... seperti suara Vero. Aku segera menoleh. Kedua kakiku terasa melemas tatkala mendapati Vero yang kini duduk di salah satu meja. Aku hampir saja limbung jika Razka tidak segera menahanku.

"Bel, kamu kenapa?"

Aku tidak menjawab pertanyaan itu, karena tatapanku yang masih berfokus ke mejanya Vero.

Semua yang dikatakan Razka itu benar. Vero ada di kafe ini ... sekarang. Apa itu artinya ia telah membohongiku?

"Kamu lihatin apa, sih?" tanya Razka. Sejenak aku menoleh padanya yang kini sepertinya tengah mencari titik fokusku beberapa saat yang lalu. "Vero? Aku bilang apa. Dia di sini, kan?"

Aku menghela napas. Kali ini, aku kalah berdebat dengannya. Razka benar. Hanya saja, aku terlalu buta untuk sekadar mengetahui mana yang benar dan salah.

"Ayo, samperin dia. Kita harus perjelas ini semua," ujar Razka dan kembali menarik tanganku. Aku menolak. Di saat seperti ini, aku tidak ingin menemui Vero barang sejenak pun. Aku juga sedang tidak ingin mendengarkan penjelasannya jika aku menemuinya sekarang.

"Aku mau pulang aja," ujarku sembari mencoba melepaskan genggaman tangan Razka di tanganku.

"Gak boleh, Bel. Kita udah luangin waktu kita buat ke sini. Lalu, pas udah sampai, kamu malah mau pulang. Memangnya kamu gak mau tahu kebenarannya kayak gimana?"

Aku menggelengkan kepalaku dengan cepat. "Kebenaran kayak gimana lagi, Ka? Ini udah jelas, kan?"

"Ini belum jelas. Kita baru ngelihat dari satu sisi, lalu kamu gak mau tahu ceritanya dari sisi Vero?" tanya Razka yang tetap bersikeras mengajakku menemui Vero. "Ayo, Bel. Jangan keras kepala," ucapnya lantas kembali menarikku.

Aku yang tidak sempat menahan diri agar tak ikut melangkah akhirnya mengikuti jejak Razka. Sekarang, kami berdiri tepat di depan meja Vero. Vero sepertinya cukup terkejut menyadari kehadiranku.

"Bella kok di sini?" tanya Vero bangkit dari kursinya. Cukup lama tatapan kami bertemu, hingga aku memutuskan kontak mata itu.

"Maaf, Ka. Aku harus pulang," ujarku kepada Razka. Lelaki itu lengah ketika aku melepaskan cekalan tangannya dan langsung berlari keluar kafe.

Suara teriakan Vero dan Razka yang memanggil namaku tak kuhiraukan. Saat ini, aku berusaha menahan agar tangisku tak pecah karena rasa kecewa yang teramat mendalam.

Vero sudah membohongiku.

•-•-•-•-•

"Halo, Ar. Kamu lagi sibuk, gak?" tanyaku di sela-sela isak tangisku. Aku sedang menelepon Arsy saat ini. Aku ingin menemuinya dan meluapkan semua rasa kecewa ini.

"Nggak, Bel. Aku lagi gak sibuk. Kamu kenapa nangis? Ada masalah? Kamu dimana sekarang? Aku kesana, ya?"

Aku menganggukkan kepalaku seolah-olah Arsy ada di hadapanku. Aku kemudian memberitahukan keberadaanku saat ini kepadanya.

Aku menutup sambungan telepon dan menyimpannya ke dalam tas. Aku lantas menekuk kedua tanganku di atas lutut untuk kujadikan tempat menelungkupkan wajah. Isakan tangisku kubiarkan meluncur begitu saja. Tidak peduli jika aku sedang berada di taman kampus dan ada begitu banyak orang asing yang akan melihatku.

Sejujurnya, aku adalah orang yang mudah merasa kecewa. Meski semuanya rata-rata berpusat tak jauh dari masalah cinta. Jatuh cinta itu rumit. Risiko terbesar apabila sudah jatuh terperosok adalah kecewa.

Aku masih menelungkupkan wajah, hingga sebuah elusan di puncak kepalaku membuatku mengangkat wajah. Aku mendapati Arsy yang kini duduk di sebelahku dan langsung memeluknya dengan erat.

"Ar," lirihku. Isak tangisku sudah mulai mereda. Namun, jejak tangisnya masih belum menghilang. Mataku terasa membengkak dan berat untuk dibuka lebar-lebar akibat terlalu lama mengeluarkan tetesan air.

Cukup lama Arsy mendiamkanku hingga aku mengurai pelukan itu. Jemari Arsy lantas naik menyentuh permukaan wajahku dan mencoba menghilangkan jejak basah yang masih tertinggal.

"Cerita sama aku. Siapa yang berani buat kamu nangis?"

Aku menatap Arsy lama sebelum akhirnya mulai bercerita. Aku memulainya dari masalah Eisha dan Shafa, lalu beralih kepada aku yang memarahi Razka hingga berujung pergi ke kafe untuk membuktikan ucapan Razka.

"Udah selesai ceritanya?" tanya Arsy dengan lembut. Tangannya terangkat ke atas untuk menyelipkan anak rambutku ke belakang telinga. Aku mengangguk, ceritaku sudah selesai.

Basah di pipiku juga sudah mengering, mungkin karena tertipu angin sepoi-sepoi yang ada di taman kampus.

Tidak banyak hal yang kusukai dari bercerita kepada Arsy. Ia juga sama seperti pendengar cerita kebanyakan. Hanya saja, tidak semua orang mampu berlaku seperti Arsy yang mau mendengar ceritaku hingga habis baru berkomentar. Kebanyakan orang yang kutemui, mereka adalah tipikal orang yang berkomentar per bagian cerita. Sedangkan Arsy, ia berkomentar setelah mengetahui isi keseluruhan cerita sehingga tidak dengan sembarang mengambil saran.

"Bel, ada baiknya kamu temui Vero dan dengerin penjelasan dia dulu," saran Arsy. Aku menatapnya dengan tatapan penuh tanda tanya. Mengapa Arsy malah menyuruhku untuk menemui sekaligus mendengarkan penjelasan Vero? Bukankah itu akan semakin membuatku kecewa jika ia kembali menimpali masalah tersebut dengan kebohongan?

"Gak baik kalau kita cuma melihat suatu kejadian dari satu sisi. Ada kalanya, kita perlu melihat itu dari sisi yang lain. Setelah itu, kita baru bisa nyimpulin sisi mana yang lebih pantas untuk dipercaya," ujar Arsy. "Misalnya ketika kita melihat angka 6 dan 9. Kalau kita melihatnya dengan posisi perutnya di bawah, kita akan mengatakan bahwa itu adalah angka 6. Tapi, kalau orang lain melihatnya dengan posisi perutnya di atas, apa kita bisa nyalahin dia karena dia bilang itu adalah angka 9?"

Aku menggeleng. Jika orang lain itu menyebutnya dengan angka 9, maka itu ialah benar.

"Kamu bisa menjawab orang itu benar karena kamu tahu, ketika angka 6 dibalikkan maka akan menjadi angka 9. Tapi kalau di posisi itu kamu gak tahu. Otomatis kamu bakalan bilang orang itu salah. Iya, kan?"

"Iya, Ar," jawabku yang mulai terhanyut dalam perumpamaan yang dimainkan oleh Arsy.

"Nah, sama halnya dengan masalah kamu dan Vero. Bel, masalah terbesar di dalam sebuah hubungan, entah itu hubungan keluarga, persahabatan ataupun hubungan asmara adalah kesalahpahaman. Lalu, dari mana datangnya kesalahpahaman itu? Dari telinga yang gak mau mendengar penjelasan."

Sekarang, aku paham maksud dari perumpamaan itu. Dan, itu artinya ... aku memang harus memberikan kesempatan kepada Vero untuk menjelaskannya.

•-•-•-•-•

Tbc.🌈

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro