25 - Cinta sejati

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Setelah berbincang cukup lama dengan Meisya, akhirnya aku mendapatkan satu kesamaan pandangan di antara kami. Ia sama sepertiku, tidak memandang semua laki-laki yang menggunakan barang sejenis rokok dan vape adalah buruk.

Ternyata, Tristan juga sama seperti halnya dengan Vero. Sama-sama pengguna vape. Bahkan hingga sekarang, ia masih menggunakan vape meski telah berpacaran dengan Meisya. Meisya tidak terlalu mempermasalahkan hal itu, selama Tristan tahu akibatnya. Meisya juga yakin bila suatu saat Tristan akan berubah dan berhenti menggunakan vape.

Meisya juga mengingatkanku akan satu hal. “Kita gak bisa menuntut orang yang kita cintai menjadi sesuai dengan apa yang kita inginkan, Bel. Yang bisa kita lakukan cuma menunggu waktu yang tepat, sampai orang itu akan berubah dengan sendirinya. Lagian, kalau dia memang cinta sama kita, seharusnya dia siap mengambil jalan untuk keluar dari hal sejenis itu.”

Aku senang bisa bertemu dengan Meisya hari ini. Ada begitu banyak hal yang aku dapatkan dari gadis itu. Meisya itu dewasa, pikirannya benar-benar terbuka untuk hal-hal kecil yang mungkin tidak pernah aku pikirkan. Maka dari itu, bertukar pikiran dengannya seperti ini benar-benar mengasyikkan. Aku benar-benar beruntung karena telah mengenal sosok seperti Meisya.

Tiba-tiba saja, aku kebelet untuk ke toilet.

“Mei, toilet dimana, ya?” tanyaku kepada Meisya. Meisya lalu memberitahuku dimana letak toilet berada.

“Mau aku temenin?”

Aku menggeleng. “Nggak usah, Mei,” tolakku halus. Aku lalu berjalan menuju arah toilet sesuai yang dikatakan Meisya.

Suasana di dalam rumah begitu sepi. Mungkin karena kedua orang tua Reno sedang tidak di rumah. Berdasarkan cerita Meisya, Reno adalah anak tunggal, sehingga ia hanya sendirian di rumah ketika kedua orang tuanya pergi. Di rumah ini juga tidak ada asisten rumah tangga, mengingat mamanya Reno lebih suka melakukan semua pekerjaan rumah sendiri. Dalam hati, aku memuji kerendahan hati dari mama Reno. Padahal, ia bisa saja mempekerjakan seorang asisten rumah tangga untuk membantunya mengurusi rumah. Namun, ia tidak mau melakukan itu.

Setelah menyelesaikan tugasku di toilet, aku lantas memperbaiki tatanan penampilanku di kaca besar di depan toilet. Aku melangkah keluar hendak kembali ke taman belakang.

“Tristan!” pekikku terkejut ketika mendapati Tristan tengah bersandar di dinding luar toilet. “Eh, mau ke toilet, ya? Aku udah selesai. Silakan masuk,” ujarku lantas berjalan melewati lelaki itu.

“Tunggu dulu.”

Aku lantas berbalik badan. “Ada apa, Tan?” tanyaku.

“Ada yang pengen gue omongin sama lo.”

Aku mengangguk, “Silakan.”

“Gue sebenarnya gak tahu hubungan lo sama Vero apa. Yang jelas, gue tahu kalian lagi dekat,” ujar Tristan bersidekap dada. Kepalanya juga ia sandarkan di dinding, dengan menghadap ke langit-langit rumah Reno. “Awalnya, gue heran, kenapa sikap Vero tiba-tiba berubah. Pas gue tawarin vape, dia nolak. Pas gue ajak keluar tengah malem, dia juga nolak. Gue pikir, dia lagi ada masalah. Tapi, pas gue dengar dari temen-temen yang lain kalau pas itu ada cewek yang nyamperin Vero ke kafe, gue seketika sadar. Vero berubah karena cewek itu.”

Aku berusaha memperkirakan kemana arah pembicaraan Tristan. Kami memang belum pernah bertemu sebelumnya. Tristan tidak ada saat kejadian aku yang menghampiri Vero di kafe waktu itu. Maka dari itu, wajar bila ia tidak tahu hubunganku dengan Vero.

“Dan, hari ini ketika Vero bawa lo ke sini, gue yakin kalau lo cewek yang dimaksud nyamperin Vero ke kafe waktu itu. Iya, kan?”

Aku mengangguk dengan penuh keraguan. Entahlah, namun rasanya, nada bicara Tristan semakin mengintimidasi.

“Gue temenan sama Vero udah lama dan belum pernah gue lihat Vero berubah kayak gini hanya karena satu cewek. Lo kasih pelet apa ke dia?”

Aku membulatkan mataku. Pelet katanya? Enak saja. “Sorry, aku nggak main hal gituan.”

“Heh, yakin?” Tristan tersenyum miring.

“Lagian, Vero berubah itu bukan karena aku, tapi emang niatannya mau berubah,” ujarku berusaha membela diriku. Aku tidak terima bila aku dikatakan memelet Vero untuk mengikuti semua kemauanku, termasuk untuk berubah.

“Apa yang dibilang sama Bella itu benar.”

Aku sontak menoleh dan mendapati Vero yang kini berdiri di sampingku. Sejak kapan ia ada di sini? Apa ia juga mendengar semua percakapanku dengan Tristan?

“Gue berubah, bukan karena siapa pun. Gue berubah karena emang dari hati gue menuntut sebuah perubahan,” ujar Vero dengan mantapnya. Ia menatap ke arahku, lantas mendaratkan tangannya di bahuku dan merangkulku. “Kalau pertanyaan yang lo maksud, kenapa tiba-tiba gue berubah semenjak kenal sama Bella, maka jawabannya simple. Gue cinta sama dia, maka dari itu gue berusaha memperbaiki diri untuk menjadi seseorang yang baik buat dia.”

Jawaban Vero membuatku bergeming. Duniaku serasa melambat seketika. Seolah ada atmosfer kuat yang baru saja membekukan duniaku.

Apa ... cinta Vero sebesar itu kepadaku sehingga ia berucap seperti itu? Apa mungkin semua ucapannya bukan sekadar ucapan refleks, melainkan ucapan dari hati?

Aku mendongakkan kepalaku guna melihat wajah Vero yang lebih tinggi daripadaku. Wajahnya tak menampilkan sedikitpun kebohongan.

Bullshit, Ver. Nggak mungkin hanya karena cinta lo berubah gitu aja, bahkan lo sampai nomor duain kami sebagai sahabat lo. Lo pasti udah dipelet sama dia. Iya, kan?”

“Nggak mungkin kata lo? Maaf, Tan, gue rasa lo hanya belum nemuin cinta sejati lo. Cinta yang benar-benar membuat lo merasa ... lo harus melakukan perubahan di kehidupan lo yang orang lain cap buruk itu. Karena, kalau lo udah nemuin hal tersebut, gue yakin lo gak bakalan berani bilang kayak gitu,” jawab Vero yang lagi-lagi membuatku pangling. Ia sama sekali tidak menyudutkanku atas perubahan yang ia lakukan. “Lagian, gue gak nomor duain kalian. Itu cuma perasaan lo aja, Tan.

Vero melepas rangkulannya pada bahuku, lantas berjalan selangkah lebih maju menuju Tristan. Kulihat Vero mendaratkan telunjuknya di dada Tristan.

“Rasain semuanya pakai hati lo, Tan. Gue rasa, lo udah terlalu lama terkubur dalam hidup tanpa perasaan. Lo lihat Meisya. Lo lihat pacar lo yang tulus itu. Udah seharusnya lo bisa dapetin pemikiran yang gue rasain saat ini. Pemikiran untuk berubah menjadi seseorang yang lebih baik, untuk seseorang yang kita cintai. Gue yakin, lo cinta sama Meisya. Hanya saja, seorang Tristan Yudha terlalu gengsi buat ngakuin cinta sejatinya.”

Setelah berucap demikian, Vero lantas memberiku kode untuk berlalu dari sana. Vero melangkah terlebih dahulu, sementara aku masih terdiam di sana menatap Tristan. Wajahnya terlihat lebih tenang dari sebelumnya, mungkin tengah mencoba mencerna semua ucapan Vero.

“Tunggu,” cegatnya ketika aku mulai melangkah.

“Vero tulus cinta sama lo. Gue harap, lo gak pernah ngecewain sahabat gue,” ujarnya dengan penuh penekanan. Dari situ aku mengerti mengapa Tristan begitu mengintimidasiku tadi. Ia hanya tidak ingin aku mengecewakan hati sahabatnya. Sama seperti apa yang dilakukan Shafa dan Eisha.

Aku mengangguk lantas tersenyum. “Aku berani janji sama kamu, aku gak bakalan ngecewain Vero ... lagi.”

•-•-•-•-•

Tbc.🌈

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro