33 - Sudah saatnya

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Sudah dua jam berlalu, namun aku masih tetap di posisi semula. Menyenderkan tubuhku yang terasa tak bertenaga ini di balik pintu. Beruntungnya, pintu indekos terbuat dari kayu jati yang cukup kuat sehingga aku tidak perlu khawatir bila pintunya akan roboh menahan bebanku.

Semakin lama meratapi kejadian hari ini, aku semakin sibuk mengacak rambutku berusaha menghilangkan bayang-bayang nama Amran dari pikiranku. Kenapa semuanya harus menjadi runyam seperti ini? Kenapa nama Amran harus kembali timbul setelah sekian lama kubiarkan tenggelam bersama masa lalu? Kenapa?

Bayang-bayang wajah Shafa yang begitu ceria tatkala menyebutkan mengenai Amran yang kemudian digantikan dengan amarahnya ketika aku mengatakan lelaki itu berengsek masih terus terputar dalam ingatanku. Ditambah lagi, jaket yang dikenakan oleh Vero. Aku yakin, itu adalah jaket milik Amran. Meskipun warna spidol itu sudah cukup memudar, namun tulisan itu masih terbaca olehku.

Aku menghela napasku kasar. Kepalaku terasa berdenyut. Rasanya, lebih baik aku mati saja jika harus kembali diingatkan oleh bayang masa lalu itu. Aku mencengkeram erat kepalaku dengan kedua telapak tangan, terus-menerus mencoba menghilangkan nama Amran beserta bayang-bayangnya di kepalaku.

Tiba-tiba saja ponselku yang ada di dalam tas bergetar. Aku membiarkannya saja karena aku masih berada di fase tidak ingin berbicara dengan siapa pun. Namun, si penelepon ternyata tidak kunjung menyerah untuk mendapatkan jawaban dariku. Akhirnya, aku membuka tas dan segera melihat nama yang tertera di layar ponselku.

Arsy.

Awalnya aku ragu untuk mengangkat telepon itu. Aku takut, Arsy akan khawatir ketika mengetahui keadaanku saat ini. Namun, aku juga tidak bisa menolak panggilan itu. Walau bagaimanapun, saat ini hanya Arsy yang paling memahami kondisiku. Ia selalu ada di saat-saat aku tengah dirundung rasa frustrasi dan hanya lelaki itu yang bisa menenangkanku. Rasanya, aku sedikit jahat bila aku menyembunyikan hal sebesar ini kepadanya.

“Halo, Ar,” ucapku saat pertama mengangkat panggilan suara itu.

“Bel, kok suara kamu serak gitu? Kamu habis nangis?”

Aku dapat mendengar kekhawatiran yang tercetak jelas di suara lelaki itu. Namun, belum sempat aku menjawab, lelaki itu terlebih dahulu mengatakan ia akan menghampiriku ke indekos dan langsung mematikan panggilan itu.

Aku menurunkan ponselku dari telinga, lantas menghela napas pasrah. Sampai kapan aku harus terus merepotkan lelaki itu? Sampai kapan hidupku harus terus bergantung pada Arsy?

Cukup lama aku merenungi kehidupanku yang terus bergantung pada Arsy, sebuah ketukan pintu seketika terdengar. Dapat kurasakan getaran di tubuhku yang bersender pada pintu akibat ketukan yang berulang kali dilakukan.

“Bel, buka pintunya, Bel. Jangan buat aku khawatir.” Suara Arsy dari luar begitu mendominasi pikiranku yang kosong saat ini. Aku berusaha berdiri dari posisiku tadi. Rasanya, tubuhku begitu tak berdaya bahkan untuk sekadar berdiri saja. Seluruh energiku terkuras habis hanya karena memikirkan masalah hari ini. Aku memutar kunci pada silindernya, lantas menarik pintu itu agar terbuka.

“Ya ampun, Bel. Kamu kenapa kayak gini? Rambut kamu berantakan, mata kamu sembap. Ada apa?” tanya Arsy bertubi-tubi. Kepalaku terasa berdenyut lagi. Kakiku melemas seolah tidak mampu lagi menahan berat badanku yang kurang dari 50 kilogram. Seketika, tubuhku oleng dan nyaris jatuh apabila Arsy tidak dengan sigap menahan punggung belakangku. Ia lantas memapahku untuk duduk di kursi.

“Bentar. Aku ambilin minum,” ujar Arsy lantas berlalu meninggalkanku. Dalam sekejap, ia kembali membawa segelas air tidak berwarna ke hadapanku. “Ini, minum dulu biar agak tenangan, Bel.”

Aku menerima gelas itu. Perlahan namun pasti, aku menghabiskan air itu.

“Gimana? Lebih baik?” tanya Arsy. Aku mengangguk.

“Udah siap cerita?” tanyanya lagi, yang kali ini tidak langsung kujawab dengan anggukan kepala. Aku membiarkan tatapan kami berlangsung cukup lama. Apa dalam seumur hidupku aku hanya akan terus membebani kehidupan Arsy? Selama ini, lelaki itu tidak pernah membiarkan aku mendengarkan sedikit keluhan yang terlontar dari bibirnya. Ia selalu tersenyum ketika kutanyai perihal masalahnya. Jawabannya klasiknya selalu terucap. “Aku gak ada masalah, Bel. Kamu gak perlu khawatir.”

Dan, apa kali ini aku harus menceritakan masalahku lagi? Aku diserang kebimbangan. Dengan aku bercerita, Arsy tentunya tidak akan berhenti khawatir padaku. Namun, jika aku tidak bercerita kepadanya, maka kepada siapa lagi aku harus bercerita? Aku tidak bisa memungkiri bahwa saat ini aku sangat membutuhkan jalan keluar atas permasalahanku. Satu-satunya orang yang selalu berhasil menangani masalahku hanya Arsy.

Aku menghela napas, lantas mengangguk sebagai jawaban terlambat dari pertanyaan Arsy. Aku harus segera menemukan jalan keluar atas masalah ini agar aku tak terus-menerus merepotkan Arsy untuk kedepannya. Setidaknya, jika masalah ini selesai, hidupku tidak akan serumit ini lagi.

“Amran, Ar,” ujarku menyebutkan nama itu kembali. Mungkin, Arsy bisa saja lupa akan nama itu mengingat terakhir kali aku menyebutkan nama itu di hadapannya kurang lebih dua tahun yang lalu.

“Amran yang buat kamu trauma?”

Aku mengangguk. Ternyata, Arsy masih mengingatnya.

“Dia kenapa? Dia gangguin kamu lagi?”

Aku menggeleng. “Shafa dekat sama dia, Ar. Sahabat aku dekat sama dia. Aku takut Shafa bakalan ngerasain hal yang dulu pernah aku rasain,” ujarku dengan suara yang mulai bergetar.

Aku berusaha menghirup udara sebanyak-banyaknya. “Amran berengsek, Ar. Aku gak mau Shafa kenapa-napa sama dia,” lirihku.

“Tolongin aku, Ar. Tolongin aku supaya bisa jauhin Amran dari Shafa,” pintaku padanya sembari mengguncangkan lengannya pelan. Arsy hanya menatapku, belum mengeluarkan sepatah kata pun dari tadi. Ia mengulurkan tangannya untuk mengelus kepalaku dengan lembut lantas menghela napas.

“Bel, kita gak bisa ngejauhin Amran dari Shafa gitu aja. Walau gimanapun, perasaan orang gak bisa dipaksa, Bel,” ujar Arsy seperti mengulangi ucapan Shafa tadi.

“Trus, aku harus gimana, Ar? Aku gak mau Shafa ngulangin kejadian yang sama kayak aku.”

“Jalan satu-satunya cuma kamu ceritain semuanya ke Shafa. Selebihnya, biar Shafa yang nentuin apakah dia harus ngejauh atau tetap bertahan.”

“Maksud kamu?”

“Jelasin tentang masa lalu kamu sama Shafa ... juga Eisha. Aku rasa, udah saatnya mereka tahu.”

Arsy benar. Mungkin, ini sudah saatnya Shafa dan Eisha tahu perihal masa laluku. Lagipula, aku sudah menyembunyikan fakta besar itu selama kurang lebih dua tahun lamanya. Mereka sahabatku dan mereka berhak tahu masalah ini—meski kutahu, ini sudah sangat terlambat.

“Tapi, Ar ...,” ujarku ragu. “Gimana kalau mereka nanti jauhin aku setelah tahu soal masa lalu aku?”

“Itu hak mereka, Bel. Tapi, satu hal yang perlu kamu tahu, kalau mereka sahabat yang baik, mereka gak akan ninggalin kamu sekalipun saat mereka tahu hal terpuruk yang pernah kamu alami di masa lalu.”

Lagi, Arsy benar. Anggap saja ini caraku mengetahui kekuatan persahabatan kami. Meski tetap terbesit rasa takut akan respons mereka, aku tetap harus melakukannya.

Aku harus menceritakan semuanya kepada Eisha dan Shafa. Tidak peduli apa pun risikonya.

Aku menoleh pada Arsy dan mengucapkan terima kasih kepada laki-laki itu. Aku harap setelah masalah ini selesai, aku tidak akan lagi merepotkannya dengan beban permasalahanku. Sudah saatnya aku mandiri.

Suara deru motor seketika terdengar di depan indekos. Aku dan Arsy sontak menoleh ke depan. Motor itu berhenti tepat di depan indekosku.

“Siapa itu, Bel?” tanya Arsy. Aku menjawabnya bahwa aku tidak tahu. Motor itu terlihat tidak begitu asing di hadapanku. Tapi, aku pun lupa itu siapa. Arsy berdiri terlebih dahulu ketika lelaki yang baru turun dari motornya itu berjalan menuju indekos. Aku mengekori Arsy dan melihat siapa lelaki itu. Ia melepas helm nya dan di saat itu kedua kakiku terasa melemas.

“Amran?”

•-•-•-•-•

Tbc.🌈

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro