Delapan Belas

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Hepi reading en lope-lope yu ol, Gaess....

**

Apa yang kupikirkan mungkin terlalu berlebihan, tetapi kelihatannya Atharwa memang berusaha berbaikan denganku. Aku bisa tahu dari ajakannya untuk makan siang bersama selama dua hari terakhir.

Sebut saja aku pendendam atau apalah, tetapi menerima Atharwa kembali sebagai teman setelah mengingatnya sebagai backstabber selama lebih dari sepuluh tahun tidak semudah membalikkan telapak tangan. Ada hal-hal yang perlu proses untuk dilakukan, dan kasus Atharwa termasuk salah satu di antaranya. Kami tidak berada di balik lembar buku atau gambar hidup dalam film, di mana semua konflik bisa diselesaikan dalam hitungan jam. Dunia nyata tidak sesederhana itu.

Atharwa pernah membuatku kecewa karena salah menitipkan kepercayaan. Dia membuat aku belajar bahwa percaya kepada seseorang bisa berbalik melukai sehingga aku memutuskan untuk tidak gampang menerima orang lain dalam hidupku. Sulit mengubah prinsip seperti itu dalam waktu singkat. Jadi kalau kami memang bisa kembali berteman lagi, meskipun tidak sedekat dulu, aku benar-benar harus yakin Atharwa pantas untuk mendapatkan kesempatan kedua.

Hari ini aku berencana menghindari ajakan Atharwa untuk makan bersama dengan memesan makanan untuk aku makan di kubikelku. Rencanaku berhasil karena Atharwa yang benar-benar datang menghampiriku saat makan siang lantas mengernyit saat melihat aku sedang menghadapi makananku.

"Lho, kok makan di sini?" Dia duduk di kursi Jingga yang kosong. Anak itu sedang keluar bersama manajernya ke pabrik. "Baru mau saya ajak turun."

"Sudah lapar banget, Pak." Ya, sesekali bohong untuk kebaikan pasti tidak apa-apa. Aku toh tidak merugikan siapa pun karena melakukan hal seperti ini.

"Mau turun makan sekarang?" Suara Pretty terdengar sebelum sosok dan aroma parfumnya yang lembut terhidu. Dia berdiri di dekat kubikelku. Dia pasti bicara dengan Atharwa. Tidak mungkin dia tiba-tiba berbaik hati mengajakku makan dengan bentuk hubungan kami yang tidak berwujud seperti sekarang. Sepupu iya, tetapi dia melihatku seperti kotoran yang menempel di ujung sepatunya, dan aku bersikap menganggapnya tidak ada. "Aku sudah lapar nih. Sushi ya? Lagi pengen yang jepang-jepang gitu."

"Lagi malas turun. Mau delivery saja."

"Tapi malah bisa lebih lama lho. Apalagi kalau pesanannya lagi banyak pas waktu makan siang kayak gini. Yuk, turun saja."

"Hari ini mau makan di kantor saja."

"Ya sudah, aku turun, ya." Pretty akhirnya tidak memaksa lebih lanjut.

Aku terus menekuri makananku, pura-pura tidak mendengar percakapan antara Pretty dan Atharwa. Ketukan stiletto Pretty perlahan terdengar menjauh dan akhirnya hilang.

"Kamu pesannya lewat aplikasi atau minta tolong OB?" tanya Atharwa. Dia mendorong kursinya mendekat ke arahku. "OB saja kali, ya? Bisa lebih cepat karena sekalian nungguin, kan?" Dia menjawab sendiri pertanyaannya. Tanpa menunggu jawabanku dia berdiri dan melambai kepada OB yang kebetulan sedang melintas.

Aku buru-buru menghabiskan makananku karena bermaksud menyingkir sementara waktu dari kubikelku. Sekarang aku benar-benar yakin Atharwa hendak memperbaiki hubungan pertemanan kami, dan aku belum siap melakukannya.

Kalau aku tinggal, dia bisa saja memutuskan menumpang makan di dekatku. Aku yakin sebagian besar orang sudah tahu bahwa Atharwa adalah anak Pak Wisesa, dan aku tidak suka menjadi bahan pembicaraan. Apalagi hampir semua orang di lantai kami menduga bahwa Pretty dan Atharwa memiliki hubungan khusus. Aku tidak ingin posisiku sebagai orang yang tak kasatmata menjadi berada tepat di bawah spotlight.

"Mau ke mana?" tanya Atharwa saat melihatku berdiri.

"Ke toilet, Pak." Aku mengemasi styrofoam bekas wadah makananku dan memasukkannya ke dalam kantung plastik.

"Oh, oke." Atharwa kembali duduk di kursi Jingga.

Aku buru-buru pergi dari situ sebelum dia bertanya lebih lanjut. Waktu makan siang masih lumayan lama, jadi aku bisa keluar mencari permen untuk mengisi stoplesku. Aku akan kembali setelah yakin Atharwa sudah berada ke ruangannya.

Lepas dari Atharwa tidak membuat peruntunganku membaik. Aku terjebak bersama Pretty di lift saat hendak kembali ke kantor. Aku memilih mengambil jarak dengan menyingkir di bagian belakang. Namun, Pretty ikut menyusul. Dia hanya perlu tersenyum dan orang yang berada di belakangnya segera memberi jalan supaya dia bisa berdiri di sampingku.

"Harusnya lo tahu kalau lo bukan saingan gue kalau mau menarik hati laki-laki," gumam Pretty. Bisikan yang hanya bisa kudengar karena sangat pelan.

Seperti biasanya, aku memilih pura-pura tidak mendengar.

"Lo hanya sakit hati sendiri kalau memaksakan diri."

Aku membuka aplikasi di ponselku dan fokus ke sana. Aku tahu Pretty akan sebal kalau aku mengabaikannya.

"Gue hanya kasih tahu sih. Untuk kebaikan lo juga. Sakit hati bikin lo bisa tambah kurus. Kayak yang belum cukup kurus saja lo."

Aku memilih salah satu game dan mulai memainkannya.

"Lo pasti tahu Moira Alexander, kan? Iya, yang model itu. Dia pernah satu agensi sama gue. Dia mantan Athar. Tipe dia itu nggak jauh-jauh dari yang kayak gue. Jadi lo nggak akan punya kesempatan."

Lift terbuka dan orang-orang yang ada di depan kami ternyata keluar semua. Aku mengangkat kepala dan menatap Pretty dengan tampang yang kubuat terlihat sangat bosan. "Kalau lo beneran yakin Atharwa nggak akan tertarik sama gue, kenapa mesti repot-repot bilang semua ini ke gue? Jangan khawatir, dia juga bukan tipe gue, jadi lo nggak perlu kasihan karena nantinya gue akan menangis. Air mata gue terlalu berharga untuk dihabiskaan buat meratapi laki-laki kayak dia. Tapi terima kasih lo mau peduli. Rasanya sudah berabad-abad lo nggak perhatian kayak gini sama gue. Gue lebih terharu karena perhatian lo sih, daripada baper soal Atharwa. Nggak penting banget."

"Gue tahu apa yang ada di hati dan kepala lo, Kar. Percuma lo pasang muka lempeng gitu ke gue!" balas Pretty sengit.

Aku mengarahkan bola mata ke atas sambil mendesah. Aku tahu jika rautku yang terlihat semakin bosan pasti mengganggu Pretty. "Guru ramal lo pasti bagus banget kalau lo beneran bisa membaca hati dan pikiran gue. Saran saja sih, kenapa nggak lo pakai buat membaca pikiran Atharwa saja supaya lo bisa menyusun strategi buat dapatin dia? Itu pasti lebih berguna." Aku kembali menekuri ponsel.

"Gue memang akan dapatin dia. Apa sih yang nggak bisa gue dapatin? Gue bisa dapatin semua yang gue mau. Lo tahu persis itu."

Aku terus bermain dengan ponselku.

"Jangan pura-pura nggak dengar gue. Gue dilahirkan kembar siam dengan keberuntungan dan nasib baik. Lo bisa lihat gue sekarang, kan? Lo nggak ada apa-apanya dibanding gue."

Aku melanjutkan permainanku. Seharusnya tadi aku membawa earphone. Benda itu akan menyelamatkanku dari gangguan seperti ini.

"Tampang sok polos lo nggak akan berhasil menipu gue! Gue tahu persis kalau lo iri sama pencapaian gue. Kalau nggak, hubungan kita nggak akan kayak gini sekarang."

Aku terpaksa harus mengangkat kepala. "Gue nggak pernah iri sama lo. Dan kita begini bukan karena gue. Kalau ada yang jadi drama queen di antara kita, lo tahu pasti itu bukan gue. Gue nggak main drama. Gue bukan artis."

Pretty tertawa sinis. Bola matanya berputar. "Lo nggak iri? Yang benar saja! Kalau lo nggak iri, kenapa lo nggak pernah terlihat cukup senang melihat gue berhasil? Apa dulu lo pernah kasih gue dukungan? Nggak, kan? Ngaku saja kalau lo nggak suka karena perhatian semua keluarga besar kita dulu beralih dari lo ke gue. Lo pasti sebel banget karena Kara yang manis, imut, lucu, baik hati, dan suka menolong jadi nggak semenarik gue untuk dibicarakan lagi. Dan semua orang akhirnya tahu kalau lo sebenarnya berhati dingin. Gen nggak akan menipu, karena segimanapun sayangnya Om dan Tante sama lo, tetap saja nggak akan mengubah kenyataan kalau lo bukan anak kandung mereka."

Aku bersyukur karena pintu lift terbuka sehingga aku tidak harus mendengar Pretty mencecarku. Aku tidak masalah dia bicara dan menghinaku soal penampilan fisik karena sudah terbiasa, tetapi aku tidak suka kalau dia kembali menyebut-nyebut soal aku yang bukan anak kandung Mama-Papa. Aku bergegas keluar dan mengambil langkah panjang-panjang menuju kantor. Ini hari yang menyebalkan.

**

Untuk aku, menulis itu nggak semudah bicara sih, jadi aku akan SANGAT menghargai untuk nggak komen, "Kok part-nya pendek banget sih. Baru juga dibaca sudah habis. Nggak bisa agak panjangan dikit?"

Buat nulis part seperti ini, yang mungkin nggak sampai 5 menit dibaca, butuh waktu setidaknya 1-2 jam. Dan nyari waktunya juga nggak gampang untuk aku juga punya kesibukan dan pekerjaan kantor di dunia nyata. 

Tengkiu untuk dukungan vomen, ya. Kalau vomen bagus, nulisnya juga semangat dan bisa fast update. Oh ya, buat yang gencar nanyain Vino, seperti yang kubilang, cerita itu punya target vote menjelang akhir. Jadi baru akan update setelah target tercapai. Targetnya nggak muluk kok. Nggak sampai vote terbanyak yang ada di part cerita itu. Seandainya semua yang baca bersedia kasih bintang, aku yakin sehari setelah update udah tembus dan ceritanya udah kelar sejak lama.

Follow Instagram @titisanaria untuk info tulisan dan novel terbit, ya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro